Halloween Costume ideas 2015
July 2019

Deklarasi koalisi Gerindra dan PNA di DPRK Aceh Barat. Foto: AJNN.Net/Darmansyah Muda
AMNews - Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Barat sudah menetapkan 25 orang wakil rakyat yang terpilih dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 yang lalu.

Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Gerindra langsung membangun koalisi. Partai Nanggroe Aceh (PNA) dipilih oleh Gerindra untuk membangun koalisi poros tengah.

Padahal, Ketua Gerindra Aceh Barat Banta Puteh Syam merupakan wakil bupati setempat. Ia maju bersama Ramli MS yang merupakan politisi Partai Aceh. Keputusan Gerindra membangun koalisi dengan PNA menjadi pertanyaan bagi publik di Aceh Barat. Mungkinkan Banta Puteh Syam sudah ditinggal oleh Ramli MS.

Apalagi selama ini kabar keretakan orang nomor satu dan dua di Aceh Barat itu sudah kencang berhembus. Untuk diketahui, Gerindra berhasil meraih empat kursi dalam Pileg yang lalu, sementara PNA hanya mendapatkan satu kursi.

Bahkan, koalisi poros tengah yang dibangun partai nasional dan partai lokal ini digadang-gadang menjadi penyeimbang dalam pengawasan terhadap pemerintahan kabupaten setempat. Banta Puteh Syam mengaku tidak mau kinerja pemerintahnya bersama Ramli MS tidak diawasi oleh anggota DPRK yang berasal dari partai besutannya itu.

Ia malah mengungkapkan koalisi poros tengah ini merupakan koalisi yang akan menjadi penyeimbang dalam menilai kinerja pemerintahan. Sehingga apabila ada kesalahan pemerintah dalam pembangunan agar dikritik, namun apabila kinerjanya bersama Ramli MS berjalan baik, maka wajib juga diapresiasi.

“Koalisi ini bisa terjadi karena kami dengan tujuan yang sama, dengan harapan masa kerja parlemen lima tahun kedepan benar-benar bisa melaksanakan tugas yang baik, dimana tiga fungsi bisa berjalan dengan baik, sehingga dengan demikian tugas pemerintahan pun bisa berjalan,” kata Banta Puteh, Senin (30/7) malam.

Banta Puteh mengungkapkan kalau Partai Gerindra selama selama dua periode yang lalu harus berpuasa atau tidak mendapatkan kursi. Pasalnya sistim pengelolaan partai itu sebelumnya masih kurang sempurna.

"Bahkan saat tongkat kepemimpinan diserahkan kepada saya, Partai Gerindra Aceh Barat tidak memiliki apapun," ungkapnya.

Keberhasilan Gerindra meraih empat kursi di DPRK merupakan perjuangan panjang yang dilakukan dirinya bersama kader lainnya. Bahkan, tekanan-tekanan dari pihaknya lain cukup banyak, namun itu semua mampu dilalui, sehingga mampu mengantarkan beberapa wakil mereka ke dewan.

“Secara etik saya tidak boleh bilang siapa yang tekan, pokoknya Partai Gerindra mendapat tekanan habis, tapi kami menganggap tekanan ini adalah dukungan. Allhamdulillah selama perjuangan tidak ada selisih faham, kemudian dibarengi dengan doa dan saya mengajak teman-teman untuk harus menonjolkan kesabaran dan santun dalam berjuang,” ungkapnya.

Mantan Sekda Aceh Barat itu juga mengungkapkan kedepan akan lahi koalisi oposisi yang di dalamnya terdapat PAN dan Golkar. Sementara Partai Aceh akan menjadi partai pendukung pemerintahan. Sementara Demokrat, PPP dan PKS, secara otomatis akan membentuk fraksi bersama, namun dirinya tidak tahu akan berlabuh kemana.

"Lewat koalisi poros tengah ini saya sudah sangat siap dikritik kader sendiri. Bahkan jauh hari sebelum berkoalisi saya sudah lebih dulu mewanti-wanti kadernya untuk tidak terpengaruh dengan posisinya sebagai wabup. Saya tetap mengatakan jalankan fungsi dewan, salah satunya pengawasan," kata Banta.

Menurutnya ada dua hal yang harus didorong dalam pemerintahan Ramli-Banta, diataranya adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan penegakan syariat Islam secara kaffah.

“Jadi untuk dua hal ini butuh keseimbangan, jika tidak ada keseimbangan dalam penganggaran dan pembangunan, maka inilah yang harus dikritik dan diberikan masukan oleh koalisi poros tengah,” ucapnya.

Sumber: Ajnn.net

AMNews - Tgk Munirwan bergegas turun dari mobil begitu tiba di rumah ibunya, Halimah (58) di Gampong Meunasah Rayeuk, Kecamatan Nisam, Aceh Utara, Sabtu (27/7). Kakinya melangkah cepat di antara suara azan yang baru saja berkumandang.

Begitu membuka pintu rumah, Munirwan langsung menuju kamar tidur sang ibu dan membangunkannya. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut ibu dan anak itu. Hanya terdengar suara tangis dari keduanya yang pecah dalam dekapan.

Munirwan memeluk erat tubuh ibunya yang belum bangkit dari tempat tidur. Keuchik Meunasah Rayeuk, Kecamatan Nisam, Aceh Utara itu tak kuasa menahan air mata yang membasahi pipinya. Begitu juga dengan Halimah, menangis tersedu.

Pertemuan anak dan ibu itu disaksikan keluarga besarnya. Seisi rumah menangis terharu, baik pria maupun perempuan, menyambut kedatangan Munirwan yang baru saja mendapat penangguhan penahanan setelah ditahan tiga hari di Mapolda Aceh, sejak Selasa (23/7).

Munirwan ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pengedaran bibit padi jenis IF8 tak berlabel. Tapi setelah tiga hari ditahan, Kapolda Aceh menangguhkan penahanan Munirwan, terhitung sejak Jumat (26/7).

Keputusan tersebut diambil dengan berbagai pertimbangan, salah satunya rasa kemanusiaan karena ibu Munirwan, Halimah akan menunaikan ibadah haji, di samping memang dirinya cukup kooperatif selama pemeriksaan.

Di sisi lain, muncul banyak desakan agar penahanan keuchik inovator dalam pengembang bibit padi itu ditangguhkan. Tim kuasa hukum bersama sejumlah LSM bahkan menggalang dukungan dengan mengajak masyarakat menjadi penjamin Munirwan.

Caranya dengan mengirimkan foto KTP ke ke tim kuasa hukum. Penggalangan yang diprakarsai Koalisi NGO HAM Aceh itu berlangsung sejak Munirwan ditahan pada, Selasa-Kamis (23-25/7) siang. Ada 2.000 lembar KTP yang terkumpulkan.

Dalam tangisnya, Halimah menguatkan batin seraya meminta Munirwan tabah menghadapi cobaan. Halimah juga berdoa agar masalah anaknya tersebut cepat selesai. “Saya tidak kuat menahan tangis saat itu,” kata Munirwan kepada Serambi, kemarin, menirukan ucapan ibunya.

Sang ibu juga berharap doa dari anak sulungnya itu agar dirinya selamat saat pergi dan pulang dari menunaikan ibadah haji. Untuk diketahui, Halimah tergabung dalam kloter 6 jamaah calon haji dari Aceh Utara.

Setelah pertemuan mengharukan itu berlangsung, pagi itu juga Munirwan dipeusijuek (ditepung tawari) oleh keluarganya. Alih-alih ingin melihat sang ibu dipeusijuek karena akan berangkat ke Tanah Suci, malah Munirwan yang dipeusijuek oleh ibunya.

Munirwan juga merasa bahagia bisa mengantar ibunya yang tergabung dalam kloter 6 untuk bertolak ke Banda Aceh pada, Sabtu (27/7). Ibunda Munrwan dan calon jamaah haji kloter 6 masuk asrama haji Banda Aceh tadi malam, sebelum berangkat ke Mekkah pada Minggu (28/7) pukul 22.35 WIB malam nanti.

Suasana haru kembali terjadi saat Halimah berpamitan dengan keluarganya. Halimah kembali memeluk erat anaknya. Linangan air mata secara perlahan membasahi pipi Munirwan. Di atas bahu sang ibu, Munirwan menenggelamkan mukanya yang basah dengan air mata.

“Saya masih bisa tahan tangis ketika bertemu dengan orang lain, tapi tidak bisa ketika berjumpa orang-orang yang saya sayangi. Saya meminta ibu untuk mendoakan agar masalah ini cepat selesai, apalagi Tanah Suci, negeri yang dikabulkan doa,” ujar Munirwan.(mas)

Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Tangis Ibu Sambut Keuchik Munirwan,

AMNews - Pasangan suami istri (Pasutri) asal Aceh Barat Daya (ABDYA) kompak melakukan aksi pencurian ponsel di sejumlah tempat di Banda Aceh. Kejahatan itu sudah dilakukan Pasutri  itu sejak tahun 2017 dengan dalih untuk kebutuhan berjudi.

Kedua pelaku  itu adalah Mar (39) dan IA (51) tercatat sebagai warga Desa Geulanggang Gajah Kecamatan Kuala Batee Kabupaten Aceh Barat Daya dan sekarang tinggal di Desa Miruk Pango Raya Kecmatan Ulee Kareng, Banda Aceh.

Kapolresta Banda Aceh Kombes Pol Trisno Riyanto menyebutkan kedua orang pelaku itu ditangkap setelah sejumlah warga melaporkan tentang maraknya pencurian hp di Banda Aceh selama ini.

“Sudah sembilan orang melaporkan kasus pencurian yang dilakukan oleh pasangan suami istri ini,” sebut Trisno saat gelar barang bukti terhadap kedua orang pelaku di Mapolresta Banda Aceh, Jum’at (26/7).

Menurut pengakuan pelaku, kejadian pencurian pertama dilakukan pada tahun 2017, tepatnya pada hari Jum’at tanggal 10 Maret di Supermarket Tengli Jaya Gampong Puge Blang Cut, Kecamatan Jaya baru Kota Banda Aceh dan terakhir pada 15 juli di Penayong Banda Aceh. Modus yang dipakai dalam menjalankan aksinya Pasutri itu kompak dengan berpura-pura membeli di supermarket.

“Dari tahun 2017 hingga ditangkap pada pertengahan bulan Juli 2019 lalu sudah melakukan pencurian belasan kali di sejumlah toko di Banda Aceh. Dalam melakukan pencurian mereka berpura-pura berbelanja di toko atau warung sambil melihat dan mengetahui posisi HP korban. Lalu ketika korban yang menjaga menyiapkan pesanan belanjaan pelaku, pelaku langsung mengambil hp yang menjadi target kemudian melarikan diri,” sebutnya.

Dari pengakuan mereka ke polisi, Hp curiannya itu dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan berjudi. Saat ini pasangan suami istri ini ditahan di Polresta Banda Aceh. Mereka disangka melanggar pasal 363 KUHP tentang pencurian dengan ancaman kurungan penjara 7 tahun. [Rencongpost.com]

Polisi memperlihatkan barang bukti bibit IF8 yang disita. Foto: AJNN.Ne/Tommy.
AMNews - Direktur Direktorat Reserse Khusus Polda Aceh, Kombes Pol T.Saladin menyebutkan hasil penjualan bibit pagi IF8 sebesar Rp 1 milliar lebih tidak masuk ke kas desa, melainkan masuk ke rekening perusahaan tersangka Muniwar selaku Direktur Utama PT Bumdes Nisami Indonesia. 

"Bibit padi IF8 yang telah beredar di masyarakat jika dirupiahkan sebesar Rp 2 miliar, yang masuk ke rekening perusahaan Rp 1 miliar lebih. Uang tersebut tidak masuk ke kas desa," kata Kombes Pol. T Saladin, Jumat (26/7). 

Ia menyebutkan tersangka Munirwan memulai mendirikan perusahaan PT Bumdes Nisami Indonesia bersama beberapa kawannya dan mulai meraup keuntungan dari penjualan bibit padi IF8 tersebut. 

"Apa yang lakukan tersangka murni bisnis. Yang kami tahan bukan atas nama keuchik maupun petani, tapi Direktur Perusahaan PT Bumdes Nisami Indonesia," sebutnya. 

Dalam kasus tersebut, penyidik Polda Aceh telah memeriksa sejumlah saksi termasuk saksi ahli serta bukti-bukti sehingga penyidik penetapkan Munirwan sebagai tersangka. "Barang bukti yang telah disita sebanyak 11,8 ton bibit padi IF8. Penetapan tersangka berdasarkan bukti yang cukup," jelasnya. 

Munirwan disangkakan melanggar pasal 12 ayat 2 Jo Undangan-undang no 12 tahun 1992 dan pasal 60 ayat 1 terkait mengedarkan hasil pemuliaan atau introduksi yang belum di lepas. Ancaman pidana kurungan 5 tahun dan denda Rp 250 juta. 

"Bibit padi tidak bisa diedarkan karena belum ada sertifikat dari instansi terkait," ungkap T.Saladin. [ajnn.net]

AMnews - Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Aceh yang mendapat penyiksaan dari majikan adalah gadis asal Dusun Krueng Tuan Desa Alue Dua Kecamatan Nisam Antara, Kabupaten Aceh Utara, bernama Annisa (36).

Nisa panggilan akrab gadis tersebut, sudah mulai merantau ke Malaysia 18 bulan atau sejak Oktober 2017 dan menjadi pembantu rumah tangga di kawasan Rawang, Malaysia.

Informasi tersebut diperoleh Serambinews.com dari anggota DPD RI asal Aceh, Sudirman alias Haji Uma.

Haji Uma setelah mendapat informasi tersebut, berusaha mencari nomor kontak pihak keluarga untuk memastikan kebenaran informasi tersebut.

"Semalam sudah mendapat nomor kontak Amar Danil, keluarga korban yang saat ini berada di Malaysia," ujar Haji Uma.

Berdasarkan cerita Amar, Danil, Annisa ditemukan oleh warga Indonesia diduga setelah dibuang oleh majikan.

"Karena tidak tahan dengan penyiksaan majikannya, kemudian Nisa kabur," kata Haji Uma mengutip keterangan Amar Danil.

Kemudian naik ke pohon untuk bersembunyi, karena tidak mengetahui jalan kabur.

Namun, karena tak tahan menahan haus dan lapar, Nisa turun dari Pohon, dan meminta bantuan air minum pada seorang warga India yang tinggal di lokasi itu.

Melihat kondisi Nisa dipenuhi luka sekujur tubuhnya dan gigi patah, warga India tersebut membawa Nisa ke Hospital terdekat.

Setelah menemukan kembali Nisa, kemudian majikan tersebut yang disebut-sebut aparat Malaysia, membuang Nisa ke suatu tempat.

"Setelah demikian, Nisa ditolong seorang TKI dan kemudian berhasil dibawa pulang ke rumah oleh keluarganya," ujar Haji Uma.

Kondisi Annisa sekarang sangat memprihatinkan.

Fasilitasi Pemulangan Korban

Pemerintah Aceh merespons kasus dugaan penganiayaan yang menimpa seorang tenaga kerja wanita (TKW) asal Aceh Utara di Malaysia.

"Atas perintah Plt Gubernur Aceh, kami telah melakukan langkah-langkah awal untuk proses pemulangan korban. Saya sudah berkoordinasi langsung dengan Tgk Mukhtar Abdullah, salah seorang tokoh masyarakat Aceh di Malaysia," kata Kadis Sosial Aceh, Alhudri kepada Serambinews.com, Sabtu (20/7/2019) malam.

Menurut Alhudri, dari koordinasi awal dipastikan ada warga Aceh bernama Anisa binti Jamil (25) yang berasal dari Desa Krueng Tuan, Kecamatan Nisam Antara, Kabupaten Aceh Utara yang diduga jadi korban tindak kejahatan/penganiayaan majikan tempat dia bekerja di Malaysia.

Mengutip informasi dari Tgk Mukhtar Abdullah, saat ini korban sudah dititip ke salah satu tempat yang aman.

"Kawan-kawan di sana menjadwalkan membawa korban ke KBRI Kuala Lumpur pada hari Senin (22/7/2019). Selanjutnya kami atas nama Pemerintah Aceh akan berkoordinasi dengan pihak KBRI guna menentukan langkah selanjutnya," ujar Alhudri.

Pada Sabtu malam, Mukhtar Abdullah juga mengirim satu rekaman video berdurasi 23 menit 13 detik yang berisi wawancara tokoh-tokoh Aceh di Malaysia dengan Anisa.

Dalam video tersebut terdengar Anisa bercerita sambil menahan sedih bagaimana dia diperlakukan secara kejam oleh majikannya.

Seperti menyiram air panas ke tubuhnya, meninju mulut hingga giginya copot, dan membenturkan kepala ke dinding.

Beberapa kali Anisa tampak tak mampu menceritakan apa yang dialaminya. Dia terlihat berulang kali menutup wajahnya karena tak mampu menahan tangis.

Tim yang mewawancarai Anisa juga melihat bagian tubuh perempuan tersebut yang dipenuhi bekas-bekas luka akibat disiram air panas.

"Subhanallah, masya Allah, kenapa begini kejam manusia," begitu komentar yang terdengar di video tersebut saat melihat tanda-tanda kekerasan di bagian punggung, paha, tangan, dan wajah korban.

"Mohon doa dari kita semua semoga usaha kita untuk memulangkan Anisa ke kampung halaman berjalan lancar," kata Mukhtar.

Menurut kabar, setelah mengalami penyiksaan, korban diantar seseorang menginap di salah satu hotel.

Karena sewa hotel hanya dibayar satu malam oleh orang yang membawanya, maka dia pun terpaksa keluar.

Dalam kondisi tak tahu apa yang harus dilakukan, Anisa diselamatkan oleh salah seorang perempuan suku Jawa yang bekerja sebagai cleaning servis di hotel tersebut hingga akhirnya Anisa diamankan oleh Tgk Mukhtar Abdullah

Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul TKW Aceh Nisa yang Disiksa Majikan Ditemukan Keluarga Setelah Dibuang.

AMNews - Sedikitnya 139 pengungsi dari Kabupaten Nduga, Papua, meninggal dunia karena menderita berbagai penyakit. Data ini dihimpun oleh Tim Solidaritas untuk Nduga dari Desember 2018 hingga 16 Juli 2019.

"Untuk bulan ini saja sampai 16 Juli, tiga orang meninggal dunia. Sebagian meninggal dalam proses pengungsian dari Nduga ke Wamena dan ada yang meninggal di Wamena," kata peneliti dari Marthinus Academy, Hipolitus Wangge, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (19/7).

Wangge yang juga anggota Tim Solidaritas mengatakan ada sekitar 5.000 warga Nduga yang mengungsi ke Wamena karena konflik berkepanjangan antara kelompok bersenjata dengan aparat TNI/Polri.

Tim Solidaritas juga mencatat korban tewas akibat konflik di Nduga sebanyak 168 orang, dari Desember 2018 hingga Juli 2019. Korban tewas itu berasal dari warga, kelompok bersenjata, TNI/Polri, termasuk 139 pengungsi. Selebihnya, ada sembilan aparat TNI/Polri yang terkena luka tembak dan lima orang hilang.

CNNIndonesia.com telah menghubungi Bupati Nduga Yairus Gwijangge untuk mengklarifikasi jumlah pengungsi dan korban tewas di Nduga dan Wamena. Namun ponsel Yairus sedang tidak bisa dihubungi.

Hipo melanjutkan ratusan pengungsi yang tewas di Wamena disebabkan serangan penyakit.

Kata dia, Tim Kesehatan GKIS sepanjang tahun ini sudah beberapa kali mendatangi kamp pengungsian untuk meninjau keadaan para pengungsi. Masing-masing dilakukan pada 21-29 Maret, 18-26 April, dan 2-9 Juni lalu.

Dari kunjungan itu tim mendapati para pengungsi banyak terserang penyakit ISPA, anemia, diare. Penyakit ISPA disebabkan oleh asap kayu bakar yang dihirup pengungsi dan udara dingin. Sementara penyakit anemia dan diare dipicu faktor makanan dan infeksi cacing.

"Para pengungsi makan seadanya. Mereka kekurangan asupan makanan," kata Hipo.

Hipo menerangkan kondisi pengungsi di Wamena yang memprihatinkan karena minim bantuan.

Dia tak menampik ada bantuan dari pemerintah daerah setempat, namun dalam dua bulan terakhir bantuan semakin jarang disalurkan karena konflik yang terus terjadi di Nduga dan sekitarnya.

Masalah lain yang membuat bantuan sulit tersalurkan, menurut Hipo adalah sikap pemerintah Indonesia yang sampai saat ini belum mengakui ada konflik bersenjata di Nduga.

Hipo mengatakan sejauh ini pemerintah hanya memandang konflik yang terjadi di Nduga sebagai konflik biasa alias aksi kriminal.

"Jadi perlu diakui dulu status konflik di Nduga ini apa. Pemerintah tak bisa menutup mata bahwa ada aspek perjuangan politik dalam konflik bersenjata ini," kata dia.

Keberadaan pengungsi menurut Hipo dapat ditangani dengan baik jika status konflik di Nduga telah jelas, yakni konflik antara pemerintah dengan kelompok pro kemerdekaan. [CNN]

MEMASUKI tahun 1947, serbuan tentara Belanda makin menggila di Medan Area. Hampir setiap hari pesawat pemburu mereka mondar-mandir keliling kota Medan. Tembakan dari udara menghujani kubu-kubu pasukan Republik, khususnya yang berada di front barat. Di sini, banyak orang-orang Aceh yang tergabung dalam Resimen Istimewa Medan Area (RIMA)

“Pada tanggal 5 Januari 1947, mereka membom serta menghujani Sungai Semayam dengan tembakan dan serangan-serangan dari udara. Serangan udara Belanda datang secara bertubi-tubi tanpa mengenal ampun,” ujar Nukum Sanany kepada penulis B. Wiwoho dalam Pasukan Meriam Nukum Sanany.

Serangan udara Belanda mengakibatkan korban berjatuhan. Dua orang luka-luka berlumuran darah dan seorang lainnya tewas. Prajurit yang gugur itu bernama Kopral Suparman yang berasal dari Batalion IX.

Kapten Nukum Sanany, komandan pasukan meriam RIMA memutuskan memindahkan basis pertahanan dari Sungai Semayam ke Kampung Lalang. Untuk menghindari serangan udara musuh, kubu pertahanan diperkuat dengan membuat parit-parit dan benteng. Pada saat-saat demikian, terjadilah suatu lelucon di tengah perang.

Seorang prajurit bernama Hasan Cumbok bikin ulah. Pangkatnya sersan satu dan bertugas sebagai komandan meriam ukuran pucuk 13 ponder. Sebagaimana dicatat Amran Zamzami dalam Jihad Akbar di Medan Area, sebelum bergabung dengan pasukan meriam, Hasan pernah menjadi pasukan Heiho di zaman Jepang.  Prajurit Aceh asal Pidie ini berpendidikan rendah namun wataknya keras nan berani.

Sekali waktu Hasan Cumbok nekat membawa meriam ukuran 18 ponder kaliber 7,5 ke Sungai Sikambing.  Tanpa instruksi komandannya, Hasan langsung melepaskan sebanyak dua kali dengan jarak maksimal. Hasan menargetkan markas tentara Belanda akan hancur lebur kena hantam meriamnya.

Menurut Nukum Sanany, Hasan belum begitu lama mengikuti latihan menembak meriam sehingga kurang menguasai sepenuhnya teknik pengoperasiannya. Dalam aksi solonya itu, Hasan mengabaikan berbagai hal, mulai dari cara bidik, mengukur jarak tembak, elevasi, dan koordinat tembakan. Tidak ayal, tembakannya melampaui sasaran.

Alih-alih mengenai tentara Belanda, tembakan Hasan malah nyasar ke kawan sendiri. Peluru-peluru meriam jatuh di kota Matsum dan Tembung. Dua kawasan ini merupakan kubu pertahanan Republik yang berada di front Medan Timur.

“Sebagai Komandan, bukan alang kepalang marah saya menyaksikan kelancangannya. Namun demikian saya berusaha menahan sabar seraya memaklumi kegelisahan anak-anak anggota pasukan yang belum terlatih betul,” kenang Nukum Sanany.

Laporan dari komandan seksi Hasan menyebutkan bahwa Hasan ingin membalas dendam karena menyaksikan rekan-rekannya diterjang peluru pesawat pemburu Belanda. Dia tidak peduli perintah komandan, tidak peduli koordinasi, tak peduli strategi dan taktik. Emosinya yang meluap menyingkirkan akal sehat.

 “Yang penting hutang nyawa dibayar nyawa, hutang darah dibayar darah. Kalau lawan bertolak pinggang kita pun harus melakukan hal yang sama,” kata Amran Zamzami sang komandan seksi.

Pada 8 Januari 1947, persiapan parit-parit dan kubu pertahanan pasukan meriam di Kampung Lalang rampung. Namun kisah Hasan dan meriamnya tetap menjadi pembicaraan yang menggelikan di kalangan pasukan meriam.  Di kemudian hari, apa yang dilakukan Hasan Cumbok ini menjadi bahan tertawaan dan ejekan terhadap Pasukan Artileri RIMA. [Historia]

AMNews - Hutan Geureudong Pase Termasuk kedalam Hutan Lindung Kawasan Ekosistem Leuser berstatus hutan lindung berdasarkan hukum Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) 26/2006 dan Peraturan Pemerintah 26/2008, Hutan yang di perjual belikan berada di Kawasan Desa Pulo Meuria, Kecamatan Geureudong Pase, Kabupaten Aceh Utara.

Hutan tersebut kini sudah di perjual belikan oleh Oknum Kepala kepada PT. Rencong Mas dan PT Kaye Adang, Penjualan tersebut Cuma bemodalkan SKT dari Kepala Desa yang merupakan Oknum Penjual Belikan Lahan tersebut.

Kalau hal ini terjadi, akan terjadi ekspolitasi besar-besaran seperti pembabatan hutan masal, peningkatan penebangan ilegal, kematian satwa langka seperti Macan, Badak, Gajah, dan Orangutan Sumatra. Tapi lebih dari itu, ini akan merusak ketersediaan dan kualitas air serta menciptakan banyak bencana alam seperti banjir dan tanah longsor bagi komunitas Aceh

Petisi ini meminta Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo Kementrian Kehutanan dan Plt Gubernur Aceh ir. Nova Iriansyah, Polda Aceh, Polres Kota Lhokseumawe untuk menghentikan potensi penjualan Hutan dan Juga kehancuran hutan terbesar di kecamatan Geureudong Pase. Kami juga meminta dunia internasional, yang selama ini telah mendukung konservasi dan perlindungan hutan Aceh untuk membantu dengan dukungan teknis dan finansial untuk menghentikan perusahaan PT Rencong Mas dan PT, Kaye Adang membabat hutan dengan alasan apapun, termasuk jual beli lahan secara ilegal yang di lakukan oleh Oknum Kepala.

Saya salah seorang Masayarakat Geureudong Pase Kabupaten Aceh Utara juga meminta kepada Mabes Polri, Polda Aceh untuk menangkap oknum yang menjual belikan hutan yang masuk kedalam Hutan Lindung Kawasan Ekosistem Lauser serta memproses secara hukum PT. Rencong Mas, dan PT. Kaye Adang yang telah menebang kayu dan membuka lahan tersebut.

Dugaan jual beli lahan hutan lindung di Desa Pulo Meuria, Kecamatan Geureudong Pase Kabupaten Aceh Utara. Setelah ditelusuri, dari pemantauan area lokasi lahan tersebut sebagian masuk ke Hutan Lindung sehingga sangat berdampak terhadap masyarakat Geureudong Pase.,

Sejak setahun ini telah terjadi jual beli lahan yang di duga melanggar hukum  di Desa Pulo Meuria Kecamatan Geureudong Pase, Penjualan lahan tersebut Cuma berdasarkan SKT yang di keluarkan Oleh Oknum Kepala Desa.

Informasi yang saya dapat, Oknum Kepala Desa juga ikut mengurus semua dalam hal jual beli lahan hutan lindung tersebut, sehingga banyak lahan yang di jual semua nya berdasarkan SKT yang di keluarkan oleh Oknum Kepala Desa tersebut.

Sudah ratusan hektar lahan hutan yang di jual oleh Oknum Kepala Desa tersebut tanpa mempedulikan dampak lingkuhan terhadap Masyarakat Geureudong Pase, padahal hutan tersebut sudah masuk kedalam Kawasan Hutan Lindung.

Hutan tersebut di jual Kepada dua perusahaaan, pertama PT Rencong Mas, dan PT Kaye Adang, Penjualan Kepada PT Rencong Mas Tersebut yaitu hutan yang masuk dalam Kawasan Hutan Lindung, sementara PT Kaye Adang itu malah sudah masuk kedalam kawasan hutan Desa.

PT Rencong Mas sudah mulai menebang kayu yang masuk kedalam hutan Lindung, bahkan kayu besar- besar pun sudah di tandai untuk di tebang.

Selain membabat hutan produktif tersebut, PT Rencong Mas dan PT. Kaye Adang sudah membuka lahan yang sangat luas, sehingga sangat berdampak negatif bagi keberlangsungan satwa liar serta Masyarakat Geureudong Pase.

Kini Masyarakat Geureudong Pase merasa was was, jika hujan turun, karena di khawatirkan akibat hutan sudah gundul, maka akan secara tiba tiba berdampak banjir.

Saya sangat mengharapkan dukungan kawan – kawan semuanya yang peduli terhadap dampak lingkungan akibat pembukaan lahan secara brutal dan Kecamatan Geureudong Pase Kabupaten Aceh Utara Provinsi Aceh.

Saya mau ajak kalian minta Gubernur Aceh untuk menghentikan pembabatan hutan tersebut. Saya Minta juga Presiden Jokowi untuk memerintahkan Kepolisian untuk menangkap pelaku yang menjual Hutan tersebut. Biar tidak terjadi dampak akibat hutan sudah gundul di Kecamatan Geuureudong Pase, dan di tempat lainnya. [change.org]

Panglima Kodam Iskandar Muda, Mayjen TNI Teguh Arief Indratmoko (dua kiri) memperlihatkan senjata ilegal yang diserahkan warga Aceh Timur dan Aceh Utara ke Kodam Iskandar Muda Aceh di Banda Aceh, Jumat (12/7/2019). (ANTARA News/ Irman)
AMNews - Sejumlah warga Aceh secara sukarela menyerahkan enam pucuk senjata yang masih aktif sisa konflik kepada Kodam Iskandar Muda.

"Senjata ini diserahkan oleh masyarakat wilayah Aceh Timur dan Aceh Utara serta beberapa daerah lainnya ke Kodam Iskandar Muda Aceh," kata Panglima Kodam Iskandar Muda, Mayjen TNI Teguh Arief Indratmoko kepada pers di Banda Aceh, Jumat.

Ia menjelaskan, sebanyak enam pucuk senjata sisa konflik tersebut sebelumnya disimpan oleh warga secara ilegal dan Tim Intelijen serta Babinsa Kodam Iskandar Muda Aceh melakukan penggalangan.

Keenam pucuk senjata tersebut terdiri atas lima pucuk senjata laras panjang, yaitu dua pucuk AK-56, M1A1 carbine, SS1 dan M16 (pistol) masing-masing satu pucuk. Jumlah amunisi 261 butir.

Kodam Iskandar Muda Aceh terus melakukan penggalangan senjata ilegal yang ada di masyarakat. Pihaknya akan melindungi warga yang menyerahkan senjata secara sukarela.

"Jika warga menyerahkannya dengan penuh kesadaran saya menjamin mereka akan aman," kata Teguh.

Pangdam Iskandar Muda Aceh juga mengimbau masyarakat Aceh yang masih menyimpan secara secara ilegal untuk menyerahkan kepada TNI dan Polri.

Pada 3 Januari 2019, warga Aceh menyerahkan delapan pucuk senjata, yakni tiga pucuk jenis SS-1 masing-masing satu pucuk jenis AK-101 dan M-16, dua pucuk jenis karaben serta sepucuk pistol revolver dan 10 magasin peluru berikut 800 butir amunisi.

Kemudian, pada 15 Mei 2019, warga Aceh juga telah menyerahkan 12 pucuk senjata kepada Kodam Iskandar Muda Aceh. Senjata yang diserahkan masyarakat tersebut atas sembilan pucuk laras panjang, terdiri dua pucuk M16, dua pucuk AK-47 dan empat pucuk AK56.

Sedangkan tiga pucuk laras pendek terdiri atas ua revolver dan satu FN. Berikutnya lima magasin beserta 455 butir peluru, dua granat lontar dan dua granat tangan. [Antara]

AMNews - Akhir Desember, 1946. Amran Zamzami masih berusia 18 tahun saat berangkat dari Langsa menuju Medan. Bukan sesuatu yang aneh bila perjalanannya sekedar jalan-jalan. Namun nyatanya, Amran datang ke Medan hanya untuk satu tujuan: bertempur melawan tentara Belanda. 

“Kami ingin segera menghabisi mereka. Ingin rasanya cepat-cepat menikam Belanda yang bertahan di kota Medan,” tutur Amran kepada penulis Sugiono MP dalam Belajar dan Berjuang.

Amran, pemuda Aceh kelahiran Kutabuloh, seorang pasukan TRI jebolan sekolah Kadet Bireun. Dia merupakan satu dari sekian banyak pemuda Aceh yang ikut bertempur dalam palagan Medan Area. Medan Area adalah pertahanan di mulut pertempuran di mana Belanda terkepung di kota Medan.

“Sejarah mempertemukan perjalanan hidupku di Medan Area. Bergabung dalam Resimen Istimewa Medan Area (RIMA), di bawah pimpinan Komandan Resimen-ku sendiri, Teuku Cut Rachman dari Meulaboh,” kenang Amran.

Di Medan Area, para pasukan Aceh ini terkonsentrasi di front Barat. Kehadiran mereka lebih dari sekedar bala bantuan. Cukup banyak yang terlibat di garis depan.Dalam beberapa pertempuran terbuka, tentara Belanda dibikin keder juga. Dengan senjata seadanya, pejuang Aceh kerap menebar teror bagi tentara Belanda. Inilah kisah mereka. 
Menjemput Lawan

Sejak Oktober 1945, kota Medan jatuh ke tangan musuh. Pasukan Sekutu yang terdiri dari British-Indian Army dan pasukan Belanda, NICA telah mencaplok ibu kota Sumatera Utara itu. Objek vital di Medan disegel dan ditandai sebagai “Fixed Boundaries Medan Area” untuk dijadikan basis militer. Dari sini kemudian dikenal istilah “Medan Area” yang menjadi palagan pertempuran merebut kembali kota Medan.

Sekutu dan Belanda menjadikan gedung-gedung utama sebagai markas pasukannya. Tak hanya itu, rumah-rumah penduduk Medan tak luput dari sasaran untuk kepentingan tertentu. Demi keselamatan diri, warga sipil terpaksa eksodus dari kota Medan. Mereka mencari tempat yang lebih aman ke pedalaman atau ke arah utara menuju Aceh.

“Penduduk kota itu berbondong-bondong meninggalkan tempat tinggalnya. Diantaranya banyak yang mengungsi ke pedalaman Aceh melalui Tanah Karo dan terus ke Aceh Tengah lewat Kutacane, Blangkejeren dan Takengon,” tulis Abdul Karim Jakobi dalam Aceh Daerah Modal: Long March ke Medan Area.

Selain gelombang pengungsi yang silih berganti berdatangan, Di Aceh tersiar kabar mengkhawatirkan. Muncul desas-desus tentara Belanda hendak merebut pusat pertambangan minyak, Pangkalan Berandan di Langkat. Pangkalan Berandan adalah pintu gerbang menuju Aceh. Tak ingin menunggu di tempat, pejuang Aceh lebih memilih untuk menjemput lawan.

Memasuki 1946, orang-orang Aceh mulai berdatangan ke Medan untuk bertempur. Setiba di Medan, pejuang-pejuang Aceh tergabung ke dalam Resimen Istimewa Medan Area (RIMA) di bawah komando Mayor Teuku Cut Rachman, perwira TRI asal Meulaboh kemudian Mayor Hasan Achmad.

Selain tentara profesional yang tergabung dalam TRI, ikut serta para veteran yang menamakan diri Gerilyawan Muslimin. Mereka adalah gerilyawan Aceh dari dataran tinggi Gayo. Di antara mereka, pada zamannya tenar sebagai “Pang”, jagoan yang telah bertempur melawan Belanda sejak zaman kolonial akhir abad 20 sampai masa pendudukan Jepang. Dari barisan laskar, turut pula Laskar Rakyat Mujahidin dan Laskar Rakyat Hizbullah.
Aksi Legiun Aceh

Reputasi pejuang Aceh yang datang ke Medan cukup diperhitungkan. Mereka tergabung dalam pasukan Resimen Istimewa Medan Area (RIMA) yang terdiri dari sebelas batalion. Selain dengan senjata ringan, pasukan ini dilengkapi dengan meriam-meriam 4 cm, Penangkis Serangan Pantai (PSP), Penangkis Serangan Udara (PSU), mortir 2 dan 3 inci, bom, dan granat.

Batalion terkuat berkedudukan di Kampung Lalang berdampingan dengan Pasukan Meriam Nukum Sanany yang terkenal ampuh menggempur musuh. Pada 15 Januari 1947, kota Medan digempur pasukan dari Aceh dengan lindungan tembakan meriam. Duel meriam berlangsung selama satu jam.

“Pertahanan Kampung Lalang terkenal sekali kuatnya. Menurut Belanda, front tersebut merupakan pertahanan Republik satu-satunya yang payah dihadapi di Medan Area,” tulis Teuku Alibasyah Talsya dalam Modal Perjuangan Kemerdekaan: Perjuangan Kemerdekaan di Aceh 1947-1948.

Yang lagi menakutkan, pasukan Aceh kadangkala bergerak dalam kelompok kecil di malam hari. Mereka kerap menyambangi tangsi-tangsi tentara Belanda atau membuntuti patroli musuh yang lengah. Dengan bermodal senjata tajam macam parang, klewang, atau rencong, tak sedikit tentara Belanda yang jadi korban teror pasukan Aceh, kena tebas atau luka parah. 

Untuk mengimbangi luapan pejuang Aceh, markas tentara Belanda sampai-sampai mengirim telegram ke Padang dan Palembang. Isinya behubungan dengan permintaan pasukan tambahan. “’Wij zitten in de miet zend gouw help,” (Kami sedang terjepit, harap segera kirim bantuan),” demikian bunyi pesan itu sebagaimana dicatat Amran Zamzami.
Pasukan Lebah

Selain menggunakan senjata tajam, pejuang aceh di Medan kerap bertempur dengan cara tak lazim. Terhembuslah rumor, pasukan Aceh dibantu oleh “Kompi Pasukan Lebah”. Pengerahan serangga bersengat ini dimobilisasi oleh Pang Lokop, pawang lebah asal Takengon yang disebut-sebut memiliki ilmu tenaga dalam. Selain lebah, menurut Abdul Karim Jakobi, para veteran Aceh suka bertempur dengan senjata tradisional dalam bentuk panah beracun. 

Konon katanya, lebah-lebah gaib dari Aceh ini bisa terbang jarak jauh dari Gayo sampai ke kota Medan. Mereka menyengat tentara Belanda hingga musuh pingsan, bahkan bisa mematikan karena sengatnya sangat berbisa. Lebah-lebah itu digerakkan dengan mantera-mantera.

Isu “pasukan lebah” itu cukup membesarkan moril pasukan Aceh di front Medan Barat. Akan tetapi, sekali waktu pernah diinspeksi cara kerja lebah-lebah itu. Apa yang terjadi? Lebah-lebah sama sekali tak bergerak.  Pang Lokop memberi keterangan bahwa anggota kesatuannya itu “ngambek” karena kekurangan logistik berupa cabe merah. Maka dimintakan dana dari markas untuk membeli makanan lebah tersebut berkilo-kilo.

“Setelah lebah-lebah itu puas makan, Pak Lokop mengomando dengan mantera-mantera segala, binatang itu pun terbang ke sana ke mari menyengati Pak Lokop. Ternyata pasukan lebah hanya isapan jempol,” kenang Amran Zamzami dalam Jihad Akbar di Medan Area.
Epilog

Hampir empat dekade kemudian, tepatnya pada 1984, kebenaran Pasukan Lebah terkuak. Dalam event International Bridge Invitation, Amran Zamzami bertemu-cengkrama dengan Henk Maaten, Ketua Umum Nederland Bridge Bond. Amran saat itu menjadi pelopor olahraga Bridge di Indonesia. Sementara Henk, tak lain merupakan keponakan langsung dari Dr. J.J. van der Velde, penasihat politik Gubernur Jendral Belanda, H.J. van Mook dan penulis buku Surat-surat dari Sumatera.

Nostalgia di antara keduanya pun terjadi. Henk mengatakan saat revolusi Indonesia, dia menjadi komandan peleton tempur di sekitar kota Medan pada tahun 1947 dengan pangkat Eerste Luitenant (Letnan Satu). Pos penjagaannya di sekitar Glugur, Petisah, dan Sei Sikambing, persis berhadapan langsung dengan kompi Amran yang siaga di Kampung Lalang. Tak berapa lama di Medan, Henk kemudian dipindahtugaskan ke wilayah Tapanuli. Dia cukup mahir berbahasa Batak.

“Di antara tentara Belanda saat itu, kalau bisa menghindari tugas di Front Barat (Medan Area), karena ada tentara Aceh yang terkenal nekad dan bangga akan kematian. Itu cukup menakutkan kami,” kata Henk.

“Jadi anda pernah merasakan sengatan tawon Pang Lokop?,” tanya Amran.

“Ya, apa itu tawon?,”

“Sebangsanya lebah berbisa yang dapat mematikan karena bisanya.”

“ha..ha..ha..,” Henk tertawa terbahak-bahak. “Di Holland kami biasa meminum madunya,” katanya.

Pengakuannya yang bernada guyon, disambung ucapan, “Ooh! The world is getting smaller.” Suasana akrab terjalin diantara keduanya. Dendam di masa peperangan telah sirna.[Historia]

Irwandi Yusuf & Muzakir Manaf
AMNews - Bergabungnya dua partai lokal terbesar di Aceh, Partai Aceh (PA) dan Partai Nanggroe Aceh (PNA) dalam Koalisi Aceh Bermartabat (KAB) jilid II di DPRA, cukup mengejutkan.

Tak ada yang menyangka, dua partai yang lahir dari rahim perdamaian Aceh dan sama-sama menaungi eks kombatan GAM ini bisa akur dan bersatu.

Padahal, sekian lama sejak Pilkada 2012 silam, PA dan PNA selalu bersaing dan tak jarang para simpatisan berseteru dalam kontestasi politik di Aceh, baik pilkada maupun pemilu serentak.

Bergabungnya PNA dalam barisan politik DPRA yang digagas PA, sontak membawa ingatan kepada pernyataan Ketua Umum PNA, Irwandi Yusuf beberapa waktu lalu, yang menginginkan terbentuknya koalisi bersama PA.

"Saya ingin membentuk koalisi dengan PA. Saya ingin partai lokal kuat," kata Irwandi seperti diberitakan Harian Serambi Indonesia edisi Rabu 11 Juli 2018 dengan judul berita "Mimpi Irwandi tentang Partai Lokal".

Saat itu Irwandi mengundang khusus Serambinews.com ke ruang kerjanya di Kantor Gubernur Aceh untuk menyampaikan itu.

Namun, belum sempat cita-cita itu diwujudkan, Irwandi ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 3 Juli 2018.

Pria yang hobi menerbangkan pesawat itu tersandung kasus rasuah Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) 2018 bersama bupati non-aktif Bener Meriah, Ahmadi.
 

AMNews - Forum koordinasi pemerintah daerah (Forkopimda) Kabupaten Aceh Utara bersama organisasi masyarakat menyerukan agar wanita di bawah usia 17 tahun yang tidak didampingi orangtua dilarang berkeliaran di malam hari.

Perempuan juga tidak dibenarkan berkeliaran pada malam hari, tanpa didampingi suami atau mahramnya. Aturan ini baru saja dideklarasikan Pemerintah Kabupaten Aceh Utara di Masjid Agung Lhoksukon, Rabu, 10 Juli 2019.

Seruan bersama ini bertujuan menegakkan Syari’at Islam di Bumi Malikussaleh, agar penerapan hukum Islam di Aceh Utara berjalan secara kaffah.

Ketua Forum Silaturrahmi Ormas Aceh Utara, Waled Abi Sirajuddin mengatakan, wacana ini nantinya akan dijadikan qanun oleh pemerintah setempat. Hal itu agar memiliki kekuatan hukum tetap.

“Dengan adanya peraturan seperti ini akan mampu membawa Aceh Utara menjadi lebih baik, khususnya dalam bidang pendidikan moril. Jika ini berjalan sesuai harapan maka Aceh Utara akan menjadi kabupaten percontohan,” ujarnya.

Bupati Aceh Utara Muhammad Thaib mendukung seruan tersebut. Namun, imbauan itu harus dijalankan secara benar, sehingga aturan ini nantinya berdampak positif.

"Ini baru sebatas seruan. Kita imbau agar wanita tidak keluar malam hari jika tak didampingi mahramnya atau orangtuanya,” kata Thaib.

Pihaknya sangat yakin deklarasi dan seruan ormas itu akan didukung penuh oleh lapisan masyarakat. Hal ini didasarkan atas kekhawatiran bersama akan kondisi anak-anak Aceh Utara pada masa mendatang.

Untuk menjalankan aturan itu, Pemkab Aceh Utara menempatkan 10 orang polisi syariah (Wilayatul Hisbah) dan Satuan Polisi Pamong Praja di setiap Kecamatan.

AMNews - Satuan Reserse Kriminal (Reskrim) Polres Lhokseumawe menangkap oknum pimpinan dayah berinisial AI (45) dan oknum guru ngaji MY (26) pelaku pelecehan seksual terhadap 15 orang santri di salah satu dayah ternama di Kota Lhokseumawe.

Dari 15 korban yang menjadi korban pelecehan seksual kedua pelaku hanya lima korban yang melaporkannya ke pihak Kepolisian yakni R(13), L (14), D(15), T (13), A (13). Kapolres Lhokseumawe AKBP Ari Lasta Irawan mengatakan, 29 Juni 2019 lalu pihaknya menerima laporan dari salah satu keluarga korban, kemudian petugas mendatangi rumah korban langsung memintai keterangan dari orang tua dan korban sendiri.

“Jadi kasus ini sengaja kita gelar supaya masyarakat tau dan pemerntah juga mengetahui atas kejadian yang menimpa santri-santri ini, sehingga setelah kita tangkap dua pelaku ini bisa menjadi pembelajaran untuk orang lain,” kata Kapolres didampingi Kasat Reskrim Indra T Herlambang dan Kanit PPA Ipda Lilisma Suryani saat konferensi pers di Mapolres Lhokseumawe, Kamis (11/7).

Sambungnya, aksi tersebut dilakukan oleh oknum pimpinan dayah dan oknum guru ngaji itu secara bergiliran, adapun modus yang dilakukan pelaku yakni dengan doktrin ilmu agama, karena korban yang tidak kuat menahan tindakan dari pelaku kemudian melaporkannya ke orangtuanya.

“Setelah menerima pengaduan dari anaknya, orangtua korban yang tidak bisa menerima hal itu kemudian melaporkannya ke pihak Kepolisian. Dan setelah kita mintai keterangan dari pelaku diketahui kurang lebih 15 orang yang sudah menjadi korban perbuatan bejat itu,” ungkapnya.

Pelecehan seksual yang dilakukan AI terhadap R sebanyak lima kali, L tujuh kali, D sebanyak tiga kali, T sebanyak lima kali dan A sebanyak dua kali.

“Saat ini kedua pelaku sudah kita amankan untuk proses penyelidikan,” pungkasnya.

Sumber: ajnn.net

Pertemuan pimpinan parpol anggota KAB (Foto: Muhammad Saleh/MODUSACEH.CO)
AMNews -  Tujuh partai politik lokal dan nasional di Aceh kembali melanjutkan dan membentuk koalisi di parlemen Aceh (DPRA) untuk lima tahun mendatang. Namanya tetap; Koalisi Aceh Bermartabat (KAB). Tujuh parpol tadi adalah, Partai Aceh (PA), Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nanggroe Aceh (PNA), Partai SIRA dan PKPI.

Pertemuan yang digagas bersama ini, dipimpin langsung Ketua DPA PA, H. Muzakir Manaf atau akrab disapa Mualem, Minggu (8/7/2019) di Banda Aceh. Rapat dihadiri sejumlah ketua dan sekretaris parnas dan parlok, peserta koalisi serta juru bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) Azhari Cage.

Anggota DPR Aceh dari PA ini memang cukup berperan dalam membangun lobi dan komunikasi dengan sejumlah parnas dan parlok hingga lahirnya KAB jilid dua tersebut. “Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, kami telah sepakat bersama-sama, melakukan kerjasama dan membentuk Koalisi Aceh Bermartabat,” kata Mualem, kepada media ini, usai pertemuan.

Menurut Mualem, koalisi akan terus berlanjut hingga di parlemen Aceh. “Kami memang berbeda kamar atau partai. Namun, ibarat rumah, tetap bersatu demi masa depan Aceh lebih baik dan bermartabat,” sebut Mualem.

Itu sebabnya kata Mualem, anggota koalisi sadar betul tentang, fungsi, peran dan tugasnya sebagai wakil rakyat di parlemen Aceh. Terutama posisi dan kedudukan anggota DPR Aceh sebagai wakil rakyat dan perpanjangan tangan partai di parlemen.

“Kami akan melanjutkan berbagai program kerjasama yang sudah baik selama ini (KAB pertama) dan terus berikhtiar untuk menyempurnakan berbagai kelemahan yang ada,” sebutnya.

Mualem berharap dan menilai, sejak kesepakatan ini dicapai, maka setiap pimpinan parpol koalisi terus membangun komunikasi dan relasi antar sesama anggota koalisi. Sebab, komunikasi merupakan kunci dari berbagai keberhasilan dari perjuangan partai terhadap kesejahteraan rakyat Aceh masa datang. Misal, mengadakan pertemuan rutin bulanan atau tiga bulanan serta program pembangunan yang berpihak pada rakyat.

“Dengan komunikasi yang baik, tentu berbagai masalah yang terjadi di Aceh dapat kita bicara dan selesaikan, demi mewujudkan dan mengawasi berbagai program pembangunan yang memihak kepada rakyat Aceh,” papar Mualem.

Tegas Mualem. “Yang perlu kita sadari bersama adalah, anggota dewan itu dipilih dari rakyat. Maka, tugas kita bersama sebagai pimpinan partai untuk mengawasi dan menjaga mereka agar tetap berpihak kepada rakyat melalui berbagai program pembangunan selama lima tahun ke depan,” tegas Mualem.

Sekedar catatan, sesuai hasil keputusan KIP Aceh, jumlah perolehan kursi di DPR Aceh berjumlah 81, ada 46 diantaranya bergabung dari KAB di DPR Aceh Periode 2019-20224. Misal, Partai Aceh (18 kursi), Gerindra (8), PAN (6), PNA (6), PKPI (I) dan SIRA (1), PKS (6). Ini berarti, ada 35 kursi lagi milik parnas dan parpol di luar KAB seperti, Partai Demokrat  (10 kursi), Golkar  (9), PPP (6) PKB (3), PDA (3), Nasdem (2 kursi) dan Hanura (1) serta PDIP (1).[Modus Aceh]

Ilustrasi
AMNews - Hujan baru saja reda, jarum jam menunjukkan waktu tengah malam. Suhu udara terasa dingin hingga menusuk tulang. Seorang putri remaja duduk sembari mengutak-atik ponsel di sudut sebuah kafe di Kota Lhokseumawe, Aceh.

Seharusnya tengah malam begini, anak dara itu tidak lagi berkeliaran. Tapi ia bukan dara biasa. Ia sengaja mangkal di situ, mencari penghasilan dengan menggaet pria hidung belang.

Jangan bayangkan gadis itu memakai pakaian seksi. Ia mengenakan celana jeans agak ketat dipadu kaos lengan panjang, dan rambutnya tertutup jilbab. Terlihat sama seperti perempuan Aceh pada umumnya, hanya saja ia menggunakan celana jeans.

Sebut saja namanya Rindu (bukan nama sebenarnya). Ia sering dibawa lelaki hidung belang ke kamar hotel di pusat Kota Medan, Sumatera Utara.

Rindu bercerita kepada Tagar, mereka yang menggunakan jasa syahwatnya biasanya lelaki berusia dewasa dengan dompet tebal. Tarifnya minimal Rp 2 juta.

“Biasanya aku komunikasi melalui Facebook dan WhatsApp, melakukannya di Medan. Tidak pernah di Aceh, agar tak ada yang tahu, sehingga rahasia tetap terjaga,” ujar Rindu.

Bukan alasan itu saja. Tujuan lain menggunakan layanan jasa syahwatnya di Medan karena kondisinya lebih aman apabila dilakukan di hotel berbintang, dan apabila dilakukan di Aceh bisa saja nantinya akan kena cambuk.

Tidak Puas dengan Suami

Kasih (bukan nama sebenarnya). Perempuan berambut pirang ini tinggal di Kabupaten Aceh Utara. Ia memiliki suami dan anak. Pada tahun ini anaknya memasuki pendidikan di perguruan tinggi.

Kasih menjalani pekerjaan sebagai pekerja seks komersil (PSK) online selama dua tahun terakhir. Biasanya ia menggaet tamu dengan menggunakan aplikasi jejaring sosial Facebook dan WhatsApp. Setelah ada kesepakatan, komunikasi berlanjut melalui telepon.

Ia bercerita, terjun ke dunia gelap ini pada awalnya karena tidak mendapatkan kepuasan seksual dari suami. Berikutnya ia melakukannya untuk mendapatkan tambahan penghasilan.

“Saya tidak mendapat kepuasan saat berhubungan intim dengan suami, makanya saya menjalani ini. Selain itu supaya bisa mendapatkan uang lebih, untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ujar Kasih.

Mereka yang menggunakan jasa Kasih pada umumnya adalah pria yang tinggal di Kota Medan. Mereka bertemu di salah satu hotel di Kota Binjai, Sumatera Utara. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga rahasia tamu jangan sampai ketahuan istrinya.

Saat pergi untuk melayani lelaki hidung belang yang memesannya di Kota Binjai, Kasih mengatakan kepada suaminya, ia pergi untuk bekerja di rumah temannya selama beberapa hari.

Sekali memberikan layanan seksual, Kasih mendapatk uang Rp 2 juta, kadang kadang ada yang memberinya Rp 5 juta.

Kasih yakin suami tidak mencurigainya sama sekali karena ia sangat rapi menyimpan rahasia pekerjaannya tersebut. Apalagi anak-anaknya, sama sekali tidak tahu pekerjaannya seperti itu.

Ia juga mengaku melayani pria hidung belang lokal yang ingin menggunakan jasanya. Namun dia lebih suka dibawa ke wilayah Binjai, karena menurutnya lebih terjamin keamanannya.

    Saya tidak mendapat kepuasan saat berhubungan intim dengan suami, makanya saya menjalani ini. Selain itu supaya bisa mendapatkan uang lebih, untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kasih juga melayani pria hidung belang di rumah kawannya di kawasan Aceh Utara. Teman wanitanya itu telah bersuami, hanya saja suaminya sedang bekerja di Malaysia.

Untuk melakukan praktik syahwat di rumah tersebut, pelanggan lokalnya harus membayar Rp 200 ribu untuk satu jam, dan biaya jasa Rindu sebesar Rp 300 ribu untuk satu jam. Apabila ingin memperpanjang waktu layanan, harga tersebut tinggal diakumulasikan saja.

“Rumah ini cukup aman, karena orang tahu kawan saya itu punya suami, hanya saja kerja di Malaysia. Lagian pula di rumah itu ada anak-anaknya juga, jadi orang tidak curiga kalau kita bawa laki-laki,” tutur Rindu.

Syahril Ramazan asal Desa Lhok Bintang Hue, Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara di Rumah Sakit Palang Merah Indonesia (PMI) Jalan Samudera, Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe, Selasa (9/7/2019).(KOMPAS.com/MASRIADI)
AMNews - Tangis bayi berusia 44 hari pecah memenuhi ruang perawatan di Rumah Sakit Palang Merah Indonesia (PMI) Jalan Samudera, Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe, Selasa (9/7/2019).

Syahril Ramazan, bayi dari pasangan M Amin dan Ade Suraya itu merasakan sakit yang dahsyat pada punggungnya. Dokter memberitahu warga Desa Lhok Bintang Hue, Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara itu bahwa Syahril menderita kanker.

Rasa sakit dan tidak nyaman saat berbaring di ranjang rumah sakit membuat Syahril terus-menerus menangis. Kondisi tersebut semakin membuat panik kedua orangtua Syahril.

“Kondisinya kian memburuk. Saya mohon Allah menyembuhkan anak saya. Dia sudah sangat menderita dengan sakitnya,” kata Ade dengan mata berkaca-kaca.

Saat ini, Ade mengaku hanya bisa mendoakan kesembuhan buah hatinya. Sang suami tidak bisa menemani, karena harus bekerja mencari uang untuk membantu biaya perawatan.

Sehari-hari, Ade bekerja sebagai petani. Sementara suaminya, bekerja sebagai pedagang es krim keliling. Sebulan terakhir, kondisi Syahril kian memprihatinkan, meski luka di bagian punggungnya mulai mengering.

Saat ini, dokter rumah sakit itu terus berupaya menangani luka yang ditimbulkan akibat kanker tersebut. Keluarga berharap Syahrial dapat sembuh, agar pulih dan tumbuh layaknya anak seusianya.

“Tapi saya yakin dia akan sembuh,” ujar Ade.[Kompas.com]

AMNews - Forum Komunikasi Ormas dan OKP Pengawal Syariat Islam Kota Lhokseumawe mengecam kegiatan liga sepakbola Menpora bagi perempuan tingkat Provinsi Aceh yang akan dilaksanakan di Stadion PT Perta Arun Gas, Lhokseumawe. Mereka menuntut Pemerintah Aceh dan Badan Liga Sepakbola Pelajar Indonesia (BLiSPI) membatalkan seleksi dan pengiriman delegasi tim sepakbola U-17 putri Aceh ke tingkat nasional.

Kecaman dan tuntutan itu disampaikan Koordinator Forum Komunikasi Ormas dan OKP Pengawal Syariat Islam Kota Lhokseumawe, Tgk. Sulaiman Lhokweng, dalam konferensi pers di Masjid Agung Islamic Center Lhokseumawe, Kamis, 4 Juli 2019, siang.

Menurut Tgk. Sulaiman Lhokweng, Forum Komunikasi Ormas dan OKP Pengawal Syariat Islam Kota Lhokseumawe telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor: 024/FK/LSM/2019 tentang Menolak Segala Bentuk Kegiatan yang Bertentangan dengan Syariat Islam dan Kearifan Lokal Masyarakat Aceh. Hal itu terkait pemilihan dan penetapan tim Provinsi Aceh yang telah dan akan dilaksanakan pada 30 Juni sampai 14 Juli 2019 di Stadion PT PAG, Batuphat, Kota Lhokseumawe. Di mana tim Provinsi Aceh nantinya akan mengikuti liga sepakbola berjenjang piala Menpora atau Liga Menpora tahun 2019 untuk usia 14, 16 dan 17 tahun putri yang akan dilaksanakan mulai akhir Juli hingga awal September 2019 secara nasional.

"Tentunya ini sangat disayangkan bahwa di Aceh sudah ada liga sepakbola perempuan untuk usia 14, 16 dan 17 tahun. Seluruh OKP dan Ormas bersatu untuk menolak kegiatan tersebut," ujarnya.

Menurutnya, seleksi dan pengiriman delegasi tim sepakbola U-17 putri Aceh ke tingkat nasional itu bertentangan dengan marwah masyarakat Aceh. Untuk itu, pihaknya menuntut pihak pengelola Stadion PT PAG agar lebih selektif dalam memberikan izin tempat, terlebih kegiatan yang dinilai bertentangan dengan syariat Islam dan kearifan lokal di Aceh.

"Kita juga menuntut permintaan maaf dari BLiSPI kepada seluruh umat Islam Kota Lhokseumawe dan Aceh secara umum. Karena telah melukai perasaan dan kearifan lokal masyarakat Aceh, dengan mengeksploitasi perempuan Aceh di bidang sepakbola," katanya.

"Ini menyangkut marwah masyarakat Aceh. Pemerintah dalam hal ini Gubernur Aceh harus melihat kegiatan yang dilakukan oleh pihak terkait agar jangan asal ada kegiatan saja. Artinya, kegiatan itu harus ada nilai positif dan juga menjamin bagaimana berlangsungnya syariat Islam di Aceh. Tapi kita melihat sepakbola untuk putri ini sangat menyedihkan, dan bahkan kita sebagai rakyat Aceh malu dengan provinsi lain. Kok masih ada acara seperti ini khususnya di Aceh," ujar Tgk. Sulaiman.

Tgk. Sulaiman melanjutkan, pihaknya sudah sepakat bahwa sepakbola putri itu harus segera dihentikan, karena dikhawatirkan nanti ada masyarakat yang tidak bisa mengontrol emosi, dan jangan sampai terjadi hal yang tidak diinginkan.

"Kita mengingat ini bukan cuma kerugian biasa, tetapi ini merupakan kerugian yang sangat luar biasa," pungkasnya.[portalsatu.com]

AMNews - Setyono Djuandi Darmono atau orang mengenal dengan sebutan S.D. Darmono menyebut, pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah. Agama cukup diajarkan orangtua masing-masing atau lewat guru agama di luar sekolah.

“Mengapa agama sering menjadi alat politik? Karena agama dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Di sekolah, siswa dibedakan ketika menerima mata pelajaran (mapel) agama. Akhirnya mereka merasa kalau mereka itu berbeda,” kata Darmono usai bedah bukunya yang ke-6 berjudul Bringing Civilizations Together di Jakarta, Kamis (4/7/2019).

Tanpa disadari, lanjut chairman Jababeka Group ini, sekolah sudah menciptakan perpecahan di kalangan siswa. Mestinya, siswa-siswa itu tidak perlu dipisah dan itu bisa dilakukan kalau mapel agama ditiadakan.

Sebagai gantinya, mapel budi pekerti yang diperkuat. Dengan demikian sikap toleransi siswa lebih menonjol dan rasa kebinekaan makin kuat.

“Siswa harus diajarkan kalau mereka itu hidup di tengah keanekaragaman. Namun, keanekaragaman dan nilai-nilai budaya itu yang menyatukan bangsa ini, bukan agama,” tegasnya.

Kalau agama yang dijadikan identitas, lanjut Darmono, justru akan memicu radikalisme. Ketika bangsa Indonesia hancur karena radikalisme, belum tentu negara tetangga yang seagama bisa menerima.

“Kita harus jaga bangsa ini dari politik identitas (agama). Kalau negara ini hancur, yang rugi kita sendiri. Memangnya kalau kita pindah ke negara lain yang seagama, kita bisa diterima, kan tidak. Makanya rawatlah negara ini dengan nilai-nilai budaya, bukan agama,” bebernya.

Dia menyarankan Presiden Joko Widodo untuk meniadakan pendidikan agama di sekolah. Pendidikan agama harus jadi tanggung jawab orang tua serta guru agama masing-masing (bukan guru di sekolah). Pendidikannya cukup diberikan di luar sekolah, misalnya masjid, gereja, pura, vihara, dan lainnya.

“Kalau mau merawat persatuan dan kesatuan bangsa, itu harus dilakukan. Cuma saya melihat presiden tersandera oleh berbagai macam kepentingan politik. Jika ini tidak diubah, sampai kapan pun agama akan dijadikan alat politik indentitas,” tandasnya. (JPNN)

PADA tahun 1944, pemikir anti-kolonial Karibia, Eric Williams, menulis karya klasiknya Capitalism and Slavery. Buku itu berargumen bahwa kekayaan melimpah yang dipompa Inggris dari perkebunan-perkebunan budak di Hindia Barat pada abad ke-18, berkontribusi secara signifikan bagi Revolusi Industri, dan karena itu juga bagi kelahiran kapitalisme modern.

Tetapi dalam diskusi ini, Belanda dan kerajaan kolonialnya diabaikan. Seringkali sejarawan imperial konservatif di Belanda melihat pertanyaan tentang kontribusi perbudakan bagi kapitalisme sebagai sesuatu yang tidak relevan karena Belanda cukup terlambat dibanding Inggris dalam melewati revolusi industri. Argumen ini mengabaikan peran penting kapital dagang Belanda bagi terobosan yang lebih luas dari kapitalisme Eropa. Secara umum, sejarawan-sejarawan ini biasanya berargumen bahwa kontribusi perbudakan di Hindia Belanda adalah kecil. Mereka juga cenderung untuk memperlakukan sejarah kolonisasi, kekerasan dan perbudakan di Amerika secara terpisah dari sejarah kolonialisme Belanda di Asia, seolah-olah keduanya tidak berkaitan Namun, narasi ini mulai bergeser, bahkan di antara sejarawan-sejarawan yang bekerja di Belanda. Ini dapat menolong untuk menyediakan landasan bagi penulisan kembali sejarah keterlibatan global kerajaan Belanda dalam perbudakan, yang mempertemukan dunia sekitar Samudra Atlantik dan Samudra Hindia dan yang menunjukkan bagaimana kekayaan yang ditimbun di kedua belahan bumi ini menyuplai akumulasi kapital Eropa, dengan kapital Belanda sebagai inisiator, penegak, pengorganisir, dan penengah.

Pedagang-pedagang Belanda terlibat dalam perbudakan global sejak abad ke-16. Mereka tetap berperan demikian hingga paruh pertama 1860-an, ketika Belanda menjadi bangsa terakhir Eropa yang secara formal menghapus perbudakan di koloni-koloninya. Bahkan setelah itu Belanda memberlakukan kerja paksa yang lebih parah lagi kepada subjek-subjek yang sebelumnya diperbudak. Di Hindia Belanda, hal ini diorganisir dalam bentuk “sistem tanam”, yang telah menggantikan perbudakan dengan tipe kerja paksa lain pada periode sebelumnya. Di Suriname dan koloni-koloni Belanda lainnya di Karibia, dekrit emansipasi tahun 1863 menuntut 10 tahun tambahan di perkebunan, di mana populasi Afrika diwajibkan untuk terus bekerja untuk tuan-tuan mereka yang sebelumnya. Peran kerajaan Belanda dalam perbudakan global bersifat ekstensif, termasuk transportasi dan penjualan ratusan ribu tawanan di wilayah Samudra Atlantik dan Samudra Hindia, dan operasi kerja perbudakan di koloni-koloni yang pada titik-titik tertentu mencakup Brazil Utara, New Amsterdam (sekarang New York), Suriname, Afrika Selatan, Indonesia hari ini, Sri Lanka, dan banyak bagian lain Asia. Eksperimen skala besar pertama dengan perkebunan budak oleh Belanda tidak dilakukan di Barat, tetapi di Pulau Banda di Maluku Selatan, tempat pala dihasilkan, setelah Gubernur VOC Jan Pieterszoon Coen mengorganisir genosida penduduk lokal. Di mayoritas area di bawah kontrol VOC, Belanda mengombinasikan perbudakan dengan banyak bentuk kerja paksa lain. Ini berbeda dengan koloni-koloni di Atlantik seperti Suriname, yang sepenuhnya diorganisir di sekitar institusi perkebunan budak Afrika di mana bentuk-bentuk lain dari kerja paksa pada penduduk asli didorong sampai ke marjin.

Sebagaimana yang terjadi pada Inggris dan Perancis, gelombang terakhir dari bentuk klasik perbudakan dagang yang sentral posisinya dalam argumen Eric Williams, terjadi di kerajaan Belanda sepanjang abad ke-18, ketika sirkuit perdagangan dan keuangan Atlantik meledak dengan skala masif. Dan sebagaimana Williams sendiri mengusulkan sekian dekade lampau, pemasukan-pemasukan utamanya tidak ditarik dari perdagangan budak saja, tetapi dari barang-barang yang diproduksi dari perkebunan oleh kerja-kerja para budak: gula, kopi, tembakau, nila, kakao dan produk-produk lain pasar Eropa. Minggu ini, kolega saya Ulbe Bosma dan saya akan menerbitkan artikel panjang dalam jurnal utama tentang sejarah sosial dan ekonomi di Belanda yang menantang anggapan bahwa Belanda hanya menarik keuntungan ekonomi yang marjinal dari perkebunan budak abad ke-18 di wilayah Atlantik. Artikel ini merangkum hasil kerja tim peneliti yang dalam 5 tahun terakhir melihat pentingnya perbudakan di Hindia Belanda bagi ekonomi Belanda. Dengan mengambil tahun 1770 sebagai titik awal, yang adalah tahun rata-rata paruh kedua abad ke-18, kami menunjukkan bahwa 5,2 persen dari PDB Belanda bersumber langsung dari perkebunan budak. Angka itu sendiri telah menunjukkan bahwa kita bicara tentang sektor yang besar. Baru-baru ini, sebuah studi yang dilakukan oleh ekonom-ekonom Amerika Serikat yang bekerja untuk pemerintah federal menyimpulkan bahwa bobot seluruh “ekonomi digital” — lembah Silikon, e-commerce, infrastruktur digital hingga atau mencakup perusahaan-perusahaan kabel — adalah sekitar 6,5 persen dari PDB Amerika Serikat hari ini. Namun, persentase PDB hanya menunjukkan kepada kita sepenggal kisah tentang bobot ekonomi dari perbudakan. Adalah penting juga untuk memahami di mana pemasukan-pemasukan ekonomi dari perbudakan itu mendarat. Dalam kasus Belanda, sebagian besarnya adalah di sektor komersial yang masif yang berlokasi di bagian Barat negara tersebut, provinsi terkata di Belanda yaitu Holland. Di sana, menurut perhitungan kami, pada 1770 10,36 persen dari PDB-nya berasal dari perbudakan di Atlantik. Bahwa persentase ini begitu tinggi adalah hasil langsung dari pentingnya barang-barang yang diproduksi budak dalam sektor dagang Belanda, yang masih mendominasi ekonomi pada saat itu. Dari semua barang yang melalui pelabuhan Belanda, 19 persen diproduksi langsung oleh para budak. 4 hingga 5 persen lainnya adalah barang-barang untuk kebutuhan perkebunan dan kapal-kapal budak.

Ibukota Belanda diuntungkan bukan hanya dari eksploitasi koloni-koloni budak yang dikontrol oleh perusahaan-perusahaan kolonial Belanda dan negara. Dari masa Revolusi Belanda di abad ke-16 dan setelahnya, Amsterdam telah berfungsi sebagai penghubung krusial perdagangan dan keuangan yang lebih luas di Eropa. Pada abad ke-17, peran distribusi ini telah melibatkan perdagangan barang-barang kolonial, tetapi secara absolut perdagangan-perdagangan Eropa mendominasi sirkuit investasi kapital. Hal ini secara bertahap berubah di abad ke-18, ketika Belanda kalah bersaing di area-area lain, tetapi sanggup mengompensasikannya dengan menambah bobot perdagangan barang-barang kolonial baik dari wilayah Samudra Atlantik maupun Samudra Hindia. Pada paruh kedua abad ke-18, Belanda bukan hanya mengimpor kopi dan gula dari Suriname, tetapi juga memegang jutaan pon kopi dan gula yang diproduksi di perkebunan utama koloni Prancis St. Domingue. Hubungan antara ekonomi Belanda dan St. Domingue ini bertahan, hingga revolusi budak pada 1791 membawa emansipasi dan pembentukan Haiti merdeka. Sementara itu, jaringan ketat para bankir, pedagang, pemberi hutang dan pemilik uang mengikat pasar finansial Amsterdam pada pemilik-pemilik kebun di koloni-koloni Spanyol, koloni-koloni Karibia milik Denmark, dan Amerika Serikat bagian Selatan.

Argumen-argumen tentang ekonomi Atlantik Belanda ini menunjukkan bahwa pertanyaan tentang hubungan antara kapitalisme dan perbudakan yang diajukan oleh Eric Williams harus didekati dengan kerangka yang lebih luas daripada sekadar hubungan antara Revolusi Industri Inggris dan kompleks gula Inggris di Hindia Belanda. Ia juga menantang ide beberapa sejarawan Belanda bahwa perbudakan Atlantik hanya punya peran yang marjinal dalam ekonomi Belanda. Tetapi ada yang bisa dikerjakan lebih daripada itu, jika sejarah perbudakan betul-betul didekati dengan skala global. Ini tidak harus berarti hanya mengopi metode-metode yang digunakan untuk menghitung signifikansi ekonomi perbudakan Atlantik dan menerapkannya pada kerajaan VOC. Sementara di dunia Atlantik, perkebunan budak menjadi titik yang kepadanya seluruh aktivitas komersil bertumpu, di Asia kerajaan-kerajaan kolonial kebanyakan mengombinasi banyak bentuk kerja paksa pada saat yang sama, sehingga menjadi sulit untuk memperkirakan apa yang mengonstitusikan keuntungan dari perbudakan saja. Juga bahwa perkebunan-perkebunan di wilayah Atlantik dimiliki secara langsung oleh orang-orang Eropa, sementara di Asia VOC sering bergantung pada perantara-perantara seperti raja-raja, bangsawan-bangsawan pemilik tanah, atau pedagang Cina dan petani-petani penyewa. Mungkin yang lebih penting pada tahapan ini, daripada mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut untuk membuat perhitungan yang persis dan sebanding, adalah menghadapi tantangan untuk membawa sejarah-sejarah perbudakan kolonial menuju kerangka bersama. Hubungan-hubungan antara perbudakan di Samudra Atlantik dan Samudra Hindia tidak berakhir dengan pengalaman Belanda dengan perkebunan budak di Pulau Banda, yang dilaksanakan oleh personil VOC dan WIC lintas samudra hingga wilayah Atlantik. Mereka berlanjut hingga era penghapusan perbudakan secara formal, ketika Johannes van den Bosch mengawasi ‘modernisasi’ perkebunan budak di Suriname sebelum ia mengorganisir sistem penanaman di Jawa, dan ketika pekerja-pekerja lepas dari India dan Indonesia dipindahkan ke Suriname untuk membangun kekuatan kerja paksa yang baru setelah dekrit emansipasi tahun 1863.

Menuliskan kembali sejarah perbudakan kolonial Belanda dengan cara yang demikian terhubung akan sangat diperkuat dengan kerjasama antara peneliti-peneliti yang mengerjakan topik-topik ini di Indonesia, Karibia, dan Belanda. Di Belanda sendiri, para sejarawan secara bertahap mulai mengungkap cerita global tentang pentingnya perbudakan untuk kapitalisme Belanda. Akhirnya.***

Pepijn Brandon adalah Asisten Profesor Sejarah Sosial dan Ekonomi di Vrije Universiteit, Amsterdam, dan Peneliti Senior di International Institute of Social History. Ia terhubung dengan Huntington Library, University of Pittsburgh dan Harvard University. Ia telah mempublikasikan secara luas karya-karyanya tentang sejarah perang, kolonialisme dan perbudakan di kerajaan Belanda, juga tentang ide-ide Karl Marx dan Rosa Luxemburg. Monografnya, War, Capitalism, and the Dutch State (1588-1795) diterbitkan dalam seri Historical Materialism dari penerbit Brill/Haymarket.[indoprogress.com]

JOKOWI melantik Wiranto menjadi Menteri urusan Politik, Hukum dan Keamanan pada 27 Juli 2016 lalu, genap dua puluh tiga tahun setelah aparat merangsek, menculik dan membantai pendukung Megawati di kantor PDI di Jakarta—dengan gratis tanpa ada proses hukum hingga detik ini, tentunya.

Mungkin tanggal jahanam itu sengaja dipilih untuk membasuh luka dengan cuka, supaya rakyat makin paham dan menyadari bahwa di mata elit politik, nyawa mereka cuma barang mainan murahan. Tapi yang nampak terang, ini hanyalah satu langkah terbaru dari arah perjuangan untuk meneguhkan haluan negara di jalur pengabdian pada kepentingan Kapital Dunia, seperti yang sudah dilaksanakan Orde Bau sejak lahir dengan banjir darah genosida yang mengamputasi cita-cita Proklamasi.

Darah rakyat memang tak pernah ada yang mau menanggung. Pun darah rakyat pendukung Megawati yang ditumpahkan aparat saat ia tampil berperan seakan oposisi bagi Soeharto dan Orde Bau, tidak pernah dibela—bahkan ketika Megawati bersemayam di Istana Negara setelah berhasil mengkhianati Gus Dur.

Sudah jauh-jauh hari PBB telah menuduh Wiranto melakukan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan saat memimpin tentara dan milisi yang mengintimidasi lalu mengamuk sejadi-jadinya ketika Indonesia kalah dalam Referendum di Timor Leste. Pengangkatannya itu justru mengingatkan bahwa tuduhan-tuduhan PBB itu, serta surat perintah penangkapan yang pernah diterbitkan untuknya, dibiarkan saja tanpa ditanggapi selama belasan tahun.

Dan Wiranto belum pernah menghadapinya dengan jiwa kesatria yang pantas dimiliki seorang jendral TNI. Setelah dilantik, ia malah mengatakan ‘Itu biasa, setiap saya muncul selalu ada reaksi penolakan terkait kasus pelanggaran HAM. Ya nanti kami selesaikan.’

Si wartawan yang mewawancarai Wiranto pun tidak mengajukan pertanyaan susulan, misalnya, mengapa soal pelanggaran HAM dianggap biasa? Dan mengapa soal yang sudah belasan tahun jadi masalah ini akan diselesaikan nanti, bukannya dulu-dulu?

Pesan yang sampai kepada warga Negara Indonesia dan warga dunia dengan pengangkatan Wiranto sebagai Menkopolhukam cukup jelas: Indonesia dan pemerintahan Presiden Jokowi tidak peduli dengan soal-soal HAM, dan tidak pula mampu melahirkan pemimpin baru, sehingga pemimpin dari Orde Keropos perlu dimunculkan lagi, tak peduli betapa kontroversial. Sedapnya lagi, pengangkatan tersangka pelanggar HAM berat menjadi Menkopolhukam beberapa hari sebelum eksekusi terpidana mati yang banyak mendapat tentangan komunitas internasional, seperti lebih menegaskan lagi sikap Indonesia menegasi nilai-nilai universal HAM.

Episode lanjutannya boleh kita perkirakan. Barangkali akan ada pasang naik lontaran-lontaran setengah matang di media sosial yang melecehkan gagasan-gagasan HAM, bahwa HAM bertentangan dengan keadilan, bahkan bertentangan dengan agama, dan tentu bertentangan dengan kepentingan Nasional. Para pegiat HAM akan makin disudutkan dan stigma sebagai ‘antek asing’ dan bahkan cap ‘musuh Islam’ akan disematkan beramai-ramai.

Anda boleh gemetar, Anda boleh merasa ngeri-ngeri sedap, tapi ini dibutuhkan demi restorasi Orde Bau secara murni dan konsekuen dan sejalan dengan gerakan menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. ‘Pembangunanisme’, yang menyamar sebagai Pancasila dengan program Nawacita, adalah sejatinya ideologi rezim saat ini.

Beginilah caranya.

Pembangunanisme yang menolak nilai-nilai HAM tapi mengaku berdasarkan Pancasila dibutuhkan untuk menyatukan emosi rakyat Indonesia guna mensukseskan program-program besar yang kontroversial semacam pembangunan ‘food estate’ di Merauke dan tempat lain. Tanpa ada gerakan menolak nilai-nilai HAM, sulit mengatasi persoalan-persoalan di mana rakyat kecil ngelunjak dan sok tahu apa yang bagus untuk mereka, lalu menolak investasi duit—semisal para petani di Kulon Progo yang menolak tambang besi dan bandara, dan ibu-ibu petani di pegunungan Kendeng yang berani-beraninya berkemah untuk melawan obral kiloan gunung Kendeng Utara oleh investor demi pembangunan pabrik semen.

Penolakan nilai-nilai HAM juga dibutuhkan untuk mengatasi ‘separatisme’ di Papua. Apalagi mengingat belakangan ini perjuangan rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri terbukti mampu menarik simpati dunia dengan aksi-aksi massal yang berdisiplin dan tanpa kekerasan maupun rasa takut ditahan dan dipenjara. Juga dibutuhkan pendapat umum yang sangat anti-HAM, demi kesuksesan represi atas gerak warga Negara yang menghalangi derap laju modal, baik di Papua maupun di tempat lain, misalnya di Teluk Benoa dan di Teluk Jakarta.

Selain sebagai tanda ditolaknya nilai-nilai HAM di Negara (konon) Pancasila ini, pengangkatan Wiranto sebagai Menko Polhukam bisa pula ditafsirkan sebagai tanda bahwa sangat mungkin ormas kekerasan berkedok agama makin banyak digunakan untuk memecah belah dan menakut-nakuti rakyat sehingga mudah ditaklukkan dan dimanipulasi untuk kepentingan elit. Janji-janji Jokowi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan HAM, mulai dari soal genosida ’65 yang di sini haram disebut genosida, hingga  diskriminasi terhadap kaum Syiah dan Ahmadiyah serta suku-suku di pedalaman yang tak berguna bagi pembangunanisme dan dianggap sekadar bagian dari fauna yang menjengkelkan di lahan-lahan sawit, boleh jadi akan diselesaikan dengan cara-cara pemaksaan.

Kalau kita semua dipaksa mengatakan bahwa soal-soal HAM sudah selesai, maka selesailah soal-soal tersebut. Barang siapa menganggap bahwa soal pelanggaran HAM yang dikatakan selesai itu belum selesai bahkan tambah gelap, tentunya ia adalah antek asing yang kalau tidak digebuk secara resmi oleh aparat, boleh berharap dikeroyok ormas pentungan.

Mungkin semua pemikiran ini keliru dan alangkah bahagianya bila benar saya keliru.

Boleh jadi Wiranto samasekali tidak pernah terlibat pelanggaran HAM. Ia justru akan membantu Presiden Jokowi memenuhi janjinya untuk menyelesaikan soal-soal pelanggaran HAM berat yang membebani sejarah bangsa.

Bisa saja dalam beberapa hari ke depan Menkopolhukam akan melibatkan pihak-pihak kompeten yang independen untuk memverifikasi keberadaan kuburan-kuburan massal terkait Fitnah’65. Lantas, sejarah Orde Bau dapat ditulis ulang dengan lebih sesuai dengan pemahaman akademis di atas klaim-klaim politis. Mungkin sebentar lagi kita akan mendengar apresiasi Negara terhadap temuan Pengadilan Rakyat Internasional soal ’65 bahwa telah terjadi genosida dengan peran Negara di tahun-tahun kelam awal Orde Bau itu. Mungkin sebentar lagi kita akan menyaksikan Negara turun tangan mendampingi dan membela rakyatnya yang di sana-sini berhadapan dengan kepentingan modal. Mungkin ormas-ormas berkedok agama yang berkecambah di masa awal Reformasi setelah dibentuknya Pam Swakarsa yang terbukti sukses menggebuki mahasiswa yang mendemo Habibie kala itu, akan mendapat hidayah dan mengedepankan kasih lemah lembut serta meninggalkan pentungan-pentungannya sehingga berubah sifat menjadi kebalikan dari jati dirinya selama ini.

Semua itu sangat mungkin terjadi bilamana memang benar bahwa Orde Bau telah tumbang dan ke depan haluan Negara kita kembali ke Pancasila yang dicita-citakan Proklamasi sesuai mukadimah UUD’45. Namun semua kemungkinan itu hanya mimpi siang bolong, bila ternyata Orde Bau memang tak pernah tumbang.

Nyatanya, Orde Bau tak pernah hancur . Ia sekadar mundur ke belakang panggung, mengadakan konsolidasi, lalu kembali lagi dengan segala kegagahannya ketika berhasil mengusir Gus Dur dalam piyama ke luar dari Istana Negara.

Sejak saat itulah kembali berkuasanya Orde Bau semakin mantap dari hari ke hari.[indoprogress.com]

The newly formed United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Photo: Supplied
AMNews - A release from the office of the chairman of the United Liberation Movement for West Papua, Benny Wenda, says it's the first time the three major factions have come under a single arm.

Under the This 'Vanimo Border Declaration', the Liberation Movement is taking political leadership of the new grouping, formed today and dubbed the West Papua Army.

Mr Wenda says they are ready to take over Papua and are calling for international and domestic support.

"We welcome any assistance in helping us achieve our liberation. Indonesia cannot stigmatise us as separatists or criminals any more, we are a legitimate unified military and political state-in-waiting," he said in a statement.

The new force includes the West Papua Liberation Army, which is fighting a bloody war with state forces in Nduga regency.

Also joining the united front are the West Papuan National Army and the West Papua Revolutionary Army.[rnz.co.nz]
loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget