AMP - Konflik antara militer Myanmar dengan kelompok militan Rohingya telah menewaskan 89 orang. Pemerintah Amerika Serikat (AS) mendesak pihak berwenang Myanmar menahan diri untuk menghindari respons yang akan mengobarkan ketegangan.
Ke-89 korban tewas dalam konflik di Myanmar barat itu terdiri dari 12 pasukan keamanan dan 77 warga Muslim Rohingya, termasuk dari kelompok militan.
Pertempuran antara militer dan militan Rohingya terjadi sejak hari Jumat setelah lebih dari 20 pos polisi di Rakhine diserang ratusan gerilyawan. Kantor Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto negara itu, mengatakan bahwa polisi militer dan perbatasan menanggapi serangan gerilyawan tersebut dengan meluncurkan ”operasi pembersihan”.
Menurut kantor Suu Kyi, ratusan gerilyawan yang menyerang pos-pos polisi dipersenjatai dengan senjata api, parang dan granat buatan sendiri. Pemerintah telah merilis foto-foto senjata yang disita dari para gerilyawan.
Seorang saksi di Kota Maungdaw di negara bagian Rakhine, yang dihubungi melalui telepon, mengatakan bahwa para tentara memasuki desanya sekitar pukul 10.00 pagi pada hari Jumat. Mereka membakar rumah dan harta benda warga dan menembak mati setidaknya 10 orang.
Saksi meminta hanya diidentifikasi dengan nama panggilannya, Emmar, karena takut jadi korban balas dendam. Dia mengatakan bahwa penduduk desa melarikan diri ke berbagai arah, tapi sebagian besar menuju ke daerah pegunungan terdekat. Menurut Emmar, tembakan senjata dan ledakan terdengar dan asap masih bisa terlihat pada Jumat malam.
Sebuah kelompok militan, Arakan Rohingya Salvation Army atau ARSA, mengklaim bertanggung jawab atas serangan pada Kamis malam di lebih dari 25 pos polisi Myanmar.
Kelompok itu mengaku aksi mereka untuk membela komunitas Rohingya yang telah disiksa oleh pasukan pemerintah. Klaim ini disampaikan dalam pernyataannya di Twitter.
Suu Kyi menyebut serangan kelompok miltan tersebut sebagai usaha untuk melemahkan upaya membangun perdamaian dan harmoni di negara bagian Rakhine.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Heather Nauert, mengatakan bahwa Washington mendesak pasukan keamanan Myanmar untuk menahan diri dan mencegah kekerasan lebih lanjut. Pasukan Myanmar diminta untuk membawa para pelaku serangan pos-pos polisi ke pengadilan dengan menghormati undang-undang, melindungi HAM dan kebebasan fundamental.
Nauert mengatakan bahwa serangan tersebut menggarisbawahi pentingnya pemerintah menerapkan rekomendasi sebuah komisi yang diketuai oleh mantan Sekjen PBB Kofi Annan. Komisi itu merekomendasikan pemerintah Myanmar untuk memperbaiki pembangunan ekonomi dan keadilan sosial di negara bagian Rakhine untuk menyelesaikan kekerasan komunal.
Kantor Suu Kyi mengatakan di halaman Facebook bahwa serangan tersebut dimaksudkan bertepatan dengan dikeluarkannya laporan Annan.
Menurut data PBB, sudah lebih dari 80 ribu warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh sejak konflik pecah bulan Oktober tahun lalu.
Annan mengecam serangan terbaru kelompok militan Rohingya terhadap pos-pos polisi.
”Tidak ada alasan yang bisa membenarkan tindakan brutal dan pembunuhan yang tidak masuk akal,” katanya, seperti dilansir dari Fox News, Minggu (27/8/2017). ”Dan mendesak pemerintah untuk menahan diri dan memastikan bahwa warga sipil yang tidak bersalah tidak dilukai,” lanjut Annan. [Sindo]
Ke-89 korban tewas dalam konflik di Myanmar barat itu terdiri dari 12 pasukan keamanan dan 77 warga Muslim Rohingya, termasuk dari kelompok militan.
Pertempuran antara militer dan militan Rohingya terjadi sejak hari Jumat setelah lebih dari 20 pos polisi di Rakhine diserang ratusan gerilyawan. Kantor Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto negara itu, mengatakan bahwa polisi militer dan perbatasan menanggapi serangan gerilyawan tersebut dengan meluncurkan ”operasi pembersihan”.
Menurut kantor Suu Kyi, ratusan gerilyawan yang menyerang pos-pos polisi dipersenjatai dengan senjata api, parang dan granat buatan sendiri. Pemerintah telah merilis foto-foto senjata yang disita dari para gerilyawan.
Seorang saksi di Kota Maungdaw di negara bagian Rakhine, yang dihubungi melalui telepon, mengatakan bahwa para tentara memasuki desanya sekitar pukul 10.00 pagi pada hari Jumat. Mereka membakar rumah dan harta benda warga dan menembak mati setidaknya 10 orang.
Saksi meminta hanya diidentifikasi dengan nama panggilannya, Emmar, karena takut jadi korban balas dendam. Dia mengatakan bahwa penduduk desa melarikan diri ke berbagai arah, tapi sebagian besar menuju ke daerah pegunungan terdekat. Menurut Emmar, tembakan senjata dan ledakan terdengar dan asap masih bisa terlihat pada Jumat malam.
Sebuah kelompok militan, Arakan Rohingya Salvation Army atau ARSA, mengklaim bertanggung jawab atas serangan pada Kamis malam di lebih dari 25 pos polisi Myanmar.
Kelompok itu mengaku aksi mereka untuk membela komunitas Rohingya yang telah disiksa oleh pasukan pemerintah. Klaim ini disampaikan dalam pernyataannya di Twitter.
Suu Kyi menyebut serangan kelompok miltan tersebut sebagai usaha untuk melemahkan upaya membangun perdamaian dan harmoni di negara bagian Rakhine.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Heather Nauert, mengatakan bahwa Washington mendesak pasukan keamanan Myanmar untuk menahan diri dan mencegah kekerasan lebih lanjut. Pasukan Myanmar diminta untuk membawa para pelaku serangan pos-pos polisi ke pengadilan dengan menghormati undang-undang, melindungi HAM dan kebebasan fundamental.
Nauert mengatakan bahwa serangan tersebut menggarisbawahi pentingnya pemerintah menerapkan rekomendasi sebuah komisi yang diketuai oleh mantan Sekjen PBB Kofi Annan. Komisi itu merekomendasikan pemerintah Myanmar untuk memperbaiki pembangunan ekonomi dan keadilan sosial di negara bagian Rakhine untuk menyelesaikan kekerasan komunal.
Kantor Suu Kyi mengatakan di halaman Facebook bahwa serangan tersebut dimaksudkan bertepatan dengan dikeluarkannya laporan Annan.
Menurut data PBB, sudah lebih dari 80 ribu warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh sejak konflik pecah bulan Oktober tahun lalu.
Annan mengecam serangan terbaru kelompok militan Rohingya terhadap pos-pos polisi.
”Tidak ada alasan yang bisa membenarkan tindakan brutal dan pembunuhan yang tidak masuk akal,” katanya, seperti dilansir dari Fox News, Minggu (27/8/2017). ”Dan mendesak pemerintah untuk menahan diri dan memastikan bahwa warga sipil yang tidak bersalah tidak dilukai,” lanjut Annan. [Sindo]
loading...
Post a Comment