GEMPA berkekuatan 6,4 SR yang mengguncang Pidie Jaya sekitarnya, Rabu 7 Desember 2016 masih menyimpan berbagai cerita duka. Di antara selaksa kisah duka tersebut, termasuklah yang dialami Zainul Abdillah (14), bocah Meunasah Kuta Geulumpang, Desa Teupien Peuraho, Kecamatan Meureudu.
Zainul yang akrab disapa Agam, kini harus hidup sebatang kara, menjadi yatim piatu, setelah kedua orang tua dan dua adiknya meninggal dunia akibat bencana menjelang subuh itu.
Gempa telah merenggut ayah dan ibundanya, M Nur dan Siti Syahrum, termasuk dua adiknya, Mauliza Intan Sofya (9) dan Nur Azizah (4).
Pada Selasa (13/12), Serambi menelusuri keberedaan Agam di rumah familinya di Desa Teupien Peuraho. Di rumah itu sedang ramai karena sedang dilaksanakan (kenduri) tujuh hari meninggalnya ayah, ibu, dan kedua dua adik Agam.
Agam sendiri tidak sedang berada di rumah. Menurut pamannya, M Dahli, Agam sedang ke luar bersama rekan-rekannya. “Hana si Agam, ka diteubiet ngon rakan-rakan, sang bak posko pengungsian. (Agam tidak ada, sudah ke luar bersama sahabatnya, sepertinya di posko pengungsian),” kata M Dahli.
Ternyata di posko pengungsian, terlihat banyak anak-anak sedang bermain. Ada yang di dalam tenda ada juga yang di luar. Seorang warga memperkenalkan sosok Agam.
“Yang toh Agam? (Yang mana Agam),” tanya Serambi. “Loen,” jawab bocah itu, singkat.
Awalnya, Agam tampak takut, ia tak berani melihat dan memilih diam. Agam seperti tahu, kedatangan Serambi untuk mewawancarainya. Dari raut wajah, murid kelas II SMP ini menyimpan kesedihan yang begitu mendalam. Ia kehilangan orang yang paling ia cintai. Lidahnya kelu, tak mampu berkata-kata, Agam tampak sangat merindukan kehadiran kembali kedua orang tua dan dua adik di sisinya.
Agam memilih diam, ia hanya menjawab apa yang ditanya. “Nyoe, ayah ngon mak, dua adek lon meninggai watee gempa barosa (Betul, ayah, ibu, dua adik saya meninggal akibat gempa kemarin),” kata Agam.
Agam menuturkan, selama ini ia bersama orang tua dan adiknya tinggal di sebuah rumah toko (ruko) di pinggir Jalan Nasional Banda Aceh-Medan. Gempa merobohkan ‘istana’ mereka, lenyap rata dengan tanah.
Malam itu, sebutnya, kedua orang tua dan adiknya tidur di kamar lantai satu, sedangkan Agam memilih tidur di atas di depan TV. “Saya juga ada rencana mau tidur sama ayah, ibu, dan adik-adik, tapi seperti nggak enak badan, akhirnya saya naik ke atas tidur di depan tivi,” ujah Agam dengan bahasa Aceh yang sangat kental.
Saat gempa mengguncang pagi itu, Agam terbangun dan panik. Dalam gelap ia berusaha tenang dan sempat memanggil orang tuanya, hingga akhirnya bangunan itu roboh. Ia ikut roboh dan tertimbun. Beruntung Agam tak begitu parah dan ia masih bisa diselamatkan saat evakuasi. “Saya sempat berpikir mereka (orang tua dan adik-adik saya) di bawah berhasil menyelamatkan diri,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Agam mengaku baru mengetahui kedua orangtua dan adik-adiknya sudah tidak ada lagi saat dirinya dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa. Dia terlihat tak mampu lagi bicara ketika membayangkan itu.
Kini, Agam harus menanggung kesedihan dan berjuang menghapus luka mendalam di hatinya. Ia akan menjalani hidup tanpa kehadiran orang-orang yang ia cintai. Namun, Agam tampak tegar, ia tetap akan menjalani hidup ini dengan segenggam amanah yang telah disampaikan orang tuanya kepada dirinya, Agam ingin tetap sekolah dan mengaji.
M Dahli, paman Agam yang dijumpai Serambi di hari yang sama menyebutkan, ke depan Agam akan tinggal bersama keluarga besar di Pidie Jaya. M Dahli menyebutkan, semua saudara almarhum ayah dan ibu Agam akan tetap memberi perhatian khusus kepada Agam. “Insya Allah dia tinggal bersama kami, dia akan melanjutkan sekolahnya seperti biasa. Ada pesan orang tuanya kepada kami, Agam harus menjadi anak terpelajar, sekolah dan mengaji,” pungkas M Dahli. (sumber daniaceh.tribunnews.com)
Zainul yang akrab disapa Agam, kini harus hidup sebatang kara, menjadi yatim piatu, setelah kedua orang tua dan dua adiknya meninggal dunia akibat bencana menjelang subuh itu.
Gempa telah merenggut ayah dan ibundanya, M Nur dan Siti Syahrum, termasuk dua adiknya, Mauliza Intan Sofya (9) dan Nur Azizah (4).
Pada Selasa (13/12), Serambi menelusuri keberedaan Agam di rumah familinya di Desa Teupien Peuraho. Di rumah itu sedang ramai karena sedang dilaksanakan (kenduri) tujuh hari meninggalnya ayah, ibu, dan kedua dua adik Agam.
Agam sendiri tidak sedang berada di rumah. Menurut pamannya, M Dahli, Agam sedang ke luar bersama rekan-rekannya. “Hana si Agam, ka diteubiet ngon rakan-rakan, sang bak posko pengungsian. (Agam tidak ada, sudah ke luar bersama sahabatnya, sepertinya di posko pengungsian),” kata M Dahli.
Ternyata di posko pengungsian, terlihat banyak anak-anak sedang bermain. Ada yang di dalam tenda ada juga yang di luar. Seorang warga memperkenalkan sosok Agam.
“Yang toh Agam? (Yang mana Agam),” tanya Serambi. “Loen,” jawab bocah itu, singkat.
Awalnya, Agam tampak takut, ia tak berani melihat dan memilih diam. Agam seperti tahu, kedatangan Serambi untuk mewawancarainya. Dari raut wajah, murid kelas II SMP ini menyimpan kesedihan yang begitu mendalam. Ia kehilangan orang yang paling ia cintai. Lidahnya kelu, tak mampu berkata-kata, Agam tampak sangat merindukan kehadiran kembali kedua orang tua dan dua adik di sisinya.
Agam memilih diam, ia hanya menjawab apa yang ditanya. “Nyoe, ayah ngon mak, dua adek lon meninggai watee gempa barosa (Betul, ayah, ibu, dua adik saya meninggal akibat gempa kemarin),” kata Agam.
Agam menuturkan, selama ini ia bersama orang tua dan adiknya tinggal di sebuah rumah toko (ruko) di pinggir Jalan Nasional Banda Aceh-Medan. Gempa merobohkan ‘istana’ mereka, lenyap rata dengan tanah.
Malam itu, sebutnya, kedua orang tua dan adiknya tidur di kamar lantai satu, sedangkan Agam memilih tidur di atas di depan TV. “Saya juga ada rencana mau tidur sama ayah, ibu, dan adik-adik, tapi seperti nggak enak badan, akhirnya saya naik ke atas tidur di depan tivi,” ujah Agam dengan bahasa Aceh yang sangat kental.
Saat gempa mengguncang pagi itu, Agam terbangun dan panik. Dalam gelap ia berusaha tenang dan sempat memanggil orang tuanya, hingga akhirnya bangunan itu roboh. Ia ikut roboh dan tertimbun. Beruntung Agam tak begitu parah dan ia masih bisa diselamatkan saat evakuasi. “Saya sempat berpikir mereka (orang tua dan adik-adik saya) di bawah berhasil menyelamatkan diri,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Agam mengaku baru mengetahui kedua orangtua dan adik-adiknya sudah tidak ada lagi saat dirinya dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa. Dia terlihat tak mampu lagi bicara ketika membayangkan itu.
Kini, Agam harus menanggung kesedihan dan berjuang menghapus luka mendalam di hatinya. Ia akan menjalani hidup tanpa kehadiran orang-orang yang ia cintai. Namun, Agam tampak tegar, ia tetap akan menjalani hidup ini dengan segenggam amanah yang telah disampaikan orang tuanya kepada dirinya, Agam ingin tetap sekolah dan mengaji.
M Dahli, paman Agam yang dijumpai Serambi di hari yang sama menyebutkan, ke depan Agam akan tinggal bersama keluarga besar di Pidie Jaya. M Dahli menyebutkan, semua saudara almarhum ayah dan ibu Agam akan tetap memberi perhatian khusus kepada Agam. “Insya Allah dia tinggal bersama kami, dia akan melanjutkan sekolahnya seperti biasa. Ada pesan orang tuanya kepada kami, Agam harus menjadi anak terpelajar, sekolah dan mengaji,” pungkas M Dahli. (sumber daniaceh.tribunnews.com)
loading...
Post a Comment