Putri Raja Pahang Malaysia, Tunku Hajjah Azizah Aminah Maimunah Iskandariah binti Sultan Iskandar Al-Haj. |
AMP - Kisah cinta Sultan Iskandar Muda
dengan permaisurinya Putroe Phang selalu menarik perhatian masyarakat
Aceh. Gunongan dan Taman Putroe Phang di Kutaradja merupakan bukti abadi
yang lahir dari cinta kasih mereka. Karena cinta ini pula sang Putroe
Phang mencari ’kembali’ jejak sultan di Seramoe Mekkah.
Kalimat tadi bukanlah berarti
bahwa permaisuri raja tersebut kembali hidup dan mencari kuburan sang
suaminya, di awal tahun 2011 ini. Tulisan ini juga tidak sedikit pun
akan menyentuh pembahasan tentang Sultan Iskandar Muda, melainkan
membahas pewaris tahta terakhir mereka.
Tulisan
ini, penulis mulai dari keinginan pihak berwenang dari Kesultanan
Negeri Pahang Malaysia, Kamis (31/3) lalu, yang mengaku sedang mencari
pewaris tahta murni kerajaan Aceh atau keturunan terakhir dari Sultan
Mahammad Daud Syah.
Untuk menjalankan niat mereka
ini, Kesultanan Pahang Malaysia, bahkan langsung mengutus Putrinya yang
bergelar Tunku Hajjah Azizah Aminah Maimunah Iskandariah binti Sultan
Iskandar Al-Haj untuk ikut bersama rombongan ke Aceh.
Menurut pengurus Kerajaan
Pahang, cacatan sejarah mengenai keturunan sultan terakhir Aceh ini
dinilai banyak yang sengaja dikaburkan sehingga menyebabkan banyak pihak
minim informasi tentang hal tersebut. Selain itu, juga banyak pihak
yang mengaku sebagai keturunan raja Aceh yang terakhir.
”Kesultanan
Aceh sejak dulu sangat megah. Namun informasi sejarahnya yang kami
dapatkan terputus hingga Sultan terakhir Muhammad Daud Syah. Kami tahu,
ada keturunan dari Sultan Mahammad Daud Syah. Atas dasar tersebut, kami
mencoba mencari tahu soal kebenaran tersebut dan baru kami temukan
sekarang,”
ungkap Kerabat Kesultanan Pahang Malaysia, Tunku Hajjah Azizah Aminah
Maimunah Iskandariah binti Sultan Iskandar Al-Haj, di Hotel berbintang,
Hermes Palace di Kota Banda Aceh.
Pada kesempatan tersebut, Putri
Pahang menjamu sosok bernama Tuanku Raja Yusuf Bin Tuanku Raja Ibrahim
Bin Sultan Mahammad Daud Syah, di ruang pertemuan Hermes Palace.
Keduanya kemudian kembali membahas sejarah dan hubungan mesra yang
sempat terjalin antara Pahang dengan Aceh.
Menurut putri Sultan Iskandar
atau Raja Pahang Malaysia ini, Aceh sebenarnya merupakan sebuah daerah
yang kaya akan budaya serta peninggalan sejarah. Salah satunya, adalah
gunongan dan taman yang diperuntukan kepada Putroe Phang atau Putri
Pahang, atau indatu dari Tunku Hajjah Azizah yang berstatus sebagai
Putri Pahang saat ini.
”Makanya saya senang datang ke Aceh karena ada taman yang dibuat khusus di sini,”canda Tunku Hajjah Azizah di sela-sela makan.
Selama seminggu di Aceh, lanjut
dia, dirinya menggelar pertemuan dengan sejumlah pihak, termasuk
Pemerintahan Aceh. Dan selama seminggu pula, banyak pihak yang mengaku
keturunan sultan mencoba jumpai dengannya.
Setelah melalui berbagai
pertemuan tersebut, terutama dengan pakar sejarah yang ada di Aceh.
Dirinya mengaku baru bisa menyimpulkan siapa keturunan murni dari Sultan
Aceh yang terakhir. Sosok tersebut adalah Tuanku Raja Yusuf.
Sosok Tuanku Raja Yusuf adalah
cucu murni dari Sultan Muhammad Daud Syah. Namun anehnya, keberadaan
sosok ini terkesan sengaja dihilangkan dari cacatan sejarah Aceh.
Masyarakat di Aceh seharusnya lebih mengetahui sejarah bangsanya
dibandingkan dengan warga luar seperti dirinya.
Anehnya lagi, masyarakat Aceh saat ini justru lebih mengenal jabatan Wali Nanggroe ketimbang cucu sultan yang sah.
Kerajaan Aceh dengan Pahang,
lanjut dia, memiliki hubungan sejarah yang paling emosional. Hubungan
ini tidak hanya terjadi karena perkawinan Sultan Iskandar Muda dengan
Putri Pahang.
Hubungan Aceh-Pahang sudah
terjalin sejak abad ke-16 setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis.
Kerajaan Pahang atau Pahang Darul Makmur merupakan salah satu negara
bagian di Malaysia.
Sebagian besar negeri Pahang
diselimuti hutan dan sebagian besar Taman Negara terletak dalam negeri
Pahang. Pahang merupakan sebuah negeri ber-raja.Wujudnya negeri Pahang
adalah sebelum wujudnya kerajaan melayu Melaka. Pahang mempunyai susur
galur tamadun yang panjang, sejak dari zaman pra-sejarah lagi. Dahulunya
kerajaan Pahang digelar Inderapura.
Negeri Pahang Darul Makmur ialah
sebuah negeri yang terbesar di Semenanjung Tanah Melayu dengan luas
35.515 kilometer persegi. Kemasyhuran dan kehebatan namanya pada masa
lalu menjadi rebutan kerajaan yang ada di sekelilingnya. Pada masa ini
Pahang adalah negeri di Semenanjung yang terbagi atas sebelas daerah
yaitu Kuantan, Pekan, Rompin, Maran, Temerloh, Jerantut, Bentong, Raub,
Lipis, Cameron Highlands dan Bera. Sedangkan penduduknya pula terdiri
dari berbagai kaum dan bangsa.
Sebenarnya, bagi orang Aceh,
negeri Melaka (Malaysia-red) atau kerajaan Pahang khususnya, tidaklah
asing. Kerajaan Aceh Darussalam bahkan pernah terlibat dalam perang
dengan Portugis selama 130 tahun (1511-1641) hanya untuk membebaskan
daerah tersebut dari jajahan Portugis.
Menurut sejarah Malem
Dagang, Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dengan armada Cakra Donya-nya
berhasil membebaskan Sumatra dan Semenanjung tanah Melayu dari
penjajahan Portugis dan menjadi bagian dari kerajaan Aceh. Laksamana
Malem Dagang berhasil mempersatukan wilayah Sumatra dan Semenanjung
tanah Melayu. Disinilah kemudian terbangun kampung etnis melayu di Aceh
dan kampung Aceh di Pahang.
Hubungan Aceh dengan Pahang
kemudian dilanjutkan pada masa sultan Muhammad Daud Syah. Dimana, disaat
ibukota Aceh dipindahkan ke daerah Keumala di Pidie, Sultan Abubakar
yang menjadi Raja Pahang pada saat itu, pernah beberapa kali mengirimkan
utusan ke wilayah Keumala. Tujuannya, untuk memperkuat hubungan antar
kedua kerajaan.
”Selaku keturunan Sultan Abubakar, saya juga ingin kembali memperkuat hubungan dengan Aceh,”tandas perempuan yang memiliki gelar Kebawah Duli Yang Teramat Mulia Tengku Puan Pahang, usai menjelaskan panjang lebar.
Sementara itu, bagi Tuanku Raja
Yusuf, diakhir jamuan makan, mengaku dirinya tersanjung dengan
keterangan dari Kesultanan Pahang Malaysia. Menurut dia, posisi dirinya
dan keluarganya saat ini sangatlah tidak sebanding jika disandingkan
dengan keluarga kesultanan Pahang.
”Rakyat Pahang masih mengakui raja mereka. Namun disini sudah tidak berlaku lagi,”tutur tuanku Raja Yusuf.
”Saya
ini telah lama menjadi rakyat biasa, bahkan sejak lahir. Saya juga
tidak mau mengaku-gaku sebagai keturunan sultan demi mendapatkan
kemegahan dan ketenaran. Silahkan saja, orang lain yang mengaku. Tapi,
atas kehormatan yang diberikan Kesultanan Pahang Malaysia, saya ucapkan
ribuan terimakasih,”ungkap Raja Yusuf lagi.
Dalam pertemuan ini juga
dihadiri keluarga dari pihak Kerajaan Pahang lainnya dan kelurga dari
Tuanku Raja Yusuf, serta didampingi oleh Tuanku Maimun serta Tuanku
Aswan, cucu dari Teuku Hasyim Banta Muda yang pernah menjadi Wali
Nanggroe sewaktu Sultan Muhammad Daud Syah masih kecil.
Kerajaan Pahang juga mengundang
para keturunan Sultan untuk mengunjungi pihaknya dalam waktu yang dekat
ini. Namun undangan ini tidak dapat langsung dijawab oleh Tuanku Raja
Yusuf. Pasalnya, pria yang berstatus PNS biasa disalah satu dinas
tingkat Provinsi Aceh ini mengaku masih memiliki tanggungjawab yang
besar pada negara ini.
”Undangan
ini sangat memuliakan kami sekeluarga. Kami pasti memenuhi undangan
ini, tetapi tidak dalam waktu dekat. Soalnya, saya sekarang adalah abdi
negara biasa,”pungkas dia.
Keturunan Sultan Dan Rupiah
Sementara itu, Menurut M. Adli
Abdullah, Mantan Panglima Laut Aceh, yang juga gemar menulis tentang
sejarah Aceh, yang hadir dalam pertemuan dua kerabat raja tersebut,
mengaku bahwa keberadaan sejumlah pihak yang mengaku keturunan sultan
terakhir memang sering terjadi. Faktor ini dikarenakan kemuliaan dan
rupiah yang melimpah yang dapat mereka peroleh dengan prilaku tersebut.
”Banyak
orang yang mengaku-ngaku sebagai keturunan sultan terakhir dan wali
saat ini. Ini semua dilakukan untuk kepentingan politik pihak tertentu
yang unjung-unjungnya adalah memperoleh rupiah,”tutur Dosen Fakultas Hukum Unsyiah ini.
Menurutnya, tindakan dari
Kerajaan Pahang yang sengaja mencari keturunan murni dari sultan
terakhir Aceh adalah suatu hal yang langkah. Dimana, cara ini justru
tidak pernah dilakukan oleh Pemerintah Aceh sendiri, selaku kaki tangan
dari pemerintah pusat di Jakarta.
Selama puluhan tahun, lanjut
dia, rakyat Aceh diharuskan hidup ditengah-tengah kebingungan dan ambisi
pihak-pihak tertentu yang ingin menguasai daerah ini walaupun harus
menghapus cacatan sejarah bangsanya. Faktor ini kemudian berimbas dengan
hilangnya pengakuan rakyat terhadap kesultanan Aceh, serta beralih ke
Wali Nanggroe.
”Rakyat
Aceh seharusnya mengambil contoh dari sikap negeri Pahang. Dimana,
mereka tidak lupa akan sejarah bangsanya dan sejarah daerah mereka
dengan Aceh,”ungkap dia.
loading...
Post a Comment