Rakyat Aceh pada masa peperangan |
Sejak dunia berkembang, Bangsa Aceh dikenal dalam sejarah perkembangan bangsa-bangsa Asia Tenggara sebagai The Balcony of Mecca (Serambi Mekkah) disebabkan peranannya sebagai pelopor Islam di Asia Tenggara.
Mulai dari zaman Sulthan Alaidin Malikussalih (659-688 H./1261-1289 M.), telah berdatangan ulama-ulama dari Arab, Yaman, Persia dan India, antara lain Syeikh Hamzah al Fansuri yang membuka pusat pendidikan Islam di Aceh, Syeikh Abdurrauf as-Singkili (Syiah Kuala), dan Syeikh Nuruddin Ar-Raniry.
Pada masa kegemilangan Aceh ini jelas tujuan bangsa Aceh sebagai umat Islam sejati, yang benar-benar menyerahkan dirinya kepada Allah sang Maha Pencipta.
Motto hidupnya diucapkan dalam permulaan shalatnya paling kurang 5 kali sehari, “Sesungguhnya shalatku (pengabdianku), ibadahku (apa saja yang aku lakukan), hidupku dan matiku, semuanya untuk-Mu ya Allah, Tuhan dari alam jagad raya.”
Aceh hari ini
Sebagai orang tua Aceh dan sebagai sesepuh pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM), saya melihat Aceh sekarang sangat parah dibandingkan dengan Aceh masa lalu, atau Aceh 1945 atau Aceh masa perjuangan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Aceh hari ini tidak jelas lagi visi dan misi perjuangan bangsa.
Aceh hari ini ngawur dalam bidang ekonomi, pertanian, peternakan, politik pemerintahan, dan pembangunan negeri. Aceh hari ini tidak menentu dari segi dekadensi moral termasuk penggunaan narkoba.
Rakyat Aceh kini berada dalam kebingungan akan kesadaran bernegara, dan beragama. Mereka berada dalam keadaan identity crisis, tidak mengenal siapa dirinya, bagaimana sejarah bangsanya.
Sehingga tidak tahu menempatkan dirinya di tengah-tengah pergolakan bangsa-bangsa Melayu di Asia Tenggara. Tidak mempunyai visi dan misi untuk masa depan, apalagi sebagai satu bangsa di tengah-tengah peradaban internasional.
Dibandingkan 1945, saat-saat Aceh telah memperoleh kembali kebebasannya, bebas dari pendudukan dan pendjadjahan Belanda dan Jepang, tidak ada tekanan dari pihak manapun.
Pada waktu ini, Aceh benar-benar dalam keadaan satu momentum emas, satu kesempatan yang benar-benar langka, kembali kepada posisinya sebagai satu bangsa yang merdeka seperti sebelum invasi Belanda pada 1873.
Pada waktu ini rakyat Aceh benar-benar dalam keadaan lega, euphoria, hingga lupa diri akan identitasnya sebagai satu bangsa yang merdeka, sebagai pelopor Islam di Asia Tenggara.
Sehingga tidak tahu untuk mengibarkan simbol kebangsaannya, benderanya, bendera Aceh, untuk menegakkan kembali negaranya seperti semula sebelum penjajah Belanda dan Jepang menduduki Aceh.
Ironisnya malah ada sebahagian para uleebalang yang ingin mengembalikan penjajah Belanda untuk kembali menjajah Aceh dengan janji memberikan hak-hak istimewa kepada uleebalang untuk menjajah bangsanya sendiri. Mayoritas masyarakat Aceh masa itu bersatu untuk menaikkan bendera merah-putih, satu bendera baru di Aceh yang belum pernah eksis dibumi Aceh sebelumnya.
Rakyat bersatu-padu meneriakkan pekik merdeka, menunjukkan solidaritas mereka terhadap seluruh bangsa-bangsa melayu diluar Aceh yang dulunya sama-sama dijajah Belanda dan Jepang.
Padahal tidak ada persamaan sejarah mereka kecuali hanya sama-sama dijajah oleh Belanda dan Jepang. Apakah ini disebabkan keluhuran budi bangsa Aceh yang sudah biasa dengan solidaritas terhadap bangsa Islam lain di Nusantara?
Mengapa orang Aceh sampai melupakan identitas mereka sendiri sebagai satu bangsa di Asia Tenggara yang mempunyai negara, pemerintahan, bendera, bahasa dan sejarahnya sendiri yang sungguh gemilang? Ini, tentunya, memerlukan analisa dan pembahasan khusus tersendiri, terlalu kompleks untuk dibahas dalam forum ini.
Mengapa mereka tidak menyatakan kemerdekaannya lebih dulu, kemudian mendukung kemerdekaan bangsa-bangsa Melayu lainnya yang pernah dijajah oleh Belanda? Malah ajakan pemimpin Melayu Deli, Tengku Mansur untuk membentuk negara Sumatera ditolak oleh pemimpin Aceh masa itu.
Pada zaman itu rakyat Aceh lebih bersatu, tidak banyak terpecah seperti sekarang ini. Hanya terpecah dua, yaitu yang satu ingin menaikkan kembali bendera penjajah Belanda, Merah Putih Biru, dan yang satunya ingin menaikkan Bendera Merah Putih. Mungkin dianggap sebagai bendera pemersatu umat Islam, meskipun keduanya bukan bendera Aceh.
Proses kemerdekaan RI berlangsung timbul-tenggelam 1945-1949. Pada mulanya RI yang baru lahir ini berbentuk negara Persatuan, sebagai Federasi persatuan perwakilan bangsa-bangsa Melayu Nusantara, dengan nama RIS (Republik Indonesia Serikat).
Dalam 1949-1953, rakyat Aceh, Jawa Barat, Banjar, dan Bugis, baru sadar bahwa negara yang mereka perjuangkan itu bukan negara Islam. Tiga wilayah Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim itu bersatu dan memproklamirkan DII/TII di bawah pimpinan Imam Kartosuwiryo.
Perjuangan DI/TII bukanlah perjuangan menghancurkan RI, tetapi satu perjuangan umat Islam Indonesia untuk mengubah konstitusi RI menjadi konstitusi Islam. Pada masa inilah kembali terlihat persatuan dan solidaritas rakyat Aceh, sehingga hampir seluruh rakyat Aceh mendukung perjuangan DI/TII.
Tanda solidaritas
Pada 4 Desember 1976, Dr Tgk Hasan Muhammad di Tiro, memproklamirkan Negara Aceh Sumatra Merdeka. Meskipun proklamasi ini merupakan double standard terhadap proklamasi RIA yang telah diproklamirkan oleh Tgk Muhammad Daud Beureu-éh 15 Agustus 1961, beliau tidak mempersoalkan hal ini. Bahkan, beliau mendukung kepemimpinan Tgk Hasan Tiro dan membantu perjuangan Aceh Merdeka (AM).
Itu menunjukkan tanda solidaritas yang ikhlas dari kepemimpinan generasi tua kepada generasi muda Aceh. Hampir seluruh Aceh ikut terlibat dan menyokong organisasi AM ini.
Namun demikian, patut disesalkan perpecahan GAM justeru terjadi ketika Tgk Hasan di Tiro mulai uzur. Waktu itu terjadi perebutan kekuasaan antara petinggi-petinggi GAM yang mengakibatkan perpecahan masyarakat Aceh hingga kini.
Sebagian orang GAM berhasil mendominasi GAM lainnya dan bertindak seolah-olah mereka bukan wakil semua kelompok GAM yang telah terpecah-belah, tetapi mereka sebagai wakil semua masyarakat Aceh. Demikian yang terjadi hingga berlangsungnya perdamaian MoU Helsinki 15 Agustus 2005.
Hasan tiro proklamirkan Aceh Merdeka |
“Pilihlah aku, karena akulah pahlawan Aceh yang berhak atas Aceh!” Tanpa menghiraukan bahwa hampir semua rakyat Aceh ikut terlibat secara langsung atau tidak langsung di masa konflik 1976-2005.
Kini, ada tiga partai lokal Aceh --Partai Aceh (PA), Partai Nasional Aceh (PNA), dan Partai Daulat Aceh (PDA)-- yang mungkin di dalamnya masih ada bekas-bekas pejuang AM, atau keturunan-keturunan mereka.
Ironisnya ketiganya tidak lagi menunjukkan barisan yang membela kepentingan umum rakyat Aceh, yang manifestasinya kita lihat sewaktu Pilkada 2012 lalu, adanya intimidasi sesamanya sampai-sampai terjadi pembakaran posko dan penembakan terhadap pihak lawan.
Di samping tiga partai tersebut diatas ada golongan-golongan radikal yang tidak mengakui MoU Helsinki, dan ada pula golongan yang mencoba menggagalkan Pilkada 2017.
Ada lagi golongan baru yang ingin memerdekakan Aceh dan menganggap pengkhianat semua pejuang-pejuang GAM 1976, yang terdahulu, menghalalkan semua darah mereka tanpa satu peradilan yang jelas.
Na’uzubillah, saya mengharapkan tidak ada lagi darah bangsa Aceh yang akan tertumpah dan tidak ada lagi anak yatim baru, akibat dari pergaduhan perebutan kekuasaan dan perang saudara sesama bangsa Aceh. Semoga! (tribunnews)
* Dr. Tgk. H. Husaini Hasan, mantan Menteri Pendidikan Aceh Merdeka. Email: tengkuhalimon@gmail.com
loading...
Post a Comment