TIDAK bisa dipungkiri, perilaku korup sudah menjalar semua sendi kehidupan masyarakat kita. Di level pengelola pemerintahan, aktivitas penyelewengan uang negara di Aceh makin meningkat dari tahun ke tahun. Sementara penegakan hukum terhadap pelakunya kian melemah, bahkan terkesan ada pembiaran terhadap koruptor di Aceh.
Sebagaimana dirilis Gerakan Rakyat Antikorupsi (GeRAK) Aceh, selama 2015 ditemukan 27 kasus tindak pidana korupsi di Aceh dengan nilai kerugian negara mencapai Rp885,8 miliar. Meningkat drastis dari tahun sebelumnya yang merugikan negara Rp500 miliar.
Sebenarnya, perilaku korup di sekitar kita telah terjadi sejak lama. Tidak saja dalam birokrasi pemerintahan, tapi juga di segala strata, bahkan terkadang dengan paksaan secara terbuka. Di tingkat rakyat disebut perampok dan di tingkat pimpinan disebut koruptor. Ya, sama-sama tidak bermoral dan kehilangan rasa malu.
Korupsi, budaya sunat hingga pajak preman, bermula dari anak yang lahir dari sebuah keluarga, besar dalam sebuah komunitas dan bangsa yang memang hampir kiamat secara moralitas. Bangsa yang moralitasnya terus tergerus erosi kemajuan dan eforia zaman yang serba materialistik.
Seorang pemimpin umat yang berbicara keras soal moralitas, tapi kalah ketika tawaran jabatan, atau bahkan rela menggunakan berbagai cara, untuk menunjang kemapanan kehidupan keluarganya. Seolah tak punya rasa malu ketika berprilaku menyimpang dalam segala hal.
Lihat saja, tidak sedikit pejabat atau PNS mengambil gaji buta. Aparat desa menyelewengkan bantuan untuk rakyat, dengan alasan tidak tahu aturan yang ada. Secara moral, benarkah itu? Apa bedanya dengan korupsi? Mengambil hak orang lain (rakyat) untuk mensejahterakan diri sendiri. Tanpa merasa bersalah, tanpa malu, pura-pura bodoh, dan kurang berperasaan selaku manusia.
Hanya wajah yang disembunyikan dalam berbagai simbol masa lalu hingga simbol agama. Sementara perilakunya tidak lebih dari sosok drakula yang mengisap darah saudaranya, demi memperkaya diri dan kelompoknya.
Tidak ada yang berani menghukum dengan tegas, karena hampir semua memang terlibat di dalamnya. Maka teruslah terjadi, yang sejahtera bertambah makmur, yang terpuruk semakin bukhe. Budaya malu terus luntur, tipu menipu dan kemunafikan merajalela. Keadilan dan moralitas hanya jargon yang tidak pernah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Di sisi lain, kita masih melihat ada rakyat yang memeras keringat, membajak sawah atau mengusahakan kebun, harus membayar pajak. Bahkan cukup banyak rakyat kecil yang dikorbankan sebagai tumbal untuk ‘mensejahterakan’ hidup seorang pemimpin. Adilkah itu?
Kini, sudah saatnya kita melawan perilaku korup, memulai dari diri kita sendiri. Memperbaiki moralitas dalam keluarga, lingkungan hingga komunitas yang lebih besar. Baru kemudian membuat pengadilan sendiri, mengadili mereka yang menggerogoti uang rakyat dengan cara kita sendiri, andai penegakan hukum normatif memang sudah tidak bisa diharapkan lagi.
Ingat, bila moralitas, budaya malu dan harga diri tetap tidak bisa kita perbaiki, berarti kita memang benar-benar telah kiamat. Kiamat secara moralitas dan kiamat atas rasa kemanusiaan. Kita hanya bisa berharap, jangan sampai kiamat sungguhan datang, kita masih dalam gelimang kemunafikan. Nauzubillahiminzalik.[pikiranmerdeka.co]
Sebagaimana dirilis Gerakan Rakyat Antikorupsi (GeRAK) Aceh, selama 2015 ditemukan 27 kasus tindak pidana korupsi di Aceh dengan nilai kerugian negara mencapai Rp885,8 miliar. Meningkat drastis dari tahun sebelumnya yang merugikan negara Rp500 miliar.
Sebenarnya, perilaku korup di sekitar kita telah terjadi sejak lama. Tidak saja dalam birokrasi pemerintahan, tapi juga di segala strata, bahkan terkadang dengan paksaan secara terbuka. Di tingkat rakyat disebut perampok dan di tingkat pimpinan disebut koruptor. Ya, sama-sama tidak bermoral dan kehilangan rasa malu.
Korupsi, budaya sunat hingga pajak preman, bermula dari anak yang lahir dari sebuah keluarga, besar dalam sebuah komunitas dan bangsa yang memang hampir kiamat secara moralitas. Bangsa yang moralitasnya terus tergerus erosi kemajuan dan eforia zaman yang serba materialistik.
Seorang pemimpin umat yang berbicara keras soal moralitas, tapi kalah ketika tawaran jabatan, atau bahkan rela menggunakan berbagai cara, untuk menunjang kemapanan kehidupan keluarganya. Seolah tak punya rasa malu ketika berprilaku menyimpang dalam segala hal.
Lihat saja, tidak sedikit pejabat atau PNS mengambil gaji buta. Aparat desa menyelewengkan bantuan untuk rakyat, dengan alasan tidak tahu aturan yang ada. Secara moral, benarkah itu? Apa bedanya dengan korupsi? Mengambil hak orang lain (rakyat) untuk mensejahterakan diri sendiri. Tanpa merasa bersalah, tanpa malu, pura-pura bodoh, dan kurang berperasaan selaku manusia.
Hanya wajah yang disembunyikan dalam berbagai simbol masa lalu hingga simbol agama. Sementara perilakunya tidak lebih dari sosok drakula yang mengisap darah saudaranya, demi memperkaya diri dan kelompoknya.
Tidak ada yang berani menghukum dengan tegas, karena hampir semua memang terlibat di dalamnya. Maka teruslah terjadi, yang sejahtera bertambah makmur, yang terpuruk semakin bukhe. Budaya malu terus luntur, tipu menipu dan kemunafikan merajalela. Keadilan dan moralitas hanya jargon yang tidak pernah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Di sisi lain, kita masih melihat ada rakyat yang memeras keringat, membajak sawah atau mengusahakan kebun, harus membayar pajak. Bahkan cukup banyak rakyat kecil yang dikorbankan sebagai tumbal untuk ‘mensejahterakan’ hidup seorang pemimpin. Adilkah itu?
Kini, sudah saatnya kita melawan perilaku korup, memulai dari diri kita sendiri. Memperbaiki moralitas dalam keluarga, lingkungan hingga komunitas yang lebih besar. Baru kemudian membuat pengadilan sendiri, mengadili mereka yang menggerogoti uang rakyat dengan cara kita sendiri, andai penegakan hukum normatif memang sudah tidak bisa diharapkan lagi.
Ingat, bila moralitas, budaya malu dan harga diri tetap tidak bisa kita perbaiki, berarti kita memang benar-benar telah kiamat. Kiamat secara moralitas dan kiamat atas rasa kemanusiaan. Kita hanya bisa berharap, jangan sampai kiamat sungguhan datang, kita masih dalam gelimang kemunafikan. Nauzubillahiminzalik.[pikiranmerdeka.co]
loading...
Post a Comment