Marliah @PORTALSATU.COM/CUT ISLAMANDA |
SEBUAH rumah yang pantas disebut gubuk berdiri di areal kebun kakao dan pisang. Letaknya di pedalaman Aceh Utara, persisnya di Gampông Tunong Krueng, Kecamatan Paya Bakong. Sampah plastik dan daun-daun kering bertebaran di pekarangan rumah. Aroma tak sedap menyengat indera.
Rumah itu milik Marliah, 45 tahun. Ukurannya hanya 4x2,5 meter. Saat musim hujan seperti ini lantai tanahnya menjadi lembab. Sementara atapnya hanya berbahan daun rumbia. Mirisnya, rumah sekecil itu dihuni Marliah yang berstatus janda bersama delapan anaknya. Satu di antaranya sudah menikah dan juga tinggal di rumah itu.
Di dalam rumah tak ada sekat-sekat untuk memisahkan ruang tamu, kamar ataupun dapur. Semuanya menyatu dalam satu ruangan yang sempit, pengap dan gelap. Bahkan kamar mandinya yang tanpa pintu itu langsung terlihat dari dalam rumah. Beruntungnya rumah Marliah sudah ada listrik, itupun pemberian dari orang.
Pakaian-pakaian digantung tak beraturan di dinding, menjadi sarang nyamuk. Saat portalsatu.com masuk, beberapa menit kemudian nyamuk-nyamuk itu mulai bereaksi. Hewan pengisap darah itu seperti menemukan makanan empuk. Dilihat dari sudut manapun, tempat ini sama sekali tak layak disebut sebuah rumah. Sarang rayap terlihat ditiang-tiang rumah yang sudah lapuk.
Sabtu, 5 November 2016, portalsatu.com berkunjung ke rumah Marliah. Sambutan pemilik rumah cukup hangat. Ia menggelar selembar permadani yang sudah usang. "Tamong Buk, nyan keuh lagoe nyoe rumoh lon. Hana lon teupe be, hana mangat sagai (masuk Bu, beginilah rumah saya. Baunya kurang sedang, saya tidak tau bau apa ini)," katanya.
Marliah sudah berstatus janda sejak belasan tahun silam. Usai ditinggal suaminya meninggal dunia, Marliah menjadi tulang punggung keluarga guna membesarkan delapan buah hatinya. Sebuah perjuangan panjang yang tidak mudah dilalui bagi seorang janda miskin seperti dirinya.
"Saya memiliki tiga anak laki-laki dan lima anak perempuan. Anak sulung saya sudah menikah dengan seorang gadis asal Kisaran, Sumatera Utara. Menantu saya itu anak seorang pastor, tapi ia sudah masuk Islam delapan bulan lalu. Dua di antara anak saya lainnya masih bersekolah, kelas II MAN Matangkuli dan di dayah. Sedangkan yang lainnya putus sekolah," ungkap Marliah.
Ia menyebutkan, anaknya yang telah menikah pun tinggal bersamanya. Di malam hari, anak dan menantunya tidur di atas dipan dengan pembatas kelambu. Sedangkan ia bersama anak-anak lainnya tidur di tanah dengan alas karpet dan ambal lusuh.
Tanah di mana rumah ini berdiri, lanjutnya, merupakan warisan orang tua. Sebelum suaminya meninggal, ia dan anak-anaknya tinggal bersama ibu Marliah yang rumahnya berjarak sekitar delapan meter dari rumah Marliah. Untuk memasak, Marliah menggunakan gas melon dan juga kayu bakar.
"Lage nyoe nyang na, kakeuh tameujeut-jeut. Jameun toem dijak data, dipeugah meutume rumoh bantuan. Wate nyan dilake peng Rp 150 ribe, tapi sampo inohat hana meurumpok sapu. Bek an rumoh, peng rehab pih hana. Dipeugah le awak nyan loen ureung na peng. Padahal loen jak u blang ata abang. Bak lampoh na bak drien meupadup bak, leupah keu pajoh, nyang leubeh hana," kisahnya.
Untuk membantu perekonomian keluarga, anak sulungnya bekerja mencuci mobil dan sepeda motor di doorsmeer milik warga di desa tetangga. Selain itu, anak-anaknya juga terkadang bekerja mengikat rambutan warga jika sedang panen.
Saat ditanyakan terkait bantuan apa saja dari pemerintah yang pernah diterima keluarganya, Marliah membeberkan, ia hanya mendapat bantuan beras miskin (raskin). Sementara di sekolah, anaknya yang kini duduk di kelas II MAN mendapat beasiswa miskin sejak SMP.
"Menyoe bantuan nyang na dibie kartu nyan (BLT) hana meurumpok loen. Tapi lawet na meuninte loen nyang muallaf, ban-ban nyoe na dijak data aleh dari kantoe pane. Dipeugah enteuk meninte loen meurumpok peng Rp 1 juta. Aleuh Pue peng loen kureung muphom. Tapi galoem jibie, baroe jiepeugah sagai," ucapnya.
Ditambahkan Marliah, gubuk yang ia tempati itu dasarnya sebuah kandang lembu atau weu leumoe. Di masa konflik terdahulu, ia meminta kandang milik tetangganya yang anggota GAM untuk dijadikan rumah karena sudah tidak terpakai lagi dan ternyata diberikan.
"Sebenar jih menyoe tebleut yeu teuh taeu bak moen, sabab hana pintoe. Tapi menyoe ka teupet teuh pane na yeu loem. Moen pih lage nyan, Hana incin. Ie kadang geut puteh, tapi lebeh seureng agak cikoe. Wate tamanoe pih gatai. Kamoe pih hana WC, biasa jieh jak u alue. Na jarak 50 mete dari rumoeh," kata Marliah.
Saat ditanyakan mengapa ada pintu kulkas di kamar mandi, ia menjawab, "pintu kulkas itu berguna sebagai alas mencuci pakaian. Lihat saja tanah sumur sangat becek, di pintu itulah kami mencuci pakaian," tunjuknya.
Ketika ditanyakan kembali perihal adanya televisi berukuran 20inc, Marliah mengaku jika televisi itu dibeli dari hasil jual emas menantunya.
"Menantu saya suruh jual emas mahar (mas kawin) untuk beli televisi. Katanya suntuk jika tidak ada televisi, mungkin karena terbiasa di rumah orang tuanya yang memang keluarga berada," jelasnya.
Menurut Marliah, keberadaan menantunya yang muallaf merupakan rahmat tersendiri. "Beberapa waktu lalu sejak ada menantu saya, geuchik bilang kami akan dapat rumah bantuan. Katanya sudah ditandatangani Bupati. Entah itu benar atau hanya angin surga, saya pun tidak tahu," kata Marliah di ujung pembicaraan. Sumber: portalsatu.com
Rumah itu milik Marliah, 45 tahun. Ukurannya hanya 4x2,5 meter. Saat musim hujan seperti ini lantai tanahnya menjadi lembab. Sementara atapnya hanya berbahan daun rumbia. Mirisnya, rumah sekecil itu dihuni Marliah yang berstatus janda bersama delapan anaknya. Satu di antaranya sudah menikah dan juga tinggal di rumah itu.
Di dalam rumah tak ada sekat-sekat untuk memisahkan ruang tamu, kamar ataupun dapur. Semuanya menyatu dalam satu ruangan yang sempit, pengap dan gelap. Bahkan kamar mandinya yang tanpa pintu itu langsung terlihat dari dalam rumah. Beruntungnya rumah Marliah sudah ada listrik, itupun pemberian dari orang.
Pakaian-pakaian digantung tak beraturan di dinding, menjadi sarang nyamuk. Saat portalsatu.com masuk, beberapa menit kemudian nyamuk-nyamuk itu mulai bereaksi. Hewan pengisap darah itu seperti menemukan makanan empuk. Dilihat dari sudut manapun, tempat ini sama sekali tak layak disebut sebuah rumah. Sarang rayap terlihat ditiang-tiang rumah yang sudah lapuk.
Sabtu, 5 November 2016, portalsatu.com berkunjung ke rumah Marliah. Sambutan pemilik rumah cukup hangat. Ia menggelar selembar permadani yang sudah usang. "Tamong Buk, nyan keuh lagoe nyoe rumoh lon. Hana lon teupe be, hana mangat sagai (masuk Bu, beginilah rumah saya. Baunya kurang sedang, saya tidak tau bau apa ini)," katanya.
Marliah sudah berstatus janda sejak belasan tahun silam. Usai ditinggal suaminya meninggal dunia, Marliah menjadi tulang punggung keluarga guna membesarkan delapan buah hatinya. Sebuah perjuangan panjang yang tidak mudah dilalui bagi seorang janda miskin seperti dirinya.
"Saya memiliki tiga anak laki-laki dan lima anak perempuan. Anak sulung saya sudah menikah dengan seorang gadis asal Kisaran, Sumatera Utara. Menantu saya itu anak seorang pastor, tapi ia sudah masuk Islam delapan bulan lalu. Dua di antara anak saya lainnya masih bersekolah, kelas II MAN Matangkuli dan di dayah. Sedangkan yang lainnya putus sekolah," ungkap Marliah.
Ia menyebutkan, anaknya yang telah menikah pun tinggal bersamanya. Di malam hari, anak dan menantunya tidur di atas dipan dengan pembatas kelambu. Sedangkan ia bersama anak-anak lainnya tidur di tanah dengan alas karpet dan ambal lusuh.
Tanah di mana rumah ini berdiri, lanjutnya, merupakan warisan orang tua. Sebelum suaminya meninggal, ia dan anak-anaknya tinggal bersama ibu Marliah yang rumahnya berjarak sekitar delapan meter dari rumah Marliah. Untuk memasak, Marliah menggunakan gas melon dan juga kayu bakar.
"Lage nyoe nyang na, kakeuh tameujeut-jeut. Jameun toem dijak data, dipeugah meutume rumoh bantuan. Wate nyan dilake peng Rp 150 ribe, tapi sampo inohat hana meurumpok sapu. Bek an rumoh, peng rehab pih hana. Dipeugah le awak nyan loen ureung na peng. Padahal loen jak u blang ata abang. Bak lampoh na bak drien meupadup bak, leupah keu pajoh, nyang leubeh hana," kisahnya.
Untuk membantu perekonomian keluarga, anak sulungnya bekerja mencuci mobil dan sepeda motor di doorsmeer milik warga di desa tetangga. Selain itu, anak-anaknya juga terkadang bekerja mengikat rambutan warga jika sedang panen.
Saat ditanyakan terkait bantuan apa saja dari pemerintah yang pernah diterima keluarganya, Marliah membeberkan, ia hanya mendapat bantuan beras miskin (raskin). Sementara di sekolah, anaknya yang kini duduk di kelas II MAN mendapat beasiswa miskin sejak SMP.
"Menyoe bantuan nyang na dibie kartu nyan (BLT) hana meurumpok loen. Tapi lawet na meuninte loen nyang muallaf, ban-ban nyoe na dijak data aleh dari kantoe pane. Dipeugah enteuk meninte loen meurumpok peng Rp 1 juta. Aleuh Pue peng loen kureung muphom. Tapi galoem jibie, baroe jiepeugah sagai," ucapnya.
Ditambahkan Marliah, gubuk yang ia tempati itu dasarnya sebuah kandang lembu atau weu leumoe. Di masa konflik terdahulu, ia meminta kandang milik tetangganya yang anggota GAM untuk dijadikan rumah karena sudah tidak terpakai lagi dan ternyata diberikan.
"Sebenar jih menyoe tebleut yeu teuh taeu bak moen, sabab hana pintoe. Tapi menyoe ka teupet teuh pane na yeu loem. Moen pih lage nyan, Hana incin. Ie kadang geut puteh, tapi lebeh seureng agak cikoe. Wate tamanoe pih gatai. Kamoe pih hana WC, biasa jieh jak u alue. Na jarak 50 mete dari rumoeh," kata Marliah.
Saat ditanyakan mengapa ada pintu kulkas di kamar mandi, ia menjawab, "pintu kulkas itu berguna sebagai alas mencuci pakaian. Lihat saja tanah sumur sangat becek, di pintu itulah kami mencuci pakaian," tunjuknya.
Ketika ditanyakan kembali perihal adanya televisi berukuran 20inc, Marliah mengaku jika televisi itu dibeli dari hasil jual emas menantunya.
"Menantu saya suruh jual emas mahar (mas kawin) untuk beli televisi. Katanya suntuk jika tidak ada televisi, mungkin karena terbiasa di rumah orang tuanya yang memang keluarga berada," jelasnya.
Menurut Marliah, keberadaan menantunya yang muallaf merupakan rahmat tersendiri. "Beberapa waktu lalu sejak ada menantu saya, geuchik bilang kami akan dapat rumah bantuan. Katanya sudah ditandatangani Bupati. Entah itu benar atau hanya angin surga, saya pun tidak tahu," kata Marliah di ujung pembicaraan. Sumber: portalsatu.com
loading...
Post a Comment