Nur Djuli (kiri) saaat dalam satu sesi perundingan antara RI dan GAM. Foto: Getty Image |
AMP - Nur Djuli, salah seorang sesepuh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyampaikan pandangannya terkait dengan almarhum Tengku Hasa di Tiro, yang setelah perjanjian damai di Helsinki, fotonya seringkali digunakan sebagai alat kampanye bagi golongan politik tertentu.
Kepada aceHtrend, Selasa (13/12/2016) Nur Djuli menyampaikan, semua orang seharusnya berbangga bahwa Aceh pernah memiliki seorang putra yang gagah perkasa dan berani. Untuk itu, menurutnya, Hasan Tiro haruslah menjadi milik seluruh bangsa Aceh, tanpa harus melihat daerah, suku dan golongan politik.
Pun demikian, penggunaan foto Hasan Tiro tentunya–secara etika– tidaklah boleh serampangan. Seseorang baru pantas menggunakan foto Hasan di Tiro di berbagai alat peraga kampanye, andaikan mampu mengaplikasikan semangat yang digagas oleh sang deklarator Aceh Merdeka itu. Tentu, semangat yang harus dijalankan itu, seiring dan seirama dengan yang sudah dirumuskan dalam MoU Helsinki.
“Saya malah ingin semua orang memakai foto alamharhum Tengku Hasan Tiro. Bukan hanya di APK, tapi juga di rumah-rumah, seperti pemasangan foto presiden. Kenapa? karena almarhum adalah tokoh besar yang pernah dimiliki oleh Aceh. Pun demikian, seyogianya, siapapun yang memasang foto beliau, baik sebagai alat politik, seharusnya mampu mengamplikasikan gagasan almarhum,” terang Nur Djuli.
Tokoh Aceh tersebut mencontohkan, PDIP yang didirikan oleh Megawati Soekarno Putri selalu memasang foto Presiden Seokarno di alat kampanyenya. Padahal Soekarno bukan pendiri PDIP. Kenapa? Karena mereka berani mengklaim dan menunjukkan dalam kinerjanya, bahwa apa yang mereka lakukan, sesuai dengan ajaran dan cita-cita Bung Karno yang dirumuskan dalam konsep Marhaenisme.
“Saya berpendapat, tidak penting mempersoalkan boleh tidaknya foto almarhum Tengku Hasan Tiro dipasang oleh kelompok tertentu. Karena substansinya tidak di sana. lalu di mana? Nah, substansinya berada pada seberapa besar orang-orang atau kelompok yang menggunakan Hasan Tiro sebagai simbol politiknya, mampu mengaplikasan gagasan yang menjadi buah pikir almarhum,” katanya.
Terkait dengan pengaduan tim Zakaria saman kepada Panwaslih yang menganggap pemakaian foto Hasan Tiro di baliho Partai Aceh telah melanggar aturan, Nur Djuli tidak mau berkomentar banyak. Karena itu menyangkut persoalan aturan hukum Pilkada. Pun demikian, anggota tim juru runding GAM di Helsinki itu berkata bahwa sebaiknya tidak semua hal harus diselesaikan oleh orang luar.
“Hana but be mita but. Kita terkadang lebih suka meminta orang lain menyelesaikan personal internal GAM. Akibatnya semakin memperlebar jarak antar sesama. Orang yang tidal memahami GAM tentu akan tidak mampu menyelesaikannya. Kalau bisa diperkecil, kenapa harus diperbesar?,” (acehtrend.co)
Kepada aceHtrend, Selasa (13/12/2016) Nur Djuli menyampaikan, semua orang seharusnya berbangga bahwa Aceh pernah memiliki seorang putra yang gagah perkasa dan berani. Untuk itu, menurutnya, Hasan Tiro haruslah menjadi milik seluruh bangsa Aceh, tanpa harus melihat daerah, suku dan golongan politik.
Pun demikian, penggunaan foto Hasan Tiro tentunya–secara etika– tidaklah boleh serampangan. Seseorang baru pantas menggunakan foto Hasan di Tiro di berbagai alat peraga kampanye, andaikan mampu mengaplikasikan semangat yang digagas oleh sang deklarator Aceh Merdeka itu. Tentu, semangat yang harus dijalankan itu, seiring dan seirama dengan yang sudah dirumuskan dalam MoU Helsinki.
“Saya malah ingin semua orang memakai foto alamharhum Tengku Hasan Tiro. Bukan hanya di APK, tapi juga di rumah-rumah, seperti pemasangan foto presiden. Kenapa? karena almarhum adalah tokoh besar yang pernah dimiliki oleh Aceh. Pun demikian, seyogianya, siapapun yang memasang foto beliau, baik sebagai alat politik, seharusnya mampu mengamplikasikan gagasan almarhum,” terang Nur Djuli.
Tokoh Aceh tersebut mencontohkan, PDIP yang didirikan oleh Megawati Soekarno Putri selalu memasang foto Presiden Seokarno di alat kampanyenya. Padahal Soekarno bukan pendiri PDIP. Kenapa? Karena mereka berani mengklaim dan menunjukkan dalam kinerjanya, bahwa apa yang mereka lakukan, sesuai dengan ajaran dan cita-cita Bung Karno yang dirumuskan dalam konsep Marhaenisme.
“Saya berpendapat, tidak penting mempersoalkan boleh tidaknya foto almarhum Tengku Hasan Tiro dipasang oleh kelompok tertentu. Karena substansinya tidak di sana. lalu di mana? Nah, substansinya berada pada seberapa besar orang-orang atau kelompok yang menggunakan Hasan Tiro sebagai simbol politiknya, mampu mengaplikasan gagasan yang menjadi buah pikir almarhum,” katanya.
Terkait dengan pengaduan tim Zakaria saman kepada Panwaslih yang menganggap pemakaian foto Hasan Tiro di baliho Partai Aceh telah melanggar aturan, Nur Djuli tidak mau berkomentar banyak. Karena itu menyangkut persoalan aturan hukum Pilkada. Pun demikian, anggota tim juru runding GAM di Helsinki itu berkata bahwa sebaiknya tidak semua hal harus diselesaikan oleh orang luar.
“Hana but be mita but. Kita terkadang lebih suka meminta orang lain menyelesaikan personal internal GAM. Akibatnya semakin memperlebar jarak antar sesama. Orang yang tidal memahami GAM tentu akan tidak mampu menyelesaikannya. Kalau bisa diperkecil, kenapa harus diperbesar?,” (acehtrend.co)
loading...
Post a Comment