Halloween Costume ideas 2015
loading...

Kilas Balik Konflik Aceh: Riwayat Militer GAM

Pasukan GAM saat konflik Aceh. Foto: MH/Dok. Aceh Magazine.
AMNews - Enam anggota Tentara Neugara Aceh (TNA) berbaris rapi memegang senjata terakhir mereka. Berseragam hitam-hitam, bertopi baret, dan sepatu lars, tanpa simbol GAM. Mereka bukan sedang latihan di tengah hutan, tapi di lapangan Blang Padang, Banda Aceh, mengikuti upacara penghancuran senjata terakhir milik mereka, 21 Desember 2005. 

Sesaat kemudian, masih dengan komando militer, mereka bergerak mendekati tim decommissioning Aceh Monitoring Mission (AMM), tim yang memantau damai Aceh. Dengan sebuah penghormatan, senjata itu diserahkan, dan kemudian dihancurkan. Itulah upacara resmi penyerahan senjata terakhir milik GAM, disaksikan ratusan pengunjung, pejabat pemerintah, para wakil TNI/Polri, GAM, serta anggota AMM.

“Tadi malam telah ada konfirmasi tertulis dari GAM. Semua senjata, amunisi, dan bahan peledak telah dimusnahkan,” sebut Pieter Feith, Ketua AMM dalam sambutannya saat itu.
Faith menyebutkan, surat tersebut juga telah diberikan kepada Pemerintah Indonesia. Setelah surat itu dikeluarkan, maka tidak boleh lagi ada anggapan negatif dalam proses perdamaian Aceh. Semuanya harus saling percaya, GAM telah komitmen dalam menyerahkan semua senjatanya untuk dihancurkan.

Sampai tahap keempat atau terakhir, GAM telah menyerahkan senjatanya sebanyak 1.023 pucuk. Diterima oleh AMM sebanyak 840 pucuk senjata, selebihnya ditolak karena dinilai produk rakitan. Sementara TNI sendiri masih mempermasahkan 71 pucuk senjata yang diterima AMM. Artinya, TNI hanya mensahkan 769 pucuk. Tapi, keputusan terakhir ada di AMM.

Mayjen Bambang Darmono, perwakilan Pemerintah Indonesia di AMM, dalam sambutannya menetralkan hal itu. Pemerintah RI tidak akan mempermasalahkan lagi senjata yang masih jadi pertimbangan itu. “Kita tidak lagi bicara jenis dan jumlah senjata GAM, yang penting kita bicarakan adalah menyakinkan masyarakat, bahwa tidak ada lagi senjata GAM yang tersisa,” sebutnya.

Bambang menyebutkan, pemerintah percaya kepada GAM kalau semua senjata mereka telah dimusnahkan. Pemerintah juga paham kesulitan GAM dalam mengumpulkan senjatanya, untuk itu pihak Pemerintah Indonsia masih menerima senjata GAM, jika kemudian secara tidak sengaja ditemukan kembali, sampai 31 Desember 2005, batas decommissioning sesuai MoU Helsinki.

Selanjutnya, jika ditemukan kembali senjata di Aceh, maka senjata tersebut akan dianggap ilegal dan kasusnya adalah kriminal. Penindakannya juga akan dilakukan oleh kepolisian Indonesia. “Ini adalah sukses besar dalam upaya perdamaian yang bermartabat,” sebut Bambang.

Sementara itu, Irwandi Yusuf, perwakilan GAM di AMM saat itu, mengatakan pemusnahan senjata adalah keberhasilan satu tahap dalam proses perdamaian di Aceh. “Kami bergerak ke arah yang tepat dan akan terus bergerak,” sebutnya.

Dia menyebutkan, suatu kesedihan bagi GAM saat ini ketika melihat semua senjata mereka dimusnahkan di depan mata. Senjata-senjata yang telah menemani GAM selama berjuang bertahun-tahun untuk martabat masyarakat Aceh, mempunyai arti tersendiri. Sebagian personel GAM malah telah meninggal, tanpa melihat damai.

Tapi, saat ini GAM telah mengucapkan ‘selamat tinggal’ untuk alat perang itu, “Kami menyambut masa lain, di mana senjata tidak diperlukan lagi. Sekarang alat baru, yaitu ikut dalam politik di Aceh,” sebut Irwandi.

Irwandi mengungkapkan, acara itu juga menandakan TNA sebagai militer GAM telah dibubarkan. Nantinya, GAM juga mengumumkan kepada media dan masyarakat, kalau sayap militer mereka telah dibubarkan dan dialihkan ke sipil. “Nanti kita keluarkan keputusan resmi, masih dalam bulan ini (Desember 2005),” sebutnya.

Tepat 27 Desember 2005, GAM mengumumkan secara resmi pembubaran TNA, sayap militernya. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Panglima TNA GAM, Muzakir Manaf, dan Juru Bicara TNA GAM, Sofyan Dawod, dalam konferensi pers di Kantor GAM, kawasan Lamdingin, Banda Aceh, 28 Desember 2005.

Muzzakir Manaf menyebutkan TNA dan segala atributnya sudah dibubarkan, “Sekarang yang ada hanya KPA, sebuah organisasi sipil,” sebutnya kala itu.

Komite Peralihan Aceh (KPA) yang dimaksudkan Muzakir adalah organisasi sipil untuk menampung semua mantan TNA, untuk kemudian dibantu dalam mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak. “Kita tetap akan membantu mantan TNA untuk beralih ke sipil,” jelas Sofyan. 

loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget