AMP - Banyak
warga Australia yang tidak akan berpikir dua kali untuk mendukung
petisi atau sesuatu yang dekat di hatinya. Namun di Propinsi Papua dan
Papua Barat yang merupakan wilayah RI dimana kebebasan berbicara secara
rutin dibatasi dengan ketat, menyatakan dukungan bagi kemerdekaan
merupakan "pengkhianatan" yang bisa dihukum 15 tahun penjara.
Tentu saja sangat luar biasa dengan adanya 1,8 juta warga Papua (sekitar 70 persen dari populasi) yang menandatangani sebuah petisi - yang secara khusus dilarang oleh Pemerintah Indonesia - meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan pemungutan suara secara bebas mengenai kemerdekaan.
Persiapan petisi ambisius ini dan upaya menyampaikannya kepada komite dekolonisasi PBB di New York, menandai babak baru yang dramatis dalam sejarah Papua, namun pasti akan menghadirkan tantangan serius bagi Pemerintah Australia.
Jika berpegang teguh pada janjinya itu, Australia tidak bisa mengabaikan petisi penting ini atau keinginan banyak negara Pasifik untuk mendukung penentuan nasib sendiri di Papua.
Kesepakatan yang dimotori PBB memberikan kontrol sementara atas koloni tersebut kepada Indonesia dan dimaksudkan untuk melaksanakan referendum yang diadakan untuk menentukan pendapat rakyat. Tapi semuanya tidak berjalan sesuai rencana.
Warga Papua kurang lebih dianggap "terlalu primitif" untuk menjalankan demokrasi.
Sebanyak 1.024 orang Papua dipilih untuk memilih atas nama keseluruhan populasi hampir satu juta jiwa. Di bawah tekanan, termasuk ancaman dari pejabat militer untuk memotong lidah mereka, mereka secara mengejutkan memilih Papua untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia.
Seorang jurnalis Australia yang menyaksikan pemungutan suara tersebut, Hugh Lunn, menyampaikan kepada seorang pejabat PBB tentang kekerasan dan intimidasi yang telah dilihatnya, namun kekhawatiran tersebut tidak diperdulikan.
Dua pemimpin Papua, Clement Ronawery dan Willem Zonggonau, mencoba melarikan diri ke New York untuk menyampaikan bukti-bukti pemilu pura-pura tersebut, namun pihak berwenang Australia tanpa malu mencegat dan menahan mereka di Pulau Manus.
Pemungutan suara tersebut kemudian dikenal sebagai "Pepera" di Papua dan dalam dekade-dekade berikutnya, diperkirakan sekitar 100.000 orang telah terbunuh atau hilang di tangan pihak berwenang Indonesia.
Sama seperti di Timor Leste, Pemerintah Australia telah mengabaikan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua di bawah kediktatoran Suharto, namun secara aktif memberikan bantuan militer dan membantu pihak berwenang Indonesia menyembunyikan pelanggaran tersebut di bawah karpet.
Setelah berpuluh-puluh tahun berlalu, tidak banyak yang berubah. Namun begitu pula keteguhan orang Papua untuk memastikan suara mereka tetap terdengar.
Petisi ini meminta PBB untuk memperbaiki kesalahan masa lalunya dan untuk mengadakan pemungutan suara yang bebas, adil dan diawasi secara internasional sehingga orang Papua akhirnya dapat menyatakan suara tentang masa depan tanah mereka.
Bulan depan Australia akan ditunjuk untuk duduk di Dewan HAM PBB untuk masa jabatan tiga tahun. Sekarang saatnya bagi pemerintah kita memutuskan peran seperti apa yang akan dimainkan di dewan tersebut.
Bisa saja terus mengecewakan dengan mencoba menepiskan suatu resolusi HAM - seperti yang terjadi bulan lalu terkait kekerasan yang terjadi di Myanmar. Atau dapat menemukan keberanian dan menjadi suara yang konsisten dan tegas untuk HAM di kawasan Asia Pasifik.
Sebanyak 1,8 juta rakyat Papua telah mempertaruhkan risiko penjara dan tindakan pembalasan agar suara mereka terdengar. Alih-alih membantu membungkam mereka, Pemerintah Australia dapat dan harus membantu memastikan bahwa suara mereka kini didengar di panggung dunia.[JPNN]
Tom Clarke, direktur kampanye pada Human Rights Law Centre.
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.
Tentu saja sangat luar biasa dengan adanya 1,8 juta warga Papua (sekitar 70 persen dari populasi) yang menandatangani sebuah petisi - yang secara khusus dilarang oleh Pemerintah Indonesia - meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan pemungutan suara secara bebas mengenai kemerdekaan.
Persiapan petisi ambisius ini dan upaya menyampaikannya kepada komite dekolonisasi PBB di New York, menandai babak baru yang dramatis dalam sejarah Papua, namun pasti akan menghadirkan tantangan serius bagi Pemerintah Australia.
Terjebak di tengah
Upaya Australia untuk mendapatkan kursi di Dewan Hak Asasi Manusia PBB didasarkan atas janji negara ini untuk menjadi suara bagi HAM di Pasifik.Jika berpegang teguh pada janjinya itu, Australia tidak bisa mengabaikan petisi penting ini atau keinginan banyak negara Pasifik untuk mendukung penentuan nasib sendiri di Papua.
Di tahun 1950an, Pemerintah Australia membantu Pemerintah Kolonial Belanda melakukan transisi Papua menuju kemerdekaan. Pada tahun 1961 koloni ini telah memiliki bendera sendiri "Bintang Kejora", dan pegawai Pemerintah Papua. Namun, ketika konflik meletus di Papua pada tahun berikutnya antara Belanda dan Indonesia, PBB ikut campur.Harus keluar dari tradisi yang dilakukan Pemerintah Australia terdahulu yang menutup mata terhadap kekejaman HAM yang terjadi di depan pintu kita selama beberapa dekade, dan sebaliknya mengambil sikap tegas.
Kesepakatan yang dimotori PBB memberikan kontrol sementara atas koloni tersebut kepada Indonesia dan dimaksudkan untuk melaksanakan referendum yang diadakan untuk menentukan pendapat rakyat. Tapi semuanya tidak berjalan sesuai rencana.
Pemilu pura-pura
Setelah enam tahun di bawah kontrol Indonesia yang brutal, termasuk melibatkan tindak pelanggaran HAM yang terdokumentasi dengan baik, militer Indonesia melakukan referendum pura-pura pada tahun 1969 yang disebut "Penetuan Pendapat Rakyat".Warga Papua kurang lebih dianggap "terlalu primitif" untuk menjalankan demokrasi.
Sebanyak 1.024 orang Papua dipilih untuk memilih atas nama keseluruhan populasi hampir satu juta jiwa. Di bawah tekanan, termasuk ancaman dari pejabat militer untuk memotong lidah mereka, mereka secara mengejutkan memilih Papua untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia.
Seorang jurnalis Australia yang menyaksikan pemungutan suara tersebut, Hugh Lunn, menyampaikan kepada seorang pejabat PBB tentang kekerasan dan intimidasi yang telah dilihatnya, namun kekhawatiran tersebut tidak diperdulikan.
Dua pemimpin Papua, Clement Ronawery dan Willem Zonggonau, mencoba melarikan diri ke New York untuk menyampaikan bukti-bukti pemilu pura-pura tersebut, namun pihak berwenang Australia tanpa malu mencegat dan menahan mereka di Pulau Manus.
Pemungutan suara tersebut kemudian dikenal sebagai "Pepera" di Papua dan dalam dekade-dekade berikutnya, diperkirakan sekitar 100.000 orang telah terbunuh atau hilang di tangan pihak berwenang Indonesia.
Sama seperti di Timor Leste, Pemerintah Australia telah mengabaikan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua di bawah kediktatoran Suharto, namun secara aktif memberikan bantuan militer dan membantu pihak berwenang Indonesia menyembunyikan pelanggaran tersebut di bawah karpet.
Setelah berpuluh-puluh tahun berlalu, tidak banyak yang berubah. Namun begitu pula keteguhan orang Papua untuk memastikan suara mereka tetap terdengar.
Mayoritas penduduk Papua telah menyertakan namanya dalam petisi itu.Terlepas dari bahaya, petisi ini diedarkan dari desa ke desa, dari ujung yang satu ke ujung lainnya di Papua.
Petisi ini meminta PBB untuk memperbaiki kesalahan masa lalunya dan untuk mengadakan pemungutan suara yang bebas, adil dan diawasi secara internasional sehingga orang Papua akhirnya dapat menyatakan suara tentang masa depan tanah mereka.
Australia di pentas dunia
Rakyat Papua memiliki hak untuk mengekspresikan keinginan mereka secara bebas - hak yang harus didengarkan oleh Pemerintah Australia. Kita tidak seharusnya mendahulukan perdagangan dan pragmatisme dengan mengorbankan nilai dan kewajiban moral kita untuk membela apa yang benar.Bulan depan Australia akan ditunjuk untuk duduk di Dewan HAM PBB untuk masa jabatan tiga tahun. Sekarang saatnya bagi pemerintah kita memutuskan peran seperti apa yang akan dimainkan di dewan tersebut.
Bisa saja terus mengecewakan dengan mencoba menepiskan suatu resolusi HAM - seperti yang terjadi bulan lalu terkait kekerasan yang terjadi di Myanmar. Atau dapat menemukan keberanian dan menjadi suara yang konsisten dan tegas untuk HAM di kawasan Asia Pasifik.
Sebanyak 1,8 juta rakyat Papua telah mempertaruhkan risiko penjara dan tindakan pembalasan agar suara mereka terdengar. Alih-alih membantu membungkam mereka, Pemerintah Australia dapat dan harus membantu memastikan bahwa suara mereka kini didengar di panggung dunia.[JPNN]
Tom Clarke, direktur kampanye pada Human Rights Law Centre.
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.
loading...
Post a Comment