HARI sudah gelap ketika mobil yang kami tumpangi memasuki Desa Blang Sukon, Kemukiman Cubo, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya. Terletak di kawasan perbukitan, desa ini berjarak sekitar 10 kilometer arah selatan Luengputu, atau 35 kilometer dari Sigli, ibukota Kabupaten Pidie. Beberapa kali kami harus turun dari mobil karena bertemu jembatan kayu yang telah bolong-bolong. Bahaya betul kondisinya.
Hari itu, 23 Januari 2002. Berangkat dari Banda Aceh, kami menuju ke sana setelah mendapat kepastian jenazah Panglima GAM Teungku Abdullah Syafie akan dimakamkan di desa itu. Sebelumnya, sempat beredar kabar jenazah akan dimakamkan di kampung halamannya di Matangglumpang Dua, Bireuen.
Teungku Abdullah Syafie meninggal setelah tertembak dalam sebuah pertempuran di hutan Jim-jim, Pidie Jaya, 22 Januari 2002. Namun, jenazahnya tak langsung dievakuasi. Untuk memastikan yang tertembak adalah orang nomor satu dalam tubuh militer GAM, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan Brigjen TNI Djali Yusuf (sekarang sudah pensiun) berangkat ke lokasi menggunakan helikopter. Keesokan harinya, 23 Januari 2003, barulah dipastikan yang tertembak itu adalah Teungku Abdullah Syafie.
Setelah tanya sana-sini, akhirnya kami tiba di rumah duka. Kami adalah satu-satunya rombongan tamu di luar warga setempat. Hanya kami bertiga wartawan yang meliput di sana. Selain saya, ada Murizal Hamzah dan Ferdi Nazirun Sijabat dari tabloid mingguan Media Kutaraja. Bersama kami, ikut Adi Laweueng yang kini menjabat juru bicara Partai Aceh. Adi sekaligus berperan sebagai penunjuk jalan.
Saya tidak tahu pasti mengapa tidak ada wartawan lain yang hadir di sana. Namun beredar kabar, wartawan lain menunggu di Matangglumpag Dua. Sebab, sempat beredar kabar jenazah akan dimakamkan di tanah kelahiran Teungku Abdullah Syafie.
Dari luar rumah berdinding papan, lamat-lamat terdengar orang-orang sedang bersalawat, mendaras doa. Berdiri di mulut pintu, saya melihat ada empat jenazah terbaring di sana. Ada aroma amis menyebar. Kemungkinan lantaran jenazah sudah berumur dua hari. Seorang keluarga memberi tahu jenazah tidak dimandikan karena dianggap syahid di medan perang.
Ketika kami tiba dan memperkenalkan diri sebagai wartawan, selubung penutup wajah jenazah terbuka. Terlihatlah wajah Teungku Abdullah Syafie yang bagian rahangnya diikat ke atas. Di sampingnya, ada pula jenazah istri Teungku Lah, Cut Fatimah. Sementara dua lainnya adalah pengikut Abdullah Syafie, yakni Teungku Muhammad Ishak dan Daud Hasyim.
Beberapa wanita terlihat meratap, tak kuasa membendung tangis. Seorang warga memberitahu kami, sebelumnya ada tiga wanita yang pingsan karena syok.
Tokoh masyarakat setempat bersepakat mengubur jenazah Panglima GAM itu malam itu juga. Beberapa orang sedang menyiapkan liang kubur tepat di belakang rumah Teungku Lah.
Jarum jam telah menunjukkan pukul 03.00 WIB dinihari ketika jenazah diusung untuk dikuburkan. Di bagian depan, seorang lelaki memegang lampu petromaks sebagai penerang jalan. Selebihnya hanya kegelapan.
Keempat jenazah itu dikebumikan dalam satu liang lahat berukuran 3×2 meter.
“Tolong ambil timba, semua air harus dibuang,” ujar seorang lelaki meminta untuk menguras air yang memancar di dalam lubang yang baru saja digali.
“Tanah yang di ujung sana, digali sedikit lagi,” seorang lelaki lain menimpali.
Ketika dirasa sudah cukup kering, satu persatu keranda diturunkan ke liang kubur diiringi lantunan suara azan yang dikumandang seorang lelaki.
Prosesi penguburan berlangsung sederhana tanpa simbol-simbol GAM seperti bendera dan letusan senjata api sebagaimana lazimnya seorang panglima militer. Bahkan dari pengamatan di lapangan tidak ada petinggi GAM yang ikut menghadiri prosesi penguburan.
Menjelang subuh, prosesi penguburan selesai. Kami pun memutuskan rehat dan merebahkan badan di meunasah, tak jauh dari rumah duka.
Lahir di Desa Seneubokraya, Kecamatan Peusangan, Bireuen, Teungku Lah mengenyam pendidikan formal di Madrasah Aliyah Negeri Peusangan. Dari keluarganya diperoleh informasi Teungku Lah sekolahnya terhenti saat kelas tiga. Selanjutnya Teungku Lah belajar agama di dayah.
Selain petempur, Teungku Lah juga seniman teater. Ia pernah menjalani hidup sebagai pemain teater keliling bersama grup Jeumpa. Profesinya yang lain adalah penjual obat keliling.
“Saya belum pernah menemukan seorang pemimpin yang begitu dekat dan bisa bergaul dengan segala lapisan masyarakat,” ujar seorang pria separuh baya yang namanya tidak mau disebutkan.
Salwa, adik ipar Abdullah Syafi’i, sebelumnya sempat terjadi tarik menarik antara keluarga Abdullah Syafii dengan aparat keamanan. Menurut Salwa, pihak aparat ingin mengantarkan jenazah jenazah tersebut ke kampung asal Abdullah Syafi’i di Matang Glumpang Dua, Kabupaten Bireuen.
Sedangkan pihak keluarga istrinya menginginkan jenazah dikuburkan di desa Blang Sukon Cubo. “Semasa hidupnya Abang pernah mewasiatkan seandainya dia meninggal di medan perang agar jenazahnya dikuburkan dibelakang rumahnya,” ujar Salwa yang sempat pingsan sambil terisak-isak.
Sebelumnya jenazah Abdullah Syafii bersama istrinya yang sedang hamil enam bulan (calon putra pertama) dan lima orang pengikutnya sempat disemayamkan di RSU Sigli untuk diotopsi. Sekitar pukul 18.30 WIB pihak rumah sakit baru menyerahkan jenazah kepada keluarganya setelah mendapat izin dari Pangkolakops Brigjen TNI Djali Yusuf.
Saat itu, tak ada yang tahu bagaimana cerita detail yang menewaskan Teungku Abdullah Syafie. Namun, saat itu, muncul cerita sejumlah anggota TNI mencukur rambut sebagai tanda syukur telah berhasil menewaskan Teungku Lah.
Namun bagi sebagian masyarakat Aceh, meninggalnya Teungku Lah adalah duka nestapa. Maklum, semasa hidupnya Teungku Lah dikenal sebagai sosok yang humanis dan dekat dengan siapa saja. Ia pun tak segan-segan menghukum pasukannya jika ada yang bersikap semena-mena terhadap masyarakat.
Walhasil, Teungku Lah menuai simpati banyak pihak. Ketika kami bertandang ke markas Komando Distrik Militer 0102 Pidie sepulang dari pemakaman Teungku Lah, Dandim Letkol Infanteri Supartodi mengakui kelebihan Teungku Lah. “Beliau orang baik. Tapi karena ideologinya bertentangan, ia harus berhadapan dengan kami,” ujar Supartodi.
Dari Swedia, pimpinan GAM di pengasingan memutuskan mengangkat Muzakir Manaf menggantikan Abdullah Syafie sebagai Panglima GAM. Sebelumnya, Muzakir menjabat Panglima Operasi sekaligus Panglima GAM Wilayah Pasee yang mencakup seluruh Aceh Utara.
Tiga tahun setelah Teungku Lah tertembak, pimpinan GAM memutuskan berdamai dengan Pemerintah Indonesia. Perjanjian damai diteken pada 15 Agustus 2005. GAM menerima otonomi khusus dan membentuk
partai lokal dengan nama Partai Aceh.
*
Beberapa tahun setelah Teungku Lah meninggal, barulah salah satu pengikutnya berbicara kepada sebuah media tentang detik-detik pertempuran yang menewaskan Teungku Lah. Pria itu bernama Samsul Bahri alias Gegana. Ia adalah satu dari enam orang pengawal Teungku Lah.
Menurut Gegana, seminggu sebelum Teungku Abdullah Syafie tertembak, mereka mendapat kabar dari anggota TNI bahwa lokasi persembunyian Teungku Lah telah terdeteksi. Lewat adik perempuannya, anggota TNI yang simpati kepada Teungku Lah berpesan agar Teungku Lah menyingkir ke tempat lain.
Mendapat kabar itu, kata Gegana, Teungku Lah meminta pengawalnya untuk pergi menjauh, menyelamatkan nyawa masing-masing. Apalagi, saat itu sedang bulan puasa.
“Peu gata sanggop tadeong sajan lon (apa kalian sanggup bertahan bersama saya)?” begitu kata Tengku Lah seperti ditirukan Gegana.
“Demi perjuangan, nyawong lon tem bie (demi perjuangan, nyawa saya berikan),” jawab Gegana mengenang.
Menurut Gegana, beberapa hari sebelum pertempuran maut terjadi, Teungku Lah dan pasukannya sudah berhadapan langsung dengan TNI. Gegana ingat benar kejadiannya. Hari itu, sekitar pukul 03.00 dinihari, Teungku Lah bangun memasak nasi untuk sahur. Sementara pasukannya sedang terlelap. Ketika masakan telah siap, barulah Teungku Lah membangunkan pasukannya untuk sahur.
Pukul tujuh pagi, Gegana melihat seekor kucing berlari ke arah kamp mereka. Terdengar pula suara kokok ayam hutan. Firasat Gegana mengatakan ada sesuatu yang tak beres.
Benar saja, lamat-lamat ia mendengar suara orang berbicara,”ada bau ikan asin dan jejak baru.” Belakangan ia tahu, itu adalah percakapan pasukan TNI yang sedang mencari jejak mereka.
Dengan mengendap-endap, Gegana memberitahukan keberadaan mereka kepada Teungku Lah yang kemudian turun untuk mengecek kebenarannya. Sebelumnya, ia menitipkan dua pucuk senjata jenis pistol dan AK-56 kepada Gegana.
Saat itulah Teungku Lah berhadap-hadapan dengan pasukan TNI. Jarak mereka, kata Gegana, hanya sekitar sepuluh langkah. Namun Teungku Lah berhasil lari kembali ke kamp untuk mengambil senjata. Anehnya, kata Gegana, senjata anggota TNI tak meledak. “Itulah kuasa Allah,” katanya.
Saat itu kata Gegana, Teungku Lah sempat bertekad berperang terbuka dengan TNI. “Doeng, kuneuk peu abeh mandum (berhenti, akan saya habisi mereka semua),” kata Teungku Lah.
Namun, Cut Fatimah, istrinya yang dikabarkan sedang hamil, melarang Teungku Lah berperang. “Bek neu meuprang, lon hana sehat (jangan berperang, saya sedang tidak sehat).”
Teungku Lah menuruti permintaan istrinya. Ia pun menghindar. Sementara Gegana dan pasukan pengawal lainnya menghadang langkah TNI dengan melepas tembakan. Itulah pertemuan terakhir Gegana degan Teungku Lah. Mereka kemudian terpencar. Gegana berhasil meloloskan diri.
Kesaksian lain disampaikan oleh Abu Bakar Ubit, alumni GAM Libya yang kemudian menjabat Wakil Ketua DPRK Pidie Jaya. Abu Bakar berkisah, pada 21 Januari 2002, di pegunungan antara Jim-jim dan Cubo, seribuan TNI telah merayap di perbukitan itu. Abu Bakar sendiri saat itu berada di sana, meski tidak persis di samping Tengku Lah.
Setelah menghindar dari pertempuran sebelumnya, kata Abu Bakar, Tengku Lah dan pasukannya tiba di pegunungan Alue Mon, di atas Gampong Cubo. Malam itu mereka bermalam di sana. Kondisi pasukan yang kalah banyak, membuat mereka memilih menghindar.
Pada hari naas itu, 22 Januari 2002, perang besar pecah. “Dari poh lapan beungoh sampoe seupot baro reuda (Dari pukul delapan pagi sampai sore baru reda),” kenang Abu Bakar.
Abu Bakar berhasil lolos setelah berhasil menyelinap di antara dedaunan. Sementara Teungku Lah menghembuskan nafas terakhir dengan sebuah luka tembak di dada. Entah senjata apa yang mendarat di tubuhnya. Yang jelas, dari sebuah foto yang dirilis TNI, ada lubang sebesar kepalan tangan orang dewasa di dada kirinya. “Saya baru tahu Teungku Lah tertembak setelah empat hari kemudian,” kata Abu Bakar.
Pengalaman lain dikisahkan oleh Jalaluddin, salah satu pengawal Teungku Abdullah Syafie. Saat pertempuran terjadi, Jala berada di sampingnya.
Dalam pertempuran pada 22 Januari, sebutir peluru TNI mengoyak kaki Jala, nama panggilan Jalaluddin. Peluru itu, kata dia, berasal dari pasukan TNI dari Ton-2 Kompi Yonif Linud 330 pimpinan Serka I Ketut Muliastra.
Melihat kakinya berdarah-darah, Jala menjerit. Teungku Lah lalu mengeluarkan peluru sambil membubuhkan air liur pada luka kaki Jala. “Bèk moe lé (Jangan menangis lagi),” kata Teungku Lah.
Jala merasakan kondisinya membaik. Ia kembali bertempur, melepas tembakan ke arah pasukan TNI. Aksi Jala terhenti ketika melihat Teungku Lah tertembak. Jala sempat berniat memapahnya. Namun, Teungku Lah melarang.
“Bèk. Nyoe ka trôh nyang lôn lakèe, ka troh watèe nyang lôn prèh-prèh (Jangan. Kini sudah tiba waktu yang saya tunggu-tunggu),”
Dalam kondisi sekarat, Teungku Lah memerintahkan Jala segera lari menyelamatkan diri. Jala menolak, ia tidak ingin meninggalkan panglimanya. Teungku Lah kembali memerintahkan Jala untuk kabur. Jala akhirnya menurut.
“Saat lari, Jala menemukan sebuah sumur. Dia masuk ke sumur itu, lalu menutup sumur dengan tumpukan jerami,” kata Puteh binti Abbas,73 tahun, ketika ditemui AtjehPost.Com di Desa Blang Sukon, Kemukiman Cubo, Kamis 1 September 2011.
Cerita Puteh Abbas serupa dengan Nek Teh. Beliau adalah mertua Teungku Lah. Ia mendengar cerita itu langsung dari mulut Jala tak lama setelah kejadian itu. Jala selamat setelah masuk ke sumur, sedangkan Teungku Lah, meninggal di lokasi pertempuran.
“Anak saya, Fatimah (istri Teungku Lah) yang sedang hamil tujuh bulan, bersama para pengawal Teungku Lah juga tertembak dalam kejadian itu, mereka meninggal. Hanya dua orang yang selamat, salah satunya, Jala,” kata Nek Teh.
Usman Basyah, warga Desa Blang Sukon, punya kenangan lain tentang Teungku Lah.
“Suatu waktu, saat Teungku Lah masih hidup, pernah ada yang minta untuk membangun rumah beliau, rumah besar. Tapi beliau menolak,” kata Usman Basyah kepada Irmansyah dari Atjehpost.Com.
Kata Usman, ketika itu Teungku Lah dengan tegas menyatakan, “nye mantong na rumoh ureung gampong nyang hana layak tinggai, bek peugot rumoh meugah keu lon (kalau masih ada rumah warga desa yang tidak layak huni, jangan bangun rumah megah untuk saya)”.
Makanya, kata Usman, sampai meninggal, rumah Teungku Lahmasih berkonstruksi alakadar. Jauh dari kesan mewah.
Semasa memimpin perang gerilya, Teungku Lah juga banyak menerima kedatangan pihak-pihak yang membawa uang berlimpah. “Teungku Lah langsung bertanya, uang itu untuk siapa”. Yang membawa uang menjawab, “uang untuk nanggroe”.
Mendengar itu, Teungku Lah menyatakan, “kalau untuk nanggroe (biaya perjuangan GAM) jangan kasih ke saya, serahkan kepada yang berhak pegang uang itu”.
“Begitulah sifat Teungku Lah, beliau tidak mau menerima yang bukan haknya,” kata Usman Basyah.
Dalam pandangan Usman Basyah, Abdullah Syafie betul-betul seorang panglima, pemimpin yang memberi contoh teladan kepada pasukannya. Juga sangat peduli dengan nasib masyarakat miskin, persis seperti yang dulu dicita-citakan untuk membawa Aceh lebih sejahtera.
Setelah 14 tahun berlalu, adakah sifat Teungku Lah itu diwarisi oleh mantan GAM lain setelah sebagian dari mereka kini menjadi pejabat ACHEH.
Tanda djaroe - Sumber: Central commando ACHEH MERDEKA
Hari itu, 23 Januari 2002. Berangkat dari Banda Aceh, kami menuju ke sana setelah mendapat kepastian jenazah Panglima GAM Teungku Abdullah Syafie akan dimakamkan di desa itu. Sebelumnya, sempat beredar kabar jenazah akan dimakamkan di kampung halamannya di Matangglumpang Dua, Bireuen.
Teungku Abdullah Syafie meninggal setelah tertembak dalam sebuah pertempuran di hutan Jim-jim, Pidie Jaya, 22 Januari 2002. Namun, jenazahnya tak langsung dievakuasi. Untuk memastikan yang tertembak adalah orang nomor satu dalam tubuh militer GAM, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan Brigjen TNI Djali Yusuf (sekarang sudah pensiun) berangkat ke lokasi menggunakan helikopter. Keesokan harinya, 23 Januari 2003, barulah dipastikan yang tertembak itu adalah Teungku Abdullah Syafie.
Setelah tanya sana-sini, akhirnya kami tiba di rumah duka. Kami adalah satu-satunya rombongan tamu di luar warga setempat. Hanya kami bertiga wartawan yang meliput di sana. Selain saya, ada Murizal Hamzah dan Ferdi Nazirun Sijabat dari tabloid mingguan Media Kutaraja. Bersama kami, ikut Adi Laweueng yang kini menjabat juru bicara Partai Aceh. Adi sekaligus berperan sebagai penunjuk jalan.
Saya tidak tahu pasti mengapa tidak ada wartawan lain yang hadir di sana. Namun beredar kabar, wartawan lain menunggu di Matangglumpag Dua. Sebab, sempat beredar kabar jenazah akan dimakamkan di tanah kelahiran Teungku Abdullah Syafie.
Dari luar rumah berdinding papan, lamat-lamat terdengar orang-orang sedang bersalawat, mendaras doa. Berdiri di mulut pintu, saya melihat ada empat jenazah terbaring di sana. Ada aroma amis menyebar. Kemungkinan lantaran jenazah sudah berumur dua hari. Seorang keluarga memberi tahu jenazah tidak dimandikan karena dianggap syahid di medan perang.
Ketika kami tiba dan memperkenalkan diri sebagai wartawan, selubung penutup wajah jenazah terbuka. Terlihatlah wajah Teungku Abdullah Syafie yang bagian rahangnya diikat ke atas. Di sampingnya, ada pula jenazah istri Teungku Lah, Cut Fatimah. Sementara dua lainnya adalah pengikut Abdullah Syafie, yakni Teungku Muhammad Ishak dan Daud Hasyim.
Beberapa wanita terlihat meratap, tak kuasa membendung tangis. Seorang warga memberitahu kami, sebelumnya ada tiga wanita yang pingsan karena syok.
Tokoh masyarakat setempat bersepakat mengubur jenazah Panglima GAM itu malam itu juga. Beberapa orang sedang menyiapkan liang kubur tepat di belakang rumah Teungku Lah.
Jarum jam telah menunjukkan pukul 03.00 WIB dinihari ketika jenazah diusung untuk dikuburkan. Di bagian depan, seorang lelaki memegang lampu petromaks sebagai penerang jalan. Selebihnya hanya kegelapan.
Keempat jenazah itu dikebumikan dalam satu liang lahat berukuran 3×2 meter.
“Tolong ambil timba, semua air harus dibuang,” ujar seorang lelaki meminta untuk menguras air yang memancar di dalam lubang yang baru saja digali.
“Tanah yang di ujung sana, digali sedikit lagi,” seorang lelaki lain menimpali.
Ketika dirasa sudah cukup kering, satu persatu keranda diturunkan ke liang kubur diiringi lantunan suara azan yang dikumandang seorang lelaki.
Prosesi penguburan berlangsung sederhana tanpa simbol-simbol GAM seperti bendera dan letusan senjata api sebagaimana lazimnya seorang panglima militer. Bahkan dari pengamatan di lapangan tidak ada petinggi GAM yang ikut menghadiri prosesi penguburan.
Menjelang subuh, prosesi penguburan selesai. Kami pun memutuskan rehat dan merebahkan badan di meunasah, tak jauh dari rumah duka.
Lahir di Desa Seneubokraya, Kecamatan Peusangan, Bireuen, Teungku Lah mengenyam pendidikan formal di Madrasah Aliyah Negeri Peusangan. Dari keluarganya diperoleh informasi Teungku Lah sekolahnya terhenti saat kelas tiga. Selanjutnya Teungku Lah belajar agama di dayah.
Selain petempur, Teungku Lah juga seniman teater. Ia pernah menjalani hidup sebagai pemain teater keliling bersama grup Jeumpa. Profesinya yang lain adalah penjual obat keliling.
“Saya belum pernah menemukan seorang pemimpin yang begitu dekat dan bisa bergaul dengan segala lapisan masyarakat,” ujar seorang pria separuh baya yang namanya tidak mau disebutkan.
Salwa, adik ipar Abdullah Syafi’i, sebelumnya sempat terjadi tarik menarik antara keluarga Abdullah Syafii dengan aparat keamanan. Menurut Salwa, pihak aparat ingin mengantarkan jenazah jenazah tersebut ke kampung asal Abdullah Syafi’i di Matang Glumpang Dua, Kabupaten Bireuen.
Sedangkan pihak keluarga istrinya menginginkan jenazah dikuburkan di desa Blang Sukon Cubo. “Semasa hidupnya Abang pernah mewasiatkan seandainya dia meninggal di medan perang agar jenazahnya dikuburkan dibelakang rumahnya,” ujar Salwa yang sempat pingsan sambil terisak-isak.
Sebelumnya jenazah Abdullah Syafii bersama istrinya yang sedang hamil enam bulan (calon putra pertama) dan lima orang pengikutnya sempat disemayamkan di RSU Sigli untuk diotopsi. Sekitar pukul 18.30 WIB pihak rumah sakit baru menyerahkan jenazah kepada keluarganya setelah mendapat izin dari Pangkolakops Brigjen TNI Djali Yusuf.
Saat itu, tak ada yang tahu bagaimana cerita detail yang menewaskan Teungku Abdullah Syafie. Namun, saat itu, muncul cerita sejumlah anggota TNI mencukur rambut sebagai tanda syukur telah berhasil menewaskan Teungku Lah.
Namun bagi sebagian masyarakat Aceh, meninggalnya Teungku Lah adalah duka nestapa. Maklum, semasa hidupnya Teungku Lah dikenal sebagai sosok yang humanis dan dekat dengan siapa saja. Ia pun tak segan-segan menghukum pasukannya jika ada yang bersikap semena-mena terhadap masyarakat.
Walhasil, Teungku Lah menuai simpati banyak pihak. Ketika kami bertandang ke markas Komando Distrik Militer 0102 Pidie sepulang dari pemakaman Teungku Lah, Dandim Letkol Infanteri Supartodi mengakui kelebihan Teungku Lah. “Beliau orang baik. Tapi karena ideologinya bertentangan, ia harus berhadapan dengan kami,” ujar Supartodi.
Dari Swedia, pimpinan GAM di pengasingan memutuskan mengangkat Muzakir Manaf menggantikan Abdullah Syafie sebagai Panglima GAM. Sebelumnya, Muzakir menjabat Panglima Operasi sekaligus Panglima GAM Wilayah Pasee yang mencakup seluruh Aceh Utara.
Tiga tahun setelah Teungku Lah tertembak, pimpinan GAM memutuskan berdamai dengan Pemerintah Indonesia. Perjanjian damai diteken pada 15 Agustus 2005. GAM menerima otonomi khusus dan membentuk
partai lokal dengan nama Partai Aceh.
*
Beberapa tahun setelah Teungku Lah meninggal, barulah salah satu pengikutnya berbicara kepada sebuah media tentang detik-detik pertempuran yang menewaskan Teungku Lah. Pria itu bernama Samsul Bahri alias Gegana. Ia adalah satu dari enam orang pengawal Teungku Lah.
Menurut Gegana, seminggu sebelum Teungku Abdullah Syafie tertembak, mereka mendapat kabar dari anggota TNI bahwa lokasi persembunyian Teungku Lah telah terdeteksi. Lewat adik perempuannya, anggota TNI yang simpati kepada Teungku Lah berpesan agar Teungku Lah menyingkir ke tempat lain.
Mendapat kabar itu, kata Gegana, Teungku Lah meminta pengawalnya untuk pergi menjauh, menyelamatkan nyawa masing-masing. Apalagi, saat itu sedang bulan puasa.
“Peu gata sanggop tadeong sajan lon (apa kalian sanggup bertahan bersama saya)?” begitu kata Tengku Lah seperti ditirukan Gegana.
“Demi perjuangan, nyawong lon tem bie (demi perjuangan, nyawa saya berikan),” jawab Gegana mengenang.
Menurut Gegana, beberapa hari sebelum pertempuran maut terjadi, Teungku Lah dan pasukannya sudah berhadapan langsung dengan TNI. Gegana ingat benar kejadiannya. Hari itu, sekitar pukul 03.00 dinihari, Teungku Lah bangun memasak nasi untuk sahur. Sementara pasukannya sedang terlelap. Ketika masakan telah siap, barulah Teungku Lah membangunkan pasukannya untuk sahur.
Pukul tujuh pagi, Gegana melihat seekor kucing berlari ke arah kamp mereka. Terdengar pula suara kokok ayam hutan. Firasat Gegana mengatakan ada sesuatu yang tak beres.
Benar saja, lamat-lamat ia mendengar suara orang berbicara,”ada bau ikan asin dan jejak baru.” Belakangan ia tahu, itu adalah percakapan pasukan TNI yang sedang mencari jejak mereka.
Dengan mengendap-endap, Gegana memberitahukan keberadaan mereka kepada Teungku Lah yang kemudian turun untuk mengecek kebenarannya. Sebelumnya, ia menitipkan dua pucuk senjata jenis pistol dan AK-56 kepada Gegana.
Saat itulah Teungku Lah berhadap-hadapan dengan pasukan TNI. Jarak mereka, kata Gegana, hanya sekitar sepuluh langkah. Namun Teungku Lah berhasil lari kembali ke kamp untuk mengambil senjata. Anehnya, kata Gegana, senjata anggota TNI tak meledak. “Itulah kuasa Allah,” katanya.
Saat itu kata Gegana, Teungku Lah sempat bertekad berperang terbuka dengan TNI. “Doeng, kuneuk peu abeh mandum (berhenti, akan saya habisi mereka semua),” kata Teungku Lah.
Namun, Cut Fatimah, istrinya yang dikabarkan sedang hamil, melarang Teungku Lah berperang. “Bek neu meuprang, lon hana sehat (jangan berperang, saya sedang tidak sehat).”
Teungku Lah menuruti permintaan istrinya. Ia pun menghindar. Sementara Gegana dan pasukan pengawal lainnya menghadang langkah TNI dengan melepas tembakan. Itulah pertemuan terakhir Gegana degan Teungku Lah. Mereka kemudian terpencar. Gegana berhasil meloloskan diri.
Kesaksian lain disampaikan oleh Abu Bakar Ubit, alumni GAM Libya yang kemudian menjabat Wakil Ketua DPRK Pidie Jaya. Abu Bakar berkisah, pada 21 Januari 2002, di pegunungan antara Jim-jim dan Cubo, seribuan TNI telah merayap di perbukitan itu. Abu Bakar sendiri saat itu berada di sana, meski tidak persis di samping Tengku Lah.
Setelah menghindar dari pertempuran sebelumnya, kata Abu Bakar, Tengku Lah dan pasukannya tiba di pegunungan Alue Mon, di atas Gampong Cubo. Malam itu mereka bermalam di sana. Kondisi pasukan yang kalah banyak, membuat mereka memilih menghindar.
Pada hari naas itu, 22 Januari 2002, perang besar pecah. “Dari poh lapan beungoh sampoe seupot baro reuda (Dari pukul delapan pagi sampai sore baru reda),” kenang Abu Bakar.
Abu Bakar berhasil lolos setelah berhasil menyelinap di antara dedaunan. Sementara Teungku Lah menghembuskan nafas terakhir dengan sebuah luka tembak di dada. Entah senjata apa yang mendarat di tubuhnya. Yang jelas, dari sebuah foto yang dirilis TNI, ada lubang sebesar kepalan tangan orang dewasa di dada kirinya. “Saya baru tahu Teungku Lah tertembak setelah empat hari kemudian,” kata Abu Bakar.
Pengalaman lain dikisahkan oleh Jalaluddin, salah satu pengawal Teungku Abdullah Syafie. Saat pertempuran terjadi, Jala berada di sampingnya.
Dalam pertempuran pada 22 Januari, sebutir peluru TNI mengoyak kaki Jala, nama panggilan Jalaluddin. Peluru itu, kata dia, berasal dari pasukan TNI dari Ton-2 Kompi Yonif Linud 330 pimpinan Serka I Ketut Muliastra.
Melihat kakinya berdarah-darah, Jala menjerit. Teungku Lah lalu mengeluarkan peluru sambil membubuhkan air liur pada luka kaki Jala. “Bèk moe lé (Jangan menangis lagi),” kata Teungku Lah.
Jala merasakan kondisinya membaik. Ia kembali bertempur, melepas tembakan ke arah pasukan TNI. Aksi Jala terhenti ketika melihat Teungku Lah tertembak. Jala sempat berniat memapahnya. Namun, Teungku Lah melarang.
“Bèk. Nyoe ka trôh nyang lôn lakèe, ka troh watèe nyang lôn prèh-prèh (Jangan. Kini sudah tiba waktu yang saya tunggu-tunggu),”
Dalam kondisi sekarat, Teungku Lah memerintahkan Jala segera lari menyelamatkan diri. Jala menolak, ia tidak ingin meninggalkan panglimanya. Teungku Lah kembali memerintahkan Jala untuk kabur. Jala akhirnya menurut.
“Saat lari, Jala menemukan sebuah sumur. Dia masuk ke sumur itu, lalu menutup sumur dengan tumpukan jerami,” kata Puteh binti Abbas,73 tahun, ketika ditemui AtjehPost.Com di Desa Blang Sukon, Kemukiman Cubo, Kamis 1 September 2011.
Cerita Puteh Abbas serupa dengan Nek Teh. Beliau adalah mertua Teungku Lah. Ia mendengar cerita itu langsung dari mulut Jala tak lama setelah kejadian itu. Jala selamat setelah masuk ke sumur, sedangkan Teungku Lah, meninggal di lokasi pertempuran.
“Anak saya, Fatimah (istri Teungku Lah) yang sedang hamil tujuh bulan, bersama para pengawal Teungku Lah juga tertembak dalam kejadian itu, mereka meninggal. Hanya dua orang yang selamat, salah satunya, Jala,” kata Nek Teh.
Usman Basyah, warga Desa Blang Sukon, punya kenangan lain tentang Teungku Lah.
“Suatu waktu, saat Teungku Lah masih hidup, pernah ada yang minta untuk membangun rumah beliau, rumah besar. Tapi beliau menolak,” kata Usman Basyah kepada Irmansyah dari Atjehpost.Com.
Kata Usman, ketika itu Teungku Lah dengan tegas menyatakan, “nye mantong na rumoh ureung gampong nyang hana layak tinggai, bek peugot rumoh meugah keu lon (kalau masih ada rumah warga desa yang tidak layak huni, jangan bangun rumah megah untuk saya)”.
Makanya, kata Usman, sampai meninggal, rumah Teungku Lahmasih berkonstruksi alakadar. Jauh dari kesan mewah.
Semasa memimpin perang gerilya, Teungku Lah juga banyak menerima kedatangan pihak-pihak yang membawa uang berlimpah. “Teungku Lah langsung bertanya, uang itu untuk siapa”. Yang membawa uang menjawab, “uang untuk nanggroe”.
Mendengar itu, Teungku Lah menyatakan, “kalau untuk nanggroe (biaya perjuangan GAM) jangan kasih ke saya, serahkan kepada yang berhak pegang uang itu”.
“Begitulah sifat Teungku Lah, beliau tidak mau menerima yang bukan haknya,” kata Usman Basyah.
Dalam pandangan Usman Basyah, Abdullah Syafie betul-betul seorang panglima, pemimpin yang memberi contoh teladan kepada pasukannya. Juga sangat peduli dengan nasib masyarakat miskin, persis seperti yang dulu dicita-citakan untuk membawa Aceh lebih sejahtera.
Setelah 14 tahun berlalu, adakah sifat Teungku Lah itu diwarisi oleh mantan GAM lain setelah sebagian dari mereka kini menjadi pejabat ACHEH.
Tanda djaroe - Sumber: Central commando ACHEH MERDEKA
loading...
Post a Comment