Catatan Kha A Zaghlul
POK-POK TEM, entah siapa yang melahirkan kalimat ini, namun sangat akrab di telinga warga Kampung Kenawat Lut Kecamatan
Lut Tawar Kabupaten Aceh Tengah, setidaknya sejak konplik hebat TNI-GAM
di tahun 1998 hingga tercapainya kesepakatan damai tahun 2005.
Terjemahan Pok-Pok (po’-po’) Tem berasal dari kata Pok-Pok artinya dipukul-pukul, Tem artinya kaleng. Entah bagaimana sejarahnya Pok-Pok Tem
“pukul-pukul kaleng” menjadi bahasa sandi terhadap pejuang-pejuang
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang uniknya hanya khusus untuk Kenawat Lut
saja. Pok-Pok Tem tidak dikenal di wilayah GAM Linge lainnya, demikian
dikatakan Renggali, kombatan GAM yang kini sebagai Ketua Partai Aceh
(PA) Aceh Tengah. Istilah umum bagi yang bergabung dalam gerakan
separatis baik DI/TII atau GAM di Gayo adalah Nik ku Bur.
Pun begitu, pernah mendengar cerita jika
istilah Pok-Pok Tem sebelum menjadi “kata sandi GAM” sering diucapkan
oleh seorang ibu yang bersuku Aceh yang sudah menjadi warga kampung
Kenawat dan mempunyai banyak anak. Dia sering ngomelin anak-anaknya yang
“dagi”, sebutan untuk anak yang hyperactive.
“Ado ine, dele pedi ana’ku, seba jerulong-jerulong ban, seba beleda’, seba po’-po’ tem” (aduh
mak, banyak sekali anakku, ada yang suka bermain meluncurkan ban, ada
yang main lumpur, ada yang pukul-pukul kaleng). Kalimat ini kerap
diucapkan berbahasa Gayo dengan logat Aceh dan selalu bikin geli
mengundang tawa yang mendengarnya, Wallahu a’lam.
Di era konplik, warga Kenawat yang
nyaris semuanya petani menggantungkan hidup di sawah dan kebun kopi atau
tembakau yang lokasinya mesti masuk ke pelosok. Lumayan dekat untuk
areal persawahan, namun bisa memakan waktu berjam-jam berjalan kaki ke
areal perkebunan kopi atau tembakau. Kondisi jalan belum seperti
sekarang yang bisa ditempuh dengan kenderaan, minimal roda dua.
Dulu, ke kebun mesti berjalan kaki, tak
pakai alas kaki pula jika tidak ingin sendal putus, sepatu khusus ke
kebun masih langka, sudah sangat mewah jika punya sepatu gamir, sepatu
full karet dengan alas mirip sepatu sepak bola.
Lagi pun, saat itu hanya beberapa orang
saja yang punya kenderaan, itupun kebanyakan warga Kenawat yang sudah
berada yang berdomisili di luar Kenawat. Kenderaan hanya sampai di
Mersah Monong untuk perempusen (areal perkebunan) Kapur Atu, Pinte Rime, Umang, Tangsaran hingga Mango
Kembali ke Pok-Pok Tem. Saat konplik,
berangkat ke kebun mesti melapor ke markas aparat keamanan yang ditempat
di bekas bangunan MIN Kenawat, lokasinya bersebelahan dengan Mersah
Kuen. Barang-barang yang dibawa ke kebun wajib diperiksa, yang dicari,
pertama tentu kemungkinan senjata api yang akan diberikan kepada anggota
GAM yang diduga saat itu berkeliaran di hutan-hutan Kenawat. Dalam
sejarahnya belum pernah ditemukan senpi dalam pemeriksaan tersebut.
Selanjutnya yang diperiksa adalah bekal
makanan siang. Tidak dibenarkan membawa bekal lebih dari kebutuhan dan
itupun mesti makanan siap saji, haram membawa beras, garam, gula, bubuk
kopi dan lain-lain. Begitu juga dengan perlengkapan. Mudah disimpulkan,
tentu ada kekhawatiran, masyarakat Kenawat menyalurkan logistik ke
‘sanak saudara’ mereka yang tercatat sebagai Pake Bur (sandi lain untuk anggota GAM atau DI/TI tahun 1950an hingga 1998).
Kecurigaan ini memang beralasan, dari
beberapa kesaksian, sempat juga disalurkan logistik, tentu dengan cara
sangat rahasia kepada Pake Bur yang benar-benar nyata bermarkas di hutan kawasan kampung yang dulu dikisahkan rumah warganya di atas pohon.
Sandi Pok-Pok Tem, pernah saya dengar
sendiri dibisikkan oleh seorang ibu rumah tangga yang menyapa saya
bersama almarhum ayah saat akan ke kebun yang tidak jauh dari Mersah
Monong. “Win, engon-engon ara pok-pok tem”, maksudnya, Win
lihat-lihat, disana ada Pok-Pok Tem. Saat itu saya sempat bingung, namun
ayah saya menjelaskannya dalam perjalanan.
Rumah peninggalan Awan (kakek) Karimuddin alias Tungket di Monong Kapur Atu Kenawat. (foto ; Khalis) |
Pernah juga dalam perjalanan pulang dari kebun peninggalan kakek saya tersebut, seorang nenek saat berpapasan bertanya, “ara ke demu urum Pok-pok Tem?”, saya menjawab tidak, dan dia langsung berjalan ke tujuan yang berlawanan arah dengan saya.
Ceritanya bukan takut kepada GAM, buat
apa takut toh mereka bukan orang lain bagi warga Kenawat. Cuma saja
efeknya yang berbahaya jika ketahuan berpapasan dengan dengan Pok-Pok
Tem tersebut, bisa panjang urusan dan fatal akibatnya.
Syukurlah, Kampung Kenawat dari dulu hingga kini masih steril dari perilaku biadab “Tilok Wan Opoh Kerung“
(menunjuk dalam kain sarung), istilah yang muncul seiring dengan ada
perintah menumpas anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun 1965.
Perilaku memfitnah dengan mengatakan si polan itu terlibat PKI atau
separatis dengan maksud menyingkirkan orang yang di Tilok.
Setelah kesepakatan damai RI-GAM tahun
2005, saya sempat kaget atas pernyataan seorang rekan yang baru saya
ketahui sebagai anggota GAM justru setelah damai. “Bang, terimakasih dan
ma’af ya, rumah kebun peninggalan kakek abang sering kami tempati,”
ujar rekan tersebut.
Saksi sisa konplik Aceh, Pos Siskamling di depan Mersah Kuen Kenawat yang digunakan sebagai tempat duduk-duduk dengan perapian (muniru). (foto: M. Syukri) |
Kaget bukan kepalang, sama sekali tidak
menyangka rumah tempat ayah saya dilahirkan tersebut sempat ditempati
karena sangat berdekatan dengan perkampungan warga Monong, kurang dari 1
kilometer dan terlihat jelas dari perkampungan tersebut. Sebelumnya
saya membayangkan jika GAM itu berada di kawasan Genting Mic saja, hutan
bersejarah tempat Tgk. Ilyas Leube di cari, dipanggil-panggil oleh
warga atas perintah TNI dengan menggunakan microphone. Waktu tempuhnya
lebih dari 3 jam dari kampung Kenawat dengan berjalan kaki.
Ya, kisah Pok-Pok Tem era 1998 atau Nik ku Bur 1950an
adalah masa lalu, kesepakatan damai hendaknyalah abadi selamanya,
banyak sudah Kenawat Lut kehilangan tokoh berbagai sektor, dari
pendidikan, kepolisian, birokrat, hingga politik, sulit memunculkan
penggantinya.
Saatnya generasi Kenawat Lut dan Gayo
umumnya bangkit, bermodal syari’at Islam, tinggalkan keterpurukan
pendidikan dan ekonomi. Gayo semestinya bisa menjadi nomor satu dalam
banyak hal, demikian petuah alam Gayo yang banyak dibahasakan penyair-penyair Gayo pendahulu.[]
*Putra berdarah Kenawat
loading...
Post a Comment