AMP - Sampai akhir masa kekuasaannya, Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh 35 sultan. Sebagai sultan terakhir kerajaan yaitu Muhammad Daud Syah yang berkuasa pada 1874-1923.
Sultan Muhammad Daud Syah lahir pada tahun 1871, dua tahun sebelum Belanda menyerang Aceh pada 26 Maret 1873 M. Pada usia tujuh tahun, dia diangkat sebagai sultan Aceh di Masjid Indrapuri pada Kamis, 26 Desember 1878 M, menggantikan Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1874) yang meninggal pada 28 Januari 1874 karena wabah kolera dan dimakamkan di Cot Bada Samahani, Aceh Besar.
Namun tidak seperti sultan Aceh lainnya, Muhammad Daud Syah memiliki riwayat hidup yang tragis dan menyedihkan. Pemerintah Kolonial Belanda membuang Sultan Muhammad Daud Syah ke Pulau Jawa pada 24 Desember 1907.
Belanda menganggap sultan tidak bisa diajak berkerja sama dengan Belanda yang kala itu sudah menguasai Kutaraja. Sultan menolak menandatangani MoU damai dengan Belanda.
Bahkan draf surat damai dirobek Sultan Muhammad Daud Syah di Pendopo Jenderal Van Heutz (pendopo Gubernur Aceh sekarang). Karena tidak mengakui kekuasaan penjajah, pada 3 Februari 1903, sultan oleh Belanda dijadikan tahanan rumah (diintenir) di kampung Keudah, Banda Aceh.
Dia hanya diperbolehkan bergerak bebas di sekitar Kutaraja. Meski dalam tahanan rumah, sultan masih dapat menjalankan pengaruhnya menyusun siasat menyerang Belanda di Kutaraja secara diam-diam bersama pembesar Aceh seperti Tuanku Hasyem Banta Muda, Teuku Panglima Polem Muda Kuala dan Teungku Syiek di Tanoh Abee.
Pada tahun 1880, Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman yang baru pulang dari Mekkah juga ikut bergabung. Melihat kondisi tak menguntungkan ini, pada 24 Desember 1907 Belanda menangkap dan membuang sultan bersama keluarga inti yaitu anaknya Tuanku Raja Ibrahim dan Teungku Bungsu serta pengikutnya ke Bandung dan Ambon.
Sebelumnya, pada tanggal 26 November 1902, Teungku Putroe Gambo Gadeng bin Tuanku Abdul Majid bersama anaknya Tuanku Raja Ibrahim (6) disandera oleh Belanda di Gampong Glumpang Payong Pidie. Tujuan penyanderaan ini agar Sultan Muhammad Daud Syah menyerahkan diri kepada Belanda.
Pada tahun 1918 kemudian sultan dan keluarga dipindahkan ke Jatinegara, Jakarta sampai meninggal pada 6 Februari 1939 dan dimakamkan di Pekuburan Umum Kemiri, Rawamangun, Jakarta. Lokasi pusaranya berdekatan dengan Kampus Universitas Negeri Jakarta sekarang. Menurut kesaksian sejarawan Aceh Dr M Adli Abdullah kondisi makam sultan terakhir Aceh itu sangat menyedihkah.
"Tidak tampak bahwa di situ terbaring seorang pejuang yang tak pernah kenal menyerah demi membela nasib agama dan bangsanya," tutur Adli seperti dikutip dari tulisannya berjudul Muhammad Daud Syah yang dimuat Harian Serambi Indonesia 24 Februari 2013.
Menurut Adli kehidupan Sultan Muhammad Daud Syah tidak seindah dan semewah raja-raja lain di nusantara yang mengakui keberadaan penjajah kolonial, dimana mereka menerima kemegahan dan status sosial sampai ke keturunannya kini.
Sedangkan Muhammad Daud Syah sejak ditabalkan menjadi raja, hidupnya terus bergerilya dalam hutan-hutan Aceh demi mempertahankan marwah negerinya sampai ia ditangkap dan dibuang oleh Belanda dan meninggal dalam pengasingan, tanpa pernah menyerahkan kedaulatan Aceh kepada kaum penjajah dan tidak pernah dimakzulkan (diturunkan) secara adat Aceh.
Pada awal Desember 2012 Adli berziarah ke makam sultan. Ternyata, tidak sulit menemukannya walaupun tidak ada tanda yang menunjukkan bahwa di tempat itu Sultan Aceh terakhir ini dimakamkan.
Di pusaranya tertulis, “Toeankoe Sultan Muhammad Daoed ibnal Marhoem Toeankoe Zainal Abidin Alaiddin Syah, wafat hari Senen 6 Februari 1939.”
Tim Peubeudoh Sejarah dan Budaya Aceh (Peusaba) sempat mengusulkan Sultan Muhammad Daud Syah menjadi pahlawan nasional. Namun sampai kini usulan itu belum mendapat respons positif dari pemerintah. (serambinews)
Sultan Muhammad Daud Syah lahir pada tahun 1871, dua tahun sebelum Belanda menyerang Aceh pada 26 Maret 1873 M. Pada usia tujuh tahun, dia diangkat sebagai sultan Aceh di Masjid Indrapuri pada Kamis, 26 Desember 1878 M, menggantikan Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1874) yang meninggal pada 28 Januari 1874 karena wabah kolera dan dimakamkan di Cot Bada Samahani, Aceh Besar.
Namun tidak seperti sultan Aceh lainnya, Muhammad Daud Syah memiliki riwayat hidup yang tragis dan menyedihkan. Pemerintah Kolonial Belanda membuang Sultan Muhammad Daud Syah ke Pulau Jawa pada 24 Desember 1907.
Belanda menganggap sultan tidak bisa diajak berkerja sama dengan Belanda yang kala itu sudah menguasai Kutaraja. Sultan menolak menandatangani MoU damai dengan Belanda.
Bahkan draf surat damai dirobek Sultan Muhammad Daud Syah di Pendopo Jenderal Van Heutz (pendopo Gubernur Aceh sekarang). Karena tidak mengakui kekuasaan penjajah, pada 3 Februari 1903, sultan oleh Belanda dijadikan tahanan rumah (diintenir) di kampung Keudah, Banda Aceh.
Dia hanya diperbolehkan bergerak bebas di sekitar Kutaraja. Meski dalam tahanan rumah, sultan masih dapat menjalankan pengaruhnya menyusun siasat menyerang Belanda di Kutaraja secara diam-diam bersama pembesar Aceh seperti Tuanku Hasyem Banta Muda, Teuku Panglima Polem Muda Kuala dan Teungku Syiek di Tanoh Abee.
Pada tahun 1880, Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman yang baru pulang dari Mekkah juga ikut bergabung. Melihat kondisi tak menguntungkan ini, pada 24 Desember 1907 Belanda menangkap dan membuang sultan bersama keluarga inti yaitu anaknya Tuanku Raja Ibrahim dan Teungku Bungsu serta pengikutnya ke Bandung dan Ambon.
Sebelumnya, pada tanggal 26 November 1902, Teungku Putroe Gambo Gadeng bin Tuanku Abdul Majid bersama anaknya Tuanku Raja Ibrahim (6) disandera oleh Belanda di Gampong Glumpang Payong Pidie. Tujuan penyanderaan ini agar Sultan Muhammad Daud Syah menyerahkan diri kepada Belanda.
Pada tahun 1918 kemudian sultan dan keluarga dipindahkan ke Jatinegara, Jakarta sampai meninggal pada 6 Februari 1939 dan dimakamkan di Pekuburan Umum Kemiri, Rawamangun, Jakarta. Lokasi pusaranya berdekatan dengan Kampus Universitas Negeri Jakarta sekarang. Menurut kesaksian sejarawan Aceh Dr M Adli Abdullah kondisi makam sultan terakhir Aceh itu sangat menyedihkah.
"Tidak tampak bahwa di situ terbaring seorang pejuang yang tak pernah kenal menyerah demi membela nasib agama dan bangsanya," tutur Adli seperti dikutip dari tulisannya berjudul Muhammad Daud Syah yang dimuat Harian Serambi Indonesia 24 Februari 2013.
Menurut Adli kehidupan Sultan Muhammad Daud Syah tidak seindah dan semewah raja-raja lain di nusantara yang mengakui keberadaan penjajah kolonial, dimana mereka menerima kemegahan dan status sosial sampai ke keturunannya kini.
Sedangkan Muhammad Daud Syah sejak ditabalkan menjadi raja, hidupnya terus bergerilya dalam hutan-hutan Aceh demi mempertahankan marwah negerinya sampai ia ditangkap dan dibuang oleh Belanda dan meninggal dalam pengasingan, tanpa pernah menyerahkan kedaulatan Aceh kepada kaum penjajah dan tidak pernah dimakzulkan (diturunkan) secara adat Aceh.
Pada awal Desember 2012 Adli berziarah ke makam sultan. Ternyata, tidak sulit menemukannya walaupun tidak ada tanda yang menunjukkan bahwa di tempat itu Sultan Aceh terakhir ini dimakamkan.
Di pusaranya tertulis, “Toeankoe Sultan Muhammad Daoed ibnal Marhoem Toeankoe Zainal Abidin Alaiddin Syah, wafat hari Senen 6 Februari 1939.”
Tim Peubeudoh Sejarah dan Budaya Aceh (Peusaba) sempat mengusulkan Sultan Muhammad Daud Syah menjadi pahlawan nasional. Namun sampai kini usulan itu belum mendapat respons positif dari pemerintah. (serambinews)
loading...
Post a Comment