Halloween Costume ideas 2015
loading...

Politik Ulama dan Ulama Berpolitik

Mufti Besar Ukraina, Sheikh Akhmed Tamim (kanan) berbincang dengan Ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) yang baru terpilih, Tgk Hasanoel Bashry HG (dua kanan) dan mantan Ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Tgk Nuruzzahri atau Waled NU (kanan) usai acara Zikir Akbar, Istighasah dan Tausyiah di Dayah Thalibul Huda, Desa Bayu-Lamcot, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar, Minggu (1/12).
Oleh Nuruzzahri

POLITIK menjadi sebuah perkara yang mendorong banyak orang untuk memberikan perhatian padanya dewasa ini. Jika angin politik berhembus, semua telinga ingin mendengarnya dan semua mulut ingin berkomentar. Permasalahan politik sudah dianggap satu hal yang urgen dalam kehidupan, maka di manapun dan kapanpun orang siap mendiskusikannya; di kantor, warung kopi, bahkan di masjid sekalipun.

Sayangnya, politik sering dipahami hanya sebatas alat untuk meraih jabatan di pemerintahan. Sehingga apabila ada tokoh-tokoh agama yang berpolitik dianggap tidak wajar. Padahal politik itu sangat luas maknanya. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu berpolitik; seorang penjual grosiran, dia akan berpolitik bagaimana dagangannya banyak laku, yang disebut dengan politik ekonomi.

Seorang kepala keluarga yang keluar rumah mencari kebutuhan keluarga, dia juga berpolitik bagaimana caranya kebutuhan keluarga terpenuhi. Seorang redaktur instansi pendidikan dia akan berpikir bagaimana caranya agar tempat belajarnya banyak diminati orang, yang disebut dengan politik pendidikan.

Seorang ulama, ketika mendapatkan sebuah permasalahan keliru yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat di suatu tempat, ia ingin membenarkannya, maka ia berpikir bagaimana caranya agar apa yang ia sampaikan nanti dipercaya oleh mereka disebut dengan politik syariat (siyasah syar’iyah). Dalam Islam ulama memegang peran penting dalam mensejahterakan manusia. Ulama diharapkan mampu menyusun konsep-konsep menuju kebahagiaan dunia akhirat yang kemudian pemerintah menyuruh rakyat untuk mengaplikasikannya.

Semua konsep-konsep yang disusun para ulama itu disebut dengan politik ulama. Namun apabila konsep-konsep itu para ulama ingin menerapkan sendiri dalam kehidupan masyarakat, yang mengharuskan dia mendapatkan jabatan penting dalam pemerintahan, disebut dengan ulama berpolitik.

Islam merupakan sebuah agama yang mengatur semua aspek kehidupan manusia. Islam tidak hanya mengatur hubungan hamba dengan Rab-nya, tapi juga mengatur hubungan sesama manusia. Apapun masalah yang dihadapi manusia baik yang berkaitan dengan dunia atau akhirat mereka, Alquran dan hadis menjadi pedoman bagi kehidupannya. Karena itu Rasulullah saw dalam sebuah hadis menegaskan: “Aku tinggalkan untukmu dua perkara, siapa saja yang berpegan teguh pada keduanya maka tak akan sesat selama-lamanya, yaitu Alquran dan Hadis.”

Beragam solusi
Dalam Alquran dan Hadis terdapat beragam solusi untuk mewujudkan kebahagian, ketentraman, dan kesejateraan dalam kehidupan. Baik kebahagian di dunia maupun kebahagiaan di akhirat. Akan tetapi tidak semua orang mampu menggali pesan dalam Alquran dan hadis yang masih bersifat konsep, maka butuh kepada para ulama. Merekalah yang mampu menguak makna-makna tersirat (implisit) dalam setiap ayat Alquran. Merekalah yang mengorbitkan hukum, cara hidup yang baik berdasarkan tuntunan Alquran dan hadis tadi.

Tugas ulama bukan hanya sekedar memahami dan menggali pesan-pesan yang dikandung dalam Alquran dan hadis. Tapi juga memikirkan bagaimana sebuah hukum bisa teraplikasi dalam sebuah komunitas masyarakat. Bagaimana cara menerapkan sebuah hukum yang akan berat diterima oleh sebuah masyarakat yang masih jauh dari agama atau baru masuk Islam. Yang semua ini dinamakan dengan politik ulama dalam mensejahterakan kehidupan manusia.

Ketika sekelompok manusia berkelahi atau bertikai kerena sebuah permasalahan yang mereka hadapi, atau karena satu hal yang sedang mereka perebutkan, di sini para ulama berperan sebagai pemberi solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi umat. Solusi yang dipikirkan ulama untuk membuat dua kelompok yang sedang ribut tadi agar berdamai dinamakan dengan politik ulama.




Jika ditamsilkan roda pemerintahan dengan sebuah mobil, maka para ulama bertindak sebagai pengontrol mobil agar selalu berjalan sesuai dengan arah tujuan. Jika mobil terlalu kencang dijalankan, para ulama menyuruh dibawa pelan-pelan. Jika mobil tersebut diberhentikan bukan pada saat yang diperlukan, para ulama menyuruh sopir untuk dijalankan mobil itu. Dengan kata lain, peran ulama adalah menciptakan kemaslahatan dalam kehidupan menusia.

Imam Asy-Syatibi tatkala berbicara tentang maqasith syariah, beliau mengatakan: “Setiap hukum yang dibebankan Allah Swt kepada manusia tidak sunyi dalam maslahah, di mana sifatnya ada yang zharuriyat (primer), hajiyyat (sekunder), dan tahsiniyat (tersier).” Maslahat yang sifatnya primer ada lima; menjaga jiwa, agama, harga diri, keturunan, dan harta. Maslahat zharuriyat ini harus didahulukan di atas maslahat yang sifatnya hajiyat dan tahsiniyat.

Uraian Imam Asy-Syatibi di atas dengan jelas dapat dilihat bagaimana politik ulama dalam mewujudkan kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Kesejahteraan tidak akan terwujud dalam kehidupan ini jika para manusia tidak lagi mendahulukan kebutuhan primer mereka di atas kebutuhan yang lainnya. Dengan kata lain, jika jiwa, agama, akal, harga diri, dan harta tidak dipelihara maka kehidupan manusia tidak akan sejahtera.

Dengan demikian, Islam ini bukan cuma mengatur tentang shalat, puasa, haji, dan zakat semata-mata! Bukan hanya mengatur huubungan manusia dengan Tuhannya. Tapi Islam juga hadir dalam setiap lini kehidupan manusia. Hatta dalam permasalahan politik sendiri Islam menganjurkan untuk berpolitik dengan cara yang bersih, tidak ada intimidasi, dan sogok-menyogok. Agar intimidasi, penipuan, dan sogok-menyogok tidak terjadi dalam dunia politik, para ulama merumuskan solusi-solusinya, yang semuanya dinamakan dengan politik ulama.

Ulama berpolitik berarti para ulama atau tokoh-tokoh agama terjun langsung dalam politik praktis dengan menjadikan agama sebagai mesin politiknya. Menjadikan agama sebagai mesin politik merupakan perbuatan tercela. Mencintai jabatan termasuk kepala kejahatan (ra’sul khatiah). Karena Rasulullah saw ketika tampil di tengah-tengah masyarakat Arab jahiliah dulu, tidak pernah menandaskan dirinya sebagai tokoh politik atau ikon perubahan.

Apa peran ulama?
Dekadensi akhlak yang menjamah masyarakat Aceh, khususnya para remaja, tersebarnya maksiat di mana-mana menjadi sebuah motivasi bagi tokoh-tokoh agama untuk mencalonkan diri menjadi penguasa. Tujuannya sangat baik, yaitu untuk memperbaiki akhlak masyarakat, remaja, serta melumpuhkan fondasi-fondasi maksiat yang sedang berdiri angkuh di negeri Serambi Mekkah ini.

Namun demikian, sebelum menggerakkan kakinya meraih jabatan di pemerintahan, ada baiknya kita pahami dulu apa peran ulama dalam kehidupan masyarakat. Apakah sebagai konseptor atau pelaksana (legislator) setiap UU Tuhan agar dilakukan masyarakat? Berkenaan dengan ini, Imam Asy-Syafi’i berkata: “Fakih (ulama) adalah yang mengerti lingkungan dan keadaan di sekitarnya. Sedangkan pemimpin adalah yang menindak dengan perbuatannya.”

Berdasarkan ungkapan Imam Asy-Syafi’i di atas dapat dipahami bahwa fakih mengerti keadaan di sekitarnya, apa pun yang terjadi dia tahu solusinya. Tapi dia tidak boleh bertindak langsung terhadap masalah yang dihadapi masyarakat dengan kekuatannya. Sementara pemimpin ialah orang-orang yang menjalankan konsep yang diberikan para ulama dengan kekuatannya. Karena dia punya kekuasaan.

Dalam agama Islam, antara fakih (ulama) dengan rais (pemimpin) sangat erat hubungannya. Tidak boleh dipisahkan. Ulama harus selalu berada di samping pemimpin; menegur ketika salah, melesakkan motivasi ketika gundah, dan memberikan solusi terhadap masalah yang dihadapinya. Karena itu, hendaknya para ulama atau tokoh-tokoh agama menjadi penasihat pemimpin saja dengan membuat konsep-konsep demi kemaslahatan umat.

Tujuan yang ingin diraih oleh tokoh-tokoh agama terjun ke dunia politik praktis untuk memperbaiki umat memang harus diapresiasikan. Tapi perubahan yang didapatkan dengan menjadi penasihat pemimpin jauh lebih besar, dari pada dia melibatkan dirinya langsung menjadi pemimpin. Hal ini dikarenakan untuk mengubah masyarakat (agent of change) bukan cuma ilmu agama yang dibutuhkan, tapi juga harus mempunyai kemampuan membuat sistem pemerintahan yang islami.



Jika tidak ada kemampuan dan tidak mampu merubah sistem, maka segala masukan dan ide-ide cemerlang yang disampaikan hanya diamini oleh satu dua orang yang dekat dengan kita. Akhirnya ide-ide itupun tak akan terlaksana. Sementara sistem-sitem tersebut sangat tergantung dengan pemerintahan pusat (presiden). Jika pemerintah pusat tidak mengizinkan, maka ide-ide menuju perubahan tadi pun tak teraplikasikan.

Karena itu, tatkala hijrah kedua ke Madinah Munawwarah, Rasulullah Saw ditanya oleh para sahabat tentang jihad yang paling baik. Rasulullah Saw menjawab bahwa jihad yang paling baik adalah qaulul hakki ‘idda sulthanil jaair (perkataan yang benar kepada penguasa yang zalim). Dengan menasihati pemerintah, banyak lorong-lorong keburukan akan tertutup dan diganti dengan lorong-lorong kebaikan.

Tampuk kekuasaan memang bukan wazifah-nya ulama. Melihat kepada akhlak dan kehidupan masyarakat Islam dan Aceh khususnya seperti hari ini, para ulama belum saatnya menjadi pemimpin. Untuk saat ini para ulama lebih baik menjadi penasihat pemimpin. Karena tidak banyak dari kalangan kabinet pemimpin hari ini yang mengerti agama. Jika suatu saat nanti banyak cendikia Islam yang paham agama sudah mengisi jabatan-jabatan penting di pemerintahan, maka silahkan nanti ulama jadi pemimpin umat.

Mengubah akhlak masyarakat, remaja khususnya, dan meminimalisir kejahatan dan maksiat tidak mesti dengan mencalonkan diri sebagai pemimpin mereka. Perubahan menuju lebih baik dapat dilakukan melalui tarbiyah keluarga. Setiap orang tua diharapkan mampu memberikan keteladanan dan ilmu pengetahuan yang baik kepada putra-putrinya. Arahkan mereka ke pendidikan agama. Kontrol shalat dan baca Alquran mereka. Cara seperti ini jauh lebih efektif dan efisien mengurangi kemaksiatan dan kebobrokan akhlak ketimbang UU yang diberlakukan pemerintah.

* Tgk. H. Nuruzzahri (Waled Nu Samalanga), Ketua Mustasyar Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Pimpinan Pesantren Ummul Ayman Samalanga, dan Pendiri STIS Ummul Ayman Pidie Jaya.
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget