Halloween Costume ideas 2015
Latest Post

Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo
AMP - Nurdin Ismail alias Din Minimi bersama 120 anggota kelompoknya telah menyerahkan diri. Hal ini dilakukan setelah Kepala BIN Sutiyoso melakukan negosiasi di Aceh pada 28 Desember 2015 lalu.

Setelah menyerahkan diri, Din Minimi mengajukan sejumlah tuntutan. Salah satunya adalah permintaan amnesti kepada Presiden Joko Widodo.

Hal ini kemudian disampaikan Sutiyoso kepada Presiden Jokowi, Menkumham Yassona Laoly dan Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin.

Menanggapi hal ini, Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo memilih untuk tidak mengomentari perihal amnesti yang diajukan oleh Din Minimi.

“Soal Din Minimi kami menyampaikan bahwa akan ada amnesti. Saya tidak berkomentar apapun juga. Karena itu yang menentukan presiden,” ucap Jenderal Gatot Nurmantyo, Ambon, Jumat (01/01/2016).

Terlepas persoalan amnesti yang diberikan kepada Din Minimi, Panglima TNI memandang penyerahan diri Din Minimi ini sebagai satu langkah positif.

“Tapi tentunya bagi rekan-rekan yang sadar dan ingin kembali ke Ibu Pertiwi sebagai satu hal yang sangat baik sekali,” ucap Jenderal Gatot.

Din Minimi adalah kelompok bersenjata yang paling dicari di Aceh. Dia telah bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sejak 1997.

Dirinya kembali terkenal setelah muncul pada harian terbitan lokal pada 11 Oktober 2014. Ketika itu, dia yang ditemani dengan dua anak buahnya berpose sembari mengangkat senapan AK 47. [PM]

AMP - Beragam pemberontakan yang muncul di Nusantara ini memang tak heran, ada kelompok yang memperjuangkan Agama dan ada juga yang ingin pisah diri dari Indonesia, begitu juga Perjuangan GAM di Aceh yang kandas sebatas nota Kesepahaman MoU Helsinki.

Munculnya Din Minimi bukan mengharapkan kemerdekaan melainkan mengharapkan kesejahteraan dan juga keadilan bagi Eks kombatan GAM dan anak Yatim korban konflik yang akhirnya Din Minimi menyerahkan diri kepada Kepala BIN dengan mendapatkan amnesty dari Presiden jokowi.

Namun kemuliaan perjuangan bisa dikatakan pada para pembela agama yaitu seperti Santoso Poso dan jika perjuangan yang sampai sekarang belum ada perdamaian dan tetap menginginkan kemerdekaan ya salah satunya kita bisa lihat kelompok OPM di Papua.

Pemerhati kontrateroris Harits Abu Ulya, mengatakan dalam kasus gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) terlihat pemerintah tidak adil dalam memberikan fokus perhatian.

"Kalau pemerintah bisa gerakkan Densus plus lebih dari seribu personel Brimob dan satuan lainnya untuk kejar jaringan teroris Santoso Cs kenapa tidak dilakukan hal yang sama terhadap kelompok separatis Papua?" ujar Harits.

Dia menambahkan, pemerintah harusnya lebih tegas dalam kasus tantangan terbuka OPM kepada TNI dan Polri. "Sebab, OPM lebih terorganisir, dengan visi politik yang jelas dan ada unsur-unsur asing backup. Jika dibiarkan maka akan berpotensi melahirkan disintergrasi secara serius," sambungnya.

Harits menegaskan, skala ancaman teroris OPM jauh lebih serius dibandingkan jaringan teroris Santoso di Poso. Menurutnya, TNI sangat bisa masuk untuk operasi di Papua, karena sudah masuk ranah kedaulatan.

"Kalau pemerintah serius, ya Presiden tinggal keluarkan Perpres untuk TNI agar take over sepenuhnya. Tapi sering kali kepentingan politik yang tidak jelas menjadi faktor kasus OPM terkesan diambangkan," tutur Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) itu.

Sebelumnya, kelompok gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Puron Wenda dan Enden Wanimbo yang bermarkas di Lany Jaya, Papua menantang perang secara terbuka terhadap TNI, Polri dan masyarakat non Papua.

Perang terbuka itu, kata Enden, untuk menyatakan ketegasan bahwa perjuangan Papua merdeka tetap menjadi harga mati. Mereka pun menolak segala bentuk dialog yang ditawarkan pemerintah.[RED]

AMP - Pimpinan Dayah Mishrul Huda Malikussaleh, Gampong Lamjamee, Aceh, Tgk Rusli Daud mengatakan umat Islam ibarat tubuh dimana harus saling menjaga kasih sayang dan persaudaraan antara satu dengan yang lainnya. Karenanya, di antara sesama umat Islam haruslah saling menguatkan, jangan ada yang menyalahkan sesamanya.

Umat Islam juga hendaknya tidak saling mendengki dan membenci, serta tidak saling mengkhianati dan menjatuhkan. Menurut dia, saat ini umat Islam khususnya di Aceh sedang memasuki bulan memperingati maulid Nabi Muhammad SAW. Peringatan tersebut juga harus mampu mencontoh Rasulullah SAW. 

Umat Islam jangan hanya menjadi pelaksana Maulid Nabi saja, tetapi juga harus bisa mengikuti akhlak Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari. 

“Jangan hanya jadi maulidiun saja. Tiap tahun peringati maulid, tapi akhlak‎ Rasulullah belum mewarnai diri kita sebagai umatnya,” ujarnya seperti dikutip dari republika.co.id, Jumat (1/1/2016).

Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PWNU) Kota Banda Aceh ini mengatakan jika ingin maju dan berhasil dalam berbagai bidang, maka hal terpenting yang perlu menjadi perhatian bersama adalah umat Islam di Aceh jangan lagi saling tuding sesama, apalagi sampai menjatuhkan antara satu dengan lainnya. 

Rusli mengajak umat Islam di Aceh untuk saling mengintrospeksi kekurangan dan kesalahan diri masing-masing. Mulailah dari diri kita, anak-anak, keluarga, dan orang terdekat dengan kita. 

“Jangan terus menuduh orang lain salah dan tidak benar. Karena jika demikian, hidup tidak berkah karena kita terlalu sering melihat aib orang lain sehingga lupa kesalahan sendiri,” jelasnya.[ROL]


Perwira dan Bintara Polisi Tertangkap Usai Nyabu oleh tribunnews
AMP - Tribunnews.com menampilkan kembali berita video yang menyita perhatian pengunjung portal berita ini sepanjang 2015, dengan topik Video Populer Tahun 2015.

Di antarnya berjudul Perwira dan Bintara Polisi Tertangkap Usai Nyabu.

Satu Perwira aktif dan satu anggota Bintara aktif diketahui ikut terjaring dari Operasi Antic yang dilakukan Jajaran Direktorat Reserse Narkoba (Ditresnarkoba) Polda Kepri, di eks Hotel Rasita Nagoya Batam Kepulauan Riau.

Kedua anggota polisi ini didapati dalam keadaan mabuk yang diduga usai mengonsumsi narkoba jenis sabu-sabu.

Meski sempat terjadi perlawanan saat hendak diamankan, namun perwira tersebut akhirnya mau digiring ke Mapolda Kepri dan diserahkan ke Propam Polda Kepri.

Belum diketahui secara jelas identitas kedua oknum polisi tersebut, namun dari informasi yang berhasil dihimpun di lapangan Perwira tersebut berpangkat Kompol dengan inisial Ir yang saat inibertugas di Polda Kepri.

Sementara satu oknum anggota polisi lagi berpangkat Brigadir yang merupakan bawahan dari oknum Perwira tersebut.

Direktur Ditresnarkoba Polda Kepri Kombes Wiyarso enggan berkomentar banyak terkait penangkapan tersebut.

Namun Wiyarso mengaku kedua oknum anggota polisi tersebut akan diserahkan ke Propam Polda Kepri untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.

“Kalau mau tahu lebih lanjut bisa langsung konfirmasi dengan Kabid Propamnya Polda Kepri ya,” kata Wiyarso, Kamis (12/11/2015).

Wiyarso mengaku kedepan, Operasi Antik ini akan terus dilakukan hingga akhir Desember 2015.[TRB]

AMP - Sebelum Keureotoe dibagi-bagi kaphe-kaphe Belanda menjadi banyak daerah dan diletakkan di bawah (onder) afdeling Lhok Sukon, kisahnya dimulai ketika Cut Nyak Asiah menghembuskan nafas terakhirnya. Melihat Keureoteo sudah tidak dipimpin oleh orang yang kuat dan berpengaruh terhadap rakyatnya, maka kaphe-kaphe Belanda yang memang telah meleleh air liurnya guna menduduki Keuroetoe, melakukan praktek adu domba dan memecah belah, alias devide et impera.  Pemerintah kaphe-kaphe Belanda mencoba menaikkan Teuku Syamsarif (dua dari Cut Meutia) ke tampuk kekuasaan mengganikan ibunya, Nyak Asiah. Orang yang diangkat sebagai kepala negeri di Keureoteo sudah diketahui sebagai orang yang tak disenangi rakyat. Bahkan tokoh yang dikenal flamboyant melankolis ini  adalah orang yang rela bekerja sama dengan kaphe-kaphe Belanda, dan diangkat sebagai uleebalang.
 
Teuku Muhammad, adiknya yang kini telah menikah dengan Cut Meutia menolak pengangkatan Teuku Syamsarif di bawah pengaruh kaphe-kaphe Belanda, alias diangkat sebagai boneka kaphe-kaphe laknatullah. Teuku Syamsarif yang dibenci rakyat, rupanya tak hendak surut langkah dari jabatan barunya. Maka dalam waktu sekejap Teuku Muhammad  bersepakat dengan rakyat, melawan kekuasaan Teuku Syamsarif yang juga ternyata punya pengikut setia di pihaknya. Inilah yang dimaksud dengan politik “devide et impera”. Antara pengikut Teuku Muhammad alias Cik Di Tunong dan pengikut Teuku Syamsarif bertempur dan kaphe-kaphe Belanda sebagai jurinya. Itulah yang menyebabkan  kaphe-kaphe Belanda dengan mudah dapat menguasai daerah ini. Menyulapnya menjadi  daerah- daerah kecil.

 Episode berikutnya adalah berjuangnya Teuku Muhammad, adik Teuku Syamsarif yang telah menjadi boneka di Keuroetoe, dan mereka kini berjuang di gunung-gunung. Kejadian Aneh terjadi seputar perang  Teuku Muhammad alias Cik Di Tunong dan istrinya Cut Meutia saat melawan kaphe-kaphe Belanda.  Keuroetoe kini telah hilang dari ingatan mereka berdua. Mereka kini berjuang di sebuah hamparan tanah yang berbukit-bukit, bergunung dan hutan rimba yang lebat dan luas. Gerak gerik mereka tak kaku dan tak dibatasi oleh Keureotoe yang  sempit, padat penghuninya dan ramai oleh perdagangan yang oleh kaphe-kaphe Belanda dinamakan “Keujreun Lalat”, atau Kampung lalat.  Berada hampir mendekati wilayah Aceh Selatan, Cik Di Tunong dan Cut meutia bergerilya  di tengah hutan lebat dan negeri Alas serta gayo yang sunyi dan terasing.
 
Cik Tunong atau Cik DI Tunong mula-mula melakukan perlawanan dengan serangan gabungan antara pasukannya dengan pasukan Teuku Ben Daud, ayahandanya sang istri, Cut meutia. Juga ia melakukan kerjasama dengan Sultan dan Panglima Polem di Pasee dan Aceh Utara, sebelum ia pindah ke Alas dan Gayo.
 
Pagi terus merangkak menuju siang hari yang makin terik dan panas. Segerombolan marsose terlihat oleh Cik Di Tunong di sebuah hutan.  Namun Cik DiTunong tiba-tiba melihat kabut tebal turun dan hujan besar meliputi daerah itu. Akan tetapi Cik Di Tunong tak mengalami cuaca ekstrim seperti itu. Melihat 16 marsose yang tiba-tiba ditimpa hujan lebat yang turun sangat deras sekali, Cik Di Tunong dan pasukan mendekati daerah itu. Terlihat para marsose sedang berlari ke sana ke mari ingin menyelamatkan diri. Pakaian mereka basah kuyup. Begitu melihat pasukan marsose begitu banyak, Cik Di Tunong dan anak buahnya menyarangkan tembakan ke arah mereka.  membatu para mujahidin untuk melakukan serangan.

 
Cik Di Tunong tak lupa  berdoa kepada Allah bisa dimudahkan melakukan penyerangan yang sistematis dan saatnya paling tepat untuk menghabiskan marsose-marsose itu .  Tembakan berentet memasuki daerh yang disirami hujan lebat dan satu persatu pasukan kaphe-kaphe Belanda bertumbangan sujud ke tanah. Keenam belas marsose itu tewas dalam waktu tak lebih 15 menit. “Alhamdulillah” CikDI Tunong dan pasukan segera melakukan sujud syukur ke tanah, menyatakan bahwa mereka telah ditolong oleh kekuatan-kekuatan Allah yang tak terlihat.
 
Dalam waktu bersamaan, Cik Di Tunong pun berlai sekencang-kencangnya ke lain daerah. Ya, ini daerah berada di utara wilayah dimana hujan lebat turun dengan derasnya. Di sini Cik Di Tunong berjumpa dengan sepasukan marsose Belanda yang mengadakan patrol di hutan-hutan lebat dekat kaki gunung Leuser, tepatnya di wilayah Blangkejeren. Terjadi pertempuran antara Cik Di Tunong dan marsose kaphe-kaphe Belanda di situ. Ikut Cut Meutia dengan memakai cadar yang melilit hitam di wajahnya. Perang tanding satu lawan satu di tengah hutan lebat di Blangkejeren. Pertempuran di atas daun-daun kering yang merupakan humus-humus hutan lebat di kaki gunung Leuser itu berlangsung seru. Cik Di Tunong dan Cut Meutia berhasil melumpuhkan lawannya dengan menyabetkan kelewang panjang mereka ke leher dan dada marsose yang biasanya sangat galak, cepat dan jarang terkalahkan. Tapi Cik Di Tunong dan Cut Meutia dapat mengatasi dua dari enam marsose busuk dan laknat itu. Hanya dalam sekejap, ke enam marsose kaphe-kaphe Belanda itu berhasil dilumpuhkan, dan Cik Di Tunong dan Cut Meutia pulang dengan penuh gembira.
 
Dan itu belum peang yang lebih seru dai perang-perang sebelumnya. Cik Di Tunong bisa hadir di empat titik dalam waktu berlainan guna menghadapi kaphe-kaphe Belanda di sepanjang kaki gunung Leuser bersama Cut Meutia.
 
Zentgraaff sempat berkomentar tentang kelihaian dan kecakapan perang Teuku Cik Di Tunong dan Cut meutia ini: "Ini memang sebuah kisah menakjubkan. Cik DI Tunong bisa melakukan perang dengan secepat kilat, mendadak berada di berbagai medan tempur, seperti kilat yang menyambar cepat, ia lakukan serangan-serangan gencar dan sengit. Belum usai perang di suatu Blangkejeren, tiba-tiba ia sudah hadir di daerah Bener Meriah. Selesai menyikat kaphe-kaphe Belanda di Bener Meriah, tiba-tiba Cik Di tunong dan Cut Meutia telah berada pula di  Kalpinang. Dan tiba-tiba pula mereka berdua sudah berada di Atu Peltak.  Untuk terakhir pasangan ini kabur dan pulang ke tempat persembunyian mereka, melakukan istirahat panjang setelah lelah bertempur bagai robot serba guna yang tak pernah kenal lelah dan slalu jitu menembak dan melakukan serangan mendadak.”

Dan tak lupa pula, Cik Di Tunong dan Cut Meutia turun ke Keuroetoe, melakukan serangan terhadap pasukan Teuku Syamsarif dan mengalahkan mereka dengan telak. Lalu Cik Di Tunong dan Cut Meutia lari sekencang-kencangnya melakukan gerakan pulang ke daerah Alas – Gayo dan beristirahat panjang untuk mempersiapkan perang dan serangan selanjutnya. Pasukan teuku Symasarif dan pasukan kaphe-kaphe Belanda yang diperbatukan mengalami sock dan tekanan batin yang serius, karena diserang secara mendadak dan cepat oleh Cik Di Tunong dan Cut Meutia.                               
 
Mayat-mayat marsose dan pasukan Teuku Symasarif bertumbnagan tergeletak di tanah. Ketika Cik Di Tunong dan Cut Meutia melarikan diri, sisa-sisa pasukan marsose kaphe-kaphe Belanda kalah kencang berlari megejar mereka. Sia-sia saja mereka mengejar karena musuh dengan cepat menghilang di balik kelok-kelok jalan yang penuh liku dan berbatu. Jika Cik Di Tunong dan Cut meutia melakukan serangan balik, pasti marsose-marsose yang tersisa dan bernafsu mengejar mereka akan tewas semua. Karena serangan balik yang cepat dan tangkas tak akan mampu dihadapi oleh tentara secakap dan sekuat apapun. Nyawa akan terbang ke langit, dan Cik Di Tunong beserta Cut Meutia akan terus berlari dan berlari, melakukan gerakan pulang untuk beristirahat panjang. Sebuah kekuatn fisik dan kekuatan nafas yang jarang ditemukan pada mujahidin mujahidah Aceh di zaman manapun. Subhanallah! (Bersambung)[konfr]

Episode 96
                                                               Fragmen Kedua
                                  Perempuan-Perempuan Berani  Di Medan Pertempuran  Aceh
 

 “...Orang-orang yang menyakiti orang-orang beriman lelaki dan perempuan tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kesalahan dan dosa yang nyata...” (Qur-an, Al-Ahzab: 58)
AMP - Hingga detik ini, saat Suharto sudah menemui ajal dan dikuburkan di kompleks pemakaman keluarganya di Imogiri. Namun, perampokan atas seluruh kekayaan alam negeri Indonesia masih saja terus berjalan dan dikerjakan dengan sangat leluasa. Sederet fakta-fakta yang tak terbantahkan jika negeri ini tengah meluncur ke jurang kehancuran. Soeharto dianggap dalang dari itu semua.

Namun siapa sangka, walau sudah banyak sekali buku-buku ilmiah yang ditulis para cendekia dari dalam dan luar negeri tentang betapa bobroknya kinerja pemerintahan di saat Suharto berkuasa selama lebih kuarng 32 tahun, dengan jutaan fakta dan dokumen yang tak terbantahkan, namun nama Suharto masih saja dianggap harum oleh sejumlah kalangan.

Bahkan ada yang begitu konyol mengusulkan agar sosok yang oleh Bung Karno ini disebut sebagai Jenderal itu diberi penghargaan sebagai pahlawan nasional dan diberi gelar Guru bangsa. Walau menggelikan, namun begitulah kenyataannya.

Sebab itu, tulisan ini berusaha memaparkan apa adanya tentang Jenderal Suharto. Agar setidaknya, mereka yang menganggap Suharto layak diberi gelar guru bangsa atau pun pahlawan nasional, harus bisa bermuhasabah dan melakukan renungan yang lebih dalam, sudah benarkah tindakan tersebut.

Fakta sejarah harus ditegakkan, bersalah atau tidak seorang Suharto harus diputuskan lewat jalan hukum yakni lewat jalur pengadilan. Adalah sangat gegabah menyerukan rakyat ini agar memaafkan dosa-dosa seorang Suharto sebelum kita semua tahu apa saja dosa-dosa Suharto karena dia memang belum pernah diseret ke muka pengadilan.

Sejarah itu Bermula


Aceh, kenyataannya bukanlah wilayah yang NKRI pada awalnya, namun bergabung dengan Indonesia saat Agresi militer Belanda dan sekutu pada tahun 1947-1949. Kala seluruh wilayah NKRI dikuasai Tentara sekutu, para pemimpin Indonesia -yang dimaksud- Ir. Soekarno dan Mr. Sjafruddin Prawiranegara, hijrah ke Aceh. Ketika itu, Aceh belum wilayah NKRI.

Disanalah Bung Karno membakar semangat rakyat Aceh dengan pidatonya berapi-api di depan masjid raya Baiturrahman. Didasari persaudaraan se-muslim (Ukhwah Islamiyah), Para memimpin dan Ulama-ulama Aceh saat itu tergerak untuk membantu perjuangan Indonesia agar terlepas dari cengkeraman Belanda kembali.

Para pemimpin Aceh mulai membentuk suatu lembaga guna menggalang dana perjuangan RI, seluruh rakyat Aceh ikut andil mengumpulkan sumbangan dalam bentuk, Emas, Uang dan properti. Hingga terkumpullah dana yang sangat besar, selama Oktober-Desember 1949 terkumpul S$ 500 ribu. Saat itu, pemerintah Indonesia sudah nyaris bangkrut.

Tak hanya itu, kemudian rakyat Aceh mengumpulkan lagi 5 kilogram emas untuk membeli obligasi pemerintah untuk biaya kantor perwakilan Indonesia di Singapura, untuk Kedutaan Besar RI di India, serta biaya untuk L.N. Palar-duta besar Indonesia pertama di PBB (1950-1953)-di New York.

Ke mana saja uang S$ 500 ribu itu dibagikan? Antara lain untuk Angkatan Bersenjata (S$ 250 ribu), kantor pemerintah Indonesia (S$ 50 ribu), pengembalian pemerintah RI dari Yogya (S$ 100 ribu), dan S$ 100 ribu diserahkan kepada Mr. A.A. Maramis.

Ini belum lagi cerita dua pesawat pertama RI jenis Dakota yang juga dari sumbangan rakyat Aceh. Sekali lagi, saat itu Aceh (masih) bukan bagian NKRI. Sayangnya, semua itu berakhir dengan malapetaka.

Lalu, Apa kaitnya Aceh dengan Soeharto?

Catatan atas kejahatan HAM rezim Suharto juga dimulai dari wilayah paling barat negeri ini. Kejahatan HAM atas Muslim Aceh yang pertama kali diawali oleh VOC Belanda, diteruskan oleh rezim Orde Lama Soekarno, dan ditindas lebih kejam lagi di masa kekuasaan Suharto.

Bahkan di zaman Jenderal Suharto-lah, Aceh yang sangat berjasa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI—dari segi finansial, sebab itu juga Aceh disebut sebagai ‘Lumbung Uang RI’—justru dijadikan 'lapangan tembak', bernama Daerah Operasi Militer (DOM), 1989-1998.

Selama penerapan status DOM, Aceh telah berubah menjadi The Killing Field, dan keadilan pun pergi dari Bumi Para Ulama itu. Berbagai pola penyiksaan yang diterapkan militer, dari pembakaran dan penjarahan, hingga pelecehan seksual (bahkan perkosaan) sampai penghilangan hak hidup manusia.

Jika Kamboja di bawah rezim Pol Pot dikenal memiliki The Killing Fields atau Ladang pembantaian, maka di Aceh dikenal pula Bukit Tengkorak. Di Aceh, jumlah ladang pembantaian yang besar ada 35 titik, ini jauh lebih banyak ketimbang ladang pembantaian yang ada di Kamboja.

Dari jutaan kasus kejahatan HAM militer bersenjata di Aceh, ada 4 titik tragedi yang paling  dikenal, diantaranya; Pembantaian Teungku Bantaqiah, pemimpin dan santri Dayah (Pesantren) Babul Nurillah di Beutong Ateuh, 23 Juli 1999. Dalam peristiwa tersebut sebanyak 25 orang tewas dan 5 lainnya hilang.

Tragedi pemberondongan massal ke arah kerumunan warga di Simpang KKA, Aceh Utara. Koalisi NGO HAM Aceh mencatat sedikitnya 46 warga sipil tewas, 156 mengalami luka tembak, dan 10 orang hilang dalam peristiwa itu. Tujuh dari korban tewas adalah anak-anak.

Pembantaian di jembatan Krueng (Sungai) Arakundo, Idi Cut, Aceh Timur. Terakhir, Tragedi Rumoh Geudong, penyiksaan atas korban DOM di markas pos statis Kopassus, di Billie Aron, Geulumpang Tiga, Pidie, dari tahun 1990 hingga 1999.

Begitu banyak pameran kebiadaban yang ditimpakan terhadap Muslim Aceh oleh rezim bersenjata ABRI, sehingga jika dijadikan buku maka bukan mustahil, riwayat Tragedi Aceh akan menyamai tebalnya jumlah halaman koleksi perpustakaan Iskandariyah sebelum dibakar habis pasukan Mongol.

Kala itu, Kekejian benar-benar menemukan bentuknya di Serambi Mekkah. Pada masa-masa suram ini, hampir saban hari bisa dipastikan ada mayat yang dibuang di tepi jalan. Seperti kutipan testimoni Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM), T. Ibrahim Alfian kala itu mengungkapkan;

"Nuwun Sewu, Aceh itu terlalu besar sumbangannya bagi Republik ini. Kenapa dalam negeri pancasila ini semua bisa terjadi. Dan mengapa rakyat Aceh diperlakukan seperti itu? Itu kan bangsa kita sendiri! Ini tindakan yang fasistik, kejam, dan biadab. Mana hati nurani itu? Betul-betul saya sangat sedih. Apalagi karena saya tahu sejarah." (T. Ibrahim Alfian)

Sesungguhnya, pembantaian di Aceh bukanlah cerita baru, berbagai kisah memilukan yang menimpa masyarakat di Aceh selama kurun gelap sejarah perjalanan peradaban Aceh yang terjadi pada masa invasi Belanda, Jepang, juga Orde Lama dan Orde Baru.

Wilayah Aceh yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya, dengan minyak dan gas bumi. Sampai dengan akhir dasawarsa 1980-an, Aceh telah menyumbang lebih dari 30% total produksi ekspor migas Indonesia. Pada 1971 di Aceh Utara ditemukan cadangan gas alam cair (LNG) yang sangat besar.

Mobile Oil, perusahaan tambang AS, diberi hak untuk mengekploitasinya dan dalam enam tahun kemudian kompleks penyulingan KNG sudah beroperasi di dalam areal yang dinamakan Zona Industri Lhokseumauwe (ZIL). Di tempat yang sama, berabad lalu, di sinilah Kerajaan Islam pertama Samudera Pase berdiri, dan kini oleh Suharto diserahkan kekayaan alam negeri ini yang sungguh besar kepada AS.

Sebelumnya, di Aceh Timur, dalam waktu 30 tahun sejak 1961, Asamera, suatu perusahaan minyak Kanada, telah menggali tak kurang dari 450 sumur minyak. Sumber gas alam yang ditemukan di sekitar sumur-sumur itu lebih kaya dari persediaan gas alam di Aceh Utara. Produksi Pabrik Pupuk ASEAN di Aceh hampir 90 persen diekspor, dan dari kompleks petrokimia diharapkan penjualan kimia aromatik sebesar US$200 juta setahun.

Pabrik Kertas Kraft Aceh (KKA) juga sudah mulai memproduksi kertas karung semen sejak 1989. Dari penghematan impor pembungkus semen saja pemerintah sudah memperoleh laba US$89 juta setahun, sedang ekspor kertas semen menghasilkan US$43 juta. Pada 1983 Aceh menyumbang 11 persen dari seluruh ekspor Indonesia.

Suharto tahu betul jika kekayaan alam Aceh sungguh luar biasa. Sebab itu, dengan amat rakus rezim Orde Baru terus-menerus menguras kekayaan alam ini. Ironisnya, nyaris semua keuntungan yang diperoleh dari eksploitasi kekayaan alam Aceh ini dibawa kabur ke Jakarta.

Rakyat Aceh tidak mendapatkan apa-apa. Mereka tetap tinggal dalam kemiskinan dan kemelaratan. Pemerintah Jakarta bukannya mengembalikannya ke rakyat Aceh sebagai pemilik yang sah, tapi justru mengirim ribuan tentara untuk memerangi rakyat Aceh yang sudah tidak berdaya.

Dalam dasawarsa 1990-an, dari 27 provinsi di Indonesia, Aceh menempati posisi provinsi ke-7 termiskin di seluruh Indonesia. Lebih dari 40 persen dari 5.643 desa di Aceh telah jatuh ke bawah garis kemiskinan. Hanya 10 persen pedesaan Aceh menikmati aliran listrik. Di kawasan ZIL hanya 20% penduduk yang mendapat saluran air bersih. Yang lain mendapat pasok air dari sumur galian yang sering tercemar oleh limbah zona industri.

Peneliti AS, Tim Kell, dalam laporannya menulis, “Friksi dan perbenturan nilai pun terjadi antara penduduk asli dan pendatang. Para migran menenggak bir, berdansa-dansi, melambungkan harga-harga di pasar. Mereka hidup mewah di kolam kemiskinan rakyat Aceh. Limbah industri mencemari tanah dan masuk ke sumur-sumur penduduk asli. Polusi meluas ke laut, merusak lahan nelayan.

Pengangguran meningkat. Pemiskinan berlanjut. Industrialisasi gagal merombak struktur perekonomian rakyat Acehsecara fundamental, karena ia memang tak pernah menjadi bagian dari perekonomian asli rakyat Aceh”. Inilah salah satu “hasil” pembangunan rezim Suharto di Aceh.

Secara obyektif Tim Kell melanjutkan, “Pada tahun-tahun 1940-an para ulama PUSA sudah kecewa atas tak diterapkannya hukum Islam di seluruh Indonesia. Pada 1950, status Aceh sebagai provinsi dicabut dan dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Pemerintahan sipil, pertahanan, dan perekonomian, diambil dari ruang lingkup pengaruh PUSA. Kekecewaan atas perlakuan semacam ini, dan kecemasan akan kehilangan identitasnya, mengantar Aceh ke pemberontakan 1953 di bawah pimpinan Daud Beureueh.”

Pakar HAM Nasional, Otto Syamsuddin Ishak dalam buku 'Aceh Merdeka dalam Perdebatan' menulis tertimoninya: "Aceh hanyalah sebuah sekoci dari 27 buah sekoci dalam kapal besar indonesia. Kalaulah memang sekoci itu tidak bisa dipakai lagi, tidak etis bila kapten dan awak kapal ramai-ramai menghancurkan sekoci itu. Dan jangan pula sekocinya diperlakukan tidak adil jika keadilan tidak bisa diberikan."

Di bawah rezim Suharto, jenderal ini membawa ideologi pembangunan dan stabilitas politik, dan dengan kacamata kuda yang “sentralistik-Majapahit”, Suharto mengangap sama semua orang, semua daerah, semua suku, semua organisasi, termasuk Aceh. Suharto menganggap semuanya itu sama saja dengan “Majapahit”. Status “istimewa” sebagai negeri Islam Aceh pun dihabisi.

Otonomi Aceh di bidang agama, pendidikan, dan hukum adat, sebagaimana tercantum dalam UU No.5/1974 tentang Dasar-Dasar Pemerintahan Daerah, pada kenyataannya keistimewaan Provinsi Aceh hanyalah di atas kertas. Gubernur dipilih hanya dengan persetujuan Suharto, Bupati hanya bisa menjabat dengan restu Golkar.

Pelecehan Aceh terus berlanjut. Aceh bahkan dianggap tak cukup terhormat untuk menjadi tuan rumah suatu Kodam. Komando Daerah Militer dipindahkan ke Medan. Pada 1990, Gubernur Ibrahim Hasan yang notabene direstui Suharto mewajibkan semua murid sekolah dasar Islam untuk mampu membaca Al-Qur’an. Peraturan ini dikecam oleh para pejabat di Jakarta. Bahkan Depdikbud mengirim tim untuk menyelidiki “penyelewengan” tersebut.

Beberapa bulan kemudian pejabat Dikbud kabupaten melonggarkan peraturan yang melarang murid perempuan memakai jilbab ke sekolah. Kepada murid yang ingin berjilbab diizinkan untuk menyimpang dari peraturan tersebut.

Pemerintah Jakarta bereaksi keras atas pelonggaran ini. Peraturan nasional harus dipatuhi secara nasional, tanpa kecuali. Dan jilbab diharamkan oleh rezim Suharto di Aceh.

Ted Robert Gurr dalam "Why Men Rebel? (Mengapa Orang Berontak?)" juga menulis bahwa orang akan berontak jika way of life-nya terancam oleh perkembangan baru. Aceh telah kehilangan sumber alamnya, mata pencariannya, gaya hidupnya. Orang Aceh kehilangan suaminya, anak-anaknya, kehilangan harapannya, kehilangan segalanya.

Kendati tidak terbantahkan, hingga kini masih ada orang yang berpura buta bertanya, “Mengapa rakyat Aceh berontak?” Aceh jelas telah menjadi tumbal rezim Orde Baru, Setelah diperkosa habis-habisan Jakarta. Siapa pun yang punya hati nurani jelas mendukung sikap rakyat Aceh yang menarik kembali kesediaannya bergabung dengan Republik Indonesia.

Sebab itu H.M Amien Rais (1999) pernah menyatakan:
“Kalau boleh berterus terang, Aceh ini sebagai salah satu daerah pemegang saham terbesar di Republik Indonesia. Maka sebagai pemegang saham terbesar, jika Aceh menarik sahamnya, tentu RI akan guncang seguncang-guncangnya. Apalagi kalau pemegang saham yang kecil-kecil pun ikut menjadi makmum, tentu kita akan mengucapkan: Innalillahi wa inna ilaihi rajiun buat Republik Indonesia.”

atjehcyber.net 

AMP -  Din Minimi memang sudah menjadi populer pasca di cap sebagai gerombolan bersenjata oleh aparat keamanan.

Dikutip dari mediaaceh.com, Isu seputar turun gunungnya Din Minimi ternyata masih menarik untuk dikupas. Bahkan di sosial media Facebook kini muncul halaman bernama “Saudara Din Minimi 2017″.

Pantauan mediaaceh.co, pada halaman tersebut tercantum foto Din Minimi yang sepertinya telah diedit. Pada foto itu Din Minimi terlihat memakai pakaian dinas kepala daerah berwarna putih dengan topi lambang garuda.

Foto yang berlatar peta Aceh ini juga bertuliskan kalimat ‘Coming Soon..2017.” Belum jelas siapa yang mengelola halaman tersebut serta apa tujuannya. Ini karena informasi seputar halaman ini belum terisi. Namun, yang pasti foto ini terlihat cukup lucu.

Hingga Jumat 1 Januari 2016, baru 3 Facebooker yang menyukai halaman ini.[Red]

AMP - Berseragam loreng lengkap dengan kopel dan senjata, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Letjen Prabowo Subianto datang ke Wisma Negara, pada 22 Mei 1998. Misi Prabowo jelas, ingin menghadap Presiden BJ Habibie .

Prabowo datang dengan dua kendaraan, salah satunya ditumpangi oleh pengawal. Anak begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo itu ingin menanyakan jabatannya yang baru saja dicopot. Sebelum bertemu Habibie , Prabowo diperiksa secara ketat, senjata yang dibawa juga dilucuti oleh pasukan pengawal presiden.

Pencopotan dilakukan karena adanya informasi pergerakan pasukan di bawah kendali Prabowo. Adalah Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto yang melaporkan hal tersebut. Tanpa berpikir panjang Habibie langsung mengambil keputusan.

Setelah diberi izin masuk ke dalam ruangan, keduanya yang memang dikenal akrab saling peluk dan mencium pipi. Kemudian, sempat terjadi dialog dalam bahasa Inggis, sebelum akhirnya Prabowo berbicara dengan nada tinggi.

"Ini penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya Presiden Soeharto . Anda telah memecat saya sebagai Pangkostrad," tegas Prabowo dikutip dalam buku Prabowo: Ksatria Pengawal Macan Asia karya Femi Adi Soempeno dan Firlana Laksitasari.

Habibie menjawab, "Anda tidak dipecat, tapi jabatan anda diganti."

Prabowo balik bertanya, "Mengapa?" Habibie kemudian menjelaskan bahwa ia menerima laporan dari Pangab bahwa ada gerakan pasukan Kostrad menuju Jakarta, Kuningan, dan Istana Negara.

"Saya bermaksud mengamankan Presiden," kata Prabowo.

"Itu adalah tugas Pasukan Pengamanan Presiden yang bertanggung jawab langsung pada Pangab dan bukan tugas anda," jawab Habibie .

"Presiden apa anda? Anda naif? jawab Prabowo dengan nada marah.

"Masa bodoh, saya Presiden dan harus membereskan keadaan bangsa dan negara yang sangat memprihatinkan," jawab Habibie .

"Atas nama ayah saya, Prof Soemitro Djojohadikusumo dan ayah mertua saya Presiden Soeharto , saya minta Anda memberikan saya tiga bulan untuk tetap menguasai pasukan Kostrad," kata Prabowo.

Habibie menjawab dengan nada tegas, "Tidak! Sampai matahari terbenam anda sudah harus menyerahkan semua pasukan kepada Pangkostrad yang baru. Saya bersedia mengangkat anda menjadi duta besar di mana saja!"

"Yang saya kehendaki adalah pasukan saya!" jawab Prabowo.

"Ini tidak mungkin, Prabowo," tegas Habibie .

Ketika perdebatan masih berlangsung seru, Habibie kemudian menuturkan bahwa Letjen Sintong Panjaitan masuk sembari menyatakan kepada Prabowo bahwa waktu pertemuan sudah habis.

"Jenderal, Bapak Presiden tidak punya waktu banyak dan harap segera meninggalkan ruangan," kata Letjen Sintong Panjaitan yang saat itu menjabat sebagai penasihat militer presiden.

Setelah itu Prabowo menempati posisi baru sebagai Komandan Sekolah Staf Komando (Dansesko) ABRI menggantikan Letjen Arie J Kumaat. Prabowo mengisahkan serah terima jabatan dilakukan secara sederhana dan tertutup.

"Belum pernah ada perwira tinggi dipermalukan institusinya, seperti yang saya alami," kata Prabowo.

Selanjutnya, Prabowo harus menjalani sidang Dewan Kehormatan Perwira. Prabowo disinyalir terlibat dalam penculikan aktivis saat masih menjabat sebagai Danjen Kopassus. 15 Perwira tinggi bintang tiga dan empat mengusulkan ke Pangab agar Prabowo dipecat.

"Saya paham, dewan ini sudah bersidang dengan susah payah selama sebulan dan orang-orangnya berpengalaman. Maka, saya (acc) setuju," kata Wiranto .

Tamatlah sudah karier Prabowo.[MDK]

AMP - Nurdin Bin Ismail alias Din Minimi sang orator pimpinan kelompok bersenjata yang diduga kuat oleh Polda Aceh dalang dari pembunuhan dua anggota TNI.

Berbagai upaya mengungkap kasus dibalik siapa yang sebenarnya pembunuhan 2 anggota TNI di Nisam Antara telah dilakukan oleh Tim Polda Aceh, dari melakukan penyisiran dan juga menangkap bahkan menembak anggota Din Minimi hingga tewas.

Siapa sebenarnya Din Minimi?, itulah yang menjadi tanda tanya besar, dia sang power yang menuntut pemerintah Aceh tentang kesejahteraan rakyat Aceh berujung dengan berbagai klaim dugaan tindakan Kriminal.

Namun berbagai upaya telah dilakukan oleh Danrem Aceh Timur, bisa dikatakan dari pihak TNI, tapi sialnya, Din Minimi yang hampir bisa diluluhkan oleh para TNI tersebut akhirnya menjadi liar kembali akibat pengejaran bahkan pemberondongan yang di lakukan oleh aparat kepolisian.

Langkah final pun Tiba, sang mantan Gubernur DKI dan juga TNI berhasil membujuk Din Minimi kembali kekeluarganya bahkan dia mendapat amnesti dari presiden. 

Namun hal tersebut dikritik oleh sejumlah LSM bahkan Kapolri, tapi apa daya pion lawan raja, Din Minimi sekarang bak pahlawan dari hasil perdamaian antara Pusat dan dia, tapi tidak dengan pemerintah Aceh dan Polri.

Bagaimana tentang tindak lanjut tuntutannya kedepan, nanti kita lihat.?

Seperti dilansir Portalsatu.com, Usai menjemput kelompok bersenjata Nurdin bin Ismail alias Din Minimi di pedalaman Aceh Timur hingga diserahkan kepada keluarganya, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso menganggap ibu Din Minimi sebagai ibunya sendiri.

Hal ini disampaikan Ketua Aceh Human Foundation, Abdul Hadi Abidin akrab disapa Adi Maros kepada portalsatu.com, Selasa, 29 Desember 2015 setelah menghadiri konferensi bersama sejumlah wartawan di Hotel Lido Graha Lhokseumawe.

“Setelah Bang Yos menyerahkan Din Minimi kepada kelurganya serta tidur bersama mereka satu malam. Bang Yos telah meyebutkan ibu Din Minimi sebagai mamaknya sendiri dan Din Minimi sebagai adiknya,” kata Adi Maros mengutip perkataan Sutiyoso.

Adi Maros menambahkan, saat penyerahan seluruh senjata yang ada pada kelompok tersebut, Din Minimi memerintahkan anak buahnya secara bergantian. Terakhir, dirinya juga menyerahkan senjata yang selama ini dipegangnya kepada mantan Gubernur DKI jakarta itu dengan isak tangis.

"Saya lihat setelah Bang Din menyerahkan (senjata), dirinya langsung memeluk Sutiyoso dengan erat sambil mengeluarkan air matanya dan Bang Din berkata 'Pak Sutiyoso jangan pergi meninggalkan saya',”  kata Adi Maros.

Mendengar perkataan tersebut, Bang Yos -sapaan Sutiyoso- pun sempat meneteskan air matanya. “Saya tersentuh, saya betul-betul ikhlas untuk Din Minimi,” kata Bang Yos kepada Adi Maros.

Adi Maros sangat mengapresiasi langkah Bang Yos yang telah berani pergi langsung menjumpai kelompok Din Minimi tanpa perlu pengawalan dan memakai senjata.

Diberitakan sebelumnya terkait proses penyelesaian persoalan kelompok bersenjata Nurdin Ismail alias Din Minimi awalnya ditangani oleh pihak Kepolisian dan TNI di Provinsi Aceh, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Letjen Purn Sutiyoso menyebutkan pihaknya turun langsung ke-Aceh sudah melaporkan kepada Presiden dan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait.[ANS]
loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget