Halloween Costume ideas 2015
August 2019

Wiranto dan Prabowo Subianto. FOTO/REUTERS
AMNews - Wiranto, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI, adalah satu dari sekian banyak pensiunan TNI yang terindikasi terlibat pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia. Salah satunya pelanggaran HAM di Timor Timur (kini Republik Demokratik Timor-Leste). Arsip-arsip yang dideklasifikasi—dibuka setelah sebelumnya berstatus 'rahasia'—oleh National Security Archive Amerika Serikat yang bermarkas di George Washington University hari ini (30/8/2019) mempertegas itu semua.

Arsip ini dikumpulkan dan diberi pengantar oleh Brad Simpson, pendiri dan direktur National Security Archive's Indonesia and East Timor Documentation Project, sekaligus Associate Professor of History and Asian Studies dari Universitas Connecticut. (Arsip-arsip yang dideklasifikasi bisa diakses di sini).

Trial International, organisasi non-pemerintah yang memerangi impunitas untuk kejahatan internasional, mencatat pada 25 Februari 2003, Wiranto pernah didakwa oleh Serious Crimes Unit, badan yang dibentuk oleh United Nations Transitional Administration of East Timor (UNTAET), karena terlibat dalam "pembunuhan, deportasi, dan penyiksaan" di Timor Timur terutama sepanjang 1999.

Wiranto didakwa demikian karena otoritas Indonesia, termasuk dia sebagai Panglima Angkatan Bersenjata saat itu (16 Februari 1998–26 Oktober 1999), "memegang kendali efektif atas milisi-milisi yang melakukan kejahatan kemanusiaan" di Timor Timur. Serious Crimes Unit bahkan mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Wiranto pada 10 Mei 2004. Tapi, otoritas Indonesia, yang saat itu dipimpin Presiden Megawati Soekarnoputri, menolak bekerja sama dengan pengadilan Timor Timur selaku eksekutor.

Baca selengkapnya

Pasukan GAM saat konflik Aceh. Foto: MH/Dok. Aceh Magazine.
AMNews - Enam anggota Tentara Neugara Aceh (TNA) berbaris rapi memegang senjata terakhir mereka. Berseragam hitam-hitam, bertopi baret, dan sepatu lars, tanpa simbol GAM. Mereka bukan sedang latihan di tengah hutan, tapi di lapangan Blang Padang, Banda Aceh, mengikuti upacara penghancuran senjata terakhir milik mereka, 21 Desember 2005. 

Sesaat kemudian, masih dengan komando militer, mereka bergerak mendekati tim decommissioning Aceh Monitoring Mission (AMM), tim yang memantau damai Aceh. Dengan sebuah penghormatan, senjata itu diserahkan, dan kemudian dihancurkan. Itulah upacara resmi penyerahan senjata terakhir milik GAM, disaksikan ratusan pengunjung, pejabat pemerintah, para wakil TNI/Polri, GAM, serta anggota AMM.

“Tadi malam telah ada konfirmasi tertulis dari GAM. Semua senjata, amunisi, dan bahan peledak telah dimusnahkan,” sebut Pieter Feith, Ketua AMM dalam sambutannya saat itu.
Faith menyebutkan, surat tersebut juga telah diberikan kepada Pemerintah Indonesia. Setelah surat itu dikeluarkan, maka tidak boleh lagi ada anggapan negatif dalam proses perdamaian Aceh. Semuanya harus saling percaya, GAM telah komitmen dalam menyerahkan semua senjatanya untuk dihancurkan.

Sampai tahap keempat atau terakhir, GAM telah menyerahkan senjatanya sebanyak 1.023 pucuk. Diterima oleh AMM sebanyak 840 pucuk senjata, selebihnya ditolak karena dinilai produk rakitan. Sementara TNI sendiri masih mempermasahkan 71 pucuk senjata yang diterima AMM. Artinya, TNI hanya mensahkan 769 pucuk. Tapi, keputusan terakhir ada di AMM.

Mayjen Bambang Darmono, perwakilan Pemerintah Indonesia di AMM, dalam sambutannya menetralkan hal itu. Pemerintah RI tidak akan mempermasalahkan lagi senjata yang masih jadi pertimbangan itu. “Kita tidak lagi bicara jenis dan jumlah senjata GAM, yang penting kita bicarakan adalah menyakinkan masyarakat, bahwa tidak ada lagi senjata GAM yang tersisa,” sebutnya.

Bambang menyebutkan, pemerintah percaya kepada GAM kalau semua senjata mereka telah dimusnahkan. Pemerintah juga paham kesulitan GAM dalam mengumpulkan senjatanya, untuk itu pihak Pemerintah Indonsia masih menerima senjata GAM, jika kemudian secara tidak sengaja ditemukan kembali, sampai 31 Desember 2005, batas decommissioning sesuai MoU Helsinki.

Selanjutnya, jika ditemukan kembali senjata di Aceh, maka senjata tersebut akan dianggap ilegal dan kasusnya adalah kriminal. Penindakannya juga akan dilakukan oleh kepolisian Indonesia. “Ini adalah sukses besar dalam upaya perdamaian yang bermartabat,” sebut Bambang.

Sementara itu, Irwandi Yusuf, perwakilan GAM di AMM saat itu, mengatakan pemusnahan senjata adalah keberhasilan satu tahap dalam proses perdamaian di Aceh. “Kami bergerak ke arah yang tepat dan akan terus bergerak,” sebutnya.

Dia menyebutkan, suatu kesedihan bagi GAM saat ini ketika melihat semua senjata mereka dimusnahkan di depan mata. Senjata-senjata yang telah menemani GAM selama berjuang bertahun-tahun untuk martabat masyarakat Aceh, mempunyai arti tersendiri. Sebagian personel GAM malah telah meninggal, tanpa melihat damai.

Tapi, saat ini GAM telah mengucapkan ‘selamat tinggal’ untuk alat perang itu, “Kami menyambut masa lain, di mana senjata tidak diperlukan lagi. Sekarang alat baru, yaitu ikut dalam politik di Aceh,” sebut Irwandi.

Irwandi mengungkapkan, acara itu juga menandakan TNA sebagai militer GAM telah dibubarkan. Nantinya, GAM juga mengumumkan kepada media dan masyarakat, kalau sayap militer mereka telah dibubarkan dan dialihkan ke sipil. “Nanti kita keluarkan keputusan resmi, masih dalam bulan ini (Desember 2005),” sebutnya.

Tepat 27 Desember 2005, GAM mengumumkan secara resmi pembubaran TNA, sayap militernya. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Panglima TNA GAM, Muzakir Manaf, dan Juru Bicara TNA GAM, Sofyan Dawod, dalam konferensi pers di Kantor GAM, kawasan Lamdingin, Banda Aceh, 28 Desember 2005.

Muzzakir Manaf menyebutkan TNA dan segala atributnya sudah dibubarkan, “Sekarang yang ada hanya KPA, sebuah organisasi sipil,” sebutnya kala itu.

Komite Peralihan Aceh (KPA) yang dimaksudkan Muzakir adalah organisasi sipil untuk menampung semua mantan TNA, untuk kemudian dibantu dalam mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak. “Kita tetap akan membantu mantan TNA untuk beralih ke sipil,” jelas Sofyan. 

AMNews - Aceh saat ini merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Aceh sudah bergabung sebagai sebuah negara sejak Indonesia hingga memproklamirkan diri terbebas dari belenggu penjajahan Belanda dan para kolonialis pada 17 Agustus 1945. Saat ini kemerdekaan Indonesia telah berusia 74 tahun.

NKRI memang negara besar. Selain karena luas wilayahnya 10 kali lipat negara besar di Eropa, juga dikatakan besar karena jumlah penduduknya yang menempati posisi 4 besar dunia. Hanya itu saja? Ternyata bukan hanya itu. NKRI disebut besar juga disebabkan memiliki ribuan suku, bahasa, dan budaya. Dan tak lupa pula besarnya Indonesia karena sejarah dan kekayaan alamnya.

Sebutan negara besar tentu saja memberikan rasa bangga tersendiri bagi penduduknya apalagi Indonesia selalu berperan dan dapat berkontribusi bagi dunia. Baik sebagai bagian dari Dewan Keamanan di PBB atau pun menjadi mediator bagi negara-negara berkonflik yang memutuskan untuk mengakhiri konflik tersebut.

Keberadaan Indonesia dalam percaturan Internasional tentu menjadi posisi strategis bagi negara maritim ini. Seperti halnya masa orde lama dan orde baru. Indonesia benar-benar disegani oleh negara-negara lain karena negara kita kuat, makmur dan sejahtera. Memang pada awal-awal kemerdekaan kondisi Indonesia cukup sulit.

Namun paska jatuhnya orde baru, tumbangnya kekuasaan rezim Soeharto, bersama itu pula berbagai dinamika baru mulai berkembang. Ditandai dengan dimulainya orde reformasi, euforia politik dan kebebasan pun mulai tampak kentara. Situasi ini sangat berbeda ketika Soeharto masih berkuasa.

Sebagai rakyat awam dan saya sebagai bagian dari masyarakat Aceh. Kejatuhan orde baru bersamaan dengan mundurnya Presiden Soeharto merupakan sebuah berkah. Kenapa demikian? Karena pada masa pria asal Solo ini berkuasa, Operasi Jaring Merah (OPM) sedang berlangsung di Aceh. Operasi ini salah satu operasi militer yang dilancarkan Indonesia terhadap Aceh.

Operasi Jaring Merah adalah operasi kontra-pemberontakan yang diluncurkan pada awal 1990-an sampai 22 Agustus 1998 melawan gerakan separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. Selama periode tersebut, Aceh dinyatakan sebagai “Daerah Operasi Militer” (DOM), di mana Pemerintah Indonesia mengirimkan ribuan tentara dan artilerinya ke seluruh pelosok Nanggroe Aceh.

Wikipedia menuliskan operasi ini ditandai sebagai perang paling kotor di Indonesia yang melibatkan eksekusi sewenang-wenang, penculikan, penyiksaan dan penghilangan, dan pembakaran desa oleh aparat keamanan Indonesia. Akibatnya terjadi berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat terhadap warga sipil Aceh.

Operasi ini baru berakhir dengan penarikan hampir seluruh personel TNI yang terlibat atas perintah Presiden BJ Habibie pada tanggal 22Agustus 1998 ketika ia naik menjadi presiden menggantikan Soeharto yang digulingkan itu.

Itulah mengapa kejatuhan orde baru bersama dengan tumbangnya rezim Soeharto sebagai berkah yang saya syukuri ketika itu. Artinya masa-masa sulit penuh penderitaan tergantikan dengan kebebasan dan kemerdekaan. Terutama Presiden BJ Habibie yang membuka kran demokrasi bagi sistim bernegara kita.

Kini setelah 20 tahun berlalu, orde reformasi menggantikan orde sadis dan tertutup. Orde ini digadang-gadang sebagai nafas baru kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia. Tokoh-tokoh reformasi dari Sabang sampai Mereuke menjanjikan sebuah harapan baru yang  lebih baik. Janji akan adanya pemerataan pembangunan, adil, makmur, dan menuju Indonesia yang terbebas dari otoritarianisme.

Namun puluhan berjalan, di mana apa yang dijanjikan itu rasanya hanya sebagai sebuah harapan palsu. Rakyat Indonesia tetap saja masih pada posisi termarginalkan. Meskipun sistim politik dan kebebasan berpendapat sebagai watak demokrasi cenderung lebih baik di banding masa orde baru. Tetapi dalam hal kesejahteraan ternyata rakyat tidak lebih baik dari masa Soeharto.

Aceh yang sudah tertinggal jauh dari segi pembangunan akibat diperangi dan dikebiri oleh Pemerintah yang berkuasa kala itu, terus dibiarkan begitu saja dalam keadaan penuh ketidakpastian. Setelah perjanjian damai itu ditandatangani pun Aceh tetaplah sebagai daerah yang sulit mendapatkan keistimewaan. Padahal pengorbanan Aceh bagi republik ini tidaklah sedikit.

Bumi rencong yang menjadi sumber pendapatan negara, sebagai penyumbang APBN terbesar dari sektor minyak dan gas bumi tapi Aceh sendiri diperlakukan secara tidak adil dalam ekonomi dan pembangunan. Bahkan pemerintah Indonesia cenderung memberikan stigma-stigma buruk bagi Aceh. “Aceh adalah pemberontak, keras kepala,” begitu mereka menyebutnya.

Pada fase lebih matang, perdamaian antara Aceh (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia kedudukannya sebagai wakil negara melakukan kelembagaan perdamaian itu dalam bentuk sebuah agreement dan tertuang dalam dokumen kesepahaman. Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki. Namun apakah MoU itu efektif dijalankan?

Dalam sebuah kesempatan ketika memperingati haul Tgk Muhammad Hasan Tiro beberapa waktu yang lalu. Mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Muzakir Manaf pernah mnegeluarkan pernyataan. Manaf meminta Aceh menggelar referendum saja agar masa depan Aceh menjadi lebih jelas dan terang benderang mengikuti langkah Timor Timur (Timor Leste sekarang).

Dalam kesempatan lain Mualem juga mengatakan nota kesepahaman Helsinki diadopsi dalam ketentuan perundang-undangan pemerintahan Republik Indonesia dan disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam lembaran negara sebagai UU No.11 Tahun 2006, tentang penyelenggaraan Pemerintahan Aceh. Karena itu butuh kejujuran dan keikhlasan Pemerintah Pusat (Jakarta) mewujudkannya.

Dari dua narasi panjang yang dlontarkan oleh salah satu petinggi GAM bagaimana ia memandang efektifitas MoU Helsinki sebagai dasar pembangunan Aceh dalam bingkai GAM-RI baru terlihat ada nilai-nilai pesimisme dan keputusasaan mantan panglima itu. Mualem justru menyerukan referendum meskipun kemudian ia ralat. Tetapi saya percaya, GAM dan masyarakat Aceh sama sekali tidak puas dengan kondisi saat ini.

Memang bukan pihak GAM saja yang merasa bahwa butir-butir MoU Helsinki tidak dijalankan oleh Pemerintah Indonesia. Rakyat Aceh secara umum pun membicarakan hal ini di warung-warung kopi. Mereka mengkritisi sikap pemerintah Indonesia yang tidak konsen dan berkomitmen mewujudkan perjanjian internasional tersebut.

Bahkan beberapa kali pemerintah Jokowi terkesan ingin mengebiri hak-hak istimewa yang melekat pada daerah dan rakyat Aceh. Sebut saja misalnya Kemendagri pernah ingin membatalkan qanun (perda) yang berdasar pada syariat Islam. Dengan alasan bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.

Ataupun bagaimana partai-partai pendukung rezim Jokowi yang bersuara keras dan terbuka menentang keputusan politik negara yang memberikan hak otonomi khusus dalam pelaksanaan syariat Islam. Sikap ini jelas-jelas sebagai bentuk pembangkangan dan mengkhianati rakyat Aceh yang sejak dulu memperjuangkannya Islam tetap tegak di bumi serambi mekkah.

Apalagi dengan situasi dan kondisi politik Indonesia saat ini, serba tidak pasti dan cenderung melemahkan sistim ketatanegaraan NKRI. Setelah pilpres 2019 usai, situasi politik dalam negeri semakin semrawut dan mengacaukan harmonisasi kehidupan berbangsa. Tolak tarik kepentingan antar golongan tampak lebih dominan daripada mengedepankan kepentingan umat.

Akibatnya pemerintah menghabiskan energi lebih besar untuk urusan politik. Sementara kehidupan rakyat semakin terjepit kurang mendapatkan perhatian. Kita bisa saksikan dan rasa sendiri bagaimana susahnya mendapatkan kerja, harga-harga pada mahal, energi langka, penegakan hukum timpang, biaya hidup kian melambung. Dan sekarang iuran BPJS pun akan naik dua kali lipat.

Hal-hal tersebut diatas memberikan dampak negatif bagi pembangunan Aceh sebagai kawasan yang baru selesai dari konflik dan bencana alam. Momentum untuk bangkit dari keterpurukan justru dilemahkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak pro pada Aceh. Saya rasa Aceh harus memikirkan nasib bangsanya sendiri daripada berharap lebih banyak dari pemerintah Indonesia.

Aceh Memang Harus Memikirkan Nasib Sendiri, Setuju?

ACEHSATU.COM – Aceh saat ini merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Aceh sudah bergabung sebagai sebuah negara sejak Indonesia hingga memproklamirkan diri terbebas dari belenggu penjajahan Belanda dan para kolonialis pada 17 Agustus 1945. Saat ini kemerdekaan Indonesia telah berusia 74 tahun.

NKRI memang negara besar. Selain karena luas wilayahnya 10 kali lipat negara besar di Eropa, juga dikatakan besar karena jumlah penduduknya yang menempati posisi 4 besar dunia. Hanya itu saja? Ternyata bukan hanya itu. NKRI disebut besar juga disebabkan memiliki ribuan suku, bahasa, dan budaya. Dan tak lupa pula besarnya Indonesia karena sejarah dan kekayaan alamnya.

Sebutan negara besar tentu saja memberikan rasa bangga tersendiri bagi penduduknya apalagi Indonesia selalu berperan dan dapat berkontribusi bagi dunia. Baik sebagai bagian dari Dewan Keamanan di PBB atau pun menjadi mediator bagi negara-negara berkonflik yang memutuskan untuk mengakhiri konflik tersebut.

Keberadaan Indonesia dalam percaturan Internasional tentu menjadi posisi strategis bagi negara maritim ini. Seperti halnya masa orde lama dan orde baru. Indonesia benar-benar disegani oleh negara-negara lain karena negara kita kuat, makmur dan sejahtera. Memang pada awal-awal kemerdekaan kondisi Indonesia cukup sulit.

Namun paska jatuhnya orde baru, tumbangnya kekuasaan rezim Soeharto, bersama itu pula berbagai dinamika baru mulai berkembang. Ditandai dengan dimulainya orde reformasi, euforia politik dan kebebasan pun mulai tampak kentara. Situasi ini sangat berbeda ketika Soeharto masih berkuasa.

Sebagai rakyat awam dan saya sebagai bagian dari masyarakat Aceh. Kejatuhan orde baru bersamaan dengan mundurnya Presiden Soeharto merupakan sebuah berkah. Kenapa demikian? Karena pada masa pria asal Solo ini berkuasa, Operasi Jaring Merah (OPM) sedang berlangsung di Aceh. Operasi ini salah satu operasi militer yang dilancarkan Indonesia terhadap Aceh.

Operasi Jaring Merah adalah operasi kontra-pemberontakan yang diluncurkan pada awal 1990-an sampai 22 Agustus 1998 melawan gerakan separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. Selama periode tersebut, Aceh dinyatakan sebagai “Daerah Operasi Militer” (DOM), di mana Pemerintah Indonesia mengirimkan ribuan tentara dan artilerinya ke seluruh pelosok Nanggroe Aceh.

Wikipedia menuliskan operasi ini ditandai sebagai perang paling kotor di Indonesia yang melibatkan eksekusi sewenang-wenang, penculikan, penyiksaan dan penghilangan, dan pembakaran desa oleh aparat keamanan Indonesia. Akibatnya terjadi berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat terhadap warga sipil Aceh.

Operasi ini baru berakhir dengan penarikan hampir seluruh personel TNI yang terlibat atas perintah Presiden BJ Habibie pada tanggal 22Agustus 1998 ketika ia naik menjadi presiden menggantikan Soeharto yang digulingkan itu.

Itulah mengapa kejatuhan orde baru bersama dengan tumbangnya rezim Soeharto sebagai berkah yang saya syukuri ketika itu. Artinya masa-masa sulit penuh penderitaan tergantikan dengan kebebasan dan kemerdekaan. Terutama Presiden BJ Habibie yang membuka kran demokrasi bagi sistim bernegara kita.

Kini setelah 20 tahun berlalu, orde reformasi menggantikan orde sadis dan tertutup. Orde ini digadang-gadang sebagai nafas baru kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia. Tokoh-tokoh reformasi dari Sabang sampai Mereuke menjanjikan sebuah harapan baru yang  lebih baik. Janji akan adanya pemerataan pembangunan, adil, makmur, dan menuju Indonesia yang terbebas dari otoritarianisme.

Namun puluhan berjalan, di mana apa yang dijanjikan itu rasanya hanya sebagai sebuah harapan palsu. Rakyat Indonesia tetap saja masih pada posisi termarginalkan. Meskipun sistim politik dan kebebasan berpendapat sebagai watak demokrasi cenderung lebih baik di banding masa orde baru. Tetapi dalam hal kesejahteraan ternyata rakyat tidak lebih baik dari masa Soeharto.

Aceh yang sudah tertinggal jauh dari segi pembangunan akibat diperangi dan dikebiri oleh Pemerintah yang berkuasa kala itu, terus dibiarkan begitu saja dalam keadaan penuh ketidakpastian. Setelah perjanjian damai itu ditandatangani pun Aceh tetaplah sebagai daerah yang sulit mendapatkan keistimewaan. Padahal pengorbanan Aceh bagi republik ini tidaklah sedikit.

Bumi rencong yang menjadi sumber pendapatan negara, sebagai penyumbang APBN terbesar dari sektor minyak dan gas bumi tapi Aceh sendiri diperlakukan secara tidak adil dalam ekonomi dan pembangunan. Bahkan pemerintah Indonesia cenderung memberikan stigma-stigma buruk bagi Aceh. “Aceh adalah pemberontak, keras kepala,” begitu mereka menyebutnya.

Pada fase lebih matang, perdamaian antara Aceh (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia kedudukannya sebagai wakil negara melakukan kelembagaan perdamaian itu dalam bentuk sebuah agreement dan tertuang dalam dokumen kesepahaman. Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki. Namun apakah MoU itu efektif dijalankan?

Dalam sebuah kesempatan ketika memperingati haul Tgk Muhammad Hasan Tiro beberapa waktu yang lalu. Mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Muzakir Manaf pernah mnegeluarkan pernyataan. Manaf meminta Aceh menggelar referendum saja agar masa depan Aceh menjadi lebih jelas dan terang benderang mengikuti langkah Timor Timur (Timor Leste sekarang).

Dalam kesempatan lain Mualem juga mengatakan nota kesepahaman Helsinki diadopsi dalam ketentuan perundang-undangan pemerintahan Republik Indonesia dan disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam lembaran negara sebagai UU No.11 Tahun 2006, tentang penyelenggaraan Pemerintahan Aceh. Karena itu butuh kejujuran dan keikhlasan Pemerintah Pusat (Jakarta) mewujudkannya.

Dari dua narasi panjang yang dlontarkan oleh salah satu petinggi GAM bagaimana ia memandang efektifitas MoU Helsinki sebagai dasar pembangunan Aceh dalam bingkai GAM-RI baru terlihat ada nilai-nilai pesimisme dan keputusasaan mantan panglima itu. Mualem justru menyerukan referendum meskipun kemudian ia ralat. Tetapi saya percaya, GAM dan masyarakat Aceh sama sekali tidak puas dengan kondisi saat ini.

Memang bukan pihak GAM saja yang merasa bahwa butir-butir MoU Helsinki tidak dijalankan oleh Pemerintah Indonesia. Rakyat Aceh secara umum pun membicarakan hal ini di warung-warung kopi. Mereka mengkritisi sikap pemerintah Indonesia yang tidak konsen dan berkomitmen mewujudkan perjanjian internasional tersebut.

Bahkan beberapa kali pemerintah Jokowi terkesan ingin mengebiri hak-hak istimewa yang melekat pada daerah dan rakyat Aceh. Sebut saja misalnya Kemendagri pernah ingin membatalkan qanun (perda) yang berdasar pada syariat Islam. Dengan alasan bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.

Ataupun bagaimana partai-partai pendukung rezim Jokowi yang bersuara keras dan terbuka menentang keputusan politik negara yang memberikan hak otonomi khusus dalam pelaksanaan syariat Islam. Sikap ini jelas-jelas sebagai bentuk pembangkangan dan mengkhianati rakyat Aceh yang sejak dulu memperjuangkannya Islam tetap tegak di bumi serambi mekkah.

Apalagi dengan situasi dan kondisi politik Indonesia saat ini, serba tidak pasti dan cenderung melemahkan sistim ketatanegaraan NKRI. Setelah pilpres 2019 usai, situasi politik dalam negeri semakin semrawut dan mengacaukan harmonisasi kehidupan berbangsa. Tolak tarik kepentingan antar golongan tampak lebih dominan daripada mengedepankan kepentingan umat.

Akibatnya pemerintah menghabiskan energi lebih besar untuk urusan politik. Sementara kehidupan rakyat semakin terjepit kurang mendapatkan perhatian. Kita bisa saksikan dan rasa sendiri bagaimana susahnya mendapatkan kerja, harga-harga pada mahal, energi langka, penegakan hukum timpang, biaya hidup kian melambung. Dan sekarang iuran BPJS pun akan naik dua kali lipat.

Hal-hal tersebut diatas memberikan dampak negatif bagi pembangunan Aceh sebagai kawasan yang baru selesai dari konflik dan bencana alam. Momentum untuk bangkit dari keterpurukan justru dilemahkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak pro pada Aceh. Saya rasa Aceh harus memikirkan nasib bangsanya sendiri daripada berharap lebih banyak dari pemerintah Indonesia. (SUMBER)

AMNews - Bendera Bintang Kejora, simbol Gerakan Papua Merdeka berkibar di depan Markas Besar TNI dan Istana Merdeka di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. Bendera itu dikibarkan oleh mahasiswa Papua di tengah aksi unjuk rasanya.

Berdasarkan pengamatan Suara.com, aksi ratusan Mahasiswa Papua yang tergabung dalam Komite Mahasiswa Anti Rasisme, Kapitalisme, Kolonialisme dan Militerisme itu melakukan aksi sejak pukul 12.00 WIB.

Mereka berbaris rapih menutup 3 lajur di Jalan Medan Merdeka Utara, kemacetan pun tak terhidarkan.

Satu persatu peserta aksi demo memberikan orasi bernada menggelorakan Papua agar mendapat hak menentukan nasib sendiri alias self-determination right.

Setelah menyampaikan pendapat, mereka membuka baju untuk menunjukkan simbol perlawanan dan mengibarkan tiga bendera Bintang Kejora di depan Mabes TNI dan Istana Negara.

Mereka kemudian berlari mengitari bendera tersebut sambil berteriak "Papua Merdeka!" dan menyanyikan lagu "Papua bukan Merah Putih, Papua Bintang Kejora”.

Koordinator massa aksi, Ambrosius mengatakan tujuan mereka mendatangi Kantor Jokowi dan Mabes TNI adalah untuk menyatakan referendum memisahkan diri dari NKRI.

"Mahasiswa papua yang ada di luar Papua sepakat, kita harus referendum, kami minta referendum,"

Mereka juga meminta pemerintah untuk menarik seluruh pasukan aparat tambahan yang saat ini diterjunkan di wilayah Papua.

"Pengiriman tentara yang dari Jawa ke Papua itu harus kembali," tegasnya.

Melihat aksi tersebut, petugas kepolisian dan TNI yang berjag tidak melakukan apapun, mereka tetap menjalankan tugas mengamankan aksi unjuk rasa.[Suara.com]

Ilustrasi
AMNews - Seorang gadis belia sebut saja Bunga (16), warga Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, menjadi korban dugaan pencabulan pemuda yang dikenalinya, di sebuah hotel di Kota Medan, Sumatera Utara.

Gadis belia yang masih duduk di bangku sekolah tingkat SMA itu awalnya diajak jalan-jalan ke Medan, Sumatera Utara dengan menumpangi sebuah mobil jenis CR-V oleh tersangka berinisial KL (29) yang berprofesi sebagai pedagang.

"Kasus ini dilaporkan oleh HS (25), abang kandung korban, pada Senin (26/8),” sebut Kapolres Aceh Utara AKBP Ian Rizkian Milyardin melalui Kasat Reskrim Iptu Rezki Kholiddiansyah di Lhoksukon, Rabu.

Perwira yang hari ini telah melakukan sertijab untuk menempati posisi baru sebagai Kasat Reskrim Polres Bireuen itu mengatakan, kasus asusila ini berawal pada Rabu (21/8) sekira pukul 16.00 WIB.

Saat itu terlapor menghubungi korban untuk membujuk agar mau pergi jalan-jalan ke Medan, namun tawaran itu, kata polisi, ditolak oleh korban.

Kemudian sekira pukul 22.00 WIB, tersangka kembali menghubungi korban agar bersedia ikut ke Sumatera Utara diduga dengan nada pemaksaan.

Karena dengan nada sedikit pemaksaan, sambung polisi, akhirnya korban bersedia dengan ajakan tersangka dengan syarat hanya sekadar jalan-jalan, tidak lebih dari itu.

Karena sudah sepakat, malam itu sekira pukul 23.00 WIB, KL menjemput Bunga di depan rumahnya.

Keduanya berangkat ke Medan dengan satu unit mobil CRV milik tersangka, akan tetapi terlapor tidak meminta izin kepada orang tua korban. Perjanjian semula mulai berubah saat dalam perjalanan itu, tersangka mulai nakal.

"Namun pada Kamis (22/8) sekitar pukul 07.00 WIB, terlapor dan korban tiba di Medan dan menginap (beristirahat) di sebuah hotel. Saat itulah terlapor memaksa korban untuk bersetubuh, namun ditolak, akan tetapi terlapor memaksa korban hingga akhirnya terjadi perbuatan tak senonoh,” kata Rezki.

Dikatakan, usai kejadian itu korban memilih pulang dengan menumpangi sebuah bus angkutan kota antar provinsi (AKAP) pada Jumat (23/8). Setiba di rumahnya, korban menceritakan kejadian yang menimpanya. Karena tak terima akhirnya keluarga sepakat mempolisikan pemuda itu ke Polres Aceh Utara.

Atas laporan itu dan berdasarkan bukti permulaan yang cukup, tersangka KL diciduk oleh personil Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Aceh Utara pada Selasa (27/8) sekira pukul 10.00 WIB, di sebuah pasar di daerah itu, tempat kerja tersangka sebagai pedagang ayam.

Menurut polisi, pihaknya juga mengamankan barang bukti di antaranya berupa satu unit mobil CRV yang digunakan mereka saat pergi ke Medan, Sumatera Utara. Korban juga sudah dibawa untuk dilakukan visum et repertum. (ANTARA)

AMNews - Kasus video viral anak kandung yang tega melempar bantal guling dan menginjakkan kaki ke kepala ibunya yang terbaring sakit kini masih berlanjut.

Bukan terkait pengembangan status sang anak yang telah naik menjadi tersangka dan diamankan di sel tahanan. Tetapi kondisi terkini dari sang ibu yang malang tersebut.

Sang ibu, Rusmini, kondisi kesehatannya semakin memburuk dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Soewandi pada Selasa (27/8/2019) kemarin sekitar pukul 14.00 WIB, melansir Tribunnews.com.

Seperti diketahui, Rusmini menderita sakit komplikasi diantaranya penyakit jantung. Karenanya, Rusmini tak bisa melakukan aktivitas banyak dan menghabiskan hampir seluruh waktunya dengan berbaring.

Namun malang, di tengah kondisinya seperti itu, sang anak bukannya mengasuhnya sebagaimana dirinya mengasuh dia sewaktu kecil dulu, putra bungsunya itu malah berlaku kasar hingga tega menginjak kepalanya.

Kabar duka kepergian Rusmini ini sendiri dikonfirmasi langsung oleh akun resmi Humas Polrestabes Surabaya.

“Innalillahi wainna ilahi rojiun, telah meninggal dunia, ibu Rusmini.

Ibu yg videonya viral karena ditendang kepalanya oleh putranya sendiri.

Barusan humas polrestabes Surabaya tlp mas syukur (anak no 1), membenar bahwa ibunya meninggal dunia di rs soewandi hari ini skj. 14.00 wib krn sakit komplikasi.

Jenazah skrng di rmh dan rencana akan dimakamkan di TPU ngagel selesai sholat isya.

Mari Kita doakan alm semoga kusnul khotimah,” demikian tulis dalam keterangan. [
Tribunnews.com]

AMNews - Kasus mobil bergoyang terjadi di  di jalan Jabal Ghafur-Garot, depan Toko Nareuseki di Gampong Mesjid Ilot, Kecamatan Mila, Pidie, Aceh pada Selasa (20/8/2019) sekitar pukul 01.00 WIB, dini hari.

Warga menggerebek mobil Xenia BL 1083 PI warna merah maroon yang parkir dan menemukan dua remaja diduga sedang bercinta di dalam mobil yang dirental.

Di dalam mobil rental itu, warga menemukan bra (BH) warna pink dan pakaian dalam yang tak berada di tempat semestinya, diduga milik SS yang kini berstatus eks pelajar.

Kedua remaja asal Aceh tersebut awalnya diboyong ke Polsek Mila, namun kemudian diserahkan ke Sat Reskrim Polres Pidie.

"Kedua remaja tersebut ditangkap warga di dalam mobil, karena diduga melakukan hubungan suami istri," kata Kapolres Pidie, AKBP Andy NS Siregar SIK, melalui Kasat Reskrim, AKP Mahliadi, kepada Serambinews.com (grup Surya.co.id), Selasa (20/8/2019).

Ia menambahkan, berdasarkan pengakuan remaja itu, perbuatan terlarang tersebut mereka lakukan saat situasi sepi, setelah sempat jalan-jalan dengan Xenia rental tersebut.
Selanjutnya>>>

AMNews - Sembari ngopi membaca berita di media online, kutemukan paradoks kemeriahan 74 tahun Indonesia merdeka. Sukacita yang harusnya hadir ternyata absen karena salah memahami kedaulatan dan nasionalisme. Barangkali kita sedang berhalusinasi tentang kemerdekaan.

Negara merdeka bukanlah negara yang ketakutan dengan bendera daerahnya sendiri. Bukan pula pemerintahan yang dengan semena-mena terhadap aspirasi rakyatnya. Hanya mental kolonialisme yang begitu, menekan dengan cara militeristik guna meraih SDA.

Dalam hal itu, negara bukan melindungi, namun menjadi momok menakutkan bagi rakyatnya. Dan menariknya, terjadi di dua daerah pemodal bagi negara.

Bahkan kapitalisme sangat menghormati para pemodal. Kok negara pancasila malah sebaliknya?

Apa yang terjadi di Manokwari harusnya tak perlu direspons dengan penambahan pasukan militer. Mereka rakyat yang harus dilindungi, bukan penjajah yang menginjak kedaulatan negara.

Menambah kekuatan militer bukanlah solusi jangka panjang. Menurut saya, malah itu solusi emosional. Solusi tidak kreatif yang nyaris picik setidaknya panik. Tak jauh beda dengan pendekatan orde baru maupun masa Megawati ketika menerapkan hal yang sama pada Aceh.

Sudah jadi rahasia umum, konflik di belahan bumi mana pun tetap berdimensi ekonomi. Kedua daerah yang seolah anak tiri dan anak pungut tersebut memiliki kekayaan alam yang sedang dicari negara mana pun di dunia ini.
Baca Juga: Papua Wajib Merdeka!

Pendekatan militer tidak akan berhasil meredam konflik di Papua. Hal itu sudah terbukti ketika beragam operasi militer dijalankan di Aceh. Justru menambah besar konflik dan korban jiwa.

Baru-baru ini, konflik bersenjata di Kabupaten Nduga menyebabkan 180 orang pengungsi meninggal dunia. Bahkan 113 di antaranya perempuan. Begitulah konflik bersenjata akan jatuh korban jiwa dan dendam yang tak berkesudahan.

Di Aceh, hal yang sama pernah terjadi. Selain korban jiwa dan kerugian materiil, konflik juga menyisakan kisah para perempuan yang diperkosa. Sayangnya peristiwa itu dijadikan catatan sejarah maupun catatan yang diseminarkan tanpa keadilan.

Meski kini GAM dan RI sudah sepakat damai, bukan berarti keadilan dilupakan. Lagian GAM dan rakyat Aceh dua komponen yang berbeda, sama halnya seperti Papua dan OPM.

Sejatinya kedua daerah ini tidak menuntut muluk-muluk. Mereka hanya menginginkan keadilan. Selain itu, mereka juga sepakat bahwa kemerdekaan itu hak setiap bangsa.

Lalu mengapa pemerintah Indonesia begitu semangat mengorbankan rakyat sipil agar kedua bangsa ini tetap dalam NKRI? Apakah karena SDA mereka yang melimpah? Atau ada alasan logis lain yang menyebabkan nilai kemanusiaan pun dikorbankan?

Mencontoh Singapura yang tidak memiliki SDA melimpah, harusnya Indonesia tak butuh Papua dan Aceh. Indonesia harus menjadi negara mandiri yang tidak selalu bergantung pada SDA Papua dan Aceh.

Apakah benar bahwa tanpa Aceh dan Papua, Indonesia akan bangkrut? Menurut saya tidak. Indonesia memiliki cukup banyak SDM yang berkualitas. Lalu apa yang dibutuhkan dari Papua dan Aceh?

Wilayah geografis Indonesia terlalu luas jika melibatkan Aceh dan Papua di dalamnya. Ketimbang menghabiskan energi, korban jiwa, kerugian materiil, ada baiknya Indonesia melepas Aceh dan Papua.

Kalaupun pemerintah benar-benar ingin mengetahui aspirasi sebenarnya, silakan melalui mekanisme referendum. Ketimbang terus-terusan menggunakan senjata dalam penyelesaian konflik.
Baca Juga: Jakarta Ingkari Janji, Aceh Tertipu Lagi?

Setidaknya kemanusiaan yang adil dan beradab itu bukan hanya hafalan. Namun dapat diimplementasikan dalam menyelesaikan konflik di Papua maupun Aceh. Momen tersebut nantinya akan mengharumkan Indonesia di kancah internasional.

Indonesia menjadi teladan negara demokrasi yang memberi referendum untuk dua Provinsi sekaligus. Melalui mekanisme itu nantinya ketahuan rakyat maunya bagaimana, bergabung atau pisah dengan NKRI.

Apa pun hasilnya tidak akan merugikan, justru membuktikan bahwa menjadi warga negara Indonesia tidak dipaksa. Tidak harus ditodong pistol atau laras panjang agar mengakui cinta Indonesia.

Indonesia lahir atas kesepakatan. Jika sudah tidak sepakat lagi, mengapa harus dipaksakan bersama? Biarlah Papua memilih jalannya sendiri, biarlah Aceh menentukan masa depannya sendiri.

Jangan lagi menambah korban jiwa, korban perkosaan, anak-anak yang terancam kehilangan masa depan hanya demi obsebsi menjadi NKRI. Masa sih dana rakyat dihabiskan untuk memerangi rakyat? Apa bedanya dengan Belanda dan Jepang di masa lalu?

Apakah menunggu sumber daya alam Papua dan Aceh habis baru melepas mereka? Coba tanyakan pada prajurit TNI/Polri di lapangan, andai diberikan pilihan, mereka bakal memilih memeluk anak-istri ketimbang perang.

Coba tanyakan pada prajurit TNI/Polri yang pernah berperang Aceh. Menyesal, tidak, ketika peluru mereka mengenai anak-anak? Bagaimana perasaan mereka ketika teman mereka wafat dalam tugas?

Coba tanyakan pula pada korban perkosaan, apakah mereka ikhlas menjadi warga negara Indonesia? Kemudian, apakah anak-anak tidak berhak mendapatkan damai? Meraih masa depan, bukan berlarian menghindari peluru.

Pendekatan militeristik tidaklah cocok digunakan untuk rakyat sendiri. Jika ingin Papua damai, dan ingin Aceh sepenuh hati bersama Indonesia, diplomasi cara terbaik.

Namun jika memang tak mampu menyelesaikan dengan cara-cara diplomatik dan simpatik, biarlah Papua dan Aceh merdeka.[qureta.com]


AMNews - Anggota DPRA dari Fraksi Partai Aceh (PA), Azhari alias Cage, mengaku dirinya mengalami pengeroyokan dan pemukulan oleh sejumlah oknum polisi, yang tengah mengamankan aksi unjuk rasa di kantor parlemen tersebut.

Kepada popularitas.com, yang menghubunginya, Azhari Cage menceritakan kronologis peristiwa yang menimpanya tersebut. Kasus pemukulan terhadapnya berawal dari kedatangan sejumlah mahasiswa yang menuntut kejelasan tentang nasib Bendera Aceh ke Kantor DPRA, Kamis, 15 Agustus 2019 siang.

Sebagai anggota DPR Aceh, dirinya diminta oleh pimpinan untuk menemui mahasiswa yang sedang aksi tersebut. Selanjutnya, saat Ia menemui peserta demo, sebagian dari mahasiswa itu tidak puas, dan memaksa untuk menghadirkan ketua.

Lantas, Cage berkomunikasi dengan Sulaiman selaku pimpinan tentang aspirasi mahasiswa tersebut. Dia selanjutnya bersama dengan Ketua DPR Aceh menemui para demonstran.

Usai salat Ashar, ternyata mahasiwa belum membubarkan diri. Mereka memilih untuk duduk di halaman kantor DPR Aceh. Saat itu situasi di lapangan sudah chaos. “Para polisi yang mengamankan aksi unjuk rasa membubarkan mahasiswa secara paksa dengan cara dipukuli,” tutur Cage.

Melihat situasi tersebut sambungnya, dirinya bermaksud ingin melerai. Namun, justru dia ikut dipukuli oleh sejumlah polisi yang mencoba membubarkan mahasiswa. “Ada delapan polisi yang memukuli saya,” tukasnya.

Tidak terima hal tersebut, katanya, setelah berkonsultasi dengan pimpinan dewan, dirinya melaporkan kejadian ini ke Polda Aceh. Cage meminta Kapolda untuk mengusut dengan tegas kejadian yang menimpa dirinya.

“Saya ini anggota dewan, sedang bertugas menampung aspirasi mahasiswa,” ujarnya.

Apa yang dialaminya, sebut Cage, adalah sesuatu yang berada dalam luar batas tindakan SOP kepolisian dalam mengamankam aksi unjuk rasa.

“Saya ini dipukuli di rumah sendiri sama polisi polisi itu,” ujarnya.

Sebagai warga negara yang taat hukum, sebut Cage, dirinya telah melaporkan sikap arogansi pihak kepolisian ini. Namun mesti dicatat, kata dia, secara kelembagaan DPR Aceh, persoalan ini akan berbuntut panjang. Dia juga meminta Kapolda Aceh untuk bertanggungjawab atas aksi anak buahnya di lapangan. [SUMBER]

Parade menjelang penandatanganan kesepakatan damai di Aceh, 7 Agustus 2005. Foto: Adi Warsidi
AMNews - Konflik panjang di Aceh berakhir setelah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia sepakat berdamai di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Peristiwa itu dikenal sebagai "Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki". Memperingati 14 tahun damai Aceh, sepanjang Agustus 2019, redaksi acehkini menurunkan laporan kilas balik konflik. Tentang korban, penyintas, dan kenangan para pihak bertikai. Bukan untuk mengungkit luka lama, tapi untuk belajar agar perang tak terulang. 

Tahun 2005. Aceh saat itu masih sarat akan konflik dengan potensi kontak senjata yang bisa terjadi kapan saja. Warga masih was-was. Sementara pembangunan pasca-tsunami terus dipacu. Perundingan antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, hampir mencapai kata sepakat. 
Pieter Feith, belakangan menjadi Ketua Tim Pemantau Perdamaian Aceh. Foto: Adi Warsidi

28 Juni 2005, dua hari setelah kontak senjata antara TNI dan GAM di Indrapuri, Aceh Besar, satu per satu utusan dari Uni Eropa dan ASEAN turun dari pesawat Garuda Indonesia di Bandara Sultan Iskandar Muda. 

Mereka terbang dari Jakarta setelah mengadakan pertemuan penting dengan Pemerintah Indonesia, terkait misi kemanusiaan dan perdamaian di Aceh. Menteri Informasi dan Komunikasi, Sofyan Djalil, turut serta mendampingi mereka. 

Para utusan disambut langsung Plt Gubernur Aceh, Azwar Abubakar; Kapolda Aceh, Irjen Pol Bahrumsyah Kasman; dan Panglima Kodam Iskandar Muda, Supiadin AS. Itulah awal kunjungan satu tim yang bakal menjadi pemantau keamanan di Aceh. Kesepakatan damai pada titik terang. 

Mereka yang datang terdiri dari tujuh utusan Uni Eropa, antara lain Pieter Feith dan Kozlowsk Lomez; dan tiga orang utusan dari ASEAN, yakni Adnan Haji Otman, Kamal Naswan, dan Paitoon Saukaco. Selain itu, hadir pula dua utusan dari Crisis Management Initiative (CMI) yang memfasilitasi pertemuan Pemerintah RI dan GAM di Helsinki, Janko Oksanen, dan Juha Cristensen.

Tujuan mereka, selain memantau kondisi Aceh menjelang kemungkinan tercapainya kesepakatan damai, juga untuk bertemu dengan tokoh pemerintahan dan masyarakat Aceh, demi menampung aspirasi. 

“Pertemuan itu sangat penting, menyelesaikan masalah konflik di Aceh dan perbaikan kehidupan masyarakat pasca-tsunami,” kata Sofyan Djalil saat itu. 

“Tim ini ingin melihat dulu kondisi lapangan, kesiapan lapangan, dan apa yang mereka butuhkan nantinya,” sambungnya. Keputusan mengundang mereka untuk menjadi tim monitoring tergantung pemerintah nantinya. 

Keesokan harinya, tim dari Uni Eropa, ASEAN, dan CMI mengadakan pertemuan secara tertutup dengan tokoh masyarakat Aceh, pejabat pemerintahan, dan juga TNI/Polri di Pendapa Gubernur Aceh. Pertemuan tanpa dihadiri GAM. 

Usai rapat, tak satu pun dari mereka yang mau bicara kepada awak media. Saat tim pemantau mengunjungi Ulee Lheu, Banda Aceh, untuk melihat kondisi pasca-tsunami, para jurnalis juga menyusul ke sana. Namun, tak ada keterangan apa pun yang didapat. 

Tim kembali ke Hotel Cakradonya, Banda Aceh, tempat mereka menginap. Di sana, hanya Sofyan Djalil yang memberikan keterangannya. “Kalau kesepakatan di Helsinki tercapai, perlu tim monitor,” sebut Sofyan singkat.

Selanjutnya, para utusan terbang keliling Aceh, mengunjungi Pidie, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara, dan Aceh Selatan dengan helikopter. Di daerah kondisinya juga sama, tak ada dari mereka yang buka mulut tentang perkembangan perundingan, sampai mereka kembali ke negaranya dua hari kemudian. 

Hampir sebulan kemudian, 22 Juli 2005, sebuah tim dari Parlemen Uni Eropa kembali ke Aceh, dengan personel yang sedikit berbeda. Tujuannya kali itu hanya untuk mengamati kondisi penyaluran bantuan bencana alam pasca-tsunami. Sebanyak 14 anggota tim itu diketuai oleh Miss Andreas. 

Tentang kemungkinan mereka bagian dari Tim Pemantau Asing sebagai hasil kesepakatan Helsinki. “Kita akan pantau semua, soal menjadi pemantau hasil dialog RI-GAM di Helsinki, kami masih menunggu keputusan antara kedua belah pihak pada Agustus 2005 nanti,” kata Andreas kala itu. 

Baca di Sumber
loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget