Halloween Costume ideas 2015
July 2018

AMP - Sat Reskrim Polres Lhokseumawe bersama Subdit Jatanras Dit Reskrimum Polda Aceh menangkap dua tersangka pembunuhan terhadap seorang petani di Gampong Teupin Reusep, Kecamatan Sawang, Aceh Utara, yakni M Amin (73), warga setempat.

Pembunuhan terhadap korban yang juga diketahui sebagai Teungku Imuem ini terjadi di area perkebunan gampong setempat, Kamis (26/7/2018) kemarin. Mirisnya, salah satu tersangka pembunuhan itu tak lain adalah istri korban.

Kapolres Lhokseumawe, AKBP Ari Lasta Irawan melalui Kasat Reskrim, AKP Budi Nasuha Waruwu mengatakan, kedua tersangka yang ditangkap yakni RS (40), Petani, warga Gampong Meunasah Teungoh, Kecamatan Simpang Keuramat, Aceh Utara.

"Satu tersangka lagi tidak lain adalah istri korban pembunuhan yakni ML (31), IRT, warga Gampong Teupin Reusep, Kecamatan Sawang, Aceh Utara," ujarnya yang memimpin langsung penangkapan saat dikonfirmasi melalui telepon seluler.

Dijelaskan, penangkapan dilakukan di kawasan Gampong Keude Geudong, Kecamatan Samudera, Aceh Utara, Jumat (27/7/2018) sekira pukul 10.30 WIB tadi. Keduanya diduga sengaja membunuh korban, dengan kata lain memang merencanakan pembunuhan ini.

"Saat ditangkap, tersangka RS melawan dan berupaya merebut senjata api yang digenggam anggota. RS terpaksa dilumpuhkan menggunakan timah panas di bagian kakinya," kata Kasat Reskrim.

Peristiwa ini berawal saat korban pulang dari kebunnya siang kemarin, sementara istri korban, ML, diketahui tetap berada di kebun bersama bibinya yakni Herlina. Sore hari, ML bersama Herlina hendak pulang dan di tengah jalan yang masih kawasan kebun, keduanya menemukan M Amin dalam keadaan tergeletak bersimbah darah.

"Menurut ML saat diperiksa kemarin, korban masih hidup dan meninggalkan dunia di hadapannya. ML menghubungi warga lainnya untuk meminta tolong mengevakuasi korban, hal ini kemudian dilaporkan ke Polres oleh keluarga korban," ungkap Budi.


Saat petugas melakukan penyelidikan serta olah tempat kejadian perkara (TKP), ditemukan sejumlah kejanggalan terhadap tingkah laku istri korban saat diminta keterangan. Sehingga, petugas berupaya menggali informasi lebih dalam terkait kasus pembunuhan ini.

"Setelah dapat sejumlah keterangan dan disinkronkan, kuatlah dugaan dan diketahui bahwa pelaku adalah selingkuhan istri korban yakni RS. Jadi kita bergerak ke lokasi dimana RS berada dan kita tangkap dalam 1x12 jam," jelasnya.

Dari hasil pemeriksaan, RS mengaku sengaja menunggu korban pulang dari kebun untuk melancarkan aksinya. Saat korban melintas, RS memberhentikan korban dan memukulnya secara berulang menggunakan batang kayu yang disiapkan.

"Motif pelaku membunuh korban karena hubungan perselingkuhan ini, pelaku sengaja membunuh korban agar keduanya bisa menikah," kata Kasat Reskrim.

Dari pengungkapan kasus ini, polisi menyita barang bukti berupa satu unit sepeda motor Honda Supra X milik korban yang ditemukan di lokasi kejadian. Selain itu, diamankan dua batang kayu yang digunakan untuk membunuh korban.

"Keduanya masih kita amankan dan kita minta keterangan di Mapolres, ini masih kita dalami lagi. Sementara disangkakan Pasal 340 subs Pasal 338 KUHP," tambahnya.(*)

Sumber: acehportal

AMP - Suatu sore di bumi Serambi Mekah, Komandan Korem (Danrem) Lilawangsa Kolonel Syafnil Armen mendapat informasi dari bawahannya. Informasi yang sudah lama ditunggu-tunggu itu menyebut seorang ulama kenamaan dari Beutong Ateuh, Aceh Barat, diduga menguasai benda-benda berbahaya.

Teungku Bantaqiah, nama sang ulama, dicurigai menyimpan ratusan pucuk senjata api. Dugaan lain menyebutkan senjata-senjata itu ditanam di sekitar pesantrennya.

Di Pesantren Babul Mukarramah Desa Blang Meurandeh, Bantaqiah memang mengampu ratusan santri yang belajar agama kepadanya. Ulama itu juga dicurigai memiliki pasukan bersenjata sejumlah 300 personel. Danrem dengan cepat menarik kesimpulan: senjata dan pasukan tersebut berkaitan dengan aktivitas Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Mengantisipasi gelagat yang tidak dikehendaki, Danrem segera bereaksi atas informasi tersebut. Ia mengirim perintah lewat telegram bertanggal 15 Juli 1999 kepada beberapa komandan batalyon. Inti perintahnya: cari, temukan, dekati, dan tangkap tokoh gerakan pengacau keamanan dan simpatisannya, hidup atau mati.

Berdasarkan perintah Danrem, dibentuklah pasukan gabungan beranggotakan 215 personel di bawah pimpinan Letnan Kolonel Heronimus Guru dan Letnan Kolonel Sudjono sebagai pengawas operasi. Kecuali Danrem dan pimpinan pasukan gabungan, tak seorang pun menyangka bahwa telegram itu akan membawa malapetaka.

Pada 22 Juli 1999, pasukan gabungan tiba di Beutong Ateuh. Mereka mendirikan tenda-tenda persiapan untuk melakukan penyerbuan. Warga sekitar menyaksikan kedatangan pasukan dengan perasaan cemas. Mereka tidak tahu mengapa tentara datang tiba-tiba dan dalam jumlah yang sangat banyak. Tapi pengalaman selama masa Daerah Operasi Militer (DOM) telah mengasah insting mereka: sesuatu akan terjadi.

Esoknya, 23 Juli 1999, sekitar pukul 11.00 WIB, pasukan bersenjata lengkap mulai memasuki pesantren. Sebagian dari mereka menutupi wajah dengan cat hitam dan hijau.

Di dalam kompleks pesantren, beberapa pasukan melakukan psy-war: meneriakkan nama Bantaqiah dengan hujatan dan cacian. Bantaqiah dan ratusan santri yang tengah mengaji mendadak tegang. Tak lama kemudian, Bantaqiah bersama seorang muridnya turun menemui mereka.

Setelah bertemu Bantaqiah dan menyampaikan urusan mereka, Sudjono mengontak Heronimus lewat radio soal tindakan yang harus dilakukan. Heronimus tak kunjung menjawab. Sudjono pun meninggalkan lokasi.

Pasukan yang meradang itu menggeledah pesantren dan dengan kasar meminta memerintahkan semua santri laki-laki dewasa turun serta berkumpul di halaman pesantren dalam posisi jongkok sambil memperlihatkan KTP. Mereka disuruh melucuti pakaian, kecuali celana dalam. Bersamaan dengan penggeledahan tersebut, tim yang dipimpin Sudjono datang lagi ke lokasi.

Laporan Pantau menyebut, Sudjono memaksa Bantaqiah menyerahkan semua bedil yang diduga ia simpan. Bantaqiah membantah. Ia merasa tak pernah memiliki sepucuk pun senjata seperti yang dituduhkan. Tak puas dengan pengakuan Bantaqiah dan tetap memaksa, pasukan pun kehilangan kesabaran.

Di tengah-tengah situasi menegangkan, Sudjono mempersoalkan sebuah antena radio pemancar yang terpasang pada atap pesantren. Ia menyuruh Usman, salah satu putra Bantaqiah, untuk mencopotnya.

Setelah itu, kekejian perlahan-lahan mulai menampakkan wujudnya.

Usman berjalan menuju rumah untuk mengambil peralatan agar lebih mudah membongkar antena. Namun sebelum ia mencapai rumah yang jaraknya hanya 7 meter dari tempat berkumpul, seorang pasukan memukulnya dengan senjata api. Menyaksikan putranya disakiti, Bantaqiah pun berusaha mendekati dan memeluknya.

Bersamaan dengan mendekatnya Bantaqiah ke arah Usman, pasukan mengumandangkan aba-aba menembak. Detik itu juga, Teungku Bantaqiah, ulama yang begitu dihormati di seantero Aceh Barat, jatuh tersungkur bersimbah darah. Ia tewas seketika. Pasukan kemudian mengeluarkan tembakan beruntun dan membabi buta ke arah kumpulan santri. Tak sampai satu menit, 34 santri menyusul sang guru.

Setelah berondongan tembakan berulang-ulang itu, pasukan mengumpulkan santri yang masih hidup untuk dibariskan. Dengan dalih membawa mereka berobat, santri yang mengalami luka diangkut, bahkan santri yang sama sekali tidak terluka juga ikut dibawa. Semuanya berjumlah 23 orang. Mereka dinaikkan truk untuk dibawa menuju Takengon. Hanya beberapa orang saja yang sengaja ditinggalkan.

Di tengah perjalanan, tepat di kilometer 7, dua puluh tiga santri itu diturunkan dan diperintahkan berjongkok persis pada bibir sebuah jurang. Di situlah mereka juga ditembaki secara membabi buta.

Pelanggaran HAM dan Peran Munir
Kasus pembantaian Bantaqiah dan santri-santrinya di Beutong Ateuh ini kemudian menjadi sorotan nasional, bahkan menjadi perhatian dunia. Apa yang dilakukan Sudjono dan anak buahnya termasuk kategori pelanggaran HAM berat.

Azhary Basar, anggota Tim Pencari Fakta (TPF) yang dibentuk oleh Pemda Aceh, menyatakan telah terjadi "penembakan sepihak" dan tidak ada bukti "adanya perlawanan dari Tengku Bantaqiah dan para pengikutnya."

Salah satu orang yang paling getol mengadvokasi keluarga para korban adalah Munir Said Thalib, pendiri Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Ia membela hak-hak mereka dan menyerukan agar kasus ini diselesaikan dengan cara seadil-adilnya. Munir juga berkali-kali mengunjungi Beutong Ateuh untuk bertemu dengan keluarga Bantaqiah dan para korban.

Pada akhirnya, seperti diungkap dalam The Practice of Torture in Aceh and Papua, 1998-2007 (2008), kasus ini diselesaikan lewat jalan yang sebenarnya sangat politis, yaitu melalui pengadilan koneksitas pada 2000. Peradilan ini dibentuk untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama oleh sipil dan militer—sesuatu yang sebenarnya tidak dikehendaki Munir.

Dalam persidangan, dari 25 terdakwa yang diajukan terdapat tiga perwira: Kapten Anton Yuliantoro, Letnan Dua Maychel Asmi, dan Letnan Dua Trijoko Adwiyono. Selebihnya berpangkat bintara dan tamtama serta seorang warga sipil. Sementara Letnan Kolonel Sudjono tak tersentuh sama sekali.

Munir sendiri sejak awal menuntut agar diselesaikan melalui pengadilan HAM, karena pembantaian itu termasuk kategori pelanggaran HAM berat. Baginya, persidangan koneksitas kasus Bantaqiah lebih ditujukan untuk memenuhi kepentingan dan kompromi antara elit politik dan tentara. Keputusan pengadilan tersebut juga sama sekali tidak memperhatikan penyelesaian hukum menyeluruh untuk menyelesaikan soal Aceh.

“Persidangan itu,” kata Munir, “hanya untuk menunjukkan bahwa sudah ada persidangan, dan mengabaikan substansi dari tuntutan masyarakat Aceh yang menginginkan keadilan, bukan sekadar pengadilan.”

Ada kisah menarik perihal kedekatan Munir dengan keluarga Bantaqiah dan para korban. Tiap kali berkunjung ke Beutong Ateuh, Munir selalu tidur di masjid pesantren. Berhari-hari ia tidur di situ sekaligus menggunakannya untuk bertemu dengan keluarga korban. Setelah ia meninggal, warga sepakat menamakan tempat itu “Masjid Munir” untuk menghormati dan mengenang jasa-jasanya. [Tirto]

AMP - Akibat ditangkapnya Gubernur Aceh di Pendopo pada Selasa (3/3/2018) malam Tim Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kini banyak Istansi Pemerintahan jadi sasaran pihak KPK di Provinsi Aceh,

Setelah KPK melakukan Penggeledahan Kantor Dinas Pemuda Dan Olah Raga (Dispora) Aceh dan Kantor Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Aceh, pada selasa-10-07-2018, kini pihak KPK pada Rabu 11-07-2018 melakukan Penggeledahan dilakukan pada dinas Pendidikan Aceh dan Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh, penyidik KPK menemukan dokumen proyek di Dinas  tersebut yang totalnya anggaran mencapai Rp 1,5 Triliun.

Hal tersebut Pasca menyeretnya Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf oleh Tim OTT Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga saat ini masih melakukan pengembangan kasus dugaan suap Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) tahun 2018 di Jakarta.

Kantor Dinas Pendidikan Pemuda Dan Olah Raga(Dispora)  Provinsi Aceh, Jln. Sri ratu Safiatuddin Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh  di gerebek pada Pukul 09.30 s.d 18.00 Wib  oleh Tim Penyidik KPK dengan menggunakan 3 Unit Mobil Jenis Inova.

Sasaran OTT Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penggeledahan dikantor Dinas  Pemuda Dan Olah Raga (Dispora) Aceh meliputi ruangan Kadis dan seluruh bagian  Kantor  mereka mencari berkas yang berkaitan dengan Dana Otonomi khusus Aceh.

Amatan Liputanaceh Saat Tim Penyidik KPK melaksanakan pemeriksaan pintu gerbang Kantor Dinas di tutup dan dijaga ketat anggota kepolisian Gegana Brimob Polda, sedangkan pada saat penggeledahan Dinas pendidikan Aceh  jauh beda hanya di jaga oleh Security.

Tim OTT Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemungkinan besar setelah habis di Geledah Istansi Pemerintah Aceh, besar kemungkinan mereka Tim OTT Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan beralih melakukan penggeledaghan ke Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh,’’(
Liputanaceh)

Ilustrasi
AMP - Petugas Wilayatul Hisbah (WH) Langsa menangkap seorang pria bersama dua wanita di bawah umur di perumahan BTN Gampong Sungai Pauh, Kecamatan Langsa Barat, Rabu, 6 April 2016 sekitar pukul 04.00 WIB. Kedua perempuan tersebut diketahui masih berstatus pelajar dan di bawah umur.

"Kedua perempuan itu masih tercatat sebagai siswi di salah satu SMA di Kota Langsa. Sementara laki-lakinya bekerja sebagai sales di Langsa," ujar Kepala Dinas Syariat Islam Kota Langsa, Drs. H. Ibrahim Latif, MM, kepada portalsatu.com.

Dia mengatakan sang pria diketahui bernama Irfan, 20 tahun, warga Bayeun, Aceh Timur. Kesehariannya tersangka kost di BTN ABRI Gampong Geudubang Aceh, Kecamatan Langsa Baroe. Sementara kedua perempuan tersebut diduga berprofesi sebagai "kupu-kupu malam". Mereka adalah Y, 18 tahun, dan F, 15 tahun.

Menurut Ibrahim Latif, kedua perempuan tersebut kerap mangkal di lapangan Kompi-B belakang pendopo Wali Kota Langsa. Mereka sering dijemput lelaki hidung belang saat tengah malam. Pada waktu yang sama, mereka juga sering ke rumah germo atau ke tempat lain.

Masih menurut Ibrahim, kedua perempuan ini mendapat bayaran Rp 250 ribu setiap kali berzina. Sebanyak Rp 50 ribu dari total Rp 200 ribu digunakan untuk membayar sewa lokasi.

Hal ini dibenarkan oleh kedua perempuan tersebut. "Kami main di luar, di rumah ibu cuma tidur saja," ujar Y dan F.

Sementara Irfan mengaku belum berhubungan badan dengan salah satu perempuan di lokasi tersebut saat digerebek petugas. Dia mengatakan perempuan tersebut sudah melakukan hubungan suami istri di luar dengan laki-laki lain.

"Saya datang kesitu tidak bersamaan, tahu-tahu sudah digerebek," kata Ibrahim Latif mengutip pengakuan Irfan.

Pihak BNN turut memeriksa urine ketiga tersangka khalwat tersebut. Satu diantaranya, F, dinyatakan positif narkoba. F mengaku mengonsumsi sabu yang diperoleh dari sesama rekannya.

"Setelah diperiksa urine oleh BNN, kedua perempuan yang diduga PSK itu plus satu laki-laki telah diserahkan ke Dinas Sosial Kota langsa untuk dilakukan pembinaan," ujar Ibrahim Latif.

Jerat Pelaku Ikhtilath

Polisi syariat Langsa turut menangkap pasangan non-muhrim di Kompleks Perumahan Karyawan Pondok Pabrik, Kecamatan Langsa Lama, Selasa, 5 April 2016 sekitar pukul 23.00 WIB. Keduanya kedapatan sedang bermesraan di dalam rumah tersangka perempuan yang berstatus mahasiswi.

"Kita telah memanggil keluarga kedua belah pihak dan pihak tetua gampong untuk menyelesaikan kasus ini secara mediasi adat, yaitu mereka dinikahkan oleh pihak keluarga," ujar Ibrahim Latif.

Ibrahim mengatakan mahasiswa yang ditangkap tersebut adalah Maulida Riyan, 20 tahun, warga Gampong Pondok Pabrik. Dia sedang kuliah di salah satu perguruan tinggi di Langsa. Sementara pasangannya adalah Masyudi, 28 tahun, warga Gampong Pondok Pabrik.

"Kedua mereka telah dijemput oleh keluarga masing-masing dan tetua gampong untuk dinikahkan," kata Kadis Syariat Islam ini.[Portalsatu]

Kiri-kanan (atas): Sultanah Safiyatuddin dan Sultanah Nakiatuddin. Kiri-kanan (bawah): Sultanan Zakiyatuddin dan Sultanah Kamal Shah. Foto: Repro "59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu."
KITAB Tajus Salatin karya Bukhari al-Jauhari menyatakan seorang raja haruslah laki-laki. Namun, justru di Acehlah tempat kitab itu disusun pada awal abad ke-17 M, tidak kurang dari empat putri raja berturut-turut naik takhta sesudah tahun 1641.

Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Jaringan Asia menulis masa itu perempuan tak bisa naik takhta karena dinilai kurang arif. Rakyat memerlukan imam untuk tampil di depan umum. Sementara perempuan tidak mungkin mengimami salat. Tidak pula dapat meninggalkan tempat tinggalnya yang terpencil di dalam istana.

Namun, bila diperlukan, misalnya untuk menghindari perang saudara, seorang putri raja dapat menggantikan ayahnya. Ia tak boleh tampil dan harus tetap tersembunyi di belakang tirai apabila hendak berbicara dengan menteri-menterinya.

Itu seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Tajul Alam Safiyatuddin, sultanah pertama Kesultanan Aceh yang memerintah sejak 1641-1675 M. Dia menggantikan suaminya, Iskandar Thani yang wafat.

Putri Iskandar Muda ini, tulis Anthony Reid dalam Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia, menjalankan pemerintahan yang lebih lunak. Perubahan-perubahan mendasar terjadi dalam kekuasannya. Ini akhirnya melahirkan struktur kerajaan yang sangat berbeda. Misalnya, dia memerintahkan untuk membuka semua pusat pendidikan tak cuma untuk laki-laki.

“Ratu menganjurkan, bahkan kadangkala mewajibkan kaum perempuan belajar,” tulis A. Hasjmy dalam 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu.

Menurut Reid, sumber dari dalam maupun dari luar mengatakan Aceh di bawah pemerintahannya sangat tertib dan makmur. Dia pun berhasil menciptakan iklim yang sangat menguntungkan bagi pedagang luar negeri.

Ayang Utriza Yakin, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, mengatakan bahwa sultanah menerapkan hukum yang keras, seperti hukuman mati kepada orang yang mencuri milik kesultanan. Pieter Willemsz, pegawai Belanda yang berada di Aceh pada 1642, menyaksikan seorang penduduk Aceh dihukum mati karena mencuri seekor kuda kerajaan.

Berdasarkan kesaksian Caspar Schmalkalden, seorang Jerman yang berkunjung ke Aceh pada 1647, hukum pencurian umum dibagi menjadi pencurian kecil dan pencurian besar. Pencurian kecil biasanya diganjar dengan potong hidung atau kuping. Sedangkan pencurian besar dihukum dengan potong tangan dan kaki. Oleh karena itu, di jalanan Aceh, dia melihat banyak orang Aceh tak punya tangan dan kaki karena mencuri. Meski begitu mereka bisa berdiri, berjalan, bahkan berjoget dengan bantuan tongkat bambu.

Sultanah ke-14 itu juga menerapkan hukum yang ketat bagi para pemabuk. Menurut catatan Jacob Compostel, seorang utusan Belanda di Aceh, seorang Eropa dipotong tangannya karena ketahuan mabuk-mabukan di Kota Aceh. Bahkan, sultanah menghukum dua orang Aceh yang mabuk-mabukan dengan menyuruh mereka menelan timah panas.

Setelah Safiyatuddin mangkat, dia digantikan Sultanah Nurul Alam Nakiyatuddin yang memerintah sejak 1675-1678.

Menurut Hasjmy dia mendapat tekanan kaum wujudiyah yang diperalat golongan politik tertentu yang ingin menduduki kursi kesultanan. Kaum wujudiyah menghanguskan istana dan Masjid Baitur Rahman serta sebagian besar Kota Banda Aceh. Sabotase ini membuat pemerintahannya lumpuh.

Untuk memperkuat kedudukannya,Nakiyatuddin merombak beberapa pasal dalam Kanun Meukuta Alam atau Undang-Undang Dasar Kerajaan. Dia juga menerapkan hukum yang tak jauh berbeda, khususnya pada kasus pencurian. Hukuman mati, potong tangan dan kaki tetap berlaku.

Setelah Nakiyatuddin mangkat, Inayat Syah Zakiyatuddin menggantikannya sejak 1678-1688. Menurut Hasjmy sebagaimana Sultanah Safiatuddin mempersiapkan Nakiatuddin untuk menggantikannya, Nakiatuddin juga mempersiapkan Zakiyatuddin menjadi sultanah. Mereka semua dididik dalam keraton dengan berbagai ilmu termasuk ilmu hukum, sejarah, filsafat, kesusastraan, agama Islam, Bahasa Arab, Persia, dan Spanyol.

Ketika memerintah, Zakiyatuddin mengikat perjanjian persahabatan dengan negara tetangga untuk saling bantu melumpuhkan kekuasaan VOC. Dia juga bertindak cepat memajukan pendidikan dan ilmu pengetahuan.

William Dampier, orang Inggris yang datang ke Aceh pada 1688, mencatat Zakiyatuddin menerapkan hukuman yang berbeda. Jika seseorang mencuri untuk pertama kalinya dan tanpa kekerasan, dia hanya dihukum cambuk. Sementara jika dengan kekerasan dan nilai curiannya besar, hukumannya potong anggota badan sampai diasingkan seumur hidup. Sultanah ke-16 ini meniadakan hukum kisas. Ia memilih menjalankan hukum adat, yaitu hukum sula (mati).

Zakiyatuddin meninggal pada 1688 kemudian digantikan Kamalat Shah yang memerintah hingga tahun 1699. Tak seperti pendahulunya yang bisa diterima baik oleh masyarakat, pemerintahan Kamalat Shah mendapat perlawanan dari golongan Orang Kaya.

“Empat Orang Kaya yang tinggal jauh dari istana mengangkat senjata menantang ratu yang baru dan para Orang Kaya yang lain dan membawa pasukan sekira 5000 atau 6000 menyerang ibu kota,” tulis Amirul Hadi dalam Aceh: Sejarah, Budaya, dan Tradisi, mengutip William Dampier.

Opisisi itu menuntut agar kepemimpinan kerajaan dikembalikan kepada laki-laki. Namun, sang ratu mengundurkan diri pada 1699 bukan karena tuntutan itu, melainkan fatwa dari Mekkah yang menegaskan pemerintahan perempuan bertentangan dengan ajaran Islam. Padahal, pemerintahannya mendapat bantuan dari para ulama, khususnya Kadli Malikul Adil Syekh Abdurrauf Syiahkuala.

“Peristiwa ini menandakan akhir dari pemerintahan ratu di kerajaan setelah berlangsung selama 59 tahun berturut-turut,” tulis Reid.

Menurut Amirul Hadi, tak ada aturan baku yang jadi pedoman perihal apakah perempuan boleh naik takhta atau tidak. Kekaburan aturan ini justru memberi ruang yang fleksibel dalam suksesi raja-raja Aceh.

Dari sejarahnya, Reid menekankan, peran perempuan di kawasan ini memang sangat besar. Ini menjadi modal utama dalam membentuk watak masyarakat yang toleran terhadap pemerintahan ratu.

“Masyarakat Austronesia, termasuk Polinesia, Madagaskar, sebagaimana juga Indonesia dan Filipina barangkali lebih cenderung menempatkan perempuan dari keluarga bangsawan di singgasana daripada masyarakat di tempat lain,” tulisnya.

Pendapat Reid itu ada buktinya. Antara paruh kedua abad ke-14 dan paruh pertama abad ke-15, Samudra Pasai diperintah oleh dua ratu: Nur Ilah yang wafat pada 1380 M dan Nahrasiyyah yang wafat pada 1428 M. Sejak abad ke-14, Kerajaan Bone di Sulawesi juga diperintah oleh enam ratu. Sementara Kesultanan Malaka tidak pernah menempatkan perempuan pada pemerintahan tertinggi.

“Bukti-bukti historis ini juga yang akhirnya menjadi dasar kuat mengklaim, pemerintahan perempuan di kawasan ini merupakan fenomena biasa,” lanjut Amirul Hadi. | historia.id

AMP - Fenny Steffy Burase dicekal KPK dalam kasus dugaan suap yang melibatkan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Dia merupakan tenaga ahli dalam event Aceh Marathon 2018. Wajah cantiknya pun mejeng pada baliho promosi yang dipasang di depan kantor Dispora Aceh.

Pantauan detikcom, Selasa (10/7/2018), baliho berukuran besar itu dipasang di dekat gerbang masuk kantor Dispora Aceh di Banda Aceh. Dalam baliho tersebut, Steffy terlihat mengenakan baju lari dan seolah-seolah tengah berlari. Di sampingnya, juga ada seorang pria tengah berlari.

Pada baliho, terdapat tulisan "Aceh Marathon 2018, Everything Start from Zero". Pada bagian lain tertulis tanggal acara 29 Juli 2018 di Pulau Weh, Sabang. Selain itu, dipasang peta Sabang lengkap dengan logo Pemprov Aceh, BPKS Sabang, dan Pemkot Sabang.

Selain Steffy, pada baliho juga terpajang foto Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Wakil Gubernur Aceh Nova Iriansyah. Wajah Kepala Dispora Aceh Darmansah juga mejeng di baliho.

Dalam event bertaraf internasional tersebut, Steffy didapuk sebagai tenaga ahli. Dia dipilih oleh Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Aceh.

"Kita tidak ada EO (event organizer). Yang ada hanya tim ahli. Jadi Ibu Steffy itu sebagai tim ahli, bukan EO. Nggak ada EO kita. Kalau EO kan harus tender. Ini beliau (Steffy) kita ambil sebagai tim ahli karena beliau memang pelari internasional, beliau pelari 42 kilometer," kata Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Aceh Darmansah, Jumat (6/7/2018).

Menurutnya, Dispora Aceh memilihnya sebagai tim ahli karena Steffy bergabung dengan komunitas pelari. Orang-orang di komunitas inilah yang dipakai untuk meng-handle para pelari, baik dari Indonesia maupun dari luar negeri.

"Iya, karena kita pilihkan dari komunitas pelari. Mereka yang tahu, mereka punya komunitas dan bisa meng-handle semua pelari di Indonesia maupun luar negeri," jelas Darmansah.| Detik.com

AMP - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan segera melakukan pemeriksaan terhadap empat orang saksi yang telah dicegah berpergian ke luar negeri terkait kasus dugaan suap pengalokasian dan penyaluran Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) tahun anggaran 2018.

Salah satu yang akan diperiksa dalam kasus tersebut yakni, model cantik yang diduga teman dekat Gubernur nonaktif Aceh Irwandi Yusuf, ‎Fenny Steffy Burase.

Juru Bicara KPK, Febri Diansyah yang dilansir dari Okezone.com memastikan akan memeriksa tenaga ahli Aceh Marathon tersebut.

“Tentu KPK akan melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang relevan dan dipandang ada kaitan dengan kasus ini. Sehingga nanti saat diperiksa bisa menjelaskan apa yang diketahuinya,” kata Febri saat dikonfirmasi, Selasa (10/7/2018).

Sebelumnya, KPK telah mencekal empat orang dalam kasus dugaan suap dana Otsus Aceh. Keempat orang itu yakni Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa Provinsi Aceh Nizarli, mantan Kepala Dinas PUPR Provinsi Aceh Rizal Aswandi, panitia Aceh Marathon International Fenny Steffy Burase, dan Teuku Fadhilatul Amri.

“Empat orang itu dicegah ke luar negeri selama enam bulan terhitung sejak 6 Juli 2018,” ucap Febri, Sabtu (7/7).

Nama Steffy kini jadi perbincangan di  Aceh. Dia merupakan seorang model asal Manado yang juga bekerja sebagai moderator dan pembawa acara televisi. Mantan pelari nasional ini disebut-sebut sebagai istri muda Irwandi Yusuf.

Ia juga tercatat sebagai memiliki Event Organizer (EO) Burase. Sebelumnya, Steffy pernah mengaku sebagai tenaga ahli Gubernur Aceh dalam event Aceh Marathon International 2018 di Sabang.

Sebelumnya, Febri Diansyah mengatakan keempat orang tersebut sudah dicegah ke luar negeri untuk kepentingan pemeriksaan perkara dugaan korupsi DOKA yang menjerat Irwandi.

KPK menemukan indikasi bancakan yang dilakukan oleh Irwandi dan oknum pejabat di Aceh, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota terhadap DOKA tahun anggaran 2018.

Lembaga antirasuah itu juga telah menahan Gubernur Aceh non aktif Irwandi Yusuf dan ajudannya Hendri Yuzal, Bupati Bener Meriah non aktif Ahmadi serta seorang pengusaha asal Sabang, T Saiful Bahri.

Dari temuan awal, KPK menduga setiap anggaran untuk proyek yang dibiaya dari DOKA dipotong 10 persen, 8 persen untuk pejabat di tingkat provinsi, dan 2 persen di tingkat kabupaten/kota.

KPK menyatakan Irwandi, Hendri Yuzal, dan Saiful Bahri sebagai penyelenggara negara dan penerima suap, yang dijerat dengan pasal 12 huruf a atau pasal 11 Undang-Undang 31/1999 yang diubah dengan UU 20/2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Sedangkan Ahmadi sebagai pemberi dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[okezone|pikiranmerdeka]

Ilustrasi
AMP - PNS puskesmas di Kecamatan Blang Mangat, Lhokseumawe, Aceh, diciduk polisi. PNS berinisial AZ itu ditangkap karena diduga menggelapkan dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Rp 191 juta.

"Kita dapat laporan dari pihak Puskesmas Blang Mangat bahwa adanya penggelapan uang dana JKN. Kerugiannya ditaksir mencapai Rp 191 juta," kata Kasat Reskrim Polres Lhokseumawe AKP Budi Nasuha Waruwu kepada detikcom, Selasa (10/7/2018).

Budi menjelaskan, dari keterangan Zuheri selaku kepala puskesmas tersebut, pada bulan Juli lalu dirinya menerima telepon dari bendahara puskesmas tentang penarikan dana JKN mulai Januari hingga Maret 2018. Zuheri menyebutkan dana tersebut belum ditarik. Tapi, dari keterangan bendahara, berdasarkan hasil printout rekening bank, uang tersebut telah dicairkan.

"Setelah tahu kalau uang telah dicairkan, keduanya mengecek ke pihak bank yang dimaksud dan didapati bahwa uang tersebut sudah dilakukan penarikan oleh tersangka AZ, yang tak lain adalah mantan bendahara puskesmas tersebut. Dia memalsukan tanda tangan kepala puskesmas sebanyak lima lembar," tambah Budi.

AZ ditangkap di tempat kerjanya di Puskesmas Blang Mangat, Senin (9/7). Dia diduga kuat melakukan penggelapan disertai dengan pemalsuan tanda tangan.

"Atas perbuatannya itu, dia akan dijerat dengan Pasal 372 juncto Pasal 263 KUHP. Saat ini dirinya sudah diamankan di Mapolres Lhokseumawe guna pemeriksaan lanjutan," ungkap Budi. [Detik.com]

Belasan batu nisan di lokasi situs sejarah kuburan Belanda, Kherkoff Peutjut Banda Aceh mengalami patah dan rusak. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
AMP - Belasan batu nisan di lokasi situs sejarah kuburan Belanda, Kherkoff Peutjut Banda Aceh patah diduga akibat dirusak oknum tak bertanggung jawab. 

Pantauan kumparan, Selasa (10/7) beberapa kepala batu nisan yang terletak di sekitar tengah-tengah kuburan patah bahkan hancur jatuh ke tanah. 

Mirisnya, batu nisan bercat putih itu diduga seperti dipatahkan secara sengaja. Sebab tak hanya badan nisan yang ikut rusak, tapi besi di dalamnya juga patah.

Ketua Satpam Kherkoff, Akmal, saat ditemui kumparan mengatakan, kerusakan nisan itu diketahui pada Senin (9/7) sekitar pukul 09.00 WIB. Nisan yang rusak berjumlah 13. 

“Kami tahunya saat pagi hari, kemudian kami cek ternyata benar rusak. Kami menyimpulkan bahwa ini disebabkan oleh faktor angin dan juga dugaan adanya perusakan dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab,” kata Akmal. 

Dikatakan Akmal, perusakan itu diduga terjadi saat malam hari. Meski begitu, ia tidak berani menuduh siapa pun.

"Saya tidak menuduh seseorang atau sekelompok. Memang banyak dugaan dan kemungkinan terjadi. Tapi kami menyimpulkan ini disebabkan oleh faktor angin dan orang tidak bertanggung jawab atau gila,” imbuhnya.

Kata Akmal, saat ini pihaknya sedang mencari tahu penyebab rusaknya batu nisan di makam situs sejarah kuburan prajurit militer Belanda ini. Akmal yang telah 11 tahun menjadi penjaga keamanan di sana menjaga Kherkoff dari pukul 08.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Sementara malamnya tidak ada pengamanan.
“Memang cuma dari pagi sampai sore saja. Sedangkan malamnya tidak ada lagi,” ujarnya. 

Akmal mengaku penasaran atas peristiwa tersebut. Lantaran sudah belasan tahun ia di sana tidak pernah terjadi adanya insiden perusakan. Untuk kondisi makam sendiri, kata dia, memang beberapa kali direhab karena miring dan juga retak akibat faktor usia. 

“Belum pernah terjadi apa-apa, yang ada sebagian kuburan belum direnovasi akan kita perbaiki seperti dicat ulang,” ujarnya. 

Akmal mengatakan, di malam hari kompleks pemakaman ini tam memiliki lampu penerangan. Ia berharap atas kejadian itu pemerintah memasang lampu taman bahkan CCTV.

“Peristiwa ini sudah kami laporkan ke atawa Dinas Pariwisata. Mereka mengatakan masalah ini akan diatasi seperti direhab kembali,” pungkasnya.

Kerkhoff merupakan salah satu situs sejarah sejarah di Banda Aceh. Lokasi ini merupakan adalah bukti perjuangan rakyat Aceh melawan serangan Belanda. Di sinilah tempat dimakamkan sekitar 2.200 serdadu Belanda yang tewas selama perang melawan pejuang Aceh termasuk empat jenderalnya.

Komplek ini disebut juga Kerkhoff Peutjut. Kerkhof secara harfiah artinya halaman gereja atau kuburan, sedang Peutjut adalah Pocut nama panggilan Meurah Pupok, putra mahkota Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jauh sebelum dijadikan kuburan Belanda, di sini sudah ada makam Meurah Pupok dan beberapa orang yang dekat dengan sultan. | Kumparan

AMP - Bustanil Arifin (30) warga Desa Lambhuk, Kecamatan Ule Kareng, Kota Banda Aceh meninggal dunia setelah menabrak pohon cemara yang tumbang dan menutupi ruas jalan Inspeksi Kreung Aceh di tepi kali akibat angin kencang. 

Pohon cemara itu tumbang sejak Senin (9/7/2018) malam karena angin kencang. Sementara korban meninggal karena menabrak pohon tumbang tersebut yang menutupi ruas jalan. 

"Kejadiannya tadi pagi sekitar pukul 06.00 WIB setelah shalat subuh,” kata Rustam Abubakar Kepala Desa Lhambuk, Kecamatan Ule Kareng kepada wartawan, Selasa (10/07/18). 

Menurut Rustam, korban diperkirankan meninggal dunia di lokasi karena kejadian baru diketahui oleh warga setempat setelah 30 menit kemudian, sehingga nyawa korban tidak dapat tertolong. 

“Saat dievakuasi korban berada dibawah tumpukan pohon tumbang dengan kondisi kepala luka dan mengeluarkan darah dari telinga,” katanya. 

Masih kata Rustam, korban merupakan warga Desa Indra Puri, Kabupaten Aceh Besar, namun baru setahun lalu ia menikah dan menetap di rumah mertuanya Desa Lambhuk, Ule Kareng Banda Aceh. 

Setiap paginya setelah shalat subuh korban selalu melintasi jalan tersebut menuju ke pasar Peunayong untuk berjualan. “Jenazah korban tadi langsung dibawa ke kediaman rumah orang tuanya di Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar untuk dikebumikan di sana,” ujarnya. | kompas.com

AMP - Siapakah yang akan mendampingi Nova Iriansyah , apabila Irwandi Yusuf (Gubernur Aceh) yang sekarang ini telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK RI pada Selasa malam (3/7/2018) kemarin, jika dia diputuskan bersalah nantinya.

Seperti diketahui, dia (Irwandi) Diduga sebagai penerima ada tiga orang yakni Irwandi Yusuf Gubernur Provinsi Aceh, pihak swasta Hendri Yuzal dan pihak swasta lainnya Syaiful Bahri. Sementara, diduga sebagai Pemberi: adalahAhmadi tidak dibacakan, Bupati Kabupaten Bener Meriah.

Menurut Wakil Ketua KPK Basaria, dalam konferensi pers di Jakarta, bahwa Irwandi diduga menerima suap terkait  pembahasan anggaran dana otonomi khusus (otsus) dalam penganggaran antara provinsi dan kabupaten tahun anggaran 2018.

“Diduga pemberian oleh Bupati Bener Meriah kepada Gubernur Aceh sebesar Rp 500 juta bagian dari Rp 1,5 miliar yang diminta Gubernur Aceh terkait fee ijon proyekprovek pembangunan infrastruktur yang bersumber darl Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) pada Provinsi Aceh TA 2018,” kata Basaria.

Namun, berbagai desak – desuk publik menyebutkan bahwa ada salah seorang dari kader PDI-P, T. Sulaiman Badai disebut-sebut dipilih untuk mendampingi Ir. NOVA Iriansyah MT, untuk menjalankan roda pemerintahan di Provinsi Aceh apabila Irwandi Diputuskan bersalah nantinya.

Karenanya, posisi Nova Iriansyah yang sekarang ini adalah Wakil Gubernur Aceh akan diangkat menjadi Pj Gubernur Aceh karena posisi Irwandi Yusuf telah ditetapkan sebagai tersangka.

Entah, tapi publik sekarang ini terus mengisukan Sulaiman Badai yang saat ini menjabat Wakil Ketua KADIN Aceh akan digandeng Nova Iriansyah mengingat Partai Pengusung dan pendukung pada Pilkada 2017 adalah Partai Nanggroe Aceh, Partai Demokrat, Partai Damai Aceh, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Akan tetapi, kebanyakan meme di Media Sosial (Medsos) ada yang memposting gambar Zaini Yusuf dengan Nova Iriansyah.

Tak lain, Zaini Yusuf yang merupakan Presiden Aceh United itu adalah Adik kandung Gubernur Irwandi Yusuf yang saat ini sudah menjadi tersangka oleh KPK. [Sumber: liputanaceh.com]
loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget