BILA musuh tiba di rimba dan bermaksud membidik beliau, maka burung-burung di hutan akan beterbangan. Seolah memberi kode kepada sang Panglima bahwa maut sedang mengintai. Bila ada yang bermaksud menembak binatang hutan dengan menggunakan senapan yang beliau pegang, dipastikan tidak satupun binatang yang akan merenggang nyawa, karena peluru akan tidak patuh pada perintah pelatuk.
“Teungku Lah, adalah pejuang sekaligus penjaga lingkungan. Walau terkadang hidup sekarat karena ketiadaan logistik, beliau lebih memilih merayap ke rumah mertuanya untuk mengambil beras, daripada menembak rusa untuk dimakan oleh pasukannya,” demikian cerita Nas, warga Gampong Blang Sukon, Mukim Cubo, Kecamatan Bandar Baru, kepada saya pada medio 2015 lalu.
Bagi anak-anak muda Blang Sukon-yang kini sudah beranjak tua- Teungku Abdullah Syafii, Panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka yang menghadap Ilahi pada 22 Januari 2002 di tengah sepinya hutan Pidie Jaya, merupakan sosok ideal yang layak dijadikan panutan.
“Pernah suatu kali kami meminta bergabung dengan gerilyawan AGAM yang beliau pimpin. Namun, dengan santun Teungku Lah menolaknya. Beliau malah memerintahkan kami menuju Banda Aceh untuk sekolah,” Kenang Teungku Gade, yang kini menjadi salah satu Peutuha Peut di Gampong Blang Sukon.
Walau rada kecewa, namun Gade dkk kemudian berangkat ke Banda Aceh. Salah seorang petinggi Gampong Blang Sukon saat itu, atas rekomendasi Teungku Lah, membawa mereka ke Kutaraja. Di ibukota Propinsi Aceh, Gade dan beberapa temannya belajar komputer -sebuah pendidikan yang mewah kala itu.
“Tentu kami sangat bersyukur mendapatkan kesempatan belajar komputer. Padahal saat itu bisa menyentuh mouse saja adalah sesuatu yang luar biasa. Saya sempat tak percaya,” kenang Gade yang berperawakan tambun.
Teungku Lah juga seorang mursyid (guru-red) yang sangat paham tata bahasa Aceh. Ilmu tersebut sempat diturunkan kepada beberapa pemuda di tempat dia bergerilya. Akan tetapi belum paripurna dia menurunkan pengetahuannya kepada anak-anak muda di Cubo, aktivitas pasukan keamanan RI semakin intensif melakukan operasi militernya.
Dari hasil cerita yang berhasil penulis kumpulkan, Teungku Lah adalah sosok pejuang GAM yang tidak anti pada sekolah umum. “Aceh tidak akan bisa melakukan apapun, apabila generasi mudanya tidak berpendidikan. Tidak semua orang harus bertempur. Karena harus ada sebagian yang belajar di bangku sekolah. Karena kelak, bila negeri ini berhasil merdeka, orang-orang berpendidikan yang bertanggung jawab membangun negeri, kami cukup menjadi pengawal saja,” demikianlah petuah sang Panglima kepada anak-anak muda di basis perjuangannya.
Komitmen ini dibuktikan olehnya, ketika rombongan pejabat Pidie masuk ke Cubo dan bersilaturahmi dengannya. Ketika ditanya apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, teungku Lah meminta agar Pemerintah membangun sebuah SMP di Cubo.
“Seingat kami, bumi hangus sekolah tidak terjadi di masa Abdullah Syafii menjadi Panglima AGAM. Beliau sangat menyintai pendidikan,” kenang beberapa orang yang mengaku mengenal dengan baik sosok lelaki kelahiran Peusangan pada 12 Oktober 1955 (banyak versi tahun kelahirannya, red).
Difitnah Oleh Republik
Walau pihak TNI mengakui bahwa Abdullah Syafii adalah salah seorang “pemberontak” yang berpengetahuan luas, santun dan tahu kapan berperang dan kapan berdamai, bukan berarti Panglima kepercayaan Teungku Hasan Muhammad di Tiro-pendiri Gerakan Aceh Merdeka- bebas dari fitnah “musuh”.
Pihak Indonesia pada medio 199-2000 melalui mulut para serdadu, kerap mengatakan bahwa Abdullah Syafii adalah orang susupan Kopassus untuk melemahkan perjuangan GAM. Dia disebut-sebut sebagai intel Republik yang “dititip” ke tubuh AGAM.
Fitnah lainnya — lagi-lagi melalui mulut serdadu– dia difitnah telah berhasil menumpuk harta dari hasil pajak nanggroe. Istrinya memiliki kalung, gelang emas dan cincin yang sangat banyak. “Rumahnya sangat besar dibangun di luar Aceh. Istrinya memakai perhiasan emas yang sangat mencolok,”.
Sosok Sederhana
Masyarakat di lingkungan Abdullah Syafii tinggal mengenal lelaki tersebut sebagai sosok sederhana nan alim. Dia tidak bicara crah beukah. Sifatnya santun dan bila bicara berisi petuah.
Setiap warga selalu berbahagia bila duduk satu majelis dengan dirinya. “Dia disegani. Bukan ditakuti. Bila seseorang melakukan kesalahan, saat ditegur oleh Teungku, bukannya takut, tapi malu. Itu yang membuat banyak orang di kampung agak segan ketika hendak melakukan hal-hal yang dilarang,” kenang salah seorang warga Cubo.
Puteh binti Abbas, 48 tahun, mertua Abdullah Syafii, punya kenangan tersendiri terhadap menantunya itu. Di mata perempuan gaek tersebut, sang panglima adalah sosok lelaki yang sempurna.
“Dia santun. Tidak pernah marah. bahkan saya tidak pernah melihat wajahnya masam, baik kepada istrinya maupun kepada saya,” kenangnya ketika penulis mewawancarainya pada 30 Mei 2015.
Puteh juga bercerita, sehari-hari Teungku Lah hidup dalam kondisi sederhana. Kerapkali pasukannya kehabisan logistik. Maka yang menjadi “korban” adalah padi yang ada di rumah. Teungku Lah, setahu Puteh tidak serta merta meminta bantuan kepada masyarakat.
“Masyarakat sudah susah, jangan kita tambah lagi,” katanya mengulang kalimat sang panglima.
Meninggal Dalam Sunyi
Rimba Jiem-Jiem –sebagian menyebut Jijiem–, Kemukiman Jalan Rata, Bandar Baru, Pidie Jaya menjadi saksi syahidnya sang panglima. kala itu pasukannya terperogok dengan pasukan TNI yang sedang melakukan oeprasi militer.
Sebagai Panglima, dia seperti memiliki firasat bahwa hidupnya akan berakhir hari itu. Setelah istrinya terkena tembakan dan kemudian ikut syahid, dia berpesan kepada pasukannya agar segera melarikan diri.
Awalnya para pengikutnya menolak, namun karena sang martir bersikukuh, akhirnya mereka meninggalkan sang pejuang berdua dengan sang istri tercinta di tengah rimba. Di sana, ditengah kebisingan rimba, diselingi rentet senapan, sang panglima terus berjuang, memperjuangkan keyakinannya akan masa depan Aceh dalam sebuah imaji negara merdeka, yang sejajar dengan Indonesia, Malaysia, bahkan Amerika Serikat sekalipun.
Sebuah peluru yang menembus dada sang syuhada, telah mengakhiri hidup seorang lelaki tangguh, alim, santun, baik hati, pejuang sejati, bukan perampok, bukan mata-mata Indonesia, bukan pencuri.
Ketika dia dan istrinya menghadap Ilahi Rabbi, turut serta sang calon buah hati yang ikut syahid dalam perut sang bunda. Jabang bayi itu, adalah calon anak pertama sang pejuang, yang jadwal kelahirannya telah ditunggu-tunggu sekian lama.
“Jika pada suatu hari nanti Anda mendengar berita bahwa saya telah syahid, janganlah saudara merasa sedih dan patah semangat. Sebab saya selalu bermunajat kepada Allah SWT agar mensyahidkan saya apabila kemerdekaan Aceh telah sangat dekat. Saya tak ingin memperoleh kedudukan apapun apabila negeri ini (Aceh) merdeka” (Abdullah Syafii, Panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka, 12 Oktober 1955-22 januari 2002).[]
“Teungku Lah, adalah pejuang sekaligus penjaga lingkungan. Walau terkadang hidup sekarat karena ketiadaan logistik, beliau lebih memilih merayap ke rumah mertuanya untuk mengambil beras, daripada menembak rusa untuk dimakan oleh pasukannya,” demikian cerita Nas, warga Gampong Blang Sukon, Mukim Cubo, Kecamatan Bandar Baru, kepada saya pada medio 2015 lalu.
Bagi anak-anak muda Blang Sukon-yang kini sudah beranjak tua- Teungku Abdullah Syafii, Panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka yang menghadap Ilahi pada 22 Januari 2002 di tengah sepinya hutan Pidie Jaya, merupakan sosok ideal yang layak dijadikan panutan.
“Pernah suatu kali kami meminta bergabung dengan gerilyawan AGAM yang beliau pimpin. Namun, dengan santun Teungku Lah menolaknya. Beliau malah memerintahkan kami menuju Banda Aceh untuk sekolah,” Kenang Teungku Gade, yang kini menjadi salah satu Peutuha Peut di Gampong Blang Sukon.
Walau rada kecewa, namun Gade dkk kemudian berangkat ke Banda Aceh. Salah seorang petinggi Gampong Blang Sukon saat itu, atas rekomendasi Teungku Lah, membawa mereka ke Kutaraja. Di ibukota Propinsi Aceh, Gade dan beberapa temannya belajar komputer -sebuah pendidikan yang mewah kala itu.
“Tentu kami sangat bersyukur mendapatkan kesempatan belajar komputer. Padahal saat itu bisa menyentuh mouse saja adalah sesuatu yang luar biasa. Saya sempat tak percaya,” kenang Gade yang berperawakan tambun.
Teungku Lah juga seorang mursyid (guru-red) yang sangat paham tata bahasa Aceh. Ilmu tersebut sempat diturunkan kepada beberapa pemuda di tempat dia bergerilya. Akan tetapi belum paripurna dia menurunkan pengetahuannya kepada anak-anak muda di Cubo, aktivitas pasukan keamanan RI semakin intensif melakukan operasi militernya.
Dari hasil cerita yang berhasil penulis kumpulkan, Teungku Lah adalah sosok pejuang GAM yang tidak anti pada sekolah umum. “Aceh tidak akan bisa melakukan apapun, apabila generasi mudanya tidak berpendidikan. Tidak semua orang harus bertempur. Karena harus ada sebagian yang belajar di bangku sekolah. Karena kelak, bila negeri ini berhasil merdeka, orang-orang berpendidikan yang bertanggung jawab membangun negeri, kami cukup menjadi pengawal saja,” demikianlah petuah sang Panglima kepada anak-anak muda di basis perjuangannya.
Komitmen ini dibuktikan olehnya, ketika rombongan pejabat Pidie masuk ke Cubo dan bersilaturahmi dengannya. Ketika ditanya apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, teungku Lah meminta agar Pemerintah membangun sebuah SMP di Cubo.
“Seingat kami, bumi hangus sekolah tidak terjadi di masa Abdullah Syafii menjadi Panglima AGAM. Beliau sangat menyintai pendidikan,” kenang beberapa orang yang mengaku mengenal dengan baik sosok lelaki kelahiran Peusangan pada 12 Oktober 1955 (banyak versi tahun kelahirannya, red).
Difitnah Oleh Republik
Walau pihak TNI mengakui bahwa Abdullah Syafii adalah salah seorang “pemberontak” yang berpengetahuan luas, santun dan tahu kapan berperang dan kapan berdamai, bukan berarti Panglima kepercayaan Teungku Hasan Muhammad di Tiro-pendiri Gerakan Aceh Merdeka- bebas dari fitnah “musuh”.
Pihak Indonesia pada medio 199-2000 melalui mulut para serdadu, kerap mengatakan bahwa Abdullah Syafii adalah orang susupan Kopassus untuk melemahkan perjuangan GAM. Dia disebut-sebut sebagai intel Republik yang “dititip” ke tubuh AGAM.
Fitnah lainnya — lagi-lagi melalui mulut serdadu– dia difitnah telah berhasil menumpuk harta dari hasil pajak nanggroe. Istrinya memiliki kalung, gelang emas dan cincin yang sangat banyak. “Rumahnya sangat besar dibangun di luar Aceh. Istrinya memakai perhiasan emas yang sangat mencolok,”.
Sosok Sederhana
Masyarakat di lingkungan Abdullah Syafii tinggal mengenal lelaki tersebut sebagai sosok sederhana nan alim. Dia tidak bicara crah beukah. Sifatnya santun dan bila bicara berisi petuah.
Setiap warga selalu berbahagia bila duduk satu majelis dengan dirinya. “Dia disegani. Bukan ditakuti. Bila seseorang melakukan kesalahan, saat ditegur oleh Teungku, bukannya takut, tapi malu. Itu yang membuat banyak orang di kampung agak segan ketika hendak melakukan hal-hal yang dilarang,” kenang salah seorang warga Cubo.
Puteh binti Abbas, 48 tahun, mertua Abdullah Syafii, punya kenangan tersendiri terhadap menantunya itu. Di mata perempuan gaek tersebut, sang panglima adalah sosok lelaki yang sempurna.
“Dia santun. Tidak pernah marah. bahkan saya tidak pernah melihat wajahnya masam, baik kepada istrinya maupun kepada saya,” kenangnya ketika penulis mewawancarainya pada 30 Mei 2015.
Puteh juga bercerita, sehari-hari Teungku Lah hidup dalam kondisi sederhana. Kerapkali pasukannya kehabisan logistik. Maka yang menjadi “korban” adalah padi yang ada di rumah. Teungku Lah, setahu Puteh tidak serta merta meminta bantuan kepada masyarakat.
“Masyarakat sudah susah, jangan kita tambah lagi,” katanya mengulang kalimat sang panglima.
Meninggal Dalam Sunyi
Rimba Jiem-Jiem –sebagian menyebut Jijiem–, Kemukiman Jalan Rata, Bandar Baru, Pidie Jaya menjadi saksi syahidnya sang panglima. kala itu pasukannya terperogok dengan pasukan TNI yang sedang melakukan oeprasi militer.
Sebagai Panglima, dia seperti memiliki firasat bahwa hidupnya akan berakhir hari itu. Setelah istrinya terkena tembakan dan kemudian ikut syahid, dia berpesan kepada pasukannya agar segera melarikan diri.
Awalnya para pengikutnya menolak, namun karena sang martir bersikukuh, akhirnya mereka meninggalkan sang pejuang berdua dengan sang istri tercinta di tengah rimba. Di sana, ditengah kebisingan rimba, diselingi rentet senapan, sang panglima terus berjuang, memperjuangkan keyakinannya akan masa depan Aceh dalam sebuah imaji negara merdeka, yang sejajar dengan Indonesia, Malaysia, bahkan Amerika Serikat sekalipun.
Sebuah peluru yang menembus dada sang syuhada, telah mengakhiri hidup seorang lelaki tangguh, alim, santun, baik hati, pejuang sejati, bukan perampok, bukan mata-mata Indonesia, bukan pencuri.
Ketika dia dan istrinya menghadap Ilahi Rabbi, turut serta sang calon buah hati yang ikut syahid dalam perut sang bunda. Jabang bayi itu, adalah calon anak pertama sang pejuang, yang jadwal kelahirannya telah ditunggu-tunggu sekian lama.
“Jika pada suatu hari nanti Anda mendengar berita bahwa saya telah syahid, janganlah saudara merasa sedih dan patah semangat. Sebab saya selalu bermunajat kepada Allah SWT agar mensyahidkan saya apabila kemerdekaan Aceh telah sangat dekat. Saya tak ingin memperoleh kedudukan apapun apabila negeri ini (Aceh) merdeka” (Abdullah Syafii, Panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka, 12 Oktober 1955-22 januari 2002).[]
Sumber: acehtrend.co
loading...
Post a Comment