AMNews - Setelah sempat tenggelam, wacana referendum di Aceh kembali muncul. Bukan dari eks Panglima GAM Muzakir Manaf atau Mualem. Kini datang dari DPRK se-kabupaten kota di Aceh.
Wacana itu mengemuka dalam rapat koordinasi antara Komisi I DPR Aceh dengan Komisi A DPRK se-Aceh terkait dengan kondisi politik dan evaluasi 14 tahun perdamaian Aceh di gedung DPR setempat di Banda Aceh, Rabu 19 Juni 2019.
Rapat dipimpin Ketua Komisi I DPRA Azhari Cage didampingi Abdullah Saleh, Buhari Selian dan sejumlah anggota Komisi I DPRA lainnya.
Azhari Cage menyebutkan, dalam rapat tersebut pihaknya bersama pimpinan Komisi A DPRK se-Aceh menyepakati tiga hal yang harus segera ditindaklanjuti, salah satu soal referendum.
"Hal paling pertama yaitu Komisi A DPRK se-Aceh harus mengadakan paripurna untuk mengeluarkan keputusan, mendesak pemerintah pusat untuk menuntaskan implementasi MoU Helsinki dan Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA), jika tidak dituntaskan segera, maka Aceh akan mengambil langkah-langkah konkrit untuk melaksanakan referendum," kata Azhari.
Dia menjelaskan, rapat paripurna setingkat DPRK harus segera dilaksanakan. Oleh karena itu, keputusan untuk mendesak agar MoU Helsinki dan UUPA dituntaskan segera bisa dilakukan.
Azhari menyebutkan, poin ke dua yang disepakati dalam rapat tersebut adalah Komisi I DPRA perlu mengadakan dengar pendapat dengan tokoh-tokoh Aceh yang melibatkan semua elemen, termasuk ulama, akademisi dan tokoh GAM.
Rapat tersebut, kata Azhari, akan menjadi acuan arah kebijakan DPR Aceh dalam mendesak pemerintah pusat untuk menuntaskan MoU Helsinki dan UUPA.
"Adapun poin ke tiga yakni mendesak pemerintah Aceh dan DPRA untuk membentuk badan percepatan penyelesaian dan implementasi MoU Helsinki dan UUPA," sebut Azhari.
Dalam kesempatan itu, politikus Partai Aceh ini menuding bahwa pemerintah pusat tidak komit dalam menuntaskan perjanjian damai itu. Buktinya, setiap komunikasi yang dilakukan antara Aceh dan pusat selalu mandek.
"Sudah 14 tahun, baru empat poin perjanjian yang selesai yaitu Lembaga Wali Nanggroe, Otsus Aceh dan pembentukan partai lokal," kata dia.
Sementara, Wakil Ketua Komisi I DPRA Abdullah Saleh mengatakan bahwa untuk melakukan referendum sulit terjadi, jika tak memiliki alasan yang jelas.
"Jika butir-butir MoU dan UUPA ini tidak diselesaikan maka akan menjadi alasan kita untuk melakukan referendum," kata Abdullah Saleh.
Abdullah Saleh yakin, jika butir-butir MoU dan UUPA dikhianati oleh pemerintah pusat, maka Uni Eropa akan mendukung Aceh untuk referendum.
"Karena Uni Eropa terlibat dalam perjanjian itu, demikian juga negara-negara di Asia, seperti Jepang dan Australia yang ikut membantu Aceh saat gempa dan Tsunami 2004," katanya. []
Wacana itu mengemuka dalam rapat koordinasi antara Komisi I DPR Aceh dengan Komisi A DPRK se-Aceh terkait dengan kondisi politik dan evaluasi 14 tahun perdamaian Aceh di gedung DPR setempat di Banda Aceh, Rabu 19 Juni 2019.
Rapat dipimpin Ketua Komisi I DPRA Azhari Cage didampingi Abdullah Saleh, Buhari Selian dan sejumlah anggota Komisi I DPRA lainnya.
Azhari Cage menyebutkan, dalam rapat tersebut pihaknya bersama pimpinan Komisi A DPRK se-Aceh menyepakati tiga hal yang harus segera ditindaklanjuti, salah satu soal referendum.
"Hal paling pertama yaitu Komisi A DPRK se-Aceh harus mengadakan paripurna untuk mengeluarkan keputusan, mendesak pemerintah pusat untuk menuntaskan implementasi MoU Helsinki dan Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA), jika tidak dituntaskan segera, maka Aceh akan mengambil langkah-langkah konkrit untuk melaksanakan referendum," kata Azhari.
Dia menjelaskan, rapat paripurna setingkat DPRK harus segera dilaksanakan. Oleh karena itu, keputusan untuk mendesak agar MoU Helsinki dan UUPA dituntaskan segera bisa dilakukan.
Azhari menyebutkan, poin ke dua yang disepakati dalam rapat tersebut adalah Komisi I DPRA perlu mengadakan dengar pendapat dengan tokoh-tokoh Aceh yang melibatkan semua elemen, termasuk ulama, akademisi dan tokoh GAM.
Rapat tersebut, kata Azhari, akan menjadi acuan arah kebijakan DPR Aceh dalam mendesak pemerintah pusat untuk menuntaskan MoU Helsinki dan UUPA.
"Adapun poin ke tiga yakni mendesak pemerintah Aceh dan DPRA untuk membentuk badan percepatan penyelesaian dan implementasi MoU Helsinki dan UUPA," sebut Azhari.
Dalam kesempatan itu, politikus Partai Aceh ini menuding bahwa pemerintah pusat tidak komit dalam menuntaskan perjanjian damai itu. Buktinya, setiap komunikasi yang dilakukan antara Aceh dan pusat selalu mandek.
"Sudah 14 tahun, baru empat poin perjanjian yang selesai yaitu Lembaga Wali Nanggroe, Otsus Aceh dan pembentukan partai lokal," kata dia.
Sementara, Wakil Ketua Komisi I DPRA Abdullah Saleh mengatakan bahwa untuk melakukan referendum sulit terjadi, jika tak memiliki alasan yang jelas.
"Jika butir-butir MoU dan UUPA ini tidak diselesaikan maka akan menjadi alasan kita untuk melakukan referendum," kata Abdullah Saleh.
Abdullah Saleh yakin, jika butir-butir MoU dan UUPA dikhianati oleh pemerintah pusat, maka Uni Eropa akan mendukung Aceh untuk referendum.
"Karena Uni Eropa terlibat dalam perjanjian itu, demikian juga negara-negara di Asia, seperti Jepang dan Australia yang ikut membantu Aceh saat gempa dan Tsunami 2004," katanya. []
loading...
Post a Comment