SATU berita online sangat menarik, dengan judulnya “Mulai hari ini Kapolsek bertanggung jawab awasi dana desa” (Detik.com, 20/1/2017). Berita itu muncul, seiring penandatanganan nota kesepahaman antara Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Eko Sandjojo, dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Tito Karnavian.
Kesepakatannya jelas dan tegas, bahwa pengawasan dana desa tunggal yang mengawasi, yaitu Kapolsek dengan Bhabinkamtibmasnya. Bahkan Kapolri ingin mengadakan pertemuan dengan semua kepala daerah (bupati/wali kota), agar nantinya tidak mengintervensi Kapolsek. Penegasan ini menarik, namun saya ingin memberi sejumlah catatan awal, agar polisi nantinya tidak berhenti hanya menjangkau para keuchik.
Sangat penting
Catatan ini bagi saya sangat penting disampaikan. Paling tidak dengan mengaca pada jumlah berita Serambi yang sudah banyak sekali, terkait kasus penyalahgunaan dana desa khususnya di Aceh. Sepanjang 24 Agustus hingga 12 September, tiada henti Serambi memberitakan pengelolaan dana desa. Muktasim Jailani, dalam opininya terkait penggunaan dana desa, memakai kata meuhambo (Serambi, 12/9/2017).
Sejumlah operasi tangkap tangan (OTT) terhadap perangkat gampong oleh Tim Saber Pungli sudah banyak terjadi. Pada saat yang sama, demo dan ada warga yang melaporkan keuchiknya kepada polisi, karena diduga menilep dana desa (Serambi, 11/10/2017; 19/5/2016). Padahal dari awal, pihak kejaksaan sudah mengingatkan para keuchik jangan bermasalah dengan hukum gara-gara dana desa. Sosialisasi terkait pengelolaan dana desa juga sudah dilaksanakan (Serambi, 24/8/2017).
Demo dan adanya kasus hukum, memperlihatkan adanya kecenderungan harmoni yang terganggu. Kecurigaan warga terhadap pimpinannya, sudah muncul di banyak tempat. Bukankah ini menjadi semacam pertaruhan, pada akhirnya berimbas pada modal sosial masyarakat gampong yang bersangkutan?
Jika ditelusuri lebih jauh, sejumlah hal juga terjadi. Dengan berbagai sebab, penerimaan dana oleh ribuan gampong tersendat (Serambi, 15/8/2017). Antara lain kemampuan membuat laporan. Sementara penguatan terhadap aparatur gampong sangat sedikit dilakukan. Aparatur dibuat manja oleh adanya bantuan administrasi di sejumlah tempat untuk dibuatkan perencanaan hingga laporan penggunaan dana. Tentu bantuan semacam ini tidak gratis. Bahkan sejumlah gampong, justru tidak pernah melakukan pembahasan terkait qanun anggaran gampong, karena semuanya sudah dipersiapkan dari atas.
Perintah dan gugatan untuk melakukan audit dana desa bermunculan, baik dari pemerintah kabupaten maupun dari LSM (Serambi, 4/10/2017; 6/10/2017). Permintaan pemasangan baliho muncul (Serambi, 8/10/2017), tetapi dengan materi yang tidak semua perangkat desa pandai menyusunnya. Sedangkan substansi masalah, agar aparatur gampong berdaya menyelesaikan laporannya, sangat sedikit mendapat perhatian.
Bagi saya, ini bukan soal sederhana. Ada hal penting yang tidak boleh dilupakan oleh masyarakat Aceh, bahwa keuchik itu tidak sebatas pejabat gampong. Pada waktu yang sama, ia juga mengurus lembaga adat gampong yang satu tugas pentingnya adalah menyelesaikan berbagai masalah dalam masyarakat.
Dengan banyaknya kasus yang terjadi, terkait dengan rasa tidak percaya, pada siapa lagi nanti diharapkan penyelesaian berbagai masalah di gampong? Dengan tidak melupakan pentingnya dana desa bagi pembangunan gampong, namun dengan tidak maksimal melakukan penguatan kapasitas mereka, pada akhirnya akan terjerembab ke jurang dalam.
Harus diselamatkan
Atas dasar itulah, pemerintah kabupaten/kota dan Pemerintah Aceh harus berpikir bagaimana para keuchik itu harus diselamatkan. Caranya: Pertama, menguatkan mentalitas antikorupsi, bahwa semua orang yang terlibat pengelolaan dana desa selalu ditentukan oleh penggunaan dana tersebut secara benar. Mencuri uang desa tidak hanya akan bermasalah dengan hukum negara, melainkan juga hukum agama.
Kedua, menyadarkan mereka bahwa dana yang yang dikelola itu selalu ada audit dan pertanggungjawaban. Ketidakcocokan angka dalam penggunaan dana, tidak selalu ditentukan karena korup atau tilep. Kesalahan administrasi bisa menjerumuskan seseorang menjadi tersangka.
Ketiga, memperkuat kapasitas mental dan sumber daya manusia dalam pengelolaan dana. Para keuchik perlu dibekali argumen dan ketahanan mental untuk berani menolak siapapun yang mengemis jatah. Sementara dalam hal penguatan kapasitas, aparatur gampong harus diberdayakan dalam melakukan mulai dari perencanaan hingga pelaporannya.
Dan, keempat, memberi advokasi hukum untuk keuchik yang bermasalah dengan hukum. Pembelaan ini bukan untuk mereka yang korup, namun untuk mengetahui apakah benar-benar keuchik yang bersalah, atau justru mereka hanya sasaran dari banyak pihak yang terlibat dan menikmati khanduri peng gampong ini.
Ketika kepolisian sudah menjadi bagian penting dalam pengawasan dana desa, ada dua hal krusial yang tidak boleh dilupakan. Pertama, kemampuan aparatur gampong dalam pelaporan keuangan yang terbatas. Dan, kedua, tingginya kepentingan berbagai pihak untuk mendapatkan “jatah” dari peng gampong.
Pemerintah kabupaten/kota dan Pemerintah Aceh harus menyadari bahwa peng gampong itu seperti sebuah hajatan, yang banyak orang ingin mendapatkan bagian. Masalahnya modal sosial masyarakat Aceh yang menjadi taruhannya. Wallahu a’lamu bish-shawaab.
* Sulaiman Tripa, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Darussalam, Banda Aceh. Email: st_aceh@yahoo.co.id)
Sumber: serambinews.com
Kesepakatannya jelas dan tegas, bahwa pengawasan dana desa tunggal yang mengawasi, yaitu Kapolsek dengan Bhabinkamtibmasnya. Bahkan Kapolri ingin mengadakan pertemuan dengan semua kepala daerah (bupati/wali kota), agar nantinya tidak mengintervensi Kapolsek. Penegasan ini menarik, namun saya ingin memberi sejumlah catatan awal, agar polisi nantinya tidak berhenti hanya menjangkau para keuchik.
Sangat penting
Catatan ini bagi saya sangat penting disampaikan. Paling tidak dengan mengaca pada jumlah berita Serambi yang sudah banyak sekali, terkait kasus penyalahgunaan dana desa khususnya di Aceh. Sepanjang 24 Agustus hingga 12 September, tiada henti Serambi memberitakan pengelolaan dana desa. Muktasim Jailani, dalam opininya terkait penggunaan dana desa, memakai kata meuhambo (Serambi, 12/9/2017).
Sejumlah operasi tangkap tangan (OTT) terhadap perangkat gampong oleh Tim Saber Pungli sudah banyak terjadi. Pada saat yang sama, demo dan ada warga yang melaporkan keuchiknya kepada polisi, karena diduga menilep dana desa (Serambi, 11/10/2017; 19/5/2016). Padahal dari awal, pihak kejaksaan sudah mengingatkan para keuchik jangan bermasalah dengan hukum gara-gara dana desa. Sosialisasi terkait pengelolaan dana desa juga sudah dilaksanakan (Serambi, 24/8/2017).
Demo dan adanya kasus hukum, memperlihatkan adanya kecenderungan harmoni yang terganggu. Kecurigaan warga terhadap pimpinannya, sudah muncul di banyak tempat. Bukankah ini menjadi semacam pertaruhan, pada akhirnya berimbas pada modal sosial masyarakat gampong yang bersangkutan?
Jika ditelusuri lebih jauh, sejumlah hal juga terjadi. Dengan berbagai sebab, penerimaan dana oleh ribuan gampong tersendat (Serambi, 15/8/2017). Antara lain kemampuan membuat laporan. Sementara penguatan terhadap aparatur gampong sangat sedikit dilakukan. Aparatur dibuat manja oleh adanya bantuan administrasi di sejumlah tempat untuk dibuatkan perencanaan hingga laporan penggunaan dana. Tentu bantuan semacam ini tidak gratis. Bahkan sejumlah gampong, justru tidak pernah melakukan pembahasan terkait qanun anggaran gampong, karena semuanya sudah dipersiapkan dari atas.
Perintah dan gugatan untuk melakukan audit dana desa bermunculan, baik dari pemerintah kabupaten maupun dari LSM (Serambi, 4/10/2017; 6/10/2017). Permintaan pemasangan baliho muncul (Serambi, 8/10/2017), tetapi dengan materi yang tidak semua perangkat desa pandai menyusunnya. Sedangkan substansi masalah, agar aparatur gampong berdaya menyelesaikan laporannya, sangat sedikit mendapat perhatian.
Bagi saya, ini bukan soal sederhana. Ada hal penting yang tidak boleh dilupakan oleh masyarakat Aceh, bahwa keuchik itu tidak sebatas pejabat gampong. Pada waktu yang sama, ia juga mengurus lembaga adat gampong yang satu tugas pentingnya adalah menyelesaikan berbagai masalah dalam masyarakat.
Dengan banyaknya kasus yang terjadi, terkait dengan rasa tidak percaya, pada siapa lagi nanti diharapkan penyelesaian berbagai masalah di gampong? Dengan tidak melupakan pentingnya dana desa bagi pembangunan gampong, namun dengan tidak maksimal melakukan penguatan kapasitas mereka, pada akhirnya akan terjerembab ke jurang dalam.
Harus diselamatkan
Atas dasar itulah, pemerintah kabupaten/kota dan Pemerintah Aceh harus berpikir bagaimana para keuchik itu harus diselamatkan. Caranya: Pertama, menguatkan mentalitas antikorupsi, bahwa semua orang yang terlibat pengelolaan dana desa selalu ditentukan oleh penggunaan dana tersebut secara benar. Mencuri uang desa tidak hanya akan bermasalah dengan hukum negara, melainkan juga hukum agama.
Kedua, menyadarkan mereka bahwa dana yang yang dikelola itu selalu ada audit dan pertanggungjawaban. Ketidakcocokan angka dalam penggunaan dana, tidak selalu ditentukan karena korup atau tilep. Kesalahan administrasi bisa menjerumuskan seseorang menjadi tersangka.
Ketiga, memperkuat kapasitas mental dan sumber daya manusia dalam pengelolaan dana. Para keuchik perlu dibekali argumen dan ketahanan mental untuk berani menolak siapapun yang mengemis jatah. Sementara dalam hal penguatan kapasitas, aparatur gampong harus diberdayakan dalam melakukan mulai dari perencanaan hingga pelaporannya.
Dan, keempat, memberi advokasi hukum untuk keuchik yang bermasalah dengan hukum. Pembelaan ini bukan untuk mereka yang korup, namun untuk mengetahui apakah benar-benar keuchik yang bersalah, atau justru mereka hanya sasaran dari banyak pihak yang terlibat dan menikmati khanduri peng gampong ini.
Ketika kepolisian sudah menjadi bagian penting dalam pengawasan dana desa, ada dua hal krusial yang tidak boleh dilupakan. Pertama, kemampuan aparatur gampong dalam pelaporan keuangan yang terbatas. Dan, kedua, tingginya kepentingan berbagai pihak untuk mendapatkan “jatah” dari peng gampong.
Pemerintah kabupaten/kota dan Pemerintah Aceh harus menyadari bahwa peng gampong itu seperti sebuah hajatan, yang banyak orang ingin mendapatkan bagian. Masalahnya modal sosial masyarakat Aceh yang menjadi taruhannya. Wallahu a’lamu bish-shawaab.
* Sulaiman Tripa, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Darussalam, Banda Aceh. Email: st_aceh@yahoo.co.id)
Sumber: serambinews.com
loading...
Post a Comment