AMP - "Saya tidak mau anak-anak saya menjadi yatim." Kata-kata itu diucapkan Ala Uddin, pria 27 tahun, pengungsi muslim Rohingya di sebuah kamp pengungsian di Bangladesh.
Dua pekan lalu Uddin memutuskan meninggalkan kelompok menyebut diri Harakah al-Yaqin (Gerakan Keimanan) atau Pasukan Keselamatan Rohingya Arakan (ARSA), kelompok militan yang menyerang pos polisi di perbatasan akhir Agustus lalu.
Keputusan Uddin bukan tanpa alasan. Dia melihat ARSA hanya bermodalkan senjata parang melawan militer Myanmar yang punya persenjataan jauh lebih canggih dan lengkap. Ibarat Daud melawan Goliat.
Kelompok ini diketahui cukup bersuara di media sosial dan diyakini didukung warga Rohingya di luar negeri. Sejak setahun terakhir ARSA terus berkembang meski dari segi persenjataan mereka kalah jauh dengan salah satu negara Asia dengan fasilitas militer terbesar.
"Mereka punya pentungan kayu, golok, dan dua senjata untuk sekitar seratus orang anggota. Saya sadar, saya bisa mati konyol kalau maju berperang hanya dengan seonggok kayu," ujar Uddin, seperti dilansir laman the Straits Times, Rabu (6/9).
Nama kelompok ARSA mencuat sejak Oktober tahun lalu ketika menyerang aparat keamanan di perbatasan di Negara Bagian Rakhine.
Militer Myanmar atau yang disebut Tatmadaw kontan merespons serangan itu dengan balasan bukan kepalang.
Lebih dari 200 ribu warga muslim Rohingya mengungsi ke Bangladesh sejak Oktober lalu. Di antara mereka mengaku telah diperkosa, desanya dibakar, dan serangkaian kisah memilukan lainnya.
Pada 25 Agustus lalu ARSA kembali menggelar serangan serentak terkoordinasi saat malam hari. Pengamat menilai serangan mereka ke lebih dari 30 pos polisi di perbatasan itu adalah gagal secara taktik. Para militan itu menelan korban banyak dan hanya sedikit mendapat senjata rampasan aparat. Meski begitu serangan itu menunjukkan kemajuan.
"Kelompok ini sudah memperlihatkan ada peningkatan kemampuan menggelar operasi serentak di daerah lebih luas dan saat ini mampu menggalang lebih banyak anggota," kata Anthony Davis, pengamat keamanan di IHS Markit.
Pernyataan dari otoritas Myanmar menyebut pada saat penyerangan ARSA mengerahkan sekitar 150 militan.
Namun meski misalnya jumlah mereka bisa dianggap serius, persenjataan mereka sungguh apes.
Menurut pernyataan dan sejumlah foto dari militer Myanmar, para militan ARSA menggunakan senjata primitif macam parang, pedang, pentungan, dan senapan dan pistol rakitan serta bom.
Sebagai perbandingan, militer Myanmar diketahui sebagai salah satu yang anggaran militernya terbesar di Asia. Sekitar 4,5 persen dari Pendapat Domestik Bruto (PDB) Myanmar dialokasikan untuk militer, atau tiga kali lebih besar dari anggaran militer Thailand yang dikuasai junta.
Myanmar mengatakan mereka menghabisi 400 warga Rohingya dan kehilangan 15 anggotanya sejak insiden serangan 25 Agustus lalu itu.
Ala Uddin diam-diam kabur dari keluarganya di Rathedaung, Myanmar lima bulan lalu untuk bergabung dengan ARSA.
"Kami dilatih bertempur dengan berani sepenuh hati," kata dia. Selam pelatihan dia diajari menembak dan memasang bom.
Tapi akhirnya Uddin menyadari rencana serangan mereka bakal sia-sia karena persenjataan mereka masih 'kuno'.
Muhammad Akbar, 18 tahun, pengungsi yang tiba di Bangladesh pekan ini mengatakan teman sekolahnya tewas ketika bertempur dengan ARSA.
"Mereka tidak punya senjata layak. Jadi saya kabur," kata dia.
Laporan dari Grup Krisis Internasional (ICG) berdasarkan wawancara dengan sejumlah anggota ARSA menyatakan, para militan itu berada di bawah kepemimpinan orang-orang Rohingya kaya di Arab Saudi. Mereka membentuk kelompok ini setelah peristiwa kerusuhan anti-muslim di Rakhine pada 2012. Komandan lapangan mereka diketahui bernama Ata Ullah.
Dua pekan lalu Uddin memutuskan meninggalkan kelompok menyebut diri Harakah al-Yaqin (Gerakan Keimanan) atau Pasukan Keselamatan Rohingya Arakan (ARSA), kelompok militan yang menyerang pos polisi di perbatasan akhir Agustus lalu.
Keputusan Uddin bukan tanpa alasan. Dia melihat ARSA hanya bermodalkan senjata parang melawan militer Myanmar yang punya persenjataan jauh lebih canggih dan lengkap. Ibarat Daud melawan Goliat.
Kelompok ini diketahui cukup bersuara di media sosial dan diyakini didukung warga Rohingya di luar negeri. Sejak setahun terakhir ARSA terus berkembang meski dari segi persenjataan mereka kalah jauh dengan salah satu negara Asia dengan fasilitas militer terbesar.
"Mereka punya pentungan kayu, golok, dan dua senjata untuk sekitar seratus orang anggota. Saya sadar, saya bisa mati konyol kalau maju berperang hanya dengan seonggok kayu," ujar Uddin, seperti dilansir laman the Straits Times, Rabu (6/9).
Nama kelompok ARSA mencuat sejak Oktober tahun lalu ketika menyerang aparat keamanan di perbatasan di Negara Bagian Rakhine.
Militer Myanmar atau yang disebut Tatmadaw kontan merespons serangan itu dengan balasan bukan kepalang.
Lebih dari 200 ribu warga muslim Rohingya mengungsi ke Bangladesh sejak Oktober lalu. Di antara mereka mengaku telah diperkosa, desanya dibakar, dan serangkaian kisah memilukan lainnya.
Pada 25 Agustus lalu ARSA kembali menggelar serangan serentak terkoordinasi saat malam hari. Pengamat menilai serangan mereka ke lebih dari 30 pos polisi di perbatasan itu adalah gagal secara taktik. Para militan itu menelan korban banyak dan hanya sedikit mendapat senjata rampasan aparat. Meski begitu serangan itu menunjukkan kemajuan.
"Kelompok ini sudah memperlihatkan ada peningkatan kemampuan menggelar operasi serentak di daerah lebih luas dan saat ini mampu menggalang lebih banyak anggota," kata Anthony Davis, pengamat keamanan di IHS Markit.
Pernyataan dari otoritas Myanmar menyebut pada saat penyerangan ARSA mengerahkan sekitar 150 militan.
Namun meski misalnya jumlah mereka bisa dianggap serius, persenjataan mereka sungguh apes.
Menurut pernyataan dan sejumlah foto dari militer Myanmar, para militan ARSA menggunakan senjata primitif macam parang, pedang, pentungan, dan senapan dan pistol rakitan serta bom.
Sebagai perbandingan, militer Myanmar diketahui sebagai salah satu yang anggaran militernya terbesar di Asia. Sekitar 4,5 persen dari Pendapat Domestik Bruto (PDB) Myanmar dialokasikan untuk militer, atau tiga kali lebih besar dari anggaran militer Thailand yang dikuasai junta.
Myanmar mengatakan mereka menghabisi 400 warga Rohingya dan kehilangan 15 anggotanya sejak insiden serangan 25 Agustus lalu itu.
Ala Uddin diam-diam kabur dari keluarganya di Rathedaung, Myanmar lima bulan lalu untuk bergabung dengan ARSA.
"Kami dilatih bertempur dengan berani sepenuh hati," kata dia. Selam pelatihan dia diajari menembak dan memasang bom.
Tapi akhirnya Uddin menyadari rencana serangan mereka bakal sia-sia karena persenjataan mereka masih 'kuno'.
Muhammad Akbar, 18 tahun, pengungsi yang tiba di Bangladesh pekan ini mengatakan teman sekolahnya tewas ketika bertempur dengan ARSA.
"Mereka tidak punya senjata layak. Jadi saya kabur," kata dia.
Laporan dari Grup Krisis Internasional (ICG) berdasarkan wawancara dengan sejumlah anggota ARSA menyatakan, para militan itu berada di bawah kepemimpinan orang-orang Rohingya kaya di Arab Saudi. Mereka membentuk kelompok ini setelah peristiwa kerusuhan anti-muslim di Rakhine pada 2012. Komandan lapangan mereka diketahui bernama Ata Ullah.
Dia adalah keturunan keluarga Rohingya di Karachi, Pakistan, lalu pindah ke Saudi.
Dalam beberapa bulan terakhir mereka membuat akun Twitter @ARSA-Official yang kerap menyebar pernyataan ARSA atau video.
Dalam sebuah wawancara, Ata Ullah menolak kelompoknya disebut teroris dan dia mengatakan kelompoknya tidak menyasar warga sipil. Tapi Myanmar mengatakan kelompok ARSA juga membunuh warga Buddha. [merdeka.co]
loading...
Post a Comment