AMP - Militan lokal di Rakhine, Myanmar, yang menyebut diri sebagai Tentara Keselamatan Arakan Rohingya (ARSA) tengah menjadi sorotan. Kelompok ini menyerang militer Myanmar dan mengklaim berjuang untuk memulihkan hak-hak warga Rohingya.
Seperti dilansir media Inggris, The Guardian, Senin (4/9/2017), nama militan ARSA marak diberitakan beberapa pekan terakhir, setelah konflik kembali pecah di Rakhine. Kata 'Arakan' dalam nama ARSA merupakan sebutan lain untuk wilayah Rakhine, yang banyak ditinggali etnis muslim Rohingya.
Otoritas Myanmar telah menyatakan ARSA sebagai organisasi teroris. ARSA kini tengah diburu militer Myanmar, setelah mendalangi rentetan serangan. Pemerintah Myanmar menyebut ratusan militan ARSA dengan senjata api, tongkat dan peledak rakitan melancarkan serangan terkoordinasi terhadap pos-pos keamanan polisi di Rakhine bagian utara pada 25 Agustus lalu. Serangan itu menewaskan 12 anggota pasukan keamanan Myanmar.
Pemerintah Myanmar menyebut ARSA sebagai 'ekstremis teroris Benggala', merujuk pada sebutan mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh. Myanmar juga menuding ARSA telah membantai warga sipil di Rakhine.
Melalui Twitter, ARSA memang mengklaim bertanggung jawab atas rentetan serangan terhadap pos kepolisian Myanmar beberapa waktu terakhir. Namun ARSA menegaskan diri sebagai pejuang kebebasan dan menyebut serangan itu sebagai 'langkah sah' untuk mengembalikan hak-hak Rohingya, yang tertindas dan tidak memiliki status kewarganegaraan di Myanmar.
Salah satu anggota ARSA yang bersedia berbicara via sambungan telepon dengan The Guardian, menegaskan tujuan utama dari kelompoknya.
"Sekarang, kami tidak mati dan tidak juga hidup, jadi kami perlu melakukan sesuatu," tegas Hashem (26), seorang warga Rohingya yang mengaku telah bergabung dengan kelompok militan ARSA. Dia merujuk pada nasib warga Rohingya di Rakhine juga di kamp pengungsian di Bangladesh yang tidak layak huni.
"Kami ingin hak-hak kami. Jika ini tidak terjadi, kami mati atau mereka yang mati," imbuhnya dari sebuah kamp pengungsian di Bangladesh.
Rohingya yang jumlahnya mencapai 1,1 juta jiwa di Rakhine, tidak mendapat akses pada pekerjaan dan pendidikan di Myanmar. Warga Rohingya yang banyak menganut Islam ini juga tidak memiliki status kewarganegaraan. Para pengungsi Rohingya menyebut militer Myanmar melakukan kekerasan dalam operasinya di Rakhine, dengan membakar desa-desa setempat dan menembak secara membabi-buta.
Namun otoritas Myanmar menegaskan mereka melakukan operasi militer di Rakhine secara legal. "Untuk alasan keamanan, tidak ada cukup personel polisi lokal dan pasukan penjaga perbatasan, itulah mengapa militer membantu mereka dalam pengamanan," sebut Menteri Kesejahteraan Sosial Myanmar, Win Myat Are, kepada The Guardian.[Detik.com]
Seperti dilansir media Inggris, The Guardian, Senin (4/9/2017), nama militan ARSA marak diberitakan beberapa pekan terakhir, setelah konflik kembali pecah di Rakhine. Kata 'Arakan' dalam nama ARSA merupakan sebutan lain untuk wilayah Rakhine, yang banyak ditinggali etnis muslim Rohingya.
Otoritas Myanmar telah menyatakan ARSA sebagai organisasi teroris. ARSA kini tengah diburu militer Myanmar, setelah mendalangi rentetan serangan. Pemerintah Myanmar menyebut ratusan militan ARSA dengan senjata api, tongkat dan peledak rakitan melancarkan serangan terkoordinasi terhadap pos-pos keamanan polisi di Rakhine bagian utara pada 25 Agustus lalu. Serangan itu menewaskan 12 anggota pasukan keamanan Myanmar.
Pemerintah Myanmar menyebut ARSA sebagai 'ekstremis teroris Benggala', merujuk pada sebutan mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh. Myanmar juga menuding ARSA telah membantai warga sipil di Rakhine.
Melalui Twitter, ARSA memang mengklaim bertanggung jawab atas rentetan serangan terhadap pos kepolisian Myanmar beberapa waktu terakhir. Namun ARSA menegaskan diri sebagai pejuang kebebasan dan menyebut serangan itu sebagai 'langkah sah' untuk mengembalikan hak-hak Rohingya, yang tertindas dan tidak memiliki status kewarganegaraan di Myanmar.
Salah satu anggota ARSA yang bersedia berbicara via sambungan telepon dengan The Guardian, menegaskan tujuan utama dari kelompoknya.
"Sekarang, kami tidak mati dan tidak juga hidup, jadi kami perlu melakukan sesuatu," tegas Hashem (26), seorang warga Rohingya yang mengaku telah bergabung dengan kelompok militan ARSA. Dia merujuk pada nasib warga Rohingya di Rakhine juga di kamp pengungsian di Bangladesh yang tidak layak huni.
"Kami ingin hak-hak kami. Jika ini tidak terjadi, kami mati atau mereka yang mati," imbuhnya dari sebuah kamp pengungsian di Bangladesh.
Rohingya yang jumlahnya mencapai 1,1 juta jiwa di Rakhine, tidak mendapat akses pada pekerjaan dan pendidikan di Myanmar. Warga Rohingya yang banyak menganut Islam ini juga tidak memiliki status kewarganegaraan. Para pengungsi Rohingya menyebut militer Myanmar melakukan kekerasan dalam operasinya di Rakhine, dengan membakar desa-desa setempat dan menembak secara membabi-buta.
Namun otoritas Myanmar menegaskan mereka melakukan operasi militer di Rakhine secara legal. "Untuk alasan keamanan, tidak ada cukup personel polisi lokal dan pasukan penjaga perbatasan, itulah mengapa militer membantu mereka dalam pengamanan," sebut Menteri Kesejahteraan Sosial Myanmar, Win Myat Are, kepada The Guardian.[Detik.com]
loading...
Post a Comment