AMP - 16 Februari 2011. Terinspirasi “Arab Spring” di Tunisia dan Mesir, rakyat Libya berdemonstrasi di Kota Badya menuntut Muammar Khadafi turun dari tahta yang didudukinya sejak 1969. Sebuah mobil polisi diserang dan dibakar di persimpangan jalan besar. Delapan bulan berikutnya, Tripoli dan kota lain merasakan situasi serupa. Situasinya kadang berlangsung dalam eskalasi yang lebih mengerikan. Korban berjatuhan. Rezim yang telah berkuasa selama 40 tahun lebih pun ambruk.
20 Oktober 2011. Khadafi sudah tak bisa kemana-mana lagi. Di kota kelahirannya, Sirte, Khadafi dikepung milisi. Saat seluruh pengawalnya habis tak tersisa, Khadafi memilih bersembunyi di sebuai pipa drainase bawah tanah. Berdasarkan rekaman amatir, di hari itu pemberontak berhasil menyeretnya keluar dari persembunyian. Dalam kondisi tak berdaya, Khadafi dikeroyok massa, dijambak hingga hampir habis rambutnya, ditikam dari belakang, dan meregang nyawa.
Narasi yang selama ini terbangun adalah perseteruan rezim Khadafi dengan Barat. Keduanya saling menegasikan satu sama lain, setidaknya demikian pemberitaan media massa.
Dalam revolusi enam tahun silam, Barat pun melakukan intervensi militer melalui penerjunan Pasukan Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Gabungan pasukan beberapa negara, termasuk Inggris, bersama-sama milisi pemberontak turut menyerang pertahaan Khadafi selama tujuh bulan (Maret-Oktober 2011) atas dasar tuduhan pelanggaran hak asasi yang dilakukan rezim Khadafi kepada rakyat Libya.
Khadafi pun menyerang Barat tak hanya lewat pidato super-panjang di forum internasional. Rezim ini, misalnya, dikaitkan dengan serangan bom pesawat Pan Am tahun 1988 di atas langit Kota Lockerbie, Skotlandia, yang membunuh 270 orang. Dunia Barat kala itu marah besar dan meningkatkan tensi ketegangan antara Barat dan Khadafi.
Khadafi diduga terlibat dalam pemboman pada tahun 1986 di sebuah klub malam di Berlin Barat yang sering dikunjungi oleh tentara Amerika Serikat, pun dalam sabotase penerbangan UTA Perancis 772 di Chad pada 1989 yang mengakibatkan hilangnya 170 penumpang. Lebih jauh lagi, Khadafi juga menyuplai senjata ke Pasukan Republik Irlandia (IRA) dan kelompok pemberontak di negara-negara lainnya.
Namun, situasi yang terbangun sesungguhnya tak sehitam-putih itu. Usai revolusi menumbangkan Khadafi, kantor-kantor pemerintahan diserbu massa. Salah satunya kantor badan intelijen Libya bernama Organisasi Keamanan Eksternal Libya (ESO). Di dalamnya ditemukan arsip dengan konten menarik: Inggris dan Libya pernah menjalin hubungan mutualis pada awal 2000-an.
Jurnalis Guardian Ian Cobain menelusuri dokumen-dokumen terkait dan jejak hubungan Inggris-Libya di masa lampau yang menguatkan fakta tersebut. Cobain melacak dokumen pemerintah Inggris yang dirilis berdasarkan hukum “Freedom of Information Act” dan materi yang muncul dalam penyelidikan otoritas keamanan London plus arsip pengadilan sipilnya. Cobain juga mewawancarai pejabat berwenang Inggris dan para korban dari hubungan kedua negara.
Dalam laporan final bertajuk "How Britain did Gaddafi’s dirty work" yang dipublikasikan Kamis (9/11/2017) kemarin, ia menemukan bahwa akar hubungan intens kedua negara berawal dari rangkaian empat serangan bunuh diri terhadap beberapa target di New York City dan Washington DC pada 11 September 2001, atau yang dikenal dengan tragedi 9/11.
Lima hari usai tragedi, sekelompok kecil petugas senior Badan Intelijen Pusat AS (CIA) mengunjungi kedutaan besar Inggris di Washington. Tujuannya untuk mengajak badan intelijen Inggris MI6 untuk bekerja sama memburu gerombolan ekstremis Islam. Dalam pertemuan selanjutnya di Selandia Baru, Direktur CIA George Tenet mengulangi ajakannya dengan lebih spesifik: menjalin kerja sama dengan badan intelijen negara muslim, dan sebagai imbalannya menuruti keinginan negara yang bersangkutan.
MI6 bersedia. Pada tahun 2002 MI6 dan CIA mulai mendekati ESO yang selama ini dikenal piawai menjalankan misi rahasia ke berbagai negara di bawah komando Khadafi. Awalnya, MI6 dan CIA datang untuk mempelajari gerakan Islam ekstremis, namun lama-lama keduanya memandang kedekatan dengan ESO bisa dimanfaatkan untuk menghentikan proyek senjata pemusnah massal yang saat itu sedang dibangun oleh Khadafi.
Khadafi mempunyai dua jenis senjata pemusnah massal, yakni senjata berbahan kimiawi/biologi dan senjata berbasis nuklir. Proyek senjata nuklir sudah digagas Khadafi sejak awal 1970-an. Bahan-bahan dasarnya ia upayakan dari India, sementara bijih uranium dan teknologi pengayaannya ia dapatkan dari aliansi blok kiri seperti Rusia dan Cina. Jika proyek ini dibiarkan, demikian menurut MI6 dan CIA, keamanan global akan terancam.
Menuju musim panas 2003, AS menginvasi Irak dalam dalih operasi pembebasan. Setelah 20 hari bertempur (20 Maret-1 Mei) dengan pasukan Saddam Hussein, permasalahan pokok yang muncul jauh-jauh hari sebelum perang rupanya mengemuka kembali: AS tak pernah merilis bukti solid tentang senjata pemusnah massal milik Saddam yang jadi dalih utama invasi. Kritikan pedas muncul dari berbagai sisi, terutama aktivis-aktivis dalam negeri AS sendiri, yang menyatakan bahwa senjata pemusnah massal itu sebenarnya tak pernah ada.
Dengan demikian, selain karena amanat kontra-terorisme pasca tragedi 9/11, tugas membujuk Khadafi agar berhenti bermain dengan senjata pemusnah massal menjadi penting bagi MI6 dan CIA. Jika keduanya berhasil, merujuk laporan Cobain, maka badai kritik pedas yang dialamatkan pada pemerintahan George W. Bush akan mereda. Dengan kata lain, perang yang menyeret ribuan nyawa rakyat sipil di Irak sedikit terlegitimasi.
Ada negosiasi panjang, tentunya lewat jalan belakang, yang kemudian terjalin antara Inggris yang saat itu dipimpin Tony Blair, dengan ESO dan Khadafi. Dalam dokumen yang diinvestigasi Cobain, dinyatakan bahwa Khadafi mau memperlambat program senjata pemusnah massalnya. Dalam tafsiran lain, Khadafi dinilai berkeinginan meninggalkan sepenuhnya proyek senjata berbahan kimiawi/biologi dan senjata berbasis nuklir.
Blair dan Bush sama-sama menyatakan kegembiraannya di depan awak media, menyebut keputusan Khadafi sebagai kemenangan kecil. Blair menyatakan “kejadian dan kebijakan politik baru-baru ini” telah membuat dunia lebih aman. Opini-opini yang ditulis oleh para pendukung invasi AS ke Irak menyebar di sejumlah media, secara implisit menyatakan bahwa pelucutan senjata Khadafi menjustifikasi perang di Irak.
Namun tak ada makan siang yang gratis. Sebagai imbalannya, MI6 dan CIA harus melakukan kerja-kerja kotor pesanan Khadafi untuk mempertahankan kekuasaannya. Kerja-kerja itu beragam, namun intinya adalah membungkam dan mengintimidasi para lawan politik Khadafi yang sedang di Inggris ataupun di negara lain. Dalam sejumlah kasus, para oposan korban intrik politik ini juga diusahakan agar bisa dideportasi kembali ke Tripoli, tempat Khadafi menjalankan kekuasannya.
Oposan rezim Khadafi yang tinggal secara legal di Inggris selama bertahun-tahun ditangkap oleh kepolisian Inggris. Para pencari suaka keturunan Inggris-Libya di Manchester dan London marah besar. Agen suruhan Khadafi saat itu bisa melenggang bebas di jalanan bersama agen intelijen Inggris dan merepresi orang-orang asal Libya yang anti-Khadafi. Keluarga mereka diancam. Otoritas berwenang juga berusaha untuk mendeportasi mereka.
Represi difokuskan pada anggota Al-Jama'ah al-Islamiyyah al-Muqatilah bi-Libya atau Kelompok Pertarungan Islam Libya (LIFG) yang ingin menggulingkan Khadafi dan mendirikan negara dengan hukum syariah secara murni dan konsekuen. Para pemimpinnya yang melarikan diri ke luar negeri diculik untuk diboyong kembali ke Tripoli beserta anak dan istrinya. Sesampainya di Libya, mereka disiksa sambil ditahan dalam kondisi ekstrem. Beberapa rekan mereka mengalami perlakuan serupa, sebelum akhirnya dibawa ke tempat pengasingan.
Salah satu cerita yang didapatkan Cobain berasal dari wawancara dengan Komandan LIFG Abdel Hakim Belhaj.
Pada Februari 2004 Berlhaj dan istrinya yang sedang hamil empat bulan sedang berupaya mencari penerbangan dari Beijing ke London, berharap mencari suaka. Namun, otoritas Cina mendeportasi keduanya ke Malaysia. CIA kemudian membawanya ke sebuah tempat tahanan di Bandara Don Mueang di Bangkok, dan disiksa.
Belhaj mengaku dipukuli sambil dipaksa mendengarkan musik bervolume keras. Istrinya ditempatkan di ruangan berbeda, dengan tangan dan kakinya terikat. Ia ketakutan jika suaminya dibunuh. Lima hari kemudian keduanya dibawa ke Tripoli, juga ditahan di dua tempat berbeda. Berlhaj pun disiksa lagi.
Akhirnya Belhaj dikerangkeng di tempat penahanan anak-anak buahnya di LIFG dan faksi oposan anti-Khadafi lainnya. Mereka diinterogasi dengan keras oleh otoritas Libya yang dibantu personil MI6.
Dua hari usai kunjungan pertama kali Tony Blair ke Libya pada 25 Maret 2004, operasi serupa dilaksanakan lagi untuk menculik Sami al-Saadi, pemimpin spiritual LIFG. Saadi pindah ke Cina dengan istri dan empat anaknya. Beserta sang istri, ia melakukan perjalanan ke Hong Kong setelah sempat ditemui oleh anggota MI6. Anggota MI6 tersebut menawari Saadi pindah ke London agar lebih aman. Saadi setuju, namun ia dan keluarganya justru ditahan oleh otoritas Hong Kong.
Saadi dan keluarganya kemudian diterbangkan kembali ke Libya dan ditahan di penjara Kota Tajoura. Saadi dipukuli, dintimidasi, dan disetrum. Anak-anaknya, plus sang ibu, kemudian dilepaskan setelah 10 minggu ditahan dan diperbolehkan masuk sekolah. Saadi dan Belhaj sendiri ditahan selama enam tahun oleh Khadafi, hingga tahun 2011 revolusi pecah.
Kerja Sama juga Melebar ke Bidang Pendidikan dan Keamanan
Inggris memang menampakkan wajah bengisnya selama revolusi penggulingan rezim Khadafi. Pesawat pembom hingga pasukan bersenjatanya di grup NATO beriringan dengan faksi-faksi pemberontak dalam upaya merebut kota demi kota di Libya. Situasinya cukup kontras, mengingat menurut catatan media massa, kerja sama antara Inggris dan Libya pada hingga beberapa tahun sebelum revolusi berlangsung cukup mesra di ranah pendidikan.
Merujuk laporan Cobain, Saif al-Islam Khadafi, anak Muammar Khadafi, pada tahun 2002 kembali bersekolah di London School of Economics (LSE). Sejak enam tahun silam muncul berbagai laporan tentang hubungan kuat antara Khadafi dan LSE. Lebih dari sekedar memasukkan anaknya bersekolah di universitas terkemuka di Inggris tersebut, Khadafi juga turut menjadi donor bagi LSE. Skandal ini kerap diistilahkan dengan “LSE Libya Links”.
LSM Gaddadi Foundation menyumbang sekitar 1,5 juta poundsterling selama lima tahun ke pusat penelitian LSE Global Governance. LSE kemudian menetapkan kontrak senilai 2,2 juta poundsterling untuk melatih para pejabat Libya, dan menilai bahwa langkah ini dimotivasi oleh cita-cita menyiapkan para pemimpin masa depan Libya.
Pada tahun 2008 juga ditemukan fakta menarik: LSE memberikan gelar PhD kepada Saif untuk disertasinya. Dalam laporan Telegraph, Saif juga membayar seorang profesor sebesar 600 poundsterling untuk membuatkan tugas-tugas kuliahnya. Selain biaya pembuatan paper ilmiah, sang dosen yang bernama Dr. Philip Dorswitz juga dibayar 150 poundsterling per jam untuk menjadi tutor pribadi Saif. SELANJUTNYA
20 Oktober 2011. Khadafi sudah tak bisa kemana-mana lagi. Di kota kelahirannya, Sirte, Khadafi dikepung milisi. Saat seluruh pengawalnya habis tak tersisa, Khadafi memilih bersembunyi di sebuai pipa drainase bawah tanah. Berdasarkan rekaman amatir, di hari itu pemberontak berhasil menyeretnya keluar dari persembunyian. Dalam kondisi tak berdaya, Khadafi dikeroyok massa, dijambak hingga hampir habis rambutnya, ditikam dari belakang, dan meregang nyawa.
Narasi yang selama ini terbangun adalah perseteruan rezim Khadafi dengan Barat. Keduanya saling menegasikan satu sama lain, setidaknya demikian pemberitaan media massa.
Dalam revolusi enam tahun silam, Barat pun melakukan intervensi militer melalui penerjunan Pasukan Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Gabungan pasukan beberapa negara, termasuk Inggris, bersama-sama milisi pemberontak turut menyerang pertahaan Khadafi selama tujuh bulan (Maret-Oktober 2011) atas dasar tuduhan pelanggaran hak asasi yang dilakukan rezim Khadafi kepada rakyat Libya.
Khadafi pun menyerang Barat tak hanya lewat pidato super-panjang di forum internasional. Rezim ini, misalnya, dikaitkan dengan serangan bom pesawat Pan Am tahun 1988 di atas langit Kota Lockerbie, Skotlandia, yang membunuh 270 orang. Dunia Barat kala itu marah besar dan meningkatkan tensi ketegangan antara Barat dan Khadafi.
Khadafi diduga terlibat dalam pemboman pada tahun 1986 di sebuah klub malam di Berlin Barat yang sering dikunjungi oleh tentara Amerika Serikat, pun dalam sabotase penerbangan UTA Perancis 772 di Chad pada 1989 yang mengakibatkan hilangnya 170 penumpang. Lebih jauh lagi, Khadafi juga menyuplai senjata ke Pasukan Republik Irlandia (IRA) dan kelompok pemberontak di negara-negara lainnya.
Namun, situasi yang terbangun sesungguhnya tak sehitam-putih itu. Usai revolusi menumbangkan Khadafi, kantor-kantor pemerintahan diserbu massa. Salah satunya kantor badan intelijen Libya bernama Organisasi Keamanan Eksternal Libya (ESO). Di dalamnya ditemukan arsip dengan konten menarik: Inggris dan Libya pernah menjalin hubungan mutualis pada awal 2000-an.
Jurnalis Guardian Ian Cobain menelusuri dokumen-dokumen terkait dan jejak hubungan Inggris-Libya di masa lampau yang menguatkan fakta tersebut. Cobain melacak dokumen pemerintah Inggris yang dirilis berdasarkan hukum “Freedom of Information Act” dan materi yang muncul dalam penyelidikan otoritas keamanan London plus arsip pengadilan sipilnya. Cobain juga mewawancarai pejabat berwenang Inggris dan para korban dari hubungan kedua negara.
Dalam laporan final bertajuk "How Britain did Gaddafi’s dirty work" yang dipublikasikan Kamis (9/11/2017) kemarin, ia menemukan bahwa akar hubungan intens kedua negara berawal dari rangkaian empat serangan bunuh diri terhadap beberapa target di New York City dan Washington DC pada 11 September 2001, atau yang dikenal dengan tragedi 9/11.
Lima hari usai tragedi, sekelompok kecil petugas senior Badan Intelijen Pusat AS (CIA) mengunjungi kedutaan besar Inggris di Washington. Tujuannya untuk mengajak badan intelijen Inggris MI6 untuk bekerja sama memburu gerombolan ekstremis Islam. Dalam pertemuan selanjutnya di Selandia Baru, Direktur CIA George Tenet mengulangi ajakannya dengan lebih spesifik: menjalin kerja sama dengan badan intelijen negara muslim, dan sebagai imbalannya menuruti keinginan negara yang bersangkutan.
MI6 bersedia. Pada tahun 2002 MI6 dan CIA mulai mendekati ESO yang selama ini dikenal piawai menjalankan misi rahasia ke berbagai negara di bawah komando Khadafi. Awalnya, MI6 dan CIA datang untuk mempelajari gerakan Islam ekstremis, namun lama-lama keduanya memandang kedekatan dengan ESO bisa dimanfaatkan untuk menghentikan proyek senjata pemusnah massal yang saat itu sedang dibangun oleh Khadafi.
Khadafi mempunyai dua jenis senjata pemusnah massal, yakni senjata berbahan kimiawi/biologi dan senjata berbasis nuklir. Proyek senjata nuklir sudah digagas Khadafi sejak awal 1970-an. Bahan-bahan dasarnya ia upayakan dari India, sementara bijih uranium dan teknologi pengayaannya ia dapatkan dari aliansi blok kiri seperti Rusia dan Cina. Jika proyek ini dibiarkan, demikian menurut MI6 dan CIA, keamanan global akan terancam.
Menuju musim panas 2003, AS menginvasi Irak dalam dalih operasi pembebasan. Setelah 20 hari bertempur (20 Maret-1 Mei) dengan pasukan Saddam Hussein, permasalahan pokok yang muncul jauh-jauh hari sebelum perang rupanya mengemuka kembali: AS tak pernah merilis bukti solid tentang senjata pemusnah massal milik Saddam yang jadi dalih utama invasi. Kritikan pedas muncul dari berbagai sisi, terutama aktivis-aktivis dalam negeri AS sendiri, yang menyatakan bahwa senjata pemusnah massal itu sebenarnya tak pernah ada.
Dengan demikian, selain karena amanat kontra-terorisme pasca tragedi 9/11, tugas membujuk Khadafi agar berhenti bermain dengan senjata pemusnah massal menjadi penting bagi MI6 dan CIA. Jika keduanya berhasil, merujuk laporan Cobain, maka badai kritik pedas yang dialamatkan pada pemerintahan George W. Bush akan mereda. Dengan kata lain, perang yang menyeret ribuan nyawa rakyat sipil di Irak sedikit terlegitimasi.
Ada negosiasi panjang, tentunya lewat jalan belakang, yang kemudian terjalin antara Inggris yang saat itu dipimpin Tony Blair, dengan ESO dan Khadafi. Dalam dokumen yang diinvestigasi Cobain, dinyatakan bahwa Khadafi mau memperlambat program senjata pemusnah massalnya. Dalam tafsiran lain, Khadafi dinilai berkeinginan meninggalkan sepenuhnya proyek senjata berbahan kimiawi/biologi dan senjata berbasis nuklir.
Blair dan Bush sama-sama menyatakan kegembiraannya di depan awak media, menyebut keputusan Khadafi sebagai kemenangan kecil. Blair menyatakan “kejadian dan kebijakan politik baru-baru ini” telah membuat dunia lebih aman. Opini-opini yang ditulis oleh para pendukung invasi AS ke Irak menyebar di sejumlah media, secara implisit menyatakan bahwa pelucutan senjata Khadafi menjustifikasi perang di Irak.
Namun tak ada makan siang yang gratis. Sebagai imbalannya, MI6 dan CIA harus melakukan kerja-kerja kotor pesanan Khadafi untuk mempertahankan kekuasaannya. Kerja-kerja itu beragam, namun intinya adalah membungkam dan mengintimidasi para lawan politik Khadafi yang sedang di Inggris ataupun di negara lain. Dalam sejumlah kasus, para oposan korban intrik politik ini juga diusahakan agar bisa dideportasi kembali ke Tripoli, tempat Khadafi menjalankan kekuasannya.
Oposan rezim Khadafi yang tinggal secara legal di Inggris selama bertahun-tahun ditangkap oleh kepolisian Inggris. Para pencari suaka keturunan Inggris-Libya di Manchester dan London marah besar. Agen suruhan Khadafi saat itu bisa melenggang bebas di jalanan bersama agen intelijen Inggris dan merepresi orang-orang asal Libya yang anti-Khadafi. Keluarga mereka diancam. Otoritas berwenang juga berusaha untuk mendeportasi mereka.
Represi difokuskan pada anggota Al-Jama'ah al-Islamiyyah al-Muqatilah bi-Libya atau Kelompok Pertarungan Islam Libya (LIFG) yang ingin menggulingkan Khadafi dan mendirikan negara dengan hukum syariah secara murni dan konsekuen. Para pemimpinnya yang melarikan diri ke luar negeri diculik untuk diboyong kembali ke Tripoli beserta anak dan istrinya. Sesampainya di Libya, mereka disiksa sambil ditahan dalam kondisi ekstrem. Beberapa rekan mereka mengalami perlakuan serupa, sebelum akhirnya dibawa ke tempat pengasingan.
Salah satu cerita yang didapatkan Cobain berasal dari wawancara dengan Komandan LIFG Abdel Hakim Belhaj.
Pada Februari 2004 Berlhaj dan istrinya yang sedang hamil empat bulan sedang berupaya mencari penerbangan dari Beijing ke London, berharap mencari suaka. Namun, otoritas Cina mendeportasi keduanya ke Malaysia. CIA kemudian membawanya ke sebuah tempat tahanan di Bandara Don Mueang di Bangkok, dan disiksa.
Belhaj mengaku dipukuli sambil dipaksa mendengarkan musik bervolume keras. Istrinya ditempatkan di ruangan berbeda, dengan tangan dan kakinya terikat. Ia ketakutan jika suaminya dibunuh. Lima hari kemudian keduanya dibawa ke Tripoli, juga ditahan di dua tempat berbeda. Berlhaj pun disiksa lagi.
Akhirnya Belhaj dikerangkeng di tempat penahanan anak-anak buahnya di LIFG dan faksi oposan anti-Khadafi lainnya. Mereka diinterogasi dengan keras oleh otoritas Libya yang dibantu personil MI6.
Dua hari usai kunjungan pertama kali Tony Blair ke Libya pada 25 Maret 2004, operasi serupa dilaksanakan lagi untuk menculik Sami al-Saadi, pemimpin spiritual LIFG. Saadi pindah ke Cina dengan istri dan empat anaknya. Beserta sang istri, ia melakukan perjalanan ke Hong Kong setelah sempat ditemui oleh anggota MI6. Anggota MI6 tersebut menawari Saadi pindah ke London agar lebih aman. Saadi setuju, namun ia dan keluarganya justru ditahan oleh otoritas Hong Kong.
Saadi dan keluarganya kemudian diterbangkan kembali ke Libya dan ditahan di penjara Kota Tajoura. Saadi dipukuli, dintimidasi, dan disetrum. Anak-anaknya, plus sang ibu, kemudian dilepaskan setelah 10 minggu ditahan dan diperbolehkan masuk sekolah. Saadi dan Belhaj sendiri ditahan selama enam tahun oleh Khadafi, hingga tahun 2011 revolusi pecah.
Kerja Sama juga Melebar ke Bidang Pendidikan dan Keamanan
Inggris memang menampakkan wajah bengisnya selama revolusi penggulingan rezim Khadafi. Pesawat pembom hingga pasukan bersenjatanya di grup NATO beriringan dengan faksi-faksi pemberontak dalam upaya merebut kota demi kota di Libya. Situasinya cukup kontras, mengingat menurut catatan media massa, kerja sama antara Inggris dan Libya pada hingga beberapa tahun sebelum revolusi berlangsung cukup mesra di ranah pendidikan.
Merujuk laporan Cobain, Saif al-Islam Khadafi, anak Muammar Khadafi, pada tahun 2002 kembali bersekolah di London School of Economics (LSE). Sejak enam tahun silam muncul berbagai laporan tentang hubungan kuat antara Khadafi dan LSE. Lebih dari sekedar memasukkan anaknya bersekolah di universitas terkemuka di Inggris tersebut, Khadafi juga turut menjadi donor bagi LSE. Skandal ini kerap diistilahkan dengan “LSE Libya Links”.
LSM Gaddadi Foundation menyumbang sekitar 1,5 juta poundsterling selama lima tahun ke pusat penelitian LSE Global Governance. LSE kemudian menetapkan kontrak senilai 2,2 juta poundsterling untuk melatih para pejabat Libya, dan menilai bahwa langkah ini dimotivasi oleh cita-cita menyiapkan para pemimpin masa depan Libya.
Pada tahun 2008 juga ditemukan fakta menarik: LSE memberikan gelar PhD kepada Saif untuk disertasinya. Dalam laporan Telegraph, Saif juga membayar seorang profesor sebesar 600 poundsterling untuk membuatkan tugas-tugas kuliahnya. Selain biaya pembuatan paper ilmiah, sang dosen yang bernama Dr. Philip Dorswitz juga dibayar 150 poundsterling per jam untuk menjadi tutor pribadi Saif. SELANJUTNYA
loading...
Post a Comment