Halloween Costume ideas 2015
loading...

Penguasa Aceh; Dulu Bersama, Sekarang Berpisah

Zaini Abdullah, Muzakir Manaf, Irwandi Yusuf
Oleh: Firman Hidayat

Tanggal 15 Februari 2017, panggung demokrasi bergulir di tanah rencong dengan sekujur darah dalam tekanan untuk memililih suatu penguasa. Berjuang bersama dalam panggung demokrasi untuk memperjuangkan hak masyarakat dengan penuh torehan sejarah yang telah di lakukan. Pasca MoU Helsinki, Partai Lokal Mendominasi deretan kursi-kursi pemerintahan. Mengusung pasangan calon dalam sebuah panggung demokrasi. Tetapi sang calon hanya berhenti di satu periode, di anggap tidak memihak terhadap rakyat. Malah melakukan tandingan partai dengan membawa sederetan orang kepercayaanya. Demokasi Jilid ke-II, mengusung salah satu tokoh pelaku perjuangan Aceh di Negeri Swedia. Pejuang yang berpengaruh di kalangan Aceh pun terhenti di satu periode, memilih untuk independen. Demokrasi Jilid ke-III, memilih untuk setia bersama partai sang wakil naik sebagai calon penguasa. Ketiganya dalam sebuah dorongan yang berbeda-beda, visi perjuangan telah dilupakan, sekarang masyarakat yang di utamakan. Dulu bersama, sekarang berpisah. Kenapa?

40 tahun Aceh menagis luka dalam konflik dengan Indonesia, setelah perdamaian di Helsinki, Swedia. Kombatan Aceh memilih untuk membentuk partai lokal yaitu Partai Aceh dengan visi membangun citra positif dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia serta melaksanakan mekanisme partai sesuai aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menjunjung tinggi Nota Kesepahaman (MoU) Helskinki yang telah di tanda tangani pada tanggal 15 Agustus 2005, antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.

Di era pertama tebentuknya Partai Aceh dengan memasuki kancah perpolitikan Aceh. Partai percaya dan mengusung satu pasangan calon yaitu Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar. Masyarakat percaya bahwa Irwandi-Nazar merupakan presentatif dari perjuangan sejarah yang di inginkan masyarakat Aceh yaitu keadilan. Irwandi-Nazar menang di era pertama salah satu calon dari Partai Aceh. Lima tahun menjabat, pembangunan Aceh mengalami peningkatan di masa Irwandi-Yusuf. Berbagai infrakstruktur pembangunan di Aceh mulai megalami revolusi. Tetapi, masyarakat menganggap bahwa di masa Irwandi-Nazar pemerintah tidak berpihak terhadap masyarakat. Bahwa janji politik Irwandi-Yusuf yang dibawa tidak dirasakan oleh sejumlah masyarakat aceh yang telah memilihnya.

Di era kedua panggung demokrasi bergulir, Irwandi memilih untuk membentuk partai tandingan yaitu Partai Nasional Aceh (PNA) dengan membawa deretan orang yang dahulu di Partai Aceh. Panggung demokrasi di Aceh di era kedua semakin panas dengan banyaknya deretan elit politisi Partai Aceh yang memilih bergabung dengan Partai Nasional Aceh. Partai Aceh tidak tinggal diam memilih untuk menggusung satu calon pasangan tokoh elit dengan deretan sejarahn pahitnya pada masa Konflik Aceh-RI yaitu Zaini Abdullah-Muzakir Manaf.

Pada tahun 2012, Irwandi Yusuf yang sebelumnya sebagai delegasi Partai Aceh memilih naik dengan jalur independen sebelum terbentuknya Partai Nasional Aceh pada tanggal 24 april 2012. Lagi-lagi masyarakat mempercayai calon dari Partai Aceh yaitu Zaini Abdulah-Muzakir Manaf dan menang di era kedua panggung demokrasi.

Di masa Zaini Abdullah-Muzakir Manaf, Aceh mulai sangat maju dengan melanjutkan revolusi pembangunan di masa Irwandi. Aceh mulai menjadi pusat perhatian oleh masyarakat indonesia maupun luar dalam segi pariwisata. Keterbukaan Pemerintah Aceh dengan memberikan kepercayaan terhadap masyarakat luar bahwa Aceh telah aman dari konflik, sangat dapat di apresiasi pada masa Zaini Abdullah-Muzakir Manaf dalam hal itu. Namun menuju panggung demokrasi di era selanjutnya ini malah Zaini Abdullah memilih untuk masuk dalam jalur indpenden. Dinamika politik di Partai Aceh ini membuat seorang tokoh pelaku sejarah Aceh ini memilih untuk berpisah dari Partai Aceh. Sang wakil memilih setia dengan partai.  Di era ketiga panggung demokrasi ini sang wakil Muzakir Manaf sebagai Ketua Umum Partai Aceh dengan otoritas terkuat dia memilih untuk naik di pilkada serentak ini.

Perpolitikan di Aceh pada pilkada 2012 sangat panas, dengan adanya konflik yang terjadi antara dua rival pendukung berat yaitu Zaini dan Irwandi. Perseturuan pendukung berat Zaini dan Irwandi muncul ketika beberapa deretan elit Partai Aceh setia mengikuti Irwandi. Perpolitikan ini sangat panas ketika kubu pendukung Partai Aceh memukul Irwandi dalam proses berlangsungnya pilkada terjadi. Namun sikap pendukung berat Zaini ini sangat tidak memberikan kesopanan terhadap seorang tokoh pejabat publik di kalangan Masyarakat Aceh. Di sini terlihat sangat jelas bahwa Partai Aceh telah memunculkan dua kubu pendukung Irwandi dan Zaini. Dalam proses pilkada yang berujung konflik tersebut memunculkan situasi panas antara kedua kubu tersebut.

Perpolitikan di Aceh ini memang sedikit janggal, seperti adanya hal yang tidak beres dengan internal Partai Aceh. Ini mucul ketika Zaini memilih untuk melakukan jalur independen dalam proses pilkada 2017 mendatang. Di sini terlihat bahwa ada sekelompok kepentingan yang benar-benar ingin mementingkan segolongannya saja di dalam internal Partai Aceh. Sudah kedua kalinya tokoh elit politik di Partai Aceh yang di usung oleh Partai sebagai gubernur, tetapi memilih untuk berpisah. permasalahan internal Partai Aceh sangat berdampak terhadap Masyarakat Aceh. Bahwa dengan pecahnya beberapa kubu dari Partai Aceh dan memilih untuk pergi mengikuti sang tokohnya, membuat menjadi ancaman terhadap rakyat Aceh. Tertutama pada pilkada 2012 banyaknya pendukung berat dari Zaini melakukan ancaman-ancaman terhadap masyarakat awam yang tidak mengerti politisasi mereka ini.

Alhasil, membuat sebuat tekanan terhadap masyarakat Aceh terhadap prosesnya panggung demokrasi. Dampak perpolitikan tersebut muculnya sebuah provokasi-provokasi yang terjadi antara kedua belah pihak yan menjadi rival dalam proses berlangsungan pilkada tersebut memberikan tidak kenyamanan terhadap Masyarakat Aceh. Hal yang ditakuti ketika situasi panas yang sebelumnya, akan terjadi lagi serta akan menjadi ancaman terhadap ketiga rival ini dalam proses pilkada serentak pada tangal 15 februari 2017. Bahkan siuasi ini diprediksi bisa memicuk kericuhan terhadap masyarakat Aceh.

Dalam hal ini hak-hak perjuangan yan telah ditorehkan dengan sejarahnya Aceh sangat bertolak belakang tehadap terjadinya situasi politik sekarang. Bahwa solidaritas itu sudah tidak terciptanya lagi ketika adanya suatu kepentingan-kepentingan golongan dalam merebut kekuasaan di Pemerintahan Aceh. Seorang tokoh penggagas terbentuknya GAM Hasan Tiro dalam bukunya “demokrasi di indonesia” dia mengatakan, selama ini demokrasi yang dijalankan di Indonesia adalah suatu demokrasi “primitive”, demokrasi adu-angka yang hasilnya bukanlah pemerintahan dari seluruh rakyat, untuk seluruh rakyat dan oleh seluruh rakyat, tetapi pemerintahan dari segolongan rakyat untuk segolongan rakyat dan oleh segolongan rakyat.

Ternyata pernyataan tegas Hasan Tiro terhadap indonesia telah terjadi di negerinya sendiri yang di perjuangkan untuk berpisah dari Indonesia. Apakah revolusi ini akan terjadi atau untuk ketiga kalinya tokoh dari Partai Aceh akan mengalami hal yang sama ?

Penulis adalah aktivis organisasi kampus.

Sumber: AJNN.Net
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget