Halloween Costume ideas 2015
loading...

Pok-Pok Tem; Secuil Kisah Gerakan Aceh Merdeka di Kenawat Lut Aceh Tengah

Catatan Kha A Zaghlul
Kenawat dari Monong. (foto: Khalis)
Kenawat dari Monong. (foto: Khalis)

POK-POK TEM, entah siapa yang melahirkan kalimat ini, namun sangat akrab di telinga warga Kampung Kenawat Lut Kecamatan Lut Tawar Kabupaten Aceh Tengah, setidaknya sejak konplik hebat TNI-GAM di tahun 1998 hingga tercapainya kesepakatan damai tahun 2005.

Terjemahan Pok-Pok (po’-po’) Tem berasal dari kata Pok-Pok artinya dipukul-pukul, Tem artinya kaleng. Entah bagaimana sejarahnya Pok-Pok Tem “pukul-pukul kaleng” menjadi bahasa sandi terhadap pejuang-pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang uniknya hanya khusus untuk Kenawat Lut saja. Pok-Pok Tem tidak dikenal di wilayah GAM Linge lainnya, demikian dikatakan Renggali, kombatan GAM yang kini sebagai Ketua Partai Aceh (PA) Aceh Tengah. Istilah umum bagi yang bergabung dalam gerakan separatis baik DI/TII atau GAM di Gayo adalah Nik ku Bur.

Pun begitu, pernah mendengar cerita jika istilah Pok-Pok Tem sebelum menjadi “kata sandi GAM” sering diucapkan oleh seorang ibu yang bersuku Aceh yang sudah menjadi warga kampung Kenawat dan mempunyai banyak anak. Dia sering ngomelin anak-anaknya yang “dagi”, sebutan untuk anak yang hyperactive.


“Ado ine, dele pedi ana’ku, seba jerulong-jerulong ban, seba beleda’, seba po’-po’ tem” (aduh mak, banyak sekali anakku, ada yang suka bermain meluncurkan ban, ada yang main lumpur, ada yang pukul-pukul kaleng). Kalimat ini kerap diucapkan berbahasa Gayo dengan logat Aceh dan selalu bikin geli mengundang tawa yang mendengarnya, Wallahu a’lam.   

Di era konplik, warga Kenawat yang nyaris semuanya petani menggantungkan hidup di sawah dan kebun kopi atau tembakau yang lokasinya mesti masuk ke pelosok. Lumayan dekat untuk areal persawahan, namun bisa memakan waktu berjam-jam berjalan kaki ke areal perkebunan kopi atau tembakau. Kondisi jalan belum seperti sekarang yang bisa ditempuh dengan kenderaan, minimal roda dua.

Dulu, ke kebun mesti berjalan kaki, tak pakai alas kaki pula jika tidak ingin sendal putus, sepatu khusus ke kebun masih langka, sudah sangat mewah jika punya sepatu gamir, sepatu full karet dengan alas mirip sepatu sepak bola.

Lagi pun, saat itu hanya beberapa orang saja yang punya kenderaan, itupun kebanyakan warga Kenawat yang sudah berada yang berdomisili di luar Kenawat. Kenderaan hanya sampai di Mersah Monong untuk perempusen (areal perkebunan) Kapur Atu, Pinte Rime, Umang, Tangsaran hingga Mango

Kembali ke Pok-Pok Tem. Saat konplik, berangkat ke kebun mesti melapor ke markas aparat keamanan yang ditempat di bekas bangunan MIN Kenawat, lokasinya bersebelahan dengan Mersah Kuen. Barang-barang yang dibawa ke kebun wajib diperiksa, yang dicari, pertama tentu kemungkinan senjata api yang akan diberikan kepada anggota GAM yang diduga saat itu berkeliaran di hutan-hutan Kenawat. Dalam sejarahnya belum pernah ditemukan senpi dalam pemeriksaan tersebut.

Selanjutnya yang diperiksa adalah bekal makanan siang. Tidak dibenarkan membawa bekal lebih dari kebutuhan dan itupun mesti makanan siap saji, haram membawa beras, garam, gula, bubuk kopi dan lain-lain. Begitu juga dengan perlengkapan. Mudah disimpulkan, tentu ada kekhawatiran, masyarakat Kenawat menyalurkan logistik ke ‘sanak saudara’ mereka yang tercatat sebagai Pake Bur (sandi lain untuk anggota GAM atau DI/TI tahun 1950an hingga 1998).

Kecurigaan ini memang beralasan, dari beberapa kesaksian, sempat juga disalurkan logistik, tentu dengan cara sangat rahasia kepada Pake Bur yang benar-benar nyata bermarkas di hutan kawasan kampung yang dulu dikisahkan rumah warganya di atas pohon.

Sandi Pok-Pok Tem, pernah saya dengar sendiri dibisikkan oleh seorang ibu rumah tangga yang menyapa saya bersama almarhum ayah saat akan ke kebun yang tidak jauh dari Mersah Monong. “Win, engon-engon ara pok-pok tem”, maksudnya, Win lihat-lihat, disana ada Pok-Pok Tem. Saat itu saya sempat bingung, namun ayah saya menjelaskannya dalam perjalanan.
Rumah peninggalan Awan (kakek) Karimuddin alias Tungket di Monong Kapur Atu Kenawat. (foto ; Khalis)
Rumah peninggalan Awan (kakek) Karimuddin alias Tungket di Monong Kapur Atu Kenawat. (foto ; Khalis)
Pernah juga dalam perjalanan pulang dari kebun peninggalan kakek saya tersebut, seorang nenek saat berpapasan bertanya, “ara ke demu urum Pok-pok Tem?”, saya menjawab tidak, dan dia langsung berjalan ke tujuan yang berlawanan arah dengan saya.
Ceritanya bukan takut kepada GAM, buat apa takut toh mereka bukan orang lain bagi warga Kenawat. Cuma saja efeknya yang berbahaya jika ketahuan berpapasan dengan dengan Pok-Pok Tem tersebut, bisa panjang urusan dan fatal akibatnya.
Syukurlah, Kampung Kenawat dari dulu hingga kini masih steril dari perilaku biadab Tilok Wan Opoh Kerung (menunjuk dalam kain sarung), istilah yang muncul seiring dengan ada perintah menumpas anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun 1965. Perilaku memfitnah dengan mengatakan si polan itu terlibat PKI atau separatis dengan maksud menyingkirkan orang yang di Tilok.
Setelah kesepakatan damai RI-GAM tahun 2005, saya sempat kaget atas pernyataan seorang rekan yang baru saya ketahui sebagai anggota GAM justru setelah damai. “Bang, terimakasih dan ma’af ya, rumah kebun peninggalan kakek abang sering kami tempati,” ujar rekan tersebut.
Saksi sisa konplik, Pos Siskamling di depan Mersah Kuen Kenawat. (foto: M. Syukri)
Saksi sisa konplik Aceh, Pos Siskamling di depan Mersah Kuen Kenawat yang digunakan sebagai tempat duduk-duduk dengan perapian (muniru). (foto: M. Syukri)

Kaget bukan kepalang, sama sekali tidak menyangka rumah tempat ayah saya dilahirkan tersebut sempat ditempati karena sangat berdekatan dengan perkampungan warga Monong, kurang dari 1 kilometer dan terlihat jelas dari perkampungan tersebut. Sebelumnya saya membayangkan jika GAM itu berada di kawasan Genting Mic saja, hutan bersejarah tempat Tgk. Ilyas Leube di cari, dipanggil-panggil oleh warga atas perintah TNI dengan menggunakan microphone. Waktu tempuhnya lebih dari 3 jam dari kampung Kenawat dengan berjalan kaki.
Ya, kisah Pok-Pok Tem era 1998 atau Nik ku Bur 1950an adalah masa lalu, kesepakatan damai hendaknyalah abadi selamanya, banyak sudah Kenawat Lut kehilangan tokoh berbagai sektor, dari pendidikan, kepolisian, birokrat, hingga politik, sulit memunculkan penggantinya.
Saatnya generasi Kenawat Lut dan Gayo umumnya bangkit, bermodal syari’at Islam, tinggalkan keterpurukan pendidikan dan ekonomi. Gayo semestinya bisa menjadi nomor satu dalam banyak hal, demikian petuah alam Gayo yang banyak dibahasakan penyair-penyair Gayo pendahulu.[]
Bekas gedung MIN Kenawat, pernah sebagai markas aparat keamanan di masa konplik Aceh. (foto : Khalis)
Bekas gedung MIN Kenawat, pernah sebagai markas aparat keamanan di masa konplik Aceh. (foto : Khalis)
*Putra berdarah Kenawat
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget