AMP - Sebelum Keureotoe dibagi-bagi kaphe-kaphe Belanda menjadi banyak daerah dan diletakkan di bawah (onder) afdeling Lhok Sukon, kisahnya dimulai ketika Cut Nyak Asiah menghembuskan nafas terakhirnya. Melihat Keureoteo sudah tidak dipimpin oleh orang yang kuat dan berpengaruh terhadap rakyatnya, maka kaphe-kaphe Belanda yang memang telah meleleh air liurnya guna menduduki Keuroetoe, melakukan praktek adu domba dan memecah belah, alias devide et impera. Pemerintah kaphe-kaphe Belanda mencoba menaikkan Teuku Syamsarif (dua dari Cut Meutia) ke tampuk kekuasaan mengganikan ibunya, Nyak Asiah. Orang yang diangkat sebagai kepala negeri di Keureoteo sudah diketahui sebagai orang yang tak disenangi rakyat. Bahkan tokoh yang dikenal flamboyant melankolis ini adalah orang yang rela bekerja sama dengan kaphe-kaphe Belanda, dan diangkat sebagai uleebalang.
Teuku Muhammad, adiknya yang kini telah menikah dengan Cut Meutia menolak pengangkatan Teuku Syamsarif di bawah pengaruh kaphe-kaphe Belanda, alias diangkat sebagai boneka kaphe-kaphe laknatullah. Teuku Syamsarif yang dibenci rakyat, rupanya tak hendak surut langkah dari jabatan barunya. Maka dalam waktu sekejap Teuku Muhammad bersepakat dengan rakyat, melawan kekuasaan Teuku Syamsarif yang juga ternyata punya pengikut setia di pihaknya. Inilah yang dimaksud dengan politik “devide et impera”. Antara pengikut Teuku Muhammad alias Cik Di Tunong dan pengikut Teuku Syamsarif bertempur dan kaphe-kaphe Belanda sebagai jurinya. Itulah yang menyebabkan kaphe-kaphe Belanda dengan mudah dapat menguasai daerah ini. Menyulapnya menjadi daerah- daerah kecil.
Episode berikutnya adalah berjuangnya Teuku Muhammad, adik Teuku Syamsarif yang telah menjadi boneka di Keuroetoe, dan mereka kini berjuang di gunung-gunung. Kejadian Aneh terjadi seputar perang Teuku Muhammad alias Cik Di Tunong dan istrinya Cut Meutia saat melawan kaphe-kaphe Belanda. Keuroetoe kini telah hilang dari ingatan mereka berdua. Mereka kini berjuang di sebuah hamparan tanah yang berbukit-bukit, bergunung dan hutan rimba yang lebat dan luas. Gerak gerik mereka tak kaku dan tak dibatasi oleh Keureotoe yang sempit, padat penghuninya dan ramai oleh perdagangan yang oleh kaphe-kaphe Belanda dinamakan “Keujreun Lalat”, atau Kampung lalat. Berada hampir mendekati wilayah Aceh Selatan, Cik Di Tunong dan Cut meutia bergerilya di tengah hutan lebat dan negeri Alas serta gayo yang sunyi dan terasing.
Cik Tunong atau Cik DI Tunong mula-mula melakukan perlawanan dengan serangan gabungan antara pasukannya dengan pasukan Teuku Ben Daud, ayahandanya sang istri, Cut meutia. Juga ia melakukan kerjasama dengan Sultan dan Panglima Polem di Pasee dan Aceh Utara, sebelum ia pindah ke Alas dan Gayo.
Pagi terus merangkak menuju siang hari yang makin terik dan panas. Segerombolan marsose terlihat oleh Cik Di Tunong di sebuah hutan. Namun Cik DiTunong tiba-tiba melihat kabut tebal turun dan hujan besar meliputi daerah itu. Akan tetapi Cik Di Tunong tak mengalami cuaca ekstrim seperti itu. Melihat 16 marsose yang tiba-tiba ditimpa hujan lebat yang turun sangat deras sekali, Cik Di Tunong dan pasukan mendekati daerah itu. Terlihat para marsose sedang berlari ke sana ke mari ingin menyelamatkan diri. Pakaian mereka basah kuyup. Begitu melihat pasukan marsose begitu banyak, Cik Di Tunong dan anak buahnya menyarangkan tembakan ke arah mereka. membatu para mujahidin untuk melakukan serangan.
Cik Di Tunong tak lupa berdoa kepada Allah bisa dimudahkan melakukan penyerangan yang sistematis dan saatnya paling tepat untuk menghabiskan marsose-marsose itu . Tembakan berentet memasuki daerh yang disirami hujan lebat dan satu persatu pasukan kaphe-kaphe Belanda bertumbangan sujud ke tanah. Keenam belas marsose itu tewas dalam waktu tak lebih 15 menit. “Alhamdulillah” CikDI Tunong dan pasukan segera melakukan sujud syukur ke tanah, menyatakan bahwa mereka telah ditolong oleh kekuatan-kekuatan Allah yang tak terlihat.
Dalam waktu bersamaan, Cik Di Tunong pun berlai sekencang-kencangnya ke lain daerah. Ya, ini daerah berada di utara wilayah dimana hujan lebat turun dengan derasnya. Di sini Cik Di Tunong berjumpa dengan sepasukan marsose Belanda yang mengadakan patrol di hutan-hutan lebat dekat kaki gunung Leuser, tepatnya di wilayah Blangkejeren. Terjadi pertempuran antara Cik Di Tunong dan marsose kaphe-kaphe Belanda di situ. Ikut Cut Meutia dengan memakai cadar yang melilit hitam di wajahnya. Perang tanding satu lawan satu di tengah hutan lebat di Blangkejeren. Pertempuran di atas daun-daun kering yang merupakan humus-humus hutan lebat di kaki gunung Leuser itu berlangsung seru. Cik Di Tunong dan Cut Meutia berhasil melumpuhkan lawannya dengan menyabetkan kelewang panjang mereka ke leher dan dada marsose yang biasanya sangat galak, cepat dan jarang terkalahkan. Tapi Cik Di Tunong dan Cut Meutia dapat mengatasi dua dari enam marsose busuk dan laknat itu. Hanya dalam sekejap, ke enam marsose kaphe-kaphe Belanda itu berhasil dilumpuhkan, dan Cik Di Tunong dan Cut Meutia pulang dengan penuh gembira.
Dan itu belum peang yang lebih seru dai perang-perang sebelumnya. Cik Di Tunong bisa hadir di empat titik dalam waktu berlainan guna menghadapi kaphe-kaphe Belanda di sepanjang kaki gunung Leuser bersama Cut Meutia.
Zentgraaff sempat berkomentar tentang kelihaian dan kecakapan perang Teuku Cik Di Tunong dan Cut meutia ini: "Ini memang sebuah kisah menakjubkan. Cik DI Tunong bisa melakukan perang dengan secepat kilat, mendadak berada di berbagai medan tempur, seperti kilat yang menyambar cepat, ia lakukan serangan-serangan gencar dan sengit. Belum usai perang di suatu Blangkejeren, tiba-tiba ia sudah hadir di daerah Bener Meriah. Selesai menyikat kaphe-kaphe Belanda di Bener Meriah, tiba-tiba Cik Di tunong dan Cut Meutia telah berada pula di Kalpinang. Dan tiba-tiba pula mereka berdua sudah berada di Atu Peltak. Untuk terakhir pasangan ini kabur dan pulang ke tempat persembunyian mereka, melakukan istirahat panjang setelah lelah bertempur bagai robot serba guna yang tak pernah kenal lelah dan slalu jitu menembak dan melakukan serangan mendadak.”
Dan tak lupa pula, Cik Di Tunong dan Cut Meutia turun ke Keuroetoe, melakukan serangan terhadap pasukan Teuku Syamsarif dan mengalahkan mereka dengan telak. Lalu Cik Di Tunong dan Cut Meutia lari sekencang-kencangnya melakukan gerakan pulang ke daerah Alas – Gayo dan beristirahat panjang untuk mempersiapkan perang dan serangan selanjutnya. Pasukan teuku Symasarif dan pasukan kaphe-kaphe Belanda yang diperbatukan mengalami sock dan tekanan batin yang serius, karena diserang secara mendadak dan cepat oleh Cik Di Tunong dan Cut Meutia.
Mayat-mayat marsose dan pasukan Teuku Symasarif bertumbnagan tergeletak di tanah. Ketika Cik Di Tunong dan Cut Meutia melarikan diri, sisa-sisa pasukan marsose kaphe-kaphe Belanda kalah kencang berlari megejar mereka. Sia-sia saja mereka mengejar karena musuh dengan cepat menghilang di balik kelok-kelok jalan yang penuh liku dan berbatu. Jika Cik Di Tunong dan Cut meutia melakukan serangan balik, pasti marsose-marsose yang tersisa dan bernafsu mengejar mereka akan tewas semua. Karena serangan balik yang cepat dan tangkas tak akan mampu dihadapi oleh tentara secakap dan sekuat apapun. Nyawa akan terbang ke langit, dan Cik Di Tunong beserta Cut Meutia akan terus berlari dan berlari, melakukan gerakan pulang untuk beristirahat panjang. Sebuah kekuatn fisik dan kekuatan nafas yang jarang ditemukan pada mujahidin mujahidah Aceh di zaman manapun. Subhanallah! (Bersambung)[konfr]
Episode 96
Fragmen Kedua
Perempuan-Perempuan Berani Di Medan Pertempuran Aceh
Fragmen Kedua
Perempuan-Perempuan Berani Di Medan Pertempuran Aceh
loading...
Post a Comment