Halloween Costume ideas 2015
Latest Post

AMNews - Klub Liga 2 2019, Aceh United, dikabarkan akan pindah homebase ke Bangka Belitung. Setidaknya kabar pindahnya Aceh United dikatakan oleh owner Persiba Balikpapan, Gede Widiade.

Gede Widiade mengatakan Aceh United saat ini dikelola oleh M Rafil Perdana. Perlu diketahui, Rafil Perdana dan Gede Widiade sempat bekerjasama di Persija Jakarta pada dua musim terakhir.

Saat itu, Gede Widiade menjabat sebagai Direktur Utama Persija Jakarta, sementara Rafil Perdana mengemban tugas COO Macan Kemayoran. Keduanya sepakat untuk mundur dari Persija Jakarta pada awal Februari lalu dan saat ini berkiprah di Liga 2 2019.

"Saya di Persiba Balikpapan sebagai pemegang saham mayoritas, saya tidak di lapangan. Semuanya saya serahkan kepada anak-anak muda. Ada anak saya sebagai Direktur Utama Persiba Balikpapan," kata Gede Widiade.

"Jadi ini sudah waktunya kami transfers teknologi, knowledge, dan manajemen, supaya mereka mengerti mengelola bisnis sepak bola dengan baik."

"Jadi kami tidak mengambil satu klub ya, ada beberapa rekan saya yang juga memegang klub, salah satunya Pak Rafil Perdana yang ambil Aceh United," ucap Gede Widiade.

Gede Widiade melanjutkan ia bersama rekan-rekannya termasuk Rafil Perdana memiliki sebuah grup yang nantinya mengelola klub-klub Liga 2 2019 secara profesional. Menurut Gede Widiade, era sepak bola saat ini adalah bisnis.

"Jadi Pak Rafil Perdana pegang Aceh United dan dipindahkan ke Bangka Belitung. Dia juga akan ambil sebagian saham di Persiba Balikpapan. Dia juga akan mengambil klub lain," kata Gede Widiade. [bolasport.com]

Kapal yang sempat tenggelam di perairan laut Lampuyang, Pulo Aceh. Foto: Dok. SAR Banda Aceh
AMNews - Sebuah kapal transportasi antarpulau di Aceh dikabarkan tenggelam di kawasan perairan laut Lampuyang, Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, sekitar pukul 11.30 WIB, Kamis (20/6).

Informasi yang dihimpun acehkini, kapal tersebut diduga membawa rombongan pengantin yang berjumlah 30 orang dari Sabang menuju Pulo Aceh.

"Saat ini Basarnas Banda Aceh sudah berkoordinasi dengan penumpang kapal yang selamat," kata Kepala Kantor Pencarian dan Pertolongan (SAR) Banda Aceh, Budiono, kepada jurnalis, Kamis (20/6).

Ia menyebutkan, tenggelamnya kapal tersebut diduga karena kelebihan muatan dan angin kencang. Saat tenggelam, kapal tersebut dibantu oleh kapal lain yang mengiringinya.

Saat ini semua penumpang yang selamat dievakuasi ke daratan Lampuyang, Pulo Aceh. "Setelah berkomunikasi langsung dengan penumpang yang selamat, mereka meminta penjemputan balik ke Sabang," pungkas Budiono.[Kumparan]

Ketua Komisi I DPR Aceh, Azhari Cagee (pakai jas) didampingi wakil ketua, Abdullah Saleh (berpeci) saat memimpin rapat koordinasi bersama Komisi A DPRK se-Aceh di gedung DPR setempat di Banda Aceh, Rabu 19 Juni 2019. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)
AMNews - Setelah sempat tenggelam, wacana referendum di Aceh kembali muncul. Bukan dari eks Panglima GAM Muzakir Manaf atau Mualem. Kini datang dari DPRK se-kabupaten kota di Aceh.

Wacana itu mengemuka dalam rapat koordinasi antara Komisi I DPR Aceh dengan Komisi A DPRK se-Aceh terkait dengan kondisi politik dan evaluasi 14 tahun perdamaian Aceh di gedung DPR setempat di Banda Aceh, Rabu 19 Juni 2019.

Rapat dipimpin Ketua Komisi I DPRA Azhari Cage didampingi Abdullah Saleh, Buhari Selian dan sejumlah anggota Komisi I DPRA lainnya.

Azhari Cage menyebutkan, dalam rapat tersebut pihaknya bersama pimpinan Komisi A DPRK se-Aceh menyepakati tiga hal yang harus segera ditindaklanjuti, salah satu soal referendum.

"Hal paling pertama yaitu Komisi A DPRK se-Aceh harus mengadakan paripurna untuk mengeluarkan keputusan, mendesak pemerintah pusat untuk menuntaskan implementasi MoU Helsinki dan Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA), jika tidak dituntaskan segera, maka Aceh akan mengambil langkah-langkah konkrit untuk melaksanakan referendum," kata Azhari.

Dia menjelaskan, rapat paripurna setingkat DPRK harus segera dilaksanakan. Oleh karena itu, keputusan untuk mendesak agar MoU Helsinki dan UUPA dituntaskan segera bisa dilakukan.

Azhari menyebutkan, poin ke dua yang disepakati dalam rapat tersebut adalah Komisi I DPRA perlu mengadakan dengar pendapat dengan tokoh-tokoh Aceh yang melibatkan semua elemen, termasuk ulama, akademisi dan tokoh GAM.

Rapat tersebut, kata Azhari, akan menjadi acuan arah kebijakan DPR Aceh dalam mendesak pemerintah pusat untuk menuntaskan MoU Helsinki dan UUPA.

"Adapun poin ke tiga yakni mendesak pemerintah Aceh dan DPRA untuk membentuk badan percepatan penyelesaian dan implementasi MoU Helsinki dan UUPA," sebut Azhari.

Dalam kesempatan itu, politikus Partai Aceh ini menuding bahwa pemerintah pusat tidak komit dalam menuntaskan perjanjian damai itu. Buktinya, setiap komunikasi yang dilakukan antara Aceh dan pusat selalu mandek.

"Sudah 14 tahun, baru empat poin perjanjian yang selesai yaitu Lembaga Wali Nanggroe, Otsus Aceh dan pembentukan partai lokal," kata dia.

Sementara, Wakil Ketua Komisi I DPRA Abdullah Saleh mengatakan bahwa untuk melakukan referendum sulit terjadi, jika tak memiliki alasan yang jelas.

"Jika butir-butir MoU dan UUPA ini tidak diselesaikan maka akan menjadi alasan kita untuk melakukan referendum," kata Abdullah Saleh.

Abdullah Saleh yakin, jika butir-butir MoU dan UUPA dikhianati oleh pemerintah pusat, maka Uni Eropa akan mendukung Aceh untuk referendum.

"Karena Uni Eropa terlibat dalam perjanjian itu, demikian juga negara-negara di Asia, seperti Jepang dan Australia yang ikut membantu Aceh saat gempa dan Tsunami 2004," katanya. []

AMNews - Wakil Bupati Pidie, Fadhlullah TM Daud, meminta maaf atas insiden salah stempel pada lembaran Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Wakil Bupati Pidie yang berstempel Gubernur Aceh.

LKPJ tersebut dibacakan Fadhlullah TM Daud di depan anggota DPRK setempat, Kamis (20/6/2019).

Usai menyampaikan sidang tersebut , Fadhlullah mengaku sangat terkejut dan langsung meminta maaf sebesar-besarnya begitu mengetahui adanya kekeliruan.

“Mohon maaf atas kekeliruan ini. Ini adalah kesempatan banyak hal yang harus dievaluasi, pembenahan ke depan supaya tidak ada tidak kekeliruan, terutama soal administrasi ini,” ujar Wakil Bupati Pidie, Fadhlullah TM Daud saat dikonfirmasi aceHTrend Kamis petang.

Ke depan kata dia, ia akan terus membenahi dan mengevaluasi seluruh manajemen administrasi sehingga kekeliruan yang sama tidak terulang kembali.[Acehtrend]

Mahasiswa minta bantuan d depan Pendopo Bupati Aceh Utara. Foto: Ist
AMNews - Oganisasi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh melakukan aksi galang dana di depan pendopo Bupati Aceh Utara. Aksi itu dilakukan guna "menampar" pemerintah setempat karena mengingat maraknya masyarakat miskin di daerah tersebut. 

Ketua BEM FH Unimal, Muhammad Fadli mengatakan, melihat sejumlah pemberitaan di media beberapa hari ini, kalau ada sejumlah masyarakat Aceh Utara yang tinggal jauh di bawah garis kemiskinan dengan keadaan ekonomi dan rumah yang sangat memperinhatinkan.

“Jadi ketika membaca berita tersebut, kami dari Ormawa FH Unimal bergerak cepat untuk langsung mengobservasi ke lapangan dan kemudian langsung membuat penggalangan dana untuk masyarakat tersebut, khususnya Nek Aminah dan Tijarahah,” katanya, Rabu (19/6).

Sambungnya, penggalangan sudah dimulai sejak 18 Juni 2019 lalu dengan cara kutib sumbangan di fakultas dan ngamen di kampus Unimal. Kemudian hari ini, hari kedua setengah hari ngamen di kampus dan setengah hari lagi kutip sumbangan dan membuka posko di depan pendopo Bupati Aceh Utara.

“Hari ini kami galang dana di depan Pendopo Bupati Aceh Utara, seharusnya hal ini bisa menjadi tamparan keras dan malu yang luar biasa untuk Pemerintah daerah tersebut,” ujarnya.

Lanjutnya, butuh cara-cara seperti ini terkadang untuk membangunkan para pejabat yang sedang tertidur pulas di bawah dinginnya AC, mereka tidak mau melihat bahwa ada masyarakat yang tidur dibawa teriknya matahari dan derasnya kucuran air hujan. Sementara itu,

Ketua DPM FH Unimal, Muhar juga menambahkan, ini adalah bentuk janji manis yang berakhir tragis. Tragis untuk masyarakat yang dulu percaya dengan para politisi yang membawa atas nama rakyat.

Pemerintah harus sadar banyak masyarakat di luar sana yang sangat butuh kebijakan-kebijakan yang menyentuh langsung mereka.

“Rencana kami hari Sabtu ini akan membawa uang bantuan tersebut untuk diberikan kepada mereka, Allhamdulillah uang yang sudah terkumpul sekitar Rp2.3 juta," ujarnya.

Jika nanti Pemkab Aceh Utara masih belum mau membantu mereka yang membutuhkan atau tidak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap rakyat kecil, maka pihaknya akan selalu berada di garda terdepan bersama rakyat untuk melawan mereka. 

"Negara harus hadir di tengah pilu dan tangisan masyarakat,” tegasnya.[ajnn.net]

AMNews - Syeikh Ismail bin Abdul Muthalib Asyi, tidak banyak dikenal oleh generasi Aceh kini. Padahal karya Tajul Muluk, sering dibaca sampai sekarang. Sebelum berangkat ke Mekkah beliau berguru pada Syeikh Ali Asyi di Aceh, dan sewaktu beliau berada di Mekkah diantara guru gurunya adalah, Syeikh Daud bin Abdullah Al Fathani dan Syeikh Ahmad al-Fathani.

Kedua ulama ini memang sangat disegani, tidak hanya di tanah Arab, tetapi juga di rantau Melayu, seperti di Aceh, Pattani, dan Kelantan. Syeikh Ismail bin Abdul Muthalib Asyi, agaknya tidak lepas dari jaringan keilmuan Nusantara ini. Kendati, sampai sekarang hampir tidak ada peneliti yang berani melakukan pengkajian terhadap biografinya secara lengkap.
Aceh, pulau jawa, sumatera, dan juga Kalimantan, ada kitab yang selalu dibaca oleh kaum santri atau siapapun yang tertarik dengan ilmu pegobatan, yakni Kitab Tajul Muluk. Kitab ini menggunakan bahasa Jawi (jawoe), maka siapapun bisa membacanya bila mengerti.

Anak Aceh yang sudah belajar di pesantren modern atau Madrasah ‘Aliyah, diantara cita-cita mereka adalah bisa belajar di Kairo, Mesir. Negeri yang sudah mencetak ribuan ulama, bahkan tidak sedikit jiwa pembaruan di Nusantara, disemai dari mereka yang pernah menimba ilmu di Mesir.

Sehingga anak muda Aceh yang merantau ke Mesir itu tidak sedikit. Saat ini sudah ada yang berbakti di Darussalam, seperti Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim. Juga ada Prof. Dr.Tgk. Azman Ismail (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh). Di dalam era kontemporer, dunia Islâm di Aceh memang tidak dapat dilepaskan dari tradisi keilmuan Islam yang didapatkan oleh sarjana-sarjana Aceh yang pernah menuntut ilmu di Kairo ini.

Ini merupakan impian setiap anak muda Aceh, yang mau menuntut ilmu ke mesir. Karena mesir gudangnya Ilmu Pengetahuan, dan Mesir tempat Ilmu pertama kali yang terbaik dalam hal masalah agama dan Ilmu pengobatan.

Selain Tajul Muluk, ada karyanya yang masih ada sampai saat ini adalah Jam’u Jawami’il Mushannifat. Salah satu kitab yang wajib dibaca di dayah-dayah, tidak hanya di Aceh, melainkan juga di Pattani dan Kelantan. Di dalam kitab tersebut, Syeikh Ismail menulis sepenggal kalimat yang sangat puitis:

Di dalam hal ini, Syeikh Ismail selain mentashihkan kitab-kitab ulama Aceh pada saat itu agar mudah dibaca umum. Selain itu ia juga mengarang kitab sendiri seperti Muqaddimatul Mubtadi-in, yang dicetak oleh Mathba’ah al-Miriyah, Mekah, 1307 Hijrah/1889 Masehi. Tuhfatul Ikhwan fi Tajwidil Quran, diselesaikan pada waktu Dhuha hari Jumaat dua likur Jamadilawal 1311 Hijrah/1893 Masehi.

Cetakan pertama Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1311 Hijrah/1893 Masehi. Terdapat lagi cetakan Mathba’ah al-Miriyah, Mekah, 1324 Hijrah/1906 Masehi, Fat-hul Mannan fi Bayani Ma’na Asma-illahil Mannan, diselesaikan tahun 1311 Hijrah/1893 Masehi. Cetakan kedua oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Makkah, 1311 Hijrah/1893 Masehi, Fat-hul Mannan fi Hadits Afdhal Waladi ‘Adnan, diselesaikan tahun 1311 Hijrah/1893 Masehi.

Berawal dari kisah Syeikh Ismail bin Abdul Muthalib al-Asyi, lalu mencoba mencari apakah ada ulama Aceh yang cukup disegani di Mesir? Dalam beberapa ‘catatan tercecer’ telah dikupas beberapa nama ulama Aceh di Mekkah serta jasa mereka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di Mekkah berikut Serambinya (Aceh).

Tanpa sengaja kemudian tersentak bahwa pengarang kitab Tajul Muluk adalah ulama Aceh yang pernah menetap di Mesir. Lagi-lagi, nama beliau tidak pernah terdengar di Aceh, walaupun hanya untuk nama jalan, seperti yang terlihat sekarang, dimana ada nama-nama ulama besar hanya dijadikan sebagai nama-nama jalan di kota besar Aceh.

Wan Muhammad Sangir Abdullah, pengumpul hasil karya ulama Nusantara, mengatakan bahwa Syeikh Ismail Abdul Muthalib Asyi, setelah lama belajar dan mengajar di Mekkah oleh gurunya Syeikh Ahmad Fathani mengirim beliau ke Mesir untuk mengurus dan membina kader kader muda Islam Nusantara yang lagi belajar di Al Azhar Kairo bersama Syeikh Muhammad Thahir Jalaluddin, Syeikh Ahmad Thahir Khatib, Syeikh Abdurrazak bin Muhammad Rais, dan Syeikh Muhammad Nur Fathani.

Sesampainya di sana beliau mendirikan wadah pemersatu pelajar pelajar Nusantara disana dan beliau diangkat menjadi ketua pertama persatuan pelajar pelajar Melayu di Mesir oleh gurunya Syeikh Ahmad Fathani. Syeikh Ismail Asyi meninggal dunia di Mesir dan sedangkan keturunannya ramai menetap di Makkah.

Sampai sekarang belum diketahui dimana pusaranya. Namun, jasa dan embrio keilmuan yang ditiupkan oleh Syeikh Ahmad Fathani kepada Syeikah Ismail Abdulmuthalib Asyi sudah berhasil. Buah dari hijrah ini sudah dapat kita rasakan sampai hari ini, tidak hanya bagi orang Aceh, tetapi juga bagi umat Islâm di Indonesia, Malaysia, dan Thailand Selatan.

Inilah kisah kecil dan peran Syeikh Ismail bin Abdulmuthalib Asyi. Ada banyak hal yang perlu dipelajari lebih lanjut. Perlu dilacak lagi bagaimana jaringan keilmuannya di Mesir. Sehingga ada ‘alasan sejarah’ mengapa generasi Aceh selalu bermimpi untuk menuntut ilmu ke negeri itu. kisah ini ternyata sudah dilakukan oleh Syeikh Ismail Abdulmuthalib Asyi melalui dorongan dari gurunya yang berasal dari Pattani. Untuk itu, kita berharap nama ulama ini bisa mendapat tempat yang terhormat di Aceh, tidak lantas kemudian menjadi nama-nama jalan di kota besar.

Menghormati dan menghargai ulama, adalah dengan cara membaca karyanya dan berdoa atas jasa yang telah diberikan kepada kita saat ini. Begitu banyak manfaat kitab Tajul Muluk, namun tidak seimbang dengan pengetahuan pembaca akan penulis kitab ini. Akhirnya ‘sejarah tercecer’ dan tersebar entah kemana, kali ini bisa menjadi perhatian bagi masyarakat dan pemerintah Aceh.

Sudah saatnya digagas untuk menulis dan mencari dimana ulama-ulama Aceh di Timur Tengah..Kita berharap ada upaya nyata dari pemerintah untuk menggali dan mencari jejak-jejak ulama Aceh, yang telah berjasa dalam pengembangan keislaman dan keilmuan sehingga menjadi iktibar bagi generasi Aceh selanjutnya.

Secara sejarah, modernisasi pendidikan di Mesir berawal dari pengenalan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi Napoleon Bonaparte pada saat penaklukan Mesir. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang dicapai Napoleon Bonaparte yang berkebangsaan Perancis ini, memberikan inspirasi yang kuat bagi para pembaharu Mesir untuk melakukan modernisasi pendidikan di Mesir yang dianggapnya stagnan.

Diantara tokoh-tokoh tersebut Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Ali Pasha. Dua yang terakhir, secara historis, kiprahnya paling menonjol jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang lain. Sistem Pendidikan di negara Mesir meliputi: Sekolah Dasar (Ibtida’i); Sekolah Menengah Pertama (I’dadi);  Sekolah Menengah Atas (Tsanawiyah ‘Ammah); Pendidikan Tinggi.

Mesir dengan luas  wilayah sekitar 997.739 km², mencakup Semenanjung Sinai (dianggap sebagai bagian dari Asia Barat Daya), sedangkan sebagian besar wilayahnya terletak di Afrika Utara. Mesir berbatasan dengan Libya di sebelah barat, Sudan di selatan, jalur Gaza dan Israel di utara-timur. Perbatasannya dengan perairan ialah melalui Laut Tengah di utara dan Laut Merah di timur.

Asal nama Mesir, Orang Qibti (Mesir kuno) menyebut negeri ini di zaman dahulu dengan istilah Kemy dan Takemy yang berarti hitam atau tanah yang hitam, sebagai simbol dari warna tanah yang subur. istilah Mesir paling kuno adalah Tawey yang berarti dua tanah. Karena secara geografis Mesir terbagi kepada dua, Tasymaao (dataran tinggi) dan Tsameho (permukaan laut atau ardh wajhul bahri). Nama ini muncul sejak akhir 4000 tahun SM.

Sumber: Arsip Atjehcyber | Tabloid Modus Aceh, 14 April 2010

Mantan Presiden Mesir Mohammed Morsi, mengenakan jumpsuit merah yang menandakan dia telah dijatuhi hukuman mati, mengangkat tangannya di dalam kandang terdakwa di ruang sidang sementara di akademi kepolisian nasional, di pinggiran timur Kairo, Mesir, Sabtu, 18 Juni. 2016. Amr Nabil/AP
AMNews - Presiden Mesir Muhammad Mursi (Mohammed Morsi) meninggal dunia pada Senin (17/6/2019) saat menjalani proses persidangan. Mursi adalah presiden Mesir pertama yang dipilih secara demokratis. 

The Guardian menulis, Mursi adalah tokoh senior Muslim Brotherhood (Persaudaraan Muslim), yang kini dilarang oleh pemerintah Mesir. Ia tengah menjalani persidangan atas tuduhan espionase. Ia pingsan lalu meninggal di tempat. 

“Setelah [hakim memutuskan] kasus ini ditunda, dia pingsan lalu meninggal. Jasadnya kemudian dibawa ke rumah sakit,” kata salah seorang sumber sebagaimana dilansir The Guardian

Pada Mei 2015, Muhammad Mursi tersingkir, dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan. Dakwaannya berlapis, mulai dari penahanan dan penyiksaan para pendemo, membocorkan rahasia negara, berkomplot dengan kelompok asing bersenjata, hingga kabur dari bui (yang dia lakukan bersama anggota Hamas dan Hizbullah pada 2011). 

Sejak kudeta Juni 2013, ia dikurung dalam penjara berkeamanan ketat di Iskandariyah. November 2016 lalu, Pengadilan Tinggi Mesir membatalkan putusan hukuman mati tersebut. Jaksa mengatakan, laki-laki berusia 67 tahun ini, dinyatakan meninggal ketika tiba di rumah sakit Kairo. Penyebab kematian Mursi masih dalam proses penyelidikan. 

Untuk sementara, tidak terlihat bekas luka pada bagian tubuhnya. Namun, Muslim Brotherhood menuduh pemerintah melakukan pembunuhan terhadap Mursi, dengan cara memperlakukannya dengan buruk di penjara. Muslim Brotherhood juga mengajak seluruh Mesir untuk mengadakan pemakaman nasional untuk Muhammad Mursi. 

“Kami mendengar gedoran di kaca penjara oleh para teman sekamarnya, dan mereka meneriakkan bahwa Mursi telah meninggal,” kata Osama El Helw, pengacara Mursi. 

Sementara itu, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan turut menanggapi berita kabar kematian Mursi. 

“Sejarah tak akan melupakan tirani yang menyebabkan kematian [Mursi], dengan memenjarakan dan memperlakukannya dengan buruk,” katanya. 

Mursi memenangkan pemilu demokratis pertama di Mesir pada 2012 dengan perolehan suara 51,7 persen, usai revolusi Mesir yang berlangsung sejak 2011. Namun, beberapa tahun memerintah, Mursi dikudeta oleh pasukan militer masif yang memprotes kepemimpinannya. 

Mursi berkuasa selama satu tahun tiga hari. Ia digulingkan pada 3 Juli 2013 oleh kombinasi protes jalanan dan kudeta militer. Sebulan kemudian, 14 Agustus, ribuan pendukung Mursi turun ke jalan memprotes kudeta. 

Militer merespons dengan membantai sekitar 1500 pemrotes hanya dalam satu hari. Peristiwa ini kelak dikenal sebagai Pembantaian Rabaa. Pada 3 Juli 2013, dia dikudeta dan digantikan oleh Presiden saat ini, Abdel Fattah el-Sisi. Dia menjadi tahanan rumah sebelum dijebloskan ke penjara.

(Snouck Hurgronje menyambut Pangeran Saud di Leiden University, 1936. Sumber foto: Wikimedia Commons)
AMNews - Pada masa penjajahan Belanda, Snouck Hurgronje dimintai nasihat terkait perlawanan rakyat Indonesia, yang terutama gencar muncul dari Aceh. Hurgronje memang sengaja dikirim ke Aceh untuk mempelajari gerakan politik rakyat di tanah yang dijuluki Serambi Mekkah itu.

Dari masa tinggalnya di Aceh mulai Juli 1891 sampai Februari 1892, dikutip dari "Christian Snouck Hurgronje: History Of Orientalist Manipulation Of Islam – Analysis", Snouck menyusun laporan intelijen dengan satu poin penting: Perlawanan di Aceh tidak benar-benar dipimpin oleh Sultan, seperti yang selalu dipikirkan Belanda, namun oleh ulama-ulama Islam.

Snouck mengatakan tidak mungkin bernegosiasi dengan para ulama. Ideologi Islam yang menentang penjajahan telah tertanam kuat dalam pemikiran mereka. Maka yang dianjurkan Snouck kepada pemerintah Belanda bukan lah melobi ulama, melainkan langsung menggunakan cara-cara kekerasan. 

Menurut Snouck, kekerasan terhadap ulama akan sangat ampuh membungkam mereka dari menyampaikan ajaran-ajaran soal jihad, negara Islam, dan konsep Politik Islam lainnya; dan ke depannya hanya bicara soal Hari Akhir dan ritual ibadah.

Sarannya tersebut awalnya diabaikan pemerintah Belanda. Penyerangan tetap dipusatkan pada Sultan. Namun sampai tahun 1896, Aceh belum bisa ditaklukkan. Hingga akhirnya Belanda mengubah taktik dengan mengangkat jenderal Joannes Benedictus Van Heutsz sebagai gubernur Hindia Belanda. Van Heutsz kemudian menunjuk Snouck menjadi penasihatnya.

Dengan posisi tersebut, Snouck berhak menasihati pasukan tentara dan ikut ekspedisi-ekspedisi militer. Pemerintah Belanda kemudian meluncurkan kampanye "cari dan bunuh ulama Aceh". Ekspedisi ini terealisasi dan pada 1903, setelah 30 tahun perang, Belanda akhirnya mendeklarasikan kemenangan di Aceh.

Snouck Hurgronje Belajar Islam sampai ke Mekkah

Pergi haji ke Mekkah merupakan rukun Islam kelima. Mekkah, kota yang hanya boleh dimasuki oleh orang Islam ini, pada masa penjajahan sangat dimonitor oleh Belanda. Banyak pelarian dari Hindia Belanda yang gencar melawan penjajahan Belanda, bersembunyi di sana. Untuk memantau aktivitas mereka, Belanda membuka konsulat di Jeddah, kota yang berjarak sekitar satu jam dari Mekkah.

Kekhawatiran Belanda muncul karena berbagai sebab. Pemberontak akan mempengaruhi orang-orang Indonesia yang beribadah haji, ditambah dengan gencarnya gerakan Pan Islamisme yang dipelopori Jamaluddin Al-Afghani--paham mengenai persatuan umat Islam sedunia. Demikian mengancam legitimasi penjajahan Belanda di Indonesia.

Snouck yang menulis tesis berjudul "Festival Mekah" lantas dilirik pemerintah Belanda. Ia dinilai punya pemahaman mendalam tentang Islam. Hal itu dinilai akan sangat berguna dalam misi Belanda menduduki Aceh. Konsulat Belanda di Jeddah pun menawarinya belajar Islam langsung di Mekkah.

Bagaimana tawaran ini bisa terwujud, sementara Snouck bukan seorang Muslim?

Pada 1885, mula-mula ia tinggal di Jeddah bersama bangsawan asal Pandeglang, Raden Haji Aboe Bakr Djajadiningrat--yang darinya juga Snouck belajar bahasa Melayu. Di tahun yang sama, Snouck mengucap keinginannya masuk Islam. Ia pun bersyahadat di hadapan qadi (hakim) bernama Isma'il Agha, berikut dua orang saksi.

Pengetahuan Snouck yang tajam soal Islam memuluskan langkahnya. Ketika berhasil menginjakkan kaki di Masjidil Haram, ia menulis surat kepada temannya, Carl Bezold, membanggakan tentang betapa sumpah syahadatnya tak dipertanyakan. Dalam perjalanannya menyusupi Mekkah sebagai "mualaf", ia bahkan digelari berbagai sebutan seperti "Mufti" dan "Sheikh al Islam of Batavia".

Untuk tahu soal seluk beluk Aceh, ia belajar kepada Habib Abdoerahman Az-Zahir, ulama Mekkah yang pernah pergi ke Aceh. Habib Abdoerahman bersedia menerima Snouck sebagai murid karena ia mengaku ingin membantu orang Aceh melawan penjajahan Belanda.

Pemikiran Snouck Hurgronje yang Terus Hidup

Gerilya Snouck dalam penyamarannya sebagai agen Belanda, membarengi kepada pemikiran yang kian subur di kalangan umat Islam. Tak sedikit orang Islam menutup mata soal politik, dan hanya memusatkan diri pada ritual ibadah semata--versi ajaran Islam yang direstui Belanda zaman penjajahan. Lantas menuding sesama yang berikhtiar menuntut ilmu Islam dengan kaffah (sempurna) sebagai ekstrimis.

Bila melihat keadaan saat ini, nasihat Snouck kepada Belanda 126 tahun yang lalu--untuk memberangus ulama berikut ajaran-ajaran politiknya, tak ubahnya apa yang kita lihat sekarang dalam bentuk paham sekulerisme. Memisahkan agama dari kehidupan bernegara.

Paham itu berarti juga memisahkan agama dari politik, memisahkan agama dari ekonomi, dan pada akhirnya hanya bertujuan kepada satu hal saja: memisahkan agama dari seluruh sendi kehidupan. [Kumparan]

AMP - Mayat laki-laki yang ditemukan mengapung di sungai Gampong Meunasah Pante AB, Lhoksukon, Aceh Utara, Selasa, 18 Juni 2019 pagi, ternyata salah satu narapidana yang kabur dari Rutan Lhoksukon, dua hari lalu. Hal itu diketahui setelah pihak rutan melakukan identifikasi mayat di RSUD Cut Meutia, Buket Rata, Lhokseumawe.

Kapolres Aceh Utara AKBP Ian Rizkian Milyardin menyebutkan, anggota Satuan Reskrim bersama tim identifikasi langsung turun ke lokasi setelah mendapat informasi dari warga bahwa ada mayat laki-laki mengapung di sungai.


“Kita bawa ke RSUD Cut Meutia. Sedari awal kita menduga, bisa jadi ini napi yang kabur karena tidak ada identitas apa pun. Lalu kita panggil pihak Rutan Lhoksukon untuk memastikan,” ujar Ian.
Menurut Ian, pihak rutan memastikan mayat itu merupakan salah satu napi yang kabur atas nama Sufriadi bin Aiyub (20), warga Gampong Cot Patisah, Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara. Ia merupakan napi kasus narkotika dengan hukuman 2 tahun 6 bulan pidana penjara, dengan sisa hukuman 1 tahun 4 bulan 19 hari lagi.

“Diduga, dia itu mau menyeberangi sungai, namun tidak bisa berenang dan akhirnya tenggelam. Kami menduga, dia menyeberang sungai itu setelah kabur dari rutan pada Minggu sore, baru ditemukan warga hari ini dalam kondisi sudah meninggal dunia. Keluarganya sudah dihubungi untuk proses serah terima jenazah,” pungkas AKBP Ian.
loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget