Oleh Thayeb Loh Angen
Meurah adalah julukan raja-raja di Aceh
sebelum datangnya agama Islam. Setelahnya, gelar Meurah berganti dengan
Sultan. Meurah Pupok memiliki nama panggilan sayang, yaitu Poteu Tjoet
(Pocut). Poteu artinya “raja”, sedangkan Tjoet artinya “kecil”. Meurah
Pupok adalah putra kesayangan Sultan Iskandar Muda.
Kematian
Meurah Pupok adalah salah satu malapetaka terbesar dalam Kesultanan Aceh
Darussalam. Ketika para pembantunya menanyakan kepada Sulan Iskandar
Muda, mengapa hingga sampai hati melaksanakan hukuman pancung pada anak
laki-lakinya yang telah dipersiapkan untuk menggantikan kedudukan beliau
sebagai Sultan Aceh nantinya, maka Sultan menjawab,
“Matee aneuk meupat jirat, tapi matee hukom pat tamita”.
(tewas anak dapat ditandai makamnya tapi bila hilang hukum akan dicari kemana).
Meurah
Pupok, putranya tersebut merupakan satu-satunya penerus Kesultanan
Aceh. Berdasarkan literatur Bustanussalatin dan keterangan dari pamplet
yang tertera di makam Meurah Pupok di Komplek Peutjut (Kherkoff).
Malapetaka
itu berawal ketika seorang tentara asal Pedir melaporkan bahwa Meurah
Pupok telah berzina dengan istrinya. Ia mengaku telah membunuh perempuan
tersebut. Ia meminta keadilan Sultan Iskandar Muda supaya membunuh
Meurah Pupok demi keadilan. Sultan Iskandar Muda ingin menyampaikan itu
kepada Qadhi Malikul Adil sebagai ketua mahkamah kesultanan. Namun Putri
Kamaliah atau Putroe Phang bersikeras bahwa sultan bisa melakukan
hukuman itu sendiri.
Sebelum eksekusi pancung dilaksanakan,
keputusan ini telah dicegah oleh banyak pihak dalam istana Darud Dunia
termasuk Seri Raja Panglima Wazir Mizan (Menteri Kehakiman Kerajaan
Aceh) dengan membujuk agar hukuman itu tidak dilaksanakan. Tetapi Putri
Kamaliah tetap bersikeras bahwa Meurah Pupok harus dipancung. Sultan
Iskandar Muda tidak percaya tuduhan terhadap putranya yang ta’at
tersebut, namun karena desakan Putri Kamaliah dan orang di
sekelilingnya, maka tanpa pengadilan Meurah Pupok pun dipancung di
hadapan ribuan masyarakat banyak.
Setelah Meurah Pupok dibunuh,
sehari setelahnya Sultan mengangkat Iskandar Tsani sebagai putra mahkota
penggantinya. Tak lama setelah itu, Sultan Iskandar Muda wafat karena
sakit yang menurut dugaan orang terpercayanya, ia diracun. Satu pihak
lagi mengatakan bahwa penyesalan karena membunuh anaknya sendiri tanpa
kesalahan membuat ia kehilangan semmangat hidup. Maka lemahlah
pemerintahan kesultanan saat itu.
Karena Iskandar Tsani telah
diangkat sebagai putra mahkota, maka ia diangkat sebagai sultan Aceh
pengganti Iskandar Muda. Namun, Putri Safiatuddin mencium ketidak
beresan itu. Bagaimana sebuah peristiwa bisa begitu aneh, orang-orang
yang dicintainya meninggal dalam waktu hampir bersamaan. Karena tidak
percaya abang kesayangannya berzina, maka ia dan pengawal terpercayanya
mencari kebenaran. Ia menemukan bahwa itu adalah fitnah yang telah
dirancang. Lelaki yang melaporkan istrinya berzina tersebut, tewas
beberapa hari setelahnya.
Setelah Safiatuddin berhasil menguak
kebenaran, ia menyampaikannya kepada Tuha Peuet Kesultanan dan seluruh
menteri, maka suaminya yang merupakan anak Putri Pahang, Iskandar Tsani,
dimakzulkan. Safiatuddin menemukan bahwa Putri Pahang di balik
konspirasi itu kerjasama dengan Nuruddin. Karena peristiwa itulah makam
Putri Pahang tidak diketahui sampai sekarang, dan Nuruddin melarikan
diri ke negeri asalnya, Ranir, India setelah kalah debat dengan seorang
murid Hamzah Fansuri. Lalu, Safiatuddin memasang batu nisan selayaknya
keluarga kesultanan di makam Meurah Pupok.
Sumber: Po Cut Salma, dan orang tua turunan pembesar Kesultanan Aceh Darussalam lainnya.
Thayeb Loh Angen, juru propaganda kebudayaan.
Sumber: peradabandunia.com
loading...
Post a Comment