AMP - Masjid Besar Bujang Salim indah dipandang luar dan dalam. Catnya tampak baru, ukiran kaligrafi di dinding bagian dalam sungguh menakjubkan. “Masjid ini dibangun sejak tahun 1923, saat itu luasnya 12 x 10 meter di atas tanah yang diwakafkan oleh Bujang Selamat,” kata Ketua Pengurus Harian Badan Kemakmuran Masjid Besar Bujang Salim, Tgk. Jalaluddin H. Ibrahim didampingi sekretarisnya, H.T. Syamsul Bardi H. Abbas, Selasa 23 April 2013.
Masjid tersebut kemudian diperluas menjadi 20 x 15 meter. Renovasi berikutnya menjadi 50 x 30 meter dengan menambah teras depan, samping kiri dan kanan. Terakhir diperlebar hingga luasnya mencapai 95 x 80 meter, hasilnya mampu menampung lebih 2.500 jamaah.
Kata Teungku Syamsul Bardi, konstruksi Masjid Bujang Salim diadopsi dari Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, sesuai keinginan masyarakat setempat. “Sebagian tukang (pekerja) bangunan masjid ini juga orang yang sama mengerjakan Masjid Raya Baiturrahman,” ujarnya.
Pembangunan masjid tersebut menghabiskan dana lebih Rp15 miliar. Selain sumbangan masyarakat, kata Syamsul Bardi, bantuan dari PT AAF, PT PIM, PT Arun, Pemda Aceh Utara, dan Pemerintah Aceh.
Tak hanya salat lima waktu dan salat Jumat, Masjid Bujang Besar Salim juga digunakan untuk pengajian rutin saban malam yang diasuh sejumlah ulama. Kecuali Senin malam dan Jumat malam, libur. “Senin malam pengurus masjid ikut pengajian di tempat Abu Paloh Gadeng (Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Utara, pimpinan dayah di Paloh Gadeng-red),” ujar Syamsul Bardi.
Di masjid ini, ada pula majelis taklim dari kelompok pemuda, pengajian kaum ibu, dan pengajian anak-anak.
Awal 2013, Masjid Besar Bujang Salim menerima bantuan generator set (genset) otomatis berukuran besar dari Wakil Gubernur Aceh Muzakkir Manaf atau Mualem. Mulanya, Mualem saat i’tikaf dalam masjid tersebut seusai Magrib, tiba-tiba listrik padam. “Sebulan kemudian Mualem menyumbangkan satu genset otomatis,” kata Syamsul Bardi.
***
Teuku Rhi Budjang Selamat atau Bujang Salim Bin Rhi Mahmud dikenal sebagai salah seorang perintis pergerakan kemerdekaan Indonesia dari Aceh. Putra Uleebalang ini lahir di Keude Amplah, Nisam, (dulu Nanggroe Nisam), Aceh Utara tahun 1891.
Berdasarkan arsip Masjid Besar Bujang Salim, pada 1912 Bujang Salim menyelesaikan pendidikan kelas lima pada Kweekschool dan Osvia (sekolah Belanda) di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Ia lalu dipanggil pulang ke Aceh, selama setahun tinggal di Kutaradja (Banda Aceh), mempelajari dan mempraktikkan Tata Kepamongprajaan.
Setahun kemudian, Bujang Salim ditunjuk menjabat Zelfbstuurdier Nanggroe Nisam sampai 1920. Selama menjabat, ia sering beraktivitas di bidang politik dan keagamaan. Itu sebabnya, Belanda kemudian memecat Bujang Salim dan diasingkan ke Meulaboh, 8 Februari 1921.
Pada 21 April 1922, ia dibuang ke Meurauke, Papua. Di sana, Bujang Salim juga berkutat dengan aktivitas pendidikan dan keagamaan, kegiatan yang bertentangan dengan perpolitikan Belanda ketika itu. Akibatnya, ia dibuang ke daerah Tanah Merah, Digul, Papua, 5 April 1935.
Di masa serbuan Jepang, Bujang Salim diungsikan ke hutan Bijan, 11 Mei 1942, kemudian dikembalikan ke Meurauke. Pada 3 November 1942, ia dibawa lagi ke Tanah Merah.
Pertengahan 1943, atas anjuran Van Der Plas, pemerintahan interniran Belanda mengangkut semua orang buangan untuk diungsikan ke Australia, termasuk Bujang Salim. Akhir 1945, pemerintah interniran Belanda memerdekakan orang-orang buangan tersebut dan dijanjikan akan dipulangkan ke tempat asal masing-masing. Pada 7 Oktober 1946, Bujang Salim dan rombongan eks-buangan diberangkatkan dengan kapal barang tentara sekutu, tiba di Jakarta, 14 Oktober 1946.
Bujang Salim dimasukkan ke kamp Chause Complex. Satu bulan kemudian, anggota rombongan lainnya diberangkatkan ke Cirebon dan diserahkan pada Pemerintah Indonesia. Bujang Salim, karena anaknya sakit keras, tidak diberangkatkan sampai empat bulan lamanya.
Bujang Salim kemudian berhubungan sendiri dengan Pemerintah Indonesia di Pegangsaan Timur dan dibolehkan berangkat ke Purwokerto. Pada 15 Februari 1947 oleh Kementerian Dalam Negeri di Purwokerto, ia dipekerjakan sementara menunggu kapal yang berangkat dari Cilacap menuju Sumatera. Karena Agresi I Belanda, 31 Juli 1947, ia dan keluarga terpaksa mengungsi ke lereng-lereng Gunung Slamet, Jawa Tengah, selama enam bulan.
Maret 1948, ia ditangkap oleh pasukan patroli Belanda dan ditahan untuk pemeriksaan. Dua hari setelah itu ia dilepas dengan dasar janji Belanda di Australia dulu, ia dibawa ke Medan, tiba pada 20 April 1948.
Pada Februari 1950 dengan bantuan Gubernur Aceh ketika itu, Bujang Salim diberangkatkan ke Kutaradja. Lalu, 31 Juli 1950 ia pulang ke Krueng Geukuh yang saat itu berada dalam Nanggroe Nisam. Bujang Salim akhirnya meninggal dunia, 14 Januari 1959. Ia dikebumikan di belakang Masjid Besar Bujang Salim.
Makam salah seorang pahlawan rakyat Aceh itu sering diziarahi berbagai kalangan dari sejumlah daerah. Gambar Bujang Salim kini dipajang di ruangan Imum Chik Masjid Bujang Salim. Di bagian depan gambar berbingkai itu tertulis, “Alm. Budjang Selamat (Teuku Rhi Budjang, Teuku Bujang). Lahir 1891, meninggal Rabu, 14 Januari 1959”.
Kata Imum Chik Masjid Bujang Salim, Teungku Zaunuddin Basyah, “Salim itu bahasa Arab, jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, salim bermakna ‘selamat’. Makanya masjid ini diberi nama Masjid Bujang Salim, nama perintisnya”.[http://sumaterapost.com]
Masjid tersebut kemudian diperluas menjadi 20 x 15 meter. Renovasi berikutnya menjadi 50 x 30 meter dengan menambah teras depan, samping kiri dan kanan. Terakhir diperlebar hingga luasnya mencapai 95 x 80 meter, hasilnya mampu menampung lebih 2.500 jamaah.
Kata Teungku Syamsul Bardi, konstruksi Masjid Bujang Salim diadopsi dari Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, sesuai keinginan masyarakat setempat. “Sebagian tukang (pekerja) bangunan masjid ini juga orang yang sama mengerjakan Masjid Raya Baiturrahman,” ujarnya.
Pembangunan masjid tersebut menghabiskan dana lebih Rp15 miliar. Selain sumbangan masyarakat, kata Syamsul Bardi, bantuan dari PT AAF, PT PIM, PT Arun, Pemda Aceh Utara, dan Pemerintah Aceh.
Tak hanya salat lima waktu dan salat Jumat, Masjid Bujang Besar Salim juga digunakan untuk pengajian rutin saban malam yang diasuh sejumlah ulama. Kecuali Senin malam dan Jumat malam, libur. “Senin malam pengurus masjid ikut pengajian di tempat Abu Paloh Gadeng (Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Utara, pimpinan dayah di Paloh Gadeng-red),” ujar Syamsul Bardi.
Di masjid ini, ada pula majelis taklim dari kelompok pemuda, pengajian kaum ibu, dan pengajian anak-anak.
Awal 2013, Masjid Besar Bujang Salim menerima bantuan generator set (genset) otomatis berukuran besar dari Wakil Gubernur Aceh Muzakkir Manaf atau Mualem. Mulanya, Mualem saat i’tikaf dalam masjid tersebut seusai Magrib, tiba-tiba listrik padam. “Sebulan kemudian Mualem menyumbangkan satu genset otomatis,” kata Syamsul Bardi.
***
Teuku Rhi Budjang Selamat atau Bujang Salim Bin Rhi Mahmud dikenal sebagai salah seorang perintis pergerakan kemerdekaan Indonesia dari Aceh. Putra Uleebalang ini lahir di Keude Amplah, Nisam, (dulu Nanggroe Nisam), Aceh Utara tahun 1891.
Berdasarkan arsip Masjid Besar Bujang Salim, pada 1912 Bujang Salim menyelesaikan pendidikan kelas lima pada Kweekschool dan Osvia (sekolah Belanda) di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Ia lalu dipanggil pulang ke Aceh, selama setahun tinggal di Kutaradja (Banda Aceh), mempelajari dan mempraktikkan Tata Kepamongprajaan.
Setahun kemudian, Bujang Salim ditunjuk menjabat Zelfbstuurdier Nanggroe Nisam sampai 1920. Selama menjabat, ia sering beraktivitas di bidang politik dan keagamaan. Itu sebabnya, Belanda kemudian memecat Bujang Salim dan diasingkan ke Meulaboh, 8 Februari 1921.
Pada 21 April 1922, ia dibuang ke Meurauke, Papua. Di sana, Bujang Salim juga berkutat dengan aktivitas pendidikan dan keagamaan, kegiatan yang bertentangan dengan perpolitikan Belanda ketika itu. Akibatnya, ia dibuang ke daerah Tanah Merah, Digul, Papua, 5 April 1935.
Di masa serbuan Jepang, Bujang Salim diungsikan ke hutan Bijan, 11 Mei 1942, kemudian dikembalikan ke Meurauke. Pada 3 November 1942, ia dibawa lagi ke Tanah Merah.
Pertengahan 1943, atas anjuran Van Der Plas, pemerintahan interniran Belanda mengangkut semua orang buangan untuk diungsikan ke Australia, termasuk Bujang Salim. Akhir 1945, pemerintah interniran Belanda memerdekakan orang-orang buangan tersebut dan dijanjikan akan dipulangkan ke tempat asal masing-masing. Pada 7 Oktober 1946, Bujang Salim dan rombongan eks-buangan diberangkatkan dengan kapal barang tentara sekutu, tiba di Jakarta, 14 Oktober 1946.
Bujang Salim dimasukkan ke kamp Chause Complex. Satu bulan kemudian, anggota rombongan lainnya diberangkatkan ke Cirebon dan diserahkan pada Pemerintah Indonesia. Bujang Salim, karena anaknya sakit keras, tidak diberangkatkan sampai empat bulan lamanya.
Bujang Salim kemudian berhubungan sendiri dengan Pemerintah Indonesia di Pegangsaan Timur dan dibolehkan berangkat ke Purwokerto. Pada 15 Februari 1947 oleh Kementerian Dalam Negeri di Purwokerto, ia dipekerjakan sementara menunggu kapal yang berangkat dari Cilacap menuju Sumatera. Karena Agresi I Belanda, 31 Juli 1947, ia dan keluarga terpaksa mengungsi ke lereng-lereng Gunung Slamet, Jawa Tengah, selama enam bulan.
Maret 1948, ia ditangkap oleh pasukan patroli Belanda dan ditahan untuk pemeriksaan. Dua hari setelah itu ia dilepas dengan dasar janji Belanda di Australia dulu, ia dibawa ke Medan, tiba pada 20 April 1948.
Pada Februari 1950 dengan bantuan Gubernur Aceh ketika itu, Bujang Salim diberangkatkan ke Kutaradja. Lalu, 31 Juli 1950 ia pulang ke Krueng Geukuh yang saat itu berada dalam Nanggroe Nisam. Bujang Salim akhirnya meninggal dunia, 14 Januari 1959. Ia dikebumikan di belakang Masjid Besar Bujang Salim.
Makam salah seorang pahlawan rakyat Aceh itu sering diziarahi berbagai kalangan dari sejumlah daerah. Gambar Bujang Salim kini dipajang di ruangan Imum Chik Masjid Bujang Salim. Di bagian depan gambar berbingkai itu tertulis, “Alm. Budjang Selamat (Teuku Rhi Budjang, Teuku Bujang). Lahir 1891, meninggal Rabu, 14 Januari 1959”.
Kata Imum Chik Masjid Bujang Salim, Teungku Zaunuddin Basyah, “Salim itu bahasa Arab, jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, salim bermakna ‘selamat’. Makanya masjid ini diberi nama Masjid Bujang Salim, nama perintisnya”.[http://sumaterapost.com]
loading...
Post a Comment