AMP - Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) boleh saja dengan angka yang mencengangkan. Namun, hingga September ini yang terserap baru 42 persen dari total APBA 2017 Rp14,7 triliun. Kondisi ini tidak dapat dipisahkan dari lemahnya Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) dalam menciptakan dan menjalanlan program.
Sepertinya, Pemerintah Aceh belum mampu belajar dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya terkait persoalan serapan anggaran. Setiap tahun, penyerapan anggaran cenderung rendah di tiga semester awal dan kemudian mengakumulasi di akhir tahun.
Pola penyerapan dana APBA selalu tidak maksimal dari segi perencanaan, manajemen kas, maupun pertumbuhan ekonomi. Berbagai bentuk kerugian yang ditimbulkan pun harus dipikul masyarakat Aceh akibat kegagalan pemimpinya.
Rezim berganti, kondisi semacam ini tetap saja terus terulang setiap tahun anggaran. Sudah tidak terhitung kerugian yang ditimbulkan, mulai hilangnya kesempatan menikmati hasil pembangunan, seretnya perputaran uang di masyarakat, hingga gagalnya upaya pemerintah menekan angka kemiskinan di Aceh.
Lemahnya serapaan APBA juga berkontribusi terhadap lambatnya pencapaian target pembangunan sebagaimana ditetapkan dalam RPJM Aceh. Tak kalah pentingnya, masalah ini telah menghambat pelayanan publik serta meningkatkan risiko akibat kurangnya kehati-hatian dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan yang dikerjakan dalam waktu terbatas di penghujung tahun.
Seolah sudah menjadi tradisi, pelaksanaan proyek APBA layak diibaratakan ‘ureueng kut pade lam reudok’. Selalu dikejar deadline karena dikerjakan menjelang berakhirnya masa penggunaan anggaran. Akibatnya, kualitas proyek rendah dan rawan penyimpangan anggaran. Bahkan, tidak jarang menjadi lahan subur bagi tindak pidana korupsi.
Boleh jadi, rendahnya serapan APBA tahun ini juga disebabkan kebijakan gegabah gubernur sebelumnya yang gonta-ganti kepala SKPA di akhir masa jabatan. Situasi ini diperparah ketidaksiapan para kepala SKPA menghadapi masa transisi pemerintahan dari rezim Zaini-Muzakkir kepada Irwandi-Nova.
Lambannya serapan APBA mengindikasikan pelaksaanan program di semua SKPA tidak memiliki konsep perencanaan yang matang, jelas, dan terukur. Tanpa konsep perencanaan tentu akan menyulitkan SKPA untuk mengarahkan penggunaan anggaran secara tepat sasaran. Akibatnya, daya serap anggaran menjadi minim seperti sekarang ini.
Hal tersebut jelas tidak sesuai dengan pola kerja Gubernur Irwandi yang menuntut jajarannya bekerja dengan maksimal, termasuk dalam penggunaan dan pemanfaatan anggaran. Ini menjadi catatan penting dalam menempatkan para kepala SKPA ke depan.
Apapun alasannya, tradisi buruk serapan anggaran ini tidak boleh dibiarkan. Di semester akhir ini, percepatan pelaksanaan kegiatan dan percepatan serapan anggaran belanja harus benar-benar digenjot. Bila tidak, Pemerintah Aceh sama saja telah mengebiri hak-hak rakyat untuk menikmati hasil pembangunan.[Pikiranmerdeka]
Sepertinya, Pemerintah Aceh belum mampu belajar dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya terkait persoalan serapan anggaran. Setiap tahun, penyerapan anggaran cenderung rendah di tiga semester awal dan kemudian mengakumulasi di akhir tahun.
Pola penyerapan dana APBA selalu tidak maksimal dari segi perencanaan, manajemen kas, maupun pertumbuhan ekonomi. Berbagai bentuk kerugian yang ditimbulkan pun harus dipikul masyarakat Aceh akibat kegagalan pemimpinya.
Rezim berganti, kondisi semacam ini tetap saja terus terulang setiap tahun anggaran. Sudah tidak terhitung kerugian yang ditimbulkan, mulai hilangnya kesempatan menikmati hasil pembangunan, seretnya perputaran uang di masyarakat, hingga gagalnya upaya pemerintah menekan angka kemiskinan di Aceh.
Lemahnya serapaan APBA juga berkontribusi terhadap lambatnya pencapaian target pembangunan sebagaimana ditetapkan dalam RPJM Aceh. Tak kalah pentingnya, masalah ini telah menghambat pelayanan publik serta meningkatkan risiko akibat kurangnya kehati-hatian dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan yang dikerjakan dalam waktu terbatas di penghujung tahun.
Seolah sudah menjadi tradisi, pelaksanaan proyek APBA layak diibaratakan ‘ureueng kut pade lam reudok’. Selalu dikejar deadline karena dikerjakan menjelang berakhirnya masa penggunaan anggaran. Akibatnya, kualitas proyek rendah dan rawan penyimpangan anggaran. Bahkan, tidak jarang menjadi lahan subur bagi tindak pidana korupsi.
Boleh jadi, rendahnya serapan APBA tahun ini juga disebabkan kebijakan gegabah gubernur sebelumnya yang gonta-ganti kepala SKPA di akhir masa jabatan. Situasi ini diperparah ketidaksiapan para kepala SKPA menghadapi masa transisi pemerintahan dari rezim Zaini-Muzakkir kepada Irwandi-Nova.
Lambannya serapan APBA mengindikasikan pelaksaanan program di semua SKPA tidak memiliki konsep perencanaan yang matang, jelas, dan terukur. Tanpa konsep perencanaan tentu akan menyulitkan SKPA untuk mengarahkan penggunaan anggaran secara tepat sasaran. Akibatnya, daya serap anggaran menjadi minim seperti sekarang ini.
Hal tersebut jelas tidak sesuai dengan pola kerja Gubernur Irwandi yang menuntut jajarannya bekerja dengan maksimal, termasuk dalam penggunaan dan pemanfaatan anggaran. Ini menjadi catatan penting dalam menempatkan para kepala SKPA ke depan.
Apapun alasannya, tradisi buruk serapan anggaran ini tidak boleh dibiarkan. Di semester akhir ini, percepatan pelaksanaan kegiatan dan percepatan serapan anggaran belanja harus benar-benar digenjot. Bila tidak, Pemerintah Aceh sama saja telah mengebiri hak-hak rakyat untuk menikmati hasil pembangunan.[Pikiranmerdeka]
loading...
Post a Comment