AMP – Beredarnya uang baru Rp 1000 dengan gambar Pahlawan Aceh Cut Nyak Meutia memicu debat di kalangan publik Aceh. Ada yang berpendapat, Cut Nyak Meutia memang tidak memakai jilbab, apalagi model jilbab seperti model sekarang ini. Sebaliknya, ada yang berpendapat bahwa perempuan Aceh khususnya dari kalangan pejuang sesungguhnya pribadi yang syar’i dan karenanya sudah pasti berjilbab atau berhijab sesuai ketentuan syar’i pula.
Bagi yang yakin bahwa Cut Nyak Meutia tidak berjilbab mengacu kepada dokumen-dokumen dan lukisan yang pernah ada, dan memang Cut Nyak Meutia tidak berjilbab. Beberapa foto yang dimiliki oleh Belanda dan kini bisa diakses oleh publik juga tidak berjilbab atau tidak menggunakan penutup kepala.
Sebaliknya, bagi yang yakin perempuan Aceh memakai penutup rambut atau jilbab, berargumen dokumen yang beredar bukanlah cermin perempuan Aceh. Itu bagian dari propaganda Belanda untuk merusak citra perempuan Aceh.
Tuanku Warul Waliddin, keturunan dari Sultan Aceh terakhir meyakini bahwa perempuan Aceh sesunguhnya, khususnya perempuan pahlawan dari keturunan bangsawan, adalah pribadi yang syar’i dan karenanya berhijab. Berikut pandangannya yang ditulis di dinding facebook:
“seorang Bangsawan sejatinya memiliki identitas diri yang membedakan antara dirinya dengan kelas dibawahnya (terutama Pada masa itu). cara bertutur kata hingga berbusana adalah menentukan siapa dirinya dan latar belakangnya. pada photo ini, Yang berdiri ditengah adalah Teungku Putro Gamba Gadeng bin Tuanku Abdul Madjid yang merupakan Permaisuri Sultan Alaidin Muhammad Daudsyah (Sultan Aceh Terakhir). Ibunda daripada Tuanku Raja Ibrahim. disamping kiri kanan beliau adalah para dedayang istana (lamiet). mengacu kepada trending topic mengenai kontroversi bagaimana seorang Cut Meutia dan Cut Nyak dhien yang notabene seorang keturunan bangsawan pada masanya seharusnya berbusana dapat dilihat pada photo ini. dayang berbusana tanpak rambut kepala meskipun badan tertutup rapi, dan seorang Permaisuri menutup aurat dari kepala hingga Ujung kaki. semoga memberi pencerahan.”
Bagi yang yakin bahwa Cut Nyak Meutia tidak berjilbab mengacu kepada dokumen-dokumen dan lukisan yang pernah ada, dan memang Cut Nyak Meutia tidak berjilbab. Beberapa foto yang dimiliki oleh Belanda dan kini bisa diakses oleh publik juga tidak berjilbab atau tidak menggunakan penutup kepala.
Sebaliknya, bagi yang yakin perempuan Aceh memakai penutup rambut atau jilbab, berargumen dokumen yang beredar bukanlah cermin perempuan Aceh. Itu bagian dari propaganda Belanda untuk merusak citra perempuan Aceh.
Tuanku Warul Waliddin, keturunan dari Sultan Aceh terakhir meyakini bahwa perempuan Aceh sesunguhnya, khususnya perempuan pahlawan dari keturunan bangsawan, adalah pribadi yang syar’i dan karenanya berhijab. Berikut pandangannya yang ditulis di dinding facebook:
“seorang Bangsawan sejatinya memiliki identitas diri yang membedakan antara dirinya dengan kelas dibawahnya (terutama Pada masa itu). cara bertutur kata hingga berbusana adalah menentukan siapa dirinya dan latar belakangnya. pada photo ini, Yang berdiri ditengah adalah Teungku Putro Gamba Gadeng bin Tuanku Abdul Madjid yang merupakan Permaisuri Sultan Alaidin Muhammad Daudsyah (Sultan Aceh Terakhir). Ibunda daripada Tuanku Raja Ibrahim. disamping kiri kanan beliau adalah para dedayang istana (lamiet). mengacu kepada trending topic mengenai kontroversi bagaimana seorang Cut Meutia dan Cut Nyak dhien yang notabene seorang keturunan bangsawan pada masanya seharusnya berbusana dapat dilihat pada photo ini. dayang berbusana tanpak rambut kepala meskipun badan tertutup rapi, dan seorang Permaisuri menutup aurat dari kepala hingga Ujung kaki. semoga memberi pencerahan.”
Sebelumnya, Warul Waliddin juga pernah menggalang gerakan menghijabkan perempuan pejuang Aceh yang selama ini selalu ditampilkan tanpa hijab. “Jangan pernah lagi gambar Cut Nyak Dhien dan para syuhada perempuan kita ditampilkan tanpa hijab, sebagaimana keyakinan mereka,” tandas Tuanku Warul Walidin sebagaimana pernah dilansir sejumlah media.
Menurut Warul Waliddin, perempuan pejuang dari kalangan bangsawan Aceh adalah perempuan yang memiliki pemahaman keagamaan yang kuat sehingga berani terjun berjuang. “Dengan bekal pemahaman keagamaan itu maka tidak mungkin jika perempuan Aceh mengabaikan pakaian yang syar’i, tidak masuk akal,” pungkasnya.
Tuanku Warul Walidin yang akrab disapa Raja Ubit itu menghimbau pemerintah untuk mau menggelar musyawarah terlebih dahulu manakala ingin menampilkan sosok pejuang Aceh khususnya pejuang perempuan. “Tidak berat untuk bertanya pada sejarawan Aceh dan pihak lainnya di Aceh agar hasilnya tidak malah melukai rakyat Aceh, atau menimbulkan konroversi sesama rakyat di Aceh,” pungkasnya. [*]
Menurut Warul Waliddin, perempuan pejuang dari kalangan bangsawan Aceh adalah perempuan yang memiliki pemahaman keagamaan yang kuat sehingga berani terjun berjuang. “Dengan bekal pemahaman keagamaan itu maka tidak mungkin jika perempuan Aceh mengabaikan pakaian yang syar’i, tidak masuk akal,” pungkasnya.
Tuanku Warul Walidin yang akrab disapa Raja Ubit itu menghimbau pemerintah untuk mau menggelar musyawarah terlebih dahulu manakala ingin menampilkan sosok pejuang Aceh khususnya pejuang perempuan. “Tidak berat untuk bertanya pada sejarawan Aceh dan pihak lainnya di Aceh agar hasilnya tidak malah melukai rakyat Aceh, atau menimbulkan konroversi sesama rakyat di Aceh,” pungkasnya. [*]
Sumber: acehtrend.co
loading...
Post a Comment