Sejumlah warga Rohingya beraktivitas di kamp pengungsian internal Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar, Minggu (3/9). |
AMP - Filsuf dan Guru Besar Universitas Paramadina Jakarta Prof DR Abdul
Hadi WM menyatakan muncul situasi yang munafik di Indonesia ketika
melihat tragedi yang menimpa Muslim Rohingnya di Myanmar.
Fakta ini, katanya, terlihat jelas karena ada banyak pihak yang selalu berusaha mengecilkan penderitaan yang menimpa Muslim Rohingya, tetapi pada saat yang sama mereka selalu membesar-besarkan bila ada tragedi yang menimpa warga non Muslim lainnya sebagai kekerasan atau kejahatan kemanusiaan yang luar biasa.
“Selama ini saya sudah banyak ’nguping’ dan menjadi tahu bila cukup banyak orang anti Islam di Indonesia yang mensyukuri tragedi yang dialami Muslim Rohingya. Mereka takut-takut menyebut Muslim dan menggantinya dengan kata 'etnis'. Dalam hati mereka bersorak sorai atas malapetaka yang dialami Muslim Rohingya. Alasannya karena yang terkena malapetaka itu Muslim,’’ kata Abdul Hadi, kepada Republika.co.id, (8/9).
Abdul Hadi mengatakan semenjak hari ini hingga bertahun-tahun lalu dirinya sudah banyak berjumpa dengan tokoh-tokoh dari Filipina, Jepang, Malaysia, Thailand, Belanda, Indonesia, Jerman, Amerika, Korea Selatan dan lain-lain, yang bersikap seperti itu. Mereka selalu membesar-besarkan bila ada konflik atau kekerasan yang menimpa warga di luar umat Islam, namun selalu mengecil-ngecilkan persoalan ketika kekerasan yang sama menimpa kaum Muslim.
“Saya pernah berdebat dengan tokoh cendekiawan Chandra Muzafar di Malaysia tentang perlakuan tidak adil terhadap minoritas Muslim Pattani dan Filipina.. Mereka bicara sayup-sayup saja. Tetapi manakala bicara soal Timor Timur, wah gegap gempita mereka ngomongnya. Itu tahun 1990-an. Nah, untuk Rohingnya saya belum dengar apa kata mereka,’’ kata Abdul Hadi.
Bukan hanya itu, lanjut Abdul Hadi, mulai sekarang Muslim Indonesia juga dituntut semakin waspada dan kian jeli melihat perkembangan situasi. Salah satunya adalah mewaspadai penyelesaian konflik Rohingnya dengan berkedok pada pecitraan toleransi dan langkah bijak bestari.
“Jangan mudah kepincut kata-kata toleransi. Di dalam kata toleransi boleh jadi tersembunyi intoleransi,’’ ujarnya,
Abdul Hadi lebih lanjut mengatakan pada saat sekarang mulai ada indikasi adanya segelintir orang di Indonesia yang ingin menyama-nyamakan FPI dengan gerombolan pendeta Buddhis radikal Myanmar yang terlbat langsung genosida dan pengusir Muslim Rohingya dari tanah air mereka. Mereka pura-pura tak tahu bahwa FPI tidak pernah membunuh penganut Buddha dan tidak pernah membakar rumah-rumah dan perkampungan mereka. Tidak juga didukung militer seperti di Myanmar.
‘’Maka waspadailah setiap upaya untuk menutup-nutupi bahwa di sana ada perang agama dan kebencian terhadap Islam yang sudah merasuki jiwa mereka secara mendalam. Waspadai penyelesaian pura-pura berkedok toleransi dan langkah bijak bestari. Jangan pakai kata’toleransi" digunakan untuk menakut-nakuti orang Islam. Mereka lupa siapa yang membunuh Muslim Madura di Kalimantan. Dan siapa yang mulai membantai dan membakar mesjid dalam Konflik Ambon,’’ tegasnya.[Republika]
Fakta ini, katanya, terlihat jelas karena ada banyak pihak yang selalu berusaha mengecilkan penderitaan yang menimpa Muslim Rohingya, tetapi pada saat yang sama mereka selalu membesar-besarkan bila ada tragedi yang menimpa warga non Muslim lainnya sebagai kekerasan atau kejahatan kemanusiaan yang luar biasa.
“Selama ini saya sudah banyak ’nguping’ dan menjadi tahu bila cukup banyak orang anti Islam di Indonesia yang mensyukuri tragedi yang dialami Muslim Rohingya. Mereka takut-takut menyebut Muslim dan menggantinya dengan kata 'etnis'. Dalam hati mereka bersorak sorai atas malapetaka yang dialami Muslim Rohingya. Alasannya karena yang terkena malapetaka itu Muslim,’’ kata Abdul Hadi, kepada Republika.co.id, (8/9).
Abdul Hadi mengatakan semenjak hari ini hingga bertahun-tahun lalu dirinya sudah banyak berjumpa dengan tokoh-tokoh dari Filipina, Jepang, Malaysia, Thailand, Belanda, Indonesia, Jerman, Amerika, Korea Selatan dan lain-lain, yang bersikap seperti itu. Mereka selalu membesar-besarkan bila ada konflik atau kekerasan yang menimpa warga di luar umat Islam, namun selalu mengecil-ngecilkan persoalan ketika kekerasan yang sama menimpa kaum Muslim.
“Saya pernah berdebat dengan tokoh cendekiawan Chandra Muzafar di Malaysia tentang perlakuan tidak adil terhadap minoritas Muslim Pattani dan Filipina.. Mereka bicara sayup-sayup saja. Tetapi manakala bicara soal Timor Timur, wah gegap gempita mereka ngomongnya. Itu tahun 1990-an. Nah, untuk Rohingnya saya belum dengar apa kata mereka,’’ kata Abdul Hadi.
Bukan hanya itu, lanjut Abdul Hadi, mulai sekarang Muslim Indonesia juga dituntut semakin waspada dan kian jeli melihat perkembangan situasi. Salah satunya adalah mewaspadai penyelesaian konflik Rohingnya dengan berkedok pada pecitraan toleransi dan langkah bijak bestari.
“Jangan mudah kepincut kata-kata toleransi. Di dalam kata toleransi boleh jadi tersembunyi intoleransi,’’ ujarnya,
Abdul Hadi lebih lanjut mengatakan pada saat sekarang mulai ada indikasi adanya segelintir orang di Indonesia yang ingin menyama-nyamakan FPI dengan gerombolan pendeta Buddhis radikal Myanmar yang terlbat langsung genosida dan pengusir Muslim Rohingya dari tanah air mereka. Mereka pura-pura tak tahu bahwa FPI tidak pernah membunuh penganut Buddha dan tidak pernah membakar rumah-rumah dan perkampungan mereka. Tidak juga didukung militer seperti di Myanmar.
‘’Maka waspadailah setiap upaya untuk menutup-nutupi bahwa di sana ada perang agama dan kebencian terhadap Islam yang sudah merasuki jiwa mereka secara mendalam. Waspadai penyelesaian pura-pura berkedok toleransi dan langkah bijak bestari. Jangan pakai kata’toleransi" digunakan untuk menakut-nakuti orang Islam. Mereka lupa siapa yang membunuh Muslim Madura di Kalimantan. Dan siapa yang mulai membantai dan membakar mesjid dalam Konflik Ambon,’’ tegasnya.[Republika]
loading...
Post a Comment