AMP - Tindakan menyerang dan mencoba merebut kedaulatan Aceh menjadi bumerang bagi Belanda. Biaya besar yang harus dikucurkan ditambah banyak prajurit yang merenggang nyawa di Tanah Rencong membuat rakyat negeri Kincir Angin membenci pemimpinnya. Hal ini dimanfaatkan dengan baik oleh oposisi pemerintahan yang menilai Belanda telah mengganggu bangsa dari rumpun Melayu yang salah.
Serangan-serangan yang dilancarkan prajurit Aceh usai jatuhnya Dalam (istana raja) Kerajaan Aceh pada Belanda tidak pernah padam. Saban harinya para prajurit Holland merasa tertekan dan bahkan ada yang stress dan bunuh diri dengan serangan tersebut. Taktik hit and run yang dilakoni pejuang-pejuang Aceh telah mendatangkan keugian luar biasa bagi kolonialis.
Untuk merealisasikan impiannya menjajah Aceh, Belanda menggunakan beberapa jalan sebagai langkah lanjutan setelah merebut Dalam. Berdasarkan buku Sepanjang Abad karya H. Mohammad Said, disebutkan langkah yang dilakukan oleh Belanda seperti melanjutkan penggunaan kekerasan.
Langkah penggunaan kekerasan tersebut di antaranya yaitu menghancurkan kampung-kampung yang masih mengadakan perlawanan kepada Belanda hingga mereka menyerah; mengepung lalu lintas hubungan laut ke luar negeri atau ke daerah pedalaman; menghancurkan sawah dan rumah agar masyarakat setempat tidak berani lagi melawan dan agar tidak menjadi tempat persembunyian pasukan Aceh; serta memberikan tanggung jawab (membunuh) seluruh warga kampung apabila terjadi serangan mendadak kepada Belanda.
Van Swieten selaku Panglima Besar Angkatan Perang Belanda di Aceh menyadari bahwa kekerasan yang dilakukan untuk menundukkan daerah paling ujung Sumatera ini sama sekali tidak berhasil.
“Wij hebben te Aceh te doen met een volk niet alleen dapper en oorlogzuchtig is, dat nimmer door een ander volk overheerscht is geworden, maar ook van oudsher den roem van een krijgshaftig volk heeft verworpen (kita berhadapan di Aceh dengan suatu bangsa yang tidak saja berani dan mempunyai nafsu perang dan tidak pernah dijajah, tapi kita pun berhadapan dengan suatu bangsa yang semenjak bahari sungguh tangkas berperang),” tulis van Swieten kepada seorang sahabatnya.
Di sisi lain, Belanda juga menggunakan siasat adu domba untuk melemahkan perjuangan Aceh terhadap Batavia. Di antaranya memprovokasi antara pemimpin satu daerah dengan daerah lain; memprovokasi bawahan dengan pimpinan; membujuk, menyuap, serta memberi pangkat dan mengangkat kaki tangan orang kepercayaan menjadi raja.
Belanda juga dengan leluasa menggantikan seorang raja di suatu daerah di Aceh yang menentang Belanda dan memberikan jabatan raja kepada kaum istana yang mau setia kepadanya. Guna melemahkan perjuangan para ulee balang yang masih setia dengan Kerajaan Aceh Darussalam, Belanda tidak segan-segan memberikan gelar ampon serta wilayah kekuasaan kepada orang kepercayaannya.
Van Swieten terus mencari taktik untuk melemahkan semangat juang rakyat Aceh dan pemimpinnya. Salah satu strategi yang digunakan yaitu memancing tokoh-tokoh rakyat Aceh yang diperkirakan sudah kehilangan semangat dan membujuk mereka untuk menyerah. Belanda juga menyebarkan propaganda bahwa kedatangan mereka ke Aceh untuk membantu memulihkan keamanan dalam negeri Aceh. Propaganda selanjutnya yaitu kedatangan Belanda untuk melindungi Aceh dari penaklukkan negara lain, membantu menjadi penengah sengketa antara sesama yang bertikai supaya Aceh tentram dan memberikan keleluasaan dan perlindungan kepada penduduk untuk menjalankan syariat Islam. Guna merebut hati rakyat Aceh, Belanda ikut membangun kembali Masjid Raya yang hancur akibat perang dengan lebih luas dan megah.
Namun propaganda Belanda ini tidak berhasil dengan baik. Rakyat Aceh yang sudah terlanjur membenci Belanda bersikap dingin dengan keinginan van Swieten membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman di tempat semula. Belanda yang tidak ingin kehilangan lebih banyak prajuritnya akibat serangan mendadak pasukan Aceh hanya berani melintasi Krueng Aceh dari kota dengan berkonvoi.
Umpan Belanda yang sama sekali tidak berhasil untuk warga ibukota Kerajaan Aceh Darussalam akhirnya diubah. Van Swieten mengalihkan pandangannya ke daerah lain yang letaknya agak jauh dengan ibukota seperti Aceh Barat, Aceh Selatan dan Aceh Timur. Strategi yang sama dilakukan van Swieten untuk daerah ini. Berdasarkan laporan resminya, dia mengatakan bahwa ada raja-raja kecil yang telah bersedia menandatangani perjanjian damai dengan Belanda.
Berdasarkan data Belanda, raja-raja kecil yang menyerah tersebut yaitu Teuku Tjhik Tua Kaway XII, Meulaboh. Dia menyerah pada 24 Februari 1874 di Aceh Barat. Selain itu, di Aceh Selatan juga disebutkan ada raja kecil yang berdamai dengan Belanda seperti Datuk Baginda penguasa Susoh pada 28 Februari 1874; Teuku Nyak Sawang Blang Pidie; Datuk Ujung Batu Labuhan Haji menyerah pada 6 Maret 1874; Datuk Cut Amat Meukek pada 9 Maret 1874; Cut Ma Patimah selaku Raja Terbangan Kluet pada 11 Maret 1874; Tuanku Raja Muda dari Teunom pada 29 April 1874; dan Datuk Raja Muda Amat di Tapak Tuan pada 5 Mei 1874.
Selain raja-raja tersebut, Belanda juga mengklaim ada beberapa penguasa daerah lainnya yang berdamai dengan strategi tersebut. Seperti dari Simeulue yaitu Datuk Pono, Moh. Hamzah dari Salang, Datuk Moh. Ali Sigulai pada 27 Mei 1874, Datuk Sitongga dari Tapak; Datuk Jawab dari Lakeuen. Beberapa penguasa di pesisir Timur Aceh juga diklaim oleh Belanda telah berdamai dan meletakkan senjatanya seperti Teuku Said Sungai Rayeu pada 25 Maret 1874; Teuku Tjhik Idi Rayeuk pada 15 April 1874; Teuku Tjhik Peureulak pada 27 Juli 1874; Teuku Muda Angkasa dari Pasai pada 2 April 1874; Teuku Tjhik Poling Keureutoe pada 7 April 1874; Teuku Maharaja Mangkubumi Lhokseumawe pada 23 Juli 1874; Teuku Tjhik Peusangan pada 8 Agustus 1874.
Di Pidie, beberapa raja kecil juga diklaim oleh Belanda telah mengibarkan bendera putih seperti Teuku Bintara Keumangan Pocut Osman Gigieng pada 15 Maret 1874; Teuku Laksamana Njong pada 6 April 1874; Teuku Ismail Ie Leubeue pada 8 Juni 1874 dan Teuku Mohammad Hanafiah Lampasai selaku Raja Kluang di Aceh Besar pada 3 September 1874.
Klaim Belanda ini sebenarnya tidak benar karena pada dasarnya beberapa raja kecil tersebut terus meneus mengadakan perlawanan di daerahnya. Belanda hanya mendapatkan tanda menyerah di atas kertas namun tidak pernah terealisasi di lapangan. Belanda yang menyangka telah mendapatkan pengakuan di daerah-daerah tersebut kemudian mencoba mengibarkan bendera merah putih biru. Namun upaya tersebut gagal karena masyarakat dan keturunan raja-raja kecil ini tidak menginginkan daerah mereka dikuasai Belanda.
Siasat lain yang dilakukan Belanda yaitu memberikan sogok kepada pejuang Aceh untuk menyerah. Namun apa yang diharapkan oleh Belanda ternyata tidak berhasil, bahkan para pejuang yang disogok menjalankan siasat menerima uang namun tidak mau mengerjakan apa yang diinginkan Belanda.
Pocut Osman yang menjadi Raja Gigieng merupakan salah satu raja yang berhasil mempermainkan Belanda. Dia mendapatkan uang sebesar f. 25.000—harga yang sangat besar di masa itu—dari Belanda untuk menyatakan takluk kepada van Swieten. Namun Pocut Osman sendiri memanfaatkan uang tersebut sebagai modal meneruskan perjuangan dan bersama Pocut Abdul Latif mempermainkan Belanda hingga puluhan tahun lamanya. Hal ini juga dilakoni oleh Teuku Umar di Meulaboh yang berpura-pura menyerah kepada Belanda dan akhirnya berhasil merebut senjata perang dan uang serta kembali menggelorakan perjuangan melawan penjajah. Oleh Belanda, hal ini kemudian dikenal sebagai Tipu Aceh.
Dr. Somer, salah satu kapten Belanda dalam disertasinya berjudul De Korte Verklaring menuliskan gambaran betapa terombang-ambingnya Belanda di Aceh dengan tingkah-tingkah penguasa daerah terhadap mereka. “Weliswaar was in Groot Aceh iets bereikt, maar het Nederlandsch gezag stond nog zeer wankel, en het in het telegram van minister doorschemerend denkbeeld, dad ons gezag met den val van den “Kraton” gevestigd zou zijn, en dus nu in de politieke situatie in de onderhoorigheden kon worden gegereld door verklaring en en acten van erkenning en bevestiging, was met de werkelijkheid volkomen in strijd.”
Artinya, “memang sudah ada apa-apa yang dicapai di Aceh Besar, tapi kekuasaan Belanda masihlah amat terombang-ambing sekali dan kawat menteri yang membayangkan gambaran seolah-olah kekuasaan kita sudah berdiri setelah jatuhnya Kraton, dan oleh karena itu suasana politik di daerah takluknya sudah dapat diatur berdasar ikrar dan surat kebenaran dan penetapan, adalah bertentangan sama sekali dengan kenyataan sebenarnya.” [] sumber: Aceh Sepanjang Abad karya H. Mohammad Said.(Atjehpost)
Serangan-serangan yang dilancarkan prajurit Aceh usai jatuhnya Dalam (istana raja) Kerajaan Aceh pada Belanda tidak pernah padam. Saban harinya para prajurit Holland merasa tertekan dan bahkan ada yang stress dan bunuh diri dengan serangan tersebut. Taktik hit and run yang dilakoni pejuang-pejuang Aceh telah mendatangkan keugian luar biasa bagi kolonialis.
Untuk merealisasikan impiannya menjajah Aceh, Belanda menggunakan beberapa jalan sebagai langkah lanjutan setelah merebut Dalam. Berdasarkan buku Sepanjang Abad karya H. Mohammad Said, disebutkan langkah yang dilakukan oleh Belanda seperti melanjutkan penggunaan kekerasan.
Langkah penggunaan kekerasan tersebut di antaranya yaitu menghancurkan kampung-kampung yang masih mengadakan perlawanan kepada Belanda hingga mereka menyerah; mengepung lalu lintas hubungan laut ke luar negeri atau ke daerah pedalaman; menghancurkan sawah dan rumah agar masyarakat setempat tidak berani lagi melawan dan agar tidak menjadi tempat persembunyian pasukan Aceh; serta memberikan tanggung jawab (membunuh) seluruh warga kampung apabila terjadi serangan mendadak kepada Belanda.
Van Swieten selaku Panglima Besar Angkatan Perang Belanda di Aceh menyadari bahwa kekerasan yang dilakukan untuk menundukkan daerah paling ujung Sumatera ini sama sekali tidak berhasil.
“Wij hebben te Aceh te doen met een volk niet alleen dapper en oorlogzuchtig is, dat nimmer door een ander volk overheerscht is geworden, maar ook van oudsher den roem van een krijgshaftig volk heeft verworpen (kita berhadapan di Aceh dengan suatu bangsa yang tidak saja berani dan mempunyai nafsu perang dan tidak pernah dijajah, tapi kita pun berhadapan dengan suatu bangsa yang semenjak bahari sungguh tangkas berperang),” tulis van Swieten kepada seorang sahabatnya.
Di sisi lain, Belanda juga menggunakan siasat adu domba untuk melemahkan perjuangan Aceh terhadap Batavia. Di antaranya memprovokasi antara pemimpin satu daerah dengan daerah lain; memprovokasi bawahan dengan pimpinan; membujuk, menyuap, serta memberi pangkat dan mengangkat kaki tangan orang kepercayaan menjadi raja.
Belanda juga dengan leluasa menggantikan seorang raja di suatu daerah di Aceh yang menentang Belanda dan memberikan jabatan raja kepada kaum istana yang mau setia kepadanya. Guna melemahkan perjuangan para ulee balang yang masih setia dengan Kerajaan Aceh Darussalam, Belanda tidak segan-segan memberikan gelar ampon serta wilayah kekuasaan kepada orang kepercayaannya.
Van Swieten terus mencari taktik untuk melemahkan semangat juang rakyat Aceh dan pemimpinnya. Salah satu strategi yang digunakan yaitu memancing tokoh-tokoh rakyat Aceh yang diperkirakan sudah kehilangan semangat dan membujuk mereka untuk menyerah. Belanda juga menyebarkan propaganda bahwa kedatangan mereka ke Aceh untuk membantu memulihkan keamanan dalam negeri Aceh. Propaganda selanjutnya yaitu kedatangan Belanda untuk melindungi Aceh dari penaklukkan negara lain, membantu menjadi penengah sengketa antara sesama yang bertikai supaya Aceh tentram dan memberikan keleluasaan dan perlindungan kepada penduduk untuk menjalankan syariat Islam. Guna merebut hati rakyat Aceh, Belanda ikut membangun kembali Masjid Raya yang hancur akibat perang dengan lebih luas dan megah.
Namun propaganda Belanda ini tidak berhasil dengan baik. Rakyat Aceh yang sudah terlanjur membenci Belanda bersikap dingin dengan keinginan van Swieten membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman di tempat semula. Belanda yang tidak ingin kehilangan lebih banyak prajuritnya akibat serangan mendadak pasukan Aceh hanya berani melintasi Krueng Aceh dari kota dengan berkonvoi.
Umpan Belanda yang sama sekali tidak berhasil untuk warga ibukota Kerajaan Aceh Darussalam akhirnya diubah. Van Swieten mengalihkan pandangannya ke daerah lain yang letaknya agak jauh dengan ibukota seperti Aceh Barat, Aceh Selatan dan Aceh Timur. Strategi yang sama dilakukan van Swieten untuk daerah ini. Berdasarkan laporan resminya, dia mengatakan bahwa ada raja-raja kecil yang telah bersedia menandatangani perjanjian damai dengan Belanda.
Berdasarkan data Belanda, raja-raja kecil yang menyerah tersebut yaitu Teuku Tjhik Tua Kaway XII, Meulaboh. Dia menyerah pada 24 Februari 1874 di Aceh Barat. Selain itu, di Aceh Selatan juga disebutkan ada raja kecil yang berdamai dengan Belanda seperti Datuk Baginda penguasa Susoh pada 28 Februari 1874; Teuku Nyak Sawang Blang Pidie; Datuk Ujung Batu Labuhan Haji menyerah pada 6 Maret 1874; Datuk Cut Amat Meukek pada 9 Maret 1874; Cut Ma Patimah selaku Raja Terbangan Kluet pada 11 Maret 1874; Tuanku Raja Muda dari Teunom pada 29 April 1874; dan Datuk Raja Muda Amat di Tapak Tuan pada 5 Mei 1874.
Selain raja-raja tersebut, Belanda juga mengklaim ada beberapa penguasa daerah lainnya yang berdamai dengan strategi tersebut. Seperti dari Simeulue yaitu Datuk Pono, Moh. Hamzah dari Salang, Datuk Moh. Ali Sigulai pada 27 Mei 1874, Datuk Sitongga dari Tapak; Datuk Jawab dari Lakeuen. Beberapa penguasa di pesisir Timur Aceh juga diklaim oleh Belanda telah berdamai dan meletakkan senjatanya seperti Teuku Said Sungai Rayeu pada 25 Maret 1874; Teuku Tjhik Idi Rayeuk pada 15 April 1874; Teuku Tjhik Peureulak pada 27 Juli 1874; Teuku Muda Angkasa dari Pasai pada 2 April 1874; Teuku Tjhik Poling Keureutoe pada 7 April 1874; Teuku Maharaja Mangkubumi Lhokseumawe pada 23 Juli 1874; Teuku Tjhik Peusangan pada 8 Agustus 1874.
Di Pidie, beberapa raja kecil juga diklaim oleh Belanda telah mengibarkan bendera putih seperti Teuku Bintara Keumangan Pocut Osman Gigieng pada 15 Maret 1874; Teuku Laksamana Njong pada 6 April 1874; Teuku Ismail Ie Leubeue pada 8 Juni 1874 dan Teuku Mohammad Hanafiah Lampasai selaku Raja Kluang di Aceh Besar pada 3 September 1874.
Klaim Belanda ini sebenarnya tidak benar karena pada dasarnya beberapa raja kecil tersebut terus meneus mengadakan perlawanan di daerahnya. Belanda hanya mendapatkan tanda menyerah di atas kertas namun tidak pernah terealisasi di lapangan. Belanda yang menyangka telah mendapatkan pengakuan di daerah-daerah tersebut kemudian mencoba mengibarkan bendera merah putih biru. Namun upaya tersebut gagal karena masyarakat dan keturunan raja-raja kecil ini tidak menginginkan daerah mereka dikuasai Belanda.
Siasat lain yang dilakukan Belanda yaitu memberikan sogok kepada pejuang Aceh untuk menyerah. Namun apa yang diharapkan oleh Belanda ternyata tidak berhasil, bahkan para pejuang yang disogok menjalankan siasat menerima uang namun tidak mau mengerjakan apa yang diinginkan Belanda.
Pocut Osman yang menjadi Raja Gigieng merupakan salah satu raja yang berhasil mempermainkan Belanda. Dia mendapatkan uang sebesar f. 25.000—harga yang sangat besar di masa itu—dari Belanda untuk menyatakan takluk kepada van Swieten. Namun Pocut Osman sendiri memanfaatkan uang tersebut sebagai modal meneruskan perjuangan dan bersama Pocut Abdul Latif mempermainkan Belanda hingga puluhan tahun lamanya. Hal ini juga dilakoni oleh Teuku Umar di Meulaboh yang berpura-pura menyerah kepada Belanda dan akhirnya berhasil merebut senjata perang dan uang serta kembali menggelorakan perjuangan melawan penjajah. Oleh Belanda, hal ini kemudian dikenal sebagai Tipu Aceh.
Dr. Somer, salah satu kapten Belanda dalam disertasinya berjudul De Korte Verklaring menuliskan gambaran betapa terombang-ambingnya Belanda di Aceh dengan tingkah-tingkah penguasa daerah terhadap mereka. “Weliswaar was in Groot Aceh iets bereikt, maar het Nederlandsch gezag stond nog zeer wankel, en het in het telegram van minister doorschemerend denkbeeld, dad ons gezag met den val van den “Kraton” gevestigd zou zijn, en dus nu in de politieke situatie in de onderhoorigheden kon worden gegereld door verklaring en en acten van erkenning en bevestiging, was met de werkelijkheid volkomen in strijd.”
Artinya, “memang sudah ada apa-apa yang dicapai di Aceh Besar, tapi kekuasaan Belanda masihlah amat terombang-ambing sekali dan kawat menteri yang membayangkan gambaran seolah-olah kekuasaan kita sudah berdiri setelah jatuhnya Kraton, dan oleh karena itu suasana politik di daerah takluknya sudah dapat diatur berdasar ikrar dan surat kebenaran dan penetapan, adalah bertentangan sama sekali dengan kenyataan sebenarnya.” [] sumber: Aceh Sepanjang Abad karya H. Mohammad Said.(Atjehpost)
loading...
Post a Comment