Ilustrasi |
* Tersandera Kepentingan Kelompok
BANDA ACEH - Belum disahkannya Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2017 hingga kini, menimbulkan berbagai opini dari sejumlah kalangan. Bahkan, anggota DPRA sendiri yang notebene memiliki hak kuasa menyusun, menetapkan, hingga melaksanakan penjabaran anggaran, menyebutkan bahwa terlambatnya pengesahan APBA 2017 lantaran penyusunan anggaran menjadi permainan segelintir elite.
Hal itu diutarakan Bardan Sahidi, Anggota DPRA dari Fraksi PKS-Gerindra melalui layanan pesan singkat (sms) kepada Serambi, Selasa (27/12). Bahkan menurutnya, bukan hanya elite di eksekutif, tapi para elite di legislatif pun demikian. “Penyakit lama kambuh lagi, APBA jadi mainan elite, tahun lalu juga demikian,” tulis Bardan.
Ditanya mengapa ia menyebutkan permainan elite, Bardan pun menjawab “Iya dong, bukankah hanya eksekutif dan legislatif yang membahas (anggaran)? Amanah kita hanya membahas dan menetapkan, tapi kenapa harus berlama-lama?” gugat Bardan.
Rabu (28/12) kemarin, Serambi coba mewawancarai ulang politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini guna memperjelas maksud ungkapannya yang menuding APBA jadi mainan para elite.
Kepada Serambi, Bardan kembali mengatakan, yang punya akses untuk APBA itu adalah para kepala dinas di Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) selaku pihak yang punya usulan dan Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA), sementara di DPRA adalah ketua-ketua fraksi dan tim Badan Anggaran (Banggar) DPRA.
Secara tidak langsung, Bardan menyebut itulah para elite yang dia maksudkan. “Kenapa saya teriak di luar gedung, karena di dalam gedung saya kalah. Jadi, ekstraparlementerlah yang kita mainkan,” sebutnya.
Meski dokumen Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) sudah diserahkan eksekutif ke legislatif kemarin, namun Bardan tetap menyebutkan pengesahan yang secara tertib anggaran tidak bisa dikebut dalam waktu dekat. Kepada Serambi, Bardan juga menyebutkan, terlambatnya penyerahan KUA-PPAS dan yang berdampak pada terlambatnya pengesahan APBA nanti, disebabkan beberapa hal. Pertama, ia melihat APBA 2017 itu masih dalam bayang-bayang petahana, dalam hal ini gubernur Aceh nonaktif, Zaini Abdullah. “Kenapa bayang-bayang itu ada, karena Zaini Abdullah masih punya visi-misi lima tahunan, dan ini adalah tahun terakhir dia melaksanakan dan menyusun program kerja,” ujarnya.
Kedua, lanjut Bardan, karena terpecahnya konsentrasi pejabat strategis, yakni pejabat SKPA yang saat ini juga sedang menjalani tugas sebagai Plt di sejumlah kabupaten/kota, menggantikan bupati/wali kota yang akan maju kembali pada Pilkada 2017.
“Seperti Kepala Bappeda Aceh, kemudian Kepala Dinas Pendidikan juga, itu kan jabatan strategis. Berikutnya, fraksi-fraksi di DPRA juga punya kepentingan terhadap usulan itu, inilah yang tidak ada titik temunya dengan Plt Gubernur kita,” sebut Bardan sembari menambakan, PP Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, juga menjadi salah satu alasan terlambatnya pengesahan APBA kali ini.
Bardan menegaskan, apa pun alasan yang menyebabkan peneyerahan KUA-PPAS pembahasan RABPA dan pengesahan APBA terlambat, tentu memiliki dampak. Yang paling jelas, katanya, konsekuensi keterlambatan APBA 2017 adalah sanksi administrasi dan pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU) bagi Aceh yang tak bisa dihindari.
“Ini penyakit tahun lalu yang terulang lagi, sejarah pengelolaan anggaran Aceh ini selalu saja dua hal, keterlambatan sering dan serapan rendah, itu-itu saja. Seharusnya kita belajar pada pengalaman-pengalaman sebelumnya,” pungkas Bardan.
Tidak komit
Kalangan LSM juga menyorot molornya pengesahan APBA 2017, seperti disuarakan Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), dan Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI). Mayoritas LSM menilai, kedua pihak (eksekutif dan legislatif) tidak begitu komit untuk mempercepat pengesahan APBA 2017.
Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani tadi malam mengatakan, keterlambatan pembahasan Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (RAPBA) tahun 2017 merupakan tanggung jawab eksekutif dan legislatif. Menurutnya, baik gubernur Aceh maupun DPRA tidak menunjukkan komitmen untuk menyelesaikan APBA 2017 tepat waktu.
“Keduanya tidak komit dan harus bertanggung jawab. Tidak bisa DPRA saja yang disalahkan, karena kondisi ini juga disebabkan oleh eksekutif yang telat menyerahkan KUA-PPAS ke DPRA,” ujar Askhalani, seraya mengatakan Plt Gubernur Aceh juga tak bisa memaksa DPRA harus tepat waktu, sebab keterlambatan juga akibat ulah eksekutif.
Meski terlambat, lanjut Askhalani, pembahasan KUA PPAS wajib dilakukan DPRA secara detail. “Kalau bicara soal tepat waktu, sekarang sudah tidak memungkinkan lagi. Yang jelas anggota DPRA harus tetap memeriksanya secara detail. Kami berharap mereka bisa meluangkan waktu untuk membahas itu,” katanya.
Dia juga mengingatkan, pembahasan KUA-PPAS jangan pula dijadikan ajang politik oleh DPRA untuk memasukkan usulan dana aspirasi. “Kami takut ada kepentingan lain, dengan alasan membahas, ternyata DPRA sengaja mengulur-ulur waktu,” ujar Askhalani.
Sementara itu, Koordinator MaTA, Alfian meyebutkan, berdasarkan penelusuran pihaknya, keterlambatan pengesahan APBA 2017 karena sengaja diulur-ulur oleh para elite lantaran ‘persekongkolan’ antara elite eksekutif dan legislatif. MaTA menyangkan hal itu. “Seharusnya mereka mengutamakan kepentingan publik yang mendesak dan mengesampingkan kepentingan kelompok dan pribadi,” sebut Alfian.
Ia juga mengklaim, pengesahan APBA kali ini penuh dengan skenario.
“Publik sudah tahu apa yang sedang dimainkan oleh para elite Aceh, kita mendesak pengesahan anggaran secepatnya dan ini jelas tanggung jawab eksekutif dan legislatif dan tolong jangan permainankan APBA,” harap Alfian.
Stop sandera APBA
Sementara itu, Direktur AJMI, Agusta Mukhtar berpendapat, APBA 2017 yang diajukan eksekutif disandera oleh kepentingan politik di legislatif. “RAPBA 2017 selain dikapling oleh 81 anggota DPRA sejumlah 840 miliar rupiah dengan dalih dana aspirasi sejumlah 10 miliar rupiah per orang ditambah jatah pimpinan 30 miliar rupiah.
AJMI menangkap kesan, kebijakan pemerintahan yang digagas Plt Gubernur Aceh dengan pengesahan APBA tepat waktu, yaitu 31 Desember 2016, sedang diupayakan untuk dibegal oleh beberapa pelanduk politik yang berlindung dengan baju anggota dewan terhormat di DPRA, dengan justifikasi membela kepentingan tuannya di partai.
Agusta bertanya, akankah sejarah kembali mencatat bahwa Provinsi Aceh telat lagi dalam pengesahan anggaran tahun 2017? “Sebagai rakyat kita tidak pernah berharap itu terjadi, karena itu merugikan Rakyat secara holistik, aspek ekonomi, pembangunan, roda pemerintahan, gaji para aparatur, dan berbagai kegiatan otomatis akan terhenti. (Serambinews)
BANDA ACEH - Belum disahkannya Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2017 hingga kini, menimbulkan berbagai opini dari sejumlah kalangan. Bahkan, anggota DPRA sendiri yang notebene memiliki hak kuasa menyusun, menetapkan, hingga melaksanakan penjabaran anggaran, menyebutkan bahwa terlambatnya pengesahan APBA 2017 lantaran penyusunan anggaran menjadi permainan segelintir elite.
Hal itu diutarakan Bardan Sahidi, Anggota DPRA dari Fraksi PKS-Gerindra melalui layanan pesan singkat (sms) kepada Serambi, Selasa (27/12). Bahkan menurutnya, bukan hanya elite di eksekutif, tapi para elite di legislatif pun demikian. “Penyakit lama kambuh lagi, APBA jadi mainan elite, tahun lalu juga demikian,” tulis Bardan.
Ditanya mengapa ia menyebutkan permainan elite, Bardan pun menjawab “Iya dong, bukankah hanya eksekutif dan legislatif yang membahas (anggaran)? Amanah kita hanya membahas dan menetapkan, tapi kenapa harus berlama-lama?” gugat Bardan.
Rabu (28/12) kemarin, Serambi coba mewawancarai ulang politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini guna memperjelas maksud ungkapannya yang menuding APBA jadi mainan para elite.
Kepada Serambi, Bardan kembali mengatakan, yang punya akses untuk APBA itu adalah para kepala dinas di Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) selaku pihak yang punya usulan dan Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA), sementara di DPRA adalah ketua-ketua fraksi dan tim Badan Anggaran (Banggar) DPRA.
Secara tidak langsung, Bardan menyebut itulah para elite yang dia maksudkan. “Kenapa saya teriak di luar gedung, karena di dalam gedung saya kalah. Jadi, ekstraparlementerlah yang kita mainkan,” sebutnya.
Meski dokumen Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) sudah diserahkan eksekutif ke legislatif kemarin, namun Bardan tetap menyebutkan pengesahan yang secara tertib anggaran tidak bisa dikebut dalam waktu dekat. Kepada Serambi, Bardan juga menyebutkan, terlambatnya penyerahan KUA-PPAS dan yang berdampak pada terlambatnya pengesahan APBA nanti, disebabkan beberapa hal. Pertama, ia melihat APBA 2017 itu masih dalam bayang-bayang petahana, dalam hal ini gubernur Aceh nonaktif, Zaini Abdullah. “Kenapa bayang-bayang itu ada, karena Zaini Abdullah masih punya visi-misi lima tahunan, dan ini adalah tahun terakhir dia melaksanakan dan menyusun program kerja,” ujarnya.
Kedua, lanjut Bardan, karena terpecahnya konsentrasi pejabat strategis, yakni pejabat SKPA yang saat ini juga sedang menjalani tugas sebagai Plt di sejumlah kabupaten/kota, menggantikan bupati/wali kota yang akan maju kembali pada Pilkada 2017.
“Seperti Kepala Bappeda Aceh, kemudian Kepala Dinas Pendidikan juga, itu kan jabatan strategis. Berikutnya, fraksi-fraksi di DPRA juga punya kepentingan terhadap usulan itu, inilah yang tidak ada titik temunya dengan Plt Gubernur kita,” sebut Bardan sembari menambakan, PP Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, juga menjadi salah satu alasan terlambatnya pengesahan APBA kali ini.
Bardan menegaskan, apa pun alasan yang menyebabkan peneyerahan KUA-PPAS pembahasan RABPA dan pengesahan APBA terlambat, tentu memiliki dampak. Yang paling jelas, katanya, konsekuensi keterlambatan APBA 2017 adalah sanksi administrasi dan pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU) bagi Aceh yang tak bisa dihindari.
“Ini penyakit tahun lalu yang terulang lagi, sejarah pengelolaan anggaran Aceh ini selalu saja dua hal, keterlambatan sering dan serapan rendah, itu-itu saja. Seharusnya kita belajar pada pengalaman-pengalaman sebelumnya,” pungkas Bardan.
Tidak komit
Kalangan LSM juga menyorot molornya pengesahan APBA 2017, seperti disuarakan Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), dan Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI). Mayoritas LSM menilai, kedua pihak (eksekutif dan legislatif) tidak begitu komit untuk mempercepat pengesahan APBA 2017.
Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani tadi malam mengatakan, keterlambatan pembahasan Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (RAPBA) tahun 2017 merupakan tanggung jawab eksekutif dan legislatif. Menurutnya, baik gubernur Aceh maupun DPRA tidak menunjukkan komitmen untuk menyelesaikan APBA 2017 tepat waktu.
“Keduanya tidak komit dan harus bertanggung jawab. Tidak bisa DPRA saja yang disalahkan, karena kondisi ini juga disebabkan oleh eksekutif yang telat menyerahkan KUA-PPAS ke DPRA,” ujar Askhalani, seraya mengatakan Plt Gubernur Aceh juga tak bisa memaksa DPRA harus tepat waktu, sebab keterlambatan juga akibat ulah eksekutif.
Meski terlambat, lanjut Askhalani, pembahasan KUA PPAS wajib dilakukan DPRA secara detail. “Kalau bicara soal tepat waktu, sekarang sudah tidak memungkinkan lagi. Yang jelas anggota DPRA harus tetap memeriksanya secara detail. Kami berharap mereka bisa meluangkan waktu untuk membahas itu,” katanya.
Dia juga mengingatkan, pembahasan KUA-PPAS jangan pula dijadikan ajang politik oleh DPRA untuk memasukkan usulan dana aspirasi. “Kami takut ada kepentingan lain, dengan alasan membahas, ternyata DPRA sengaja mengulur-ulur waktu,” ujar Askhalani.
Sementara itu, Koordinator MaTA, Alfian meyebutkan, berdasarkan penelusuran pihaknya, keterlambatan pengesahan APBA 2017 karena sengaja diulur-ulur oleh para elite lantaran ‘persekongkolan’ antara elite eksekutif dan legislatif. MaTA menyangkan hal itu. “Seharusnya mereka mengutamakan kepentingan publik yang mendesak dan mengesampingkan kepentingan kelompok dan pribadi,” sebut Alfian.
Ia juga mengklaim, pengesahan APBA kali ini penuh dengan skenario.
“Publik sudah tahu apa yang sedang dimainkan oleh para elite Aceh, kita mendesak pengesahan anggaran secepatnya dan ini jelas tanggung jawab eksekutif dan legislatif dan tolong jangan permainankan APBA,” harap Alfian.
Stop sandera APBA
Sementara itu, Direktur AJMI, Agusta Mukhtar berpendapat, APBA 2017 yang diajukan eksekutif disandera oleh kepentingan politik di legislatif. “RAPBA 2017 selain dikapling oleh 81 anggota DPRA sejumlah 840 miliar rupiah dengan dalih dana aspirasi sejumlah 10 miliar rupiah per orang ditambah jatah pimpinan 30 miliar rupiah.
AJMI menangkap kesan, kebijakan pemerintahan yang digagas Plt Gubernur Aceh dengan pengesahan APBA tepat waktu, yaitu 31 Desember 2016, sedang diupayakan untuk dibegal oleh beberapa pelanduk politik yang berlindung dengan baju anggota dewan terhormat di DPRA, dengan justifikasi membela kepentingan tuannya di partai.
Agusta bertanya, akankah sejarah kembali mencatat bahwa Provinsi Aceh telat lagi dalam pengesahan anggaran tahun 2017? “Sebagai rakyat kita tidak pernah berharap itu terjadi, karena itu merugikan Rakyat secara holistik, aspek ekonomi, pembangunan, roda pemerintahan, gaji para aparatur, dan berbagai kegiatan otomatis akan terhenti. (Serambinews)
loading...
Post a Comment