Halloween Costume ideas 2015
loading...

Aceh Memang Harus Memikirkan Nasib Sendiri, Setuju?

Aceh saat ini merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Aceh sudah bergabung sebagai sebuah negara sejak Indonesia hingga memproklamirkan diri terbebas dari belenggu penjajahan Belanda dan para kolonialis pada 17 Agustus 1945

AMNews - Aceh saat ini merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Aceh sudah bergabung sebagai sebuah negara sejak Indonesia hingga memproklamirkan diri terbebas dari belenggu penjajahan Belanda dan para kolonialis pada 17 Agustus 1945. Saat ini kemerdekaan Indonesia telah berusia 74 tahun.

NKRI memang negara besar. Selain karena luas wilayahnya 10 kali lipat negara besar di Eropa, juga dikatakan besar karena jumlah penduduknya yang menempati posisi 4 besar dunia. Hanya itu saja? Ternyata bukan hanya itu. NKRI disebut besar juga disebabkan memiliki ribuan suku, bahasa, dan budaya. Dan tak lupa pula besarnya Indonesia karena sejarah dan kekayaan alamnya.

Sebutan negara besar tentu saja memberikan rasa bangga tersendiri bagi penduduknya apalagi Indonesia selalu berperan dan dapat berkontribusi bagi dunia. Baik sebagai bagian dari Dewan Keamanan di PBB atau pun menjadi mediator bagi negara-negara berkonflik yang memutuskan untuk mengakhiri konflik tersebut.

Keberadaan Indonesia dalam percaturan Internasional tentu menjadi posisi strategis bagi negara maritim ini. Seperti halnya masa orde lama dan orde baru. Indonesia benar-benar disegani oleh negara-negara lain karena negara kita kuat, makmur dan sejahtera. Memang pada awal-awal kemerdekaan kondisi Indonesia cukup sulit.

Namun paska jatuhnya orde baru, tumbangnya kekuasaan rezim Soeharto, bersama itu pula berbagai dinamika baru mulai berkembang. Ditandai dengan dimulainya orde reformasi, euforia politik dan kebebasan pun mulai tampak kentara. Situasi ini sangat berbeda ketika Soeharto masih berkuasa.

Sebagai rakyat awam dan saya sebagai bagian dari masyarakat Aceh. Kejatuhan orde baru bersamaan dengan mundurnya Presiden Soeharto merupakan sebuah berkah. Kenapa demikian? Karena pada masa pria asal Solo ini berkuasa, Operasi Jaring Merah (OPM) sedang berlangsung di Aceh. Operasi ini salah satu operasi militer yang dilancarkan Indonesia terhadap Aceh.

Operasi Jaring Merah adalah operasi kontra-pemberontakan yang diluncurkan pada awal 1990-an sampai 22 Agustus 1998 melawan gerakan separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. Selama periode tersebut, Aceh dinyatakan sebagai “Daerah Operasi Militer” (DOM), di mana Pemerintah Indonesia mengirimkan ribuan tentara dan artilerinya ke seluruh pelosok Nanggroe Aceh.

Wikipedia menuliskan operasi ini ditandai sebagai perang paling kotor di Indonesia yang melibatkan eksekusi sewenang-wenang, penculikan, penyiksaan dan penghilangan, dan pembakaran desa oleh aparat keamanan Indonesia. Akibatnya terjadi berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat terhadap warga sipil Aceh.

Operasi ini baru berakhir dengan penarikan hampir seluruh personel TNI yang terlibat atas perintah Presiden BJ Habibie pada tanggal 22Agustus 1998 ketika ia naik menjadi presiden menggantikan Soeharto yang digulingkan itu.

Itulah mengapa kejatuhan orde baru bersama dengan tumbangnya rezim Soeharto sebagai berkah yang saya syukuri ketika itu. Artinya masa-masa sulit penuh penderitaan tergantikan dengan kebebasan dan kemerdekaan. Terutama Presiden BJ Habibie yang membuka kran demokrasi bagi sistim bernegara kita.

Kini setelah 20 tahun berlalu, orde reformasi menggantikan orde sadis dan tertutup. Orde ini digadang-gadang sebagai nafas baru kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia. Tokoh-tokoh reformasi dari Sabang sampai Mereuke menjanjikan sebuah harapan baru yang  lebih baik. Janji akan adanya pemerataan pembangunan, adil, makmur, dan menuju Indonesia yang terbebas dari otoritarianisme.

Namun puluhan berjalan, di mana apa yang dijanjikan itu rasanya hanya sebagai sebuah harapan palsu. Rakyat Indonesia tetap saja masih pada posisi termarginalkan. Meskipun sistim politik dan kebebasan berpendapat sebagai watak demokrasi cenderung lebih baik di banding masa orde baru. Tetapi dalam hal kesejahteraan ternyata rakyat tidak lebih baik dari masa Soeharto.

Aceh yang sudah tertinggal jauh dari segi pembangunan akibat diperangi dan dikebiri oleh Pemerintah yang berkuasa kala itu, terus dibiarkan begitu saja dalam keadaan penuh ketidakpastian. Setelah perjanjian damai itu ditandatangani pun Aceh tetaplah sebagai daerah yang sulit mendapatkan keistimewaan. Padahal pengorbanan Aceh bagi republik ini tidaklah sedikit.

Bumi rencong yang menjadi sumber pendapatan negara, sebagai penyumbang APBN terbesar dari sektor minyak dan gas bumi tapi Aceh sendiri diperlakukan secara tidak adil dalam ekonomi dan pembangunan. Bahkan pemerintah Indonesia cenderung memberikan stigma-stigma buruk bagi Aceh. “Aceh adalah pemberontak, keras kepala,” begitu mereka menyebutnya.

Pada fase lebih matang, perdamaian antara Aceh (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia kedudukannya sebagai wakil negara melakukan kelembagaan perdamaian itu dalam bentuk sebuah agreement dan tertuang dalam dokumen kesepahaman. Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki. Namun apakah MoU itu efektif dijalankan?

Dalam sebuah kesempatan ketika memperingati haul Tgk Muhammad Hasan Tiro beberapa waktu yang lalu. Mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Muzakir Manaf pernah mnegeluarkan pernyataan. Manaf meminta Aceh menggelar referendum saja agar masa depan Aceh menjadi lebih jelas dan terang benderang mengikuti langkah Timor Timur (Timor Leste sekarang).

Dalam kesempatan lain Mualem juga mengatakan nota kesepahaman Helsinki diadopsi dalam ketentuan perundang-undangan pemerintahan Republik Indonesia dan disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam lembaran negara sebagai UU No.11 Tahun 2006, tentang penyelenggaraan Pemerintahan Aceh. Karena itu butuh kejujuran dan keikhlasan Pemerintah Pusat (Jakarta) mewujudkannya.

Dari dua narasi panjang yang dlontarkan oleh salah satu petinggi GAM bagaimana ia memandang efektifitas MoU Helsinki sebagai dasar pembangunan Aceh dalam bingkai GAM-RI baru terlihat ada nilai-nilai pesimisme dan keputusasaan mantan panglima itu. Mualem justru menyerukan referendum meskipun kemudian ia ralat. Tetapi saya percaya, GAM dan masyarakat Aceh sama sekali tidak puas dengan kondisi saat ini.

Memang bukan pihak GAM saja yang merasa bahwa butir-butir MoU Helsinki tidak dijalankan oleh Pemerintah Indonesia. Rakyat Aceh secara umum pun membicarakan hal ini di warung-warung kopi. Mereka mengkritisi sikap pemerintah Indonesia yang tidak konsen dan berkomitmen mewujudkan perjanjian internasional tersebut.

Bahkan beberapa kali pemerintah Jokowi terkesan ingin mengebiri hak-hak istimewa yang melekat pada daerah dan rakyat Aceh. Sebut saja misalnya Kemendagri pernah ingin membatalkan qanun (perda) yang berdasar pada syariat Islam. Dengan alasan bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.

Ataupun bagaimana partai-partai pendukung rezim Jokowi yang bersuara keras dan terbuka menentang keputusan politik negara yang memberikan hak otonomi khusus dalam pelaksanaan syariat Islam. Sikap ini jelas-jelas sebagai bentuk pembangkangan dan mengkhianati rakyat Aceh yang sejak dulu memperjuangkannya Islam tetap tegak di bumi serambi mekkah.

Apalagi dengan situasi dan kondisi politik Indonesia saat ini, serba tidak pasti dan cenderung melemahkan sistim ketatanegaraan NKRI. Setelah pilpres 2019 usai, situasi politik dalam negeri semakin semrawut dan mengacaukan harmonisasi kehidupan berbangsa. Tolak tarik kepentingan antar golongan tampak lebih dominan daripada mengedepankan kepentingan umat.

Akibatnya pemerintah menghabiskan energi lebih besar untuk urusan politik. Sementara kehidupan rakyat semakin terjepit kurang mendapatkan perhatian. Kita bisa saksikan dan rasa sendiri bagaimana susahnya mendapatkan kerja, harga-harga pada mahal, energi langka, penegakan hukum timpang, biaya hidup kian melambung. Dan sekarang iuran BPJS pun akan naik dua kali lipat.

Hal-hal tersebut diatas memberikan dampak negatif bagi pembangunan Aceh sebagai kawasan yang baru selesai dari konflik dan bencana alam. Momentum untuk bangkit dari keterpurukan justru dilemahkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak pro pada Aceh. Saya rasa Aceh harus memikirkan nasib bangsanya sendiri daripada berharap lebih banyak dari pemerintah Indonesia.

Aceh Memang Harus Memikirkan Nasib Sendiri, Setuju?

ACEHSATU.COM – Aceh saat ini merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Aceh sudah bergabung sebagai sebuah negara sejak Indonesia hingga memproklamirkan diri terbebas dari belenggu penjajahan Belanda dan para kolonialis pada 17 Agustus 1945. Saat ini kemerdekaan Indonesia telah berusia 74 tahun.

NKRI memang negara besar. Selain karena luas wilayahnya 10 kali lipat negara besar di Eropa, juga dikatakan besar karena jumlah penduduknya yang menempati posisi 4 besar dunia. Hanya itu saja? Ternyata bukan hanya itu. NKRI disebut besar juga disebabkan memiliki ribuan suku, bahasa, dan budaya. Dan tak lupa pula besarnya Indonesia karena sejarah dan kekayaan alamnya.

Sebutan negara besar tentu saja memberikan rasa bangga tersendiri bagi penduduknya apalagi Indonesia selalu berperan dan dapat berkontribusi bagi dunia. Baik sebagai bagian dari Dewan Keamanan di PBB atau pun menjadi mediator bagi negara-negara berkonflik yang memutuskan untuk mengakhiri konflik tersebut.

Keberadaan Indonesia dalam percaturan Internasional tentu menjadi posisi strategis bagi negara maritim ini. Seperti halnya masa orde lama dan orde baru. Indonesia benar-benar disegani oleh negara-negara lain karena negara kita kuat, makmur dan sejahtera. Memang pada awal-awal kemerdekaan kondisi Indonesia cukup sulit.

Namun paska jatuhnya orde baru, tumbangnya kekuasaan rezim Soeharto, bersama itu pula berbagai dinamika baru mulai berkembang. Ditandai dengan dimulainya orde reformasi, euforia politik dan kebebasan pun mulai tampak kentara. Situasi ini sangat berbeda ketika Soeharto masih berkuasa.

Sebagai rakyat awam dan saya sebagai bagian dari masyarakat Aceh. Kejatuhan orde baru bersamaan dengan mundurnya Presiden Soeharto merupakan sebuah berkah. Kenapa demikian? Karena pada masa pria asal Solo ini berkuasa, Operasi Jaring Merah (OPM) sedang berlangsung di Aceh. Operasi ini salah satu operasi militer yang dilancarkan Indonesia terhadap Aceh.

Operasi Jaring Merah adalah operasi kontra-pemberontakan yang diluncurkan pada awal 1990-an sampai 22 Agustus 1998 melawan gerakan separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. Selama periode tersebut, Aceh dinyatakan sebagai “Daerah Operasi Militer” (DOM), di mana Pemerintah Indonesia mengirimkan ribuan tentara dan artilerinya ke seluruh pelosok Nanggroe Aceh.

Wikipedia menuliskan operasi ini ditandai sebagai perang paling kotor di Indonesia yang melibatkan eksekusi sewenang-wenang, penculikan, penyiksaan dan penghilangan, dan pembakaran desa oleh aparat keamanan Indonesia. Akibatnya terjadi berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat terhadap warga sipil Aceh.

Operasi ini baru berakhir dengan penarikan hampir seluruh personel TNI yang terlibat atas perintah Presiden BJ Habibie pada tanggal 22Agustus 1998 ketika ia naik menjadi presiden menggantikan Soeharto yang digulingkan itu.

Itulah mengapa kejatuhan orde baru bersama dengan tumbangnya rezim Soeharto sebagai berkah yang saya syukuri ketika itu. Artinya masa-masa sulit penuh penderitaan tergantikan dengan kebebasan dan kemerdekaan. Terutama Presiden BJ Habibie yang membuka kran demokrasi bagi sistim bernegara kita.

Kini setelah 20 tahun berlalu, orde reformasi menggantikan orde sadis dan tertutup. Orde ini digadang-gadang sebagai nafas baru kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia. Tokoh-tokoh reformasi dari Sabang sampai Mereuke menjanjikan sebuah harapan baru yang  lebih baik. Janji akan adanya pemerataan pembangunan, adil, makmur, dan menuju Indonesia yang terbebas dari otoritarianisme.

Namun puluhan berjalan, di mana apa yang dijanjikan itu rasanya hanya sebagai sebuah harapan palsu. Rakyat Indonesia tetap saja masih pada posisi termarginalkan. Meskipun sistim politik dan kebebasan berpendapat sebagai watak demokrasi cenderung lebih baik di banding masa orde baru. Tetapi dalam hal kesejahteraan ternyata rakyat tidak lebih baik dari masa Soeharto.

Aceh yang sudah tertinggal jauh dari segi pembangunan akibat diperangi dan dikebiri oleh Pemerintah yang berkuasa kala itu, terus dibiarkan begitu saja dalam keadaan penuh ketidakpastian. Setelah perjanjian damai itu ditandatangani pun Aceh tetaplah sebagai daerah yang sulit mendapatkan keistimewaan. Padahal pengorbanan Aceh bagi republik ini tidaklah sedikit.

Bumi rencong yang menjadi sumber pendapatan negara, sebagai penyumbang APBN terbesar dari sektor minyak dan gas bumi tapi Aceh sendiri diperlakukan secara tidak adil dalam ekonomi dan pembangunan. Bahkan pemerintah Indonesia cenderung memberikan stigma-stigma buruk bagi Aceh. “Aceh adalah pemberontak, keras kepala,” begitu mereka menyebutnya.

Pada fase lebih matang, perdamaian antara Aceh (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia kedudukannya sebagai wakil negara melakukan kelembagaan perdamaian itu dalam bentuk sebuah agreement dan tertuang dalam dokumen kesepahaman. Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki. Namun apakah MoU itu efektif dijalankan?

Dalam sebuah kesempatan ketika memperingati haul Tgk Muhammad Hasan Tiro beberapa waktu yang lalu. Mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Muzakir Manaf pernah mnegeluarkan pernyataan. Manaf meminta Aceh menggelar referendum saja agar masa depan Aceh menjadi lebih jelas dan terang benderang mengikuti langkah Timor Timur (Timor Leste sekarang).

Dalam kesempatan lain Mualem juga mengatakan nota kesepahaman Helsinki diadopsi dalam ketentuan perundang-undangan pemerintahan Republik Indonesia dan disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam lembaran negara sebagai UU No.11 Tahun 2006, tentang penyelenggaraan Pemerintahan Aceh. Karena itu butuh kejujuran dan keikhlasan Pemerintah Pusat (Jakarta) mewujudkannya.

Dari dua narasi panjang yang dlontarkan oleh salah satu petinggi GAM bagaimana ia memandang efektifitas MoU Helsinki sebagai dasar pembangunan Aceh dalam bingkai GAM-RI baru terlihat ada nilai-nilai pesimisme dan keputusasaan mantan panglima itu. Mualem justru menyerukan referendum meskipun kemudian ia ralat. Tetapi saya percaya, GAM dan masyarakat Aceh sama sekali tidak puas dengan kondisi saat ini.

Memang bukan pihak GAM saja yang merasa bahwa butir-butir MoU Helsinki tidak dijalankan oleh Pemerintah Indonesia. Rakyat Aceh secara umum pun membicarakan hal ini di warung-warung kopi. Mereka mengkritisi sikap pemerintah Indonesia yang tidak konsen dan berkomitmen mewujudkan perjanjian internasional tersebut.

Bahkan beberapa kali pemerintah Jokowi terkesan ingin mengebiri hak-hak istimewa yang melekat pada daerah dan rakyat Aceh. Sebut saja misalnya Kemendagri pernah ingin membatalkan qanun (perda) yang berdasar pada syariat Islam. Dengan alasan bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.

Ataupun bagaimana partai-partai pendukung rezim Jokowi yang bersuara keras dan terbuka menentang keputusan politik negara yang memberikan hak otonomi khusus dalam pelaksanaan syariat Islam. Sikap ini jelas-jelas sebagai bentuk pembangkangan dan mengkhianati rakyat Aceh yang sejak dulu memperjuangkannya Islam tetap tegak di bumi serambi mekkah.

Apalagi dengan situasi dan kondisi politik Indonesia saat ini, serba tidak pasti dan cenderung melemahkan sistim ketatanegaraan NKRI. Setelah pilpres 2019 usai, situasi politik dalam negeri semakin semrawut dan mengacaukan harmonisasi kehidupan berbangsa. Tolak tarik kepentingan antar golongan tampak lebih dominan daripada mengedepankan kepentingan umat.

Akibatnya pemerintah menghabiskan energi lebih besar untuk urusan politik. Sementara kehidupan rakyat semakin terjepit kurang mendapatkan perhatian. Kita bisa saksikan dan rasa sendiri bagaimana susahnya mendapatkan kerja, harga-harga pada mahal, energi langka, penegakan hukum timpang, biaya hidup kian melambung. Dan sekarang iuran BPJS pun akan naik dua kali lipat.

Hal-hal tersebut diatas memberikan dampak negatif bagi pembangunan Aceh sebagai kawasan yang baru selesai dari konflik dan bencana alam. Momentum untuk bangkit dari keterpurukan justru dilemahkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak pro pada Aceh. Saya rasa Aceh harus memikirkan nasib bangsanya sendiri daripada berharap lebih banyak dari pemerintah Indonesia. (SUMBER)
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget