AMP - “PBB
sebagai organisasi negara-negara yang merdeka, mengakui wilayah NKRI meliputi
Wilayah Hindia Belanda termasuk Aceh. Sebagai negara merdeka dan berdaulat
berdasarkan pengakun negara-negara Dunia, NKRI dapat menentukan sistem
pemerintahannya, termasuk menetapkan Pimpinan negeri Aceh apakah setingkat
Gubernur/Propinsi atau digabung dalam propinsi Sumatera Utara, atau menjadikan
Aceh daerah istimewa sebagaimana kesepakatan Rakyat Aceh dengan Rakyat
Indonesia lainnya di dalam sebuah parlemen. Bpk Ahmad berupaya untuk meyakinkan
bahwa Aceh itu terpisah dari NKRI, tetapi factnya dan berdasarkan penjelasan
Bapak memberikan pemahaman bahwa Aceh itu secara hukum berada dalam NKRI. Dipeta
UMUM baik yang dikeluarkan oleh RI atau pun terbitan luar negeri, tentu Pak
Ahmad Sudirman tidak dapat membantah bahwa Aceh merupakan Wilayah RI.
Oknum/organisasi yang mencoba memisahkan Aceh dari NKRI, maka ia akan
berhadapan tidak saja dengan Rakyat Aceh, tetapi juga Rakyat Indonsia. Kalau
fact sudah terbentang jelas, apa yang dapat diputar balikkan, kecuali mereka
yang tidak dapat melihat. Yang atas tetap atas yang bawah tetap bawah meskipun
ia terbalik (namanya terbalik).” Tutur
Rasjid Prawiranegara.
Terimakasih
saudara Rasjid Prawiranegara di Jakarta, Indonesia.
Setelah
saya membaca dan mendalami tanggapan dari saudara Rasjid Prawiranegara yang
disampaikan hari ini. Ternyata saudara Rasjid berusaha untuk mengerti dan
menyimpulkan apa yang Ahmad Sudirman tampilkan, tetapi dalam bentuk kesimpulan
yang dipaksakan dari uraian Ahmad Sudirman yang tidak menunjang dan tidak
membenarkan hasil kesimpulan saudara Rasjid itu.
Mari
perhatikan apa yang ditulis saudara Rasjid: “Membaca tulisan Pak Ahmad Sudirman
sebelumnya dan jawaban yang Bpk berikan memberikan bukti bahwa Bapak secara
tidak langsung mengatakan bahwa Negara RI itu ada, yang meliputi wilayah Hindia
Belanda yang berada di Nusantara (dari Sabang sampai Marauke). Meskipun Bpk
berupaya untuk menolaknya, tetapi secara de facto dan de yure Bpk mengakui
bahwa Aceh berada dalam Wilayah RI. Rakyat Indonesia memperjuangkan NKRI yang
meliputi Sabang s/d Marauke.
Dari
apa yang ditulis saudara Rasjid ada kepingan proses pertumbuhan dan
perkembangan RI dan Negeri Acheh yang dikaburkan. Kepingan proses pertumbuhan
dan perkembangan RI dan Negeri Acheh yang mana yang dikaburkan saudara Rasjid ?
Kepingan
proses itu dalam bentuk ungkapan: “bahwa Bapak secara tidak langsung mengatakan
bahwa Negara RI itu ada, yang meliputi wilayah Hindia Belanda yang berada di
Nusantara. (dari Sabang sampai Marauke). Meskipun Bpk berupaya untuk
menolaknya, tetapi secara de facto dan de yure Bpk mengakui bahwa Aceh berada
dalam Wilayah RI.”
Dari
ungkapan saudara Rasjid tentang proses pertumbuhan dan perkembangan RI dan
Negeri Acheh ini terlihat seperti adanya satu kontradiksi dari apa yang
dijelaskan oleh Ahmad Sudirman. Padahal Ahmad Sudirman telah menjelaskan dalam
tulisan sebelum ini bahwa Kerajaan Belanda pada tanggal 27 Desember 1949 telah
menyerahkan dan mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS). Dimana
anggota Negara bagian RIS itu adalah terdiri dari Negara Republik Indonesia
(menurut perjanjian Renville 17 Januari 1948), Daerah Istimewa Kalimantan
Barat, Negara Indonesia Timur, Negara Madura, Daerah Banjar, Bangka, Belitung,
Dayak Besar, Jawa Tengah, Negara Jawa Timur, Kalimantan Tenggara, Kalimantan
Timur, Negara Pasundan, Riau, Negara Sumatra Selatan, dan Negara Sumatra Timur.
(30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986,
hal.243-244).
Nah
itulah secara de-facto dan de-jure RIS yang diakui dan diserahkan kedaulatannya
oleh Kerajaan Belanda.
Jadi
yang namanya wilayah Hindia Belanda yang ditulis oleh saudara Rasjid ternyata
dalam fakta dan buktinya adalah Republik Indonesia Serikat yang terdiri dari 16
Negara Bagian RIS.
Kemudian
kalau ditelusuri dan diteliti lebih kedalam untuk melihat Negara-negara Bagian
RIS ini, ternyata yang namanya Negeri Acheh tidak termasuk dalam Negara bagian
RIS. Tidak juga dalam tubuh Negara RI (menurut Perjanjian Renville 17 Januari
1948 yang berada di Yogyakarta dan daerah sekitarnya) yang merupakan Negara
Bagian RIS.
Dengan
tidak adanya Negeri Acheh secara de-facto dan de-jure dalam RIS dan juga dalam
Negara RI, maka itu membuktikan bahwa Negeri Acheh adalah berada diluar wilayah
de-facto dan de-jure RIS dan juga RI (menurut Perjanjian Renville 17 Januari
1948).
Sampai
disini, sudah jelas apa yang ditulis oleh Ahmad Sudirman adalah bahwa sampai
tanggal 27 Desember 1949 secara de-facto dan de-jure Negeri Acheh berada diluar
wilayah kekuasaan RIS, dan juga diluar wilayah kekuasaan de-facto dan de-jure
RI. Artinya Negeri Acheh secara de-facto dan de-jure berdiri sendiri.
Jadi
apa yang dijelaskan oleh Ahmad Sudirman itu jelas berbeda sekali dan bertolak
belakang dengan apa yang ditulis oleh saudara Rasjid yang berbunyi: “bahwa
Bapak secara tidak langsung mengatakan bahwa Negara RI itu ada, yang meliputi
wilayah Hindia Belanda yang berada di Nusantara. (dari Sabang sampai Marauke).
Meskipun Bpk berupaya untuk menolaknya, tetapi secara de facto dan de yure Bpk
mengakui bahwa Aceh berada dalam Wilayah RI.”
Kemudian
pernyataan yang dibuat oleh saudara Rasjid yang berbunyi: “Mengapa Aceh menjadi
wilayah RI karena Rakyat Aceh menginginkan untuk bersama-sama mencapai
kemakmuran di dalam NKRI dan karena Aceh merupakan Bagian dari Hindia Belanda.
Dan itu bukan kehendak Bung Karno. Pada saat Aceh bergabung dalam NKRI Sukarno
dipercayakan oleh Rakyat Indonesia termasuk Aceh, untuk memimpin perjuangan
kemerdekaan RI dari Sabang s/d Marauke.
Dari
pernyataan saudara Rasjid diatas ternyata fakta, bukti, dan dasar hukumnya
tidak ada. Mengapa ?
Karena
fakta, bukti, dan dasar hukumnya yang telah disepakati antara Kerajaan Belanda
dengan pihak Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949 dalam
bentuk penyerahan dan pengakuan kedaulatan oleh Belanda kepada RIS, ternyata
itu Negeri Acheh tidak termasuk dalam dasar hukum penyerahan dan pengakuan
kedaulatan RIS oleh Kerajaan Belanda.
Kemudian
saudara Rasjid menyatakan: “Pada saat Aceh bergabung dalam NKRI Sukarno
dipercayakan oleh Rakyat Indonesia termasuk Aceh, untuk memimpin perjuangan
kemerdekaan RI dari Sabang s/d Marauke.”
Pernyataan
saudara Rasjid inipun lemah dasarnya. Mengapa ?
Karena
Soekarno setelah Negara RI menurut Perjanjian Renville 17 Januari 1948 masuk
menjadi anggota Negara Bagian RIS dengan menandatangani Piagam Konstitusi RIS
pada tanggal 14 Desember 1949, dan setelah RIS diakui dan diserahkan
kedaulatannya oleh Kerajaan Belanda pada 27 Desember 1949, itu Soekarno tidak
lagi membawa nama atas nama Presiden Negara RI, karena Pejabat Presiden RI
telah diserahkan oleh Soekarno kepada Mr Saat pada tanggal 27 Desember 1949.
Soekarno berkuasa atas nama Presiden RIS.
Dan
ketika Soekarno menjadi Presiden RIS tidak “dipercayakan oleh rakyat Indonesia
termasuk Acheh untuk memimpin perjuangan kemerdekaan RI dari Sabang s/d
Marauke.” RI yang dipimpin oleh pejabat Presiden Mr Saat justru merupakan salah
satu Negara Bagian RIS dibawah Presiden RIS Soekarno. Kemudian itu Negeri Acheh
dimasukkan oleh Presiden RIS Soekarno melalui PP RIS No.21/1950 pada tanggal 14
Agustus 1950 melalui Sumatera Utar tanpa adanya persetujuan, keridhaan, dan
keikhlasan seluruh rakyat Acheh dan pemimpin rakyat Acheh.
Nah
proses pemasukan Negeri Acheh oleh Presiden RIS Soekarno kedalam tubuh Negara
RI yang merupakan Negara Bagian RIS inilah yang dinyatakan sebagai tindakan
ilegal dan sekaligus tindakan kejahatan dari pihak Presiden RIS Soekarno.
Dimana tindakan ilegal pemasukan, penelanan, pencaplokan Negeri Acheh melalui
Sumetara Utara ini yang merupakan dimulainya area pendudukan dan penjajahan
yang dilakukan oleh RIS dilanjutkan oleh RI yang menjelma menjadi NKRI terhadap
Negeri Acheh sampai detik sekarang ini. Dan inilah merupakan penyebab utama
timbulnya konflik Acheh.
Seterusnya
saudara Rasjid masih juga membolak balik tentang pengakuan PBB terhadap RI yang
menjelma menjadi NKRI, dengan menyatakan: “PBB sebagai organisasi negara-negara
yang merdeka, mengakui wilayah NKRI meliputi Wilayah Hindia Belanda termasuk
Aceh. Sebagai negara merdeka dan berdaulat berdasarkan pengakun negara-negara
Dunia, NKRI dapat menentukan sistem pemerintahannya, termasuk menetapkan
Pimpinan negeri Aceh apakah setingkat Gubernur/Propinsi atau digabung dalam
propinsi Sumatera Utara, atau menjadikan Aceh daerah istimewa sebagaimana
kesepakatan Rakyat Aceh dengan Rakyat Indonesia lainnya di dalam sebuah
parlemen.”
Sebagaimana
yang telah dijelaskan oleh Ahmad Sudirman dalam tulisan sebelum ini yaitu DK
PBB pada tanggal 26 September 1950 melalui Resolusi DK PBB No. 86 tahun 1950
menyatakan “The Security Council. Finds that the Republic of Indonesia is a
peace-loving State which fulfils the conditons laid down in Article 4 of the
Charter of the United Nations, and therefore recommends to the General Assembly
that the Republic of Indonesia be admitted to membership of the United Nations.
Adopted at the 503rd meeting by 10 voters to none, with 1 abstention (China).
Dan dalam Sidang Umum PBB pada tanggal 27 September 1950 diterima RI sebagai
anggota PBB ke-60.
Penerimaan
DK PBB dan Sidang Umum PBB atas keanggotaan RI sebagai anggota PBB ke-60 tidak
menjadi dasar hukum pencaplokan dan Penjajahan RI terhadap Negeri Acheh yang
sebelumnya dilakukan oleh Presiden RIS Soekarno diakui oleh PBB.
Justru
proses pencaplokan dan penjajahan pihak RI terhadap NegeriAcheh inilah yang
tidak tampak oleh PBB karena memang disembunyikan dan tidak dijelaskan
prosesnya oleh pihak RI kepada pihak DK PBB dan SU PBB. Kalau ternyata
dikemudian hari digugat kembali proses penelanan, pencaplokan, pendudukan dan
penjajahan yang dilakukan oleh RIS, RI terhadap Negeri Acheh, maka tindakan
penggugatan itu adalah suatu hal yang wajar. Karena memang itulah akar utama
penyebab timbulnya konflik Acheh ini. Yaitu pihak RI yang menjajah Negeri
Acheh.
Penggugatan
dan pembongkaran kembali proses penelanan dan pecaplokan Negeri Acheh melalui
mulut Sumatera Utara inilah yang memang masuk diakal dan suatu kewajaran
dilihat dari sudut hukum.Mengapa ? Karena memang masuknya Negeri Acheh kedalam
RI tidak melalui perundingan atau perjanjian, sebagaimana yang dilakukan antara
Negara-Negara Bagian RIS dengan pihak RI. Inilah kepingan proses pertumbuhan
dan perkembangan RI dan negeri Acheh yang oleh pihak RI kalau bisa dihilangkan
dari sejarah pertumbuhan dan perkembangan Negara RI.
Terakhir
saudara Rasjid Prawiranegara menulis: “Bpk Ahmad berupaya untuk meyakinkan
bahwa Aceh itu terpisah dari NKRI, tetapi factnya dan berdasarkan penjelasan
Bapak memberikan pemahaman bahwa Aceh itu secara hukum berada dalam NKRI.
Dipeta UMUM baik yang dikeluarkan oleh RI atau pun terbitan luar negeri, tentu
Pak Ahmad Sudirman tidak dapat membantah bahwa Aceh merupakan Wilayah RI.
Oknum/organisasi yang mencoba memisahkan Aceh dari NKRI, maka ia akan
berhadapan tidak saja dengan Rakyat Aceh, tetapi juga Rakyat Indonsia. Kalau
fact sudah terbentang jelas, apa yang dapat diputar balikkan, kecuali mereka
yang tidak dapat melihat. Yang atas tetap atas yang bawah tetap bawah meskipun ia
terbalik (namanya terbalik).”
Kembali
disini saudara Rasjid masih tetap berusaha menyamarkan atau mengkaburkan apa
yang telah diterangkan oleh Ahmad Sudirman.
Ahmad
Sudirman bukan meyakinkan, tetapi Ahmad Sudirman mengemukakan dan menampilkan
fakta, bukti, dasar hukum dan sejarah tentang Negeri Acheh yang ditelan oleh
pihak Presiden RIS Soekarno dengan memakai PP RIS No.21/1950 dan PERPPU
No.5/1950 melalui mulut Sumatera Utara. Itulah fakta yang sebenarnya. Bukan
hanya sekedar keyakinan, tanpa fakta dan bukti, dasar hukum, dan sejarah.
Kemudian
itu menyinggung soal peta umum RI. Jelas peta umum tentang RI itu lahir setelah
Negeri Acheh ditelan masuk kedalam tubuh Sumatera Utara yang berada dalam RIS
yang melebur jadi RI yang menjelma menjadi NKRI. Dan soal peta umum itu bisa
berobah setiap saat, tergantung pada perobahan politik yang terjadi dalam
proses pertumbuhan dan perkembangan RI dan Negeri Acheh. Jadi tidak berarti
peta umum itu konstan, artinya tidak berobah. Melainkan itu peta umum bisa
berobah setiap saat, tergantung pada perobahan geograpi RI.
Karena
Negeri Acheh itu memang bukan milik RI, maka sewajarnya dan sebaiknya itu
Negeri Acheh dikembalikan lagi kepada rakyat Acheh. Tidak bisa rakyat Indonesia
mengklaim itu Negeri Acheh milik rakyat Indonesia. Itu Negeri Acheh adalah
barang rampokan yang dilakukan oleh Presiden RIS Soekarno. Tidak bisa barang
rampokan diakui sebagai barang milik pribadi rakyat Indonesia. Itu berarti
rakyat Indonesia menyetujui kejahatan yang dilakukan oleh Presiden RIS Soekarno
menjajah Negeri Acheh.
loading...
Post a Comment