Assalamualaikum, Allah Akbar, Allah Akbar, Allah Akbar,
Ulon katroh teuka u Atjeh
Saleum meusyeuhu
Ulon katroh teuka u Atjeh
Saleum meusyeuhu
Itulah kalimat yang diucapkan dengan nada
bergetar oleh Paduka Nyang Mulia Mukarram Maulana Al Mudabbir al-Malik
Dr. Tengku Hasan M. di Tiro, B.S.,M.A.,LL.D. Ph.D, Sabtu (11/10/2008)
sekitar pukul 13.00 WIB, tepatnya pada 10 Idul Fitri 1429 Hijriah di
atas panggung besar berdekorasi adat, di depan Mesjid Raya Baiturrahman,
Banda Aceh.
Murizal Hamzah dalam buku: Hasan Tiro, Jalan Panjang
Menuju Damai Aceh, terbitan Bandar Publishing, 2014, menuliskan,
sepenggal kalimat bergetar itu diucapkan oleh Hasan Tiro di hadapan 100
ribu warga yang menyambut kepulangan Hasan Tiro.
Dalam buku
tersebut, Murizal Hamzah menuliskan juga, usai mengucapkan salam
pembuka, ia segera menyerahkan microfon (pengeras suara-red) kepada
mantan Perdana Menteri GAM Malik Mahmud untuk membaca naskah pidato atas
nama Hasan Tiro. Inti orasi yang dibacakan oleh Malik Mahmud itu secara
umum menyerukan menjaga perdamaian.
Kepulangan deklarator Aceh
Merdeka itu merupakan buah dari lahirnya Memorandum of Understanding
(MoU) yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005
yang dimediatori oleh Crisis Management Initiative (CMI). Dua tahun
kemudian pasca hadir di Baiturahman, Hasan Tiro mendapatkan surat
keputusan menjadi WNI. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada 2 Juni
2010. Surat keputusan tersebut diserahkan oleh Djoko Suyanto. Besoknya
pada Kamis 3 Juni 2010, pada usia 85 tahun Hasan Tiro meninggal dunia.
Dalam
sebuah artikelnya yang dimuat oleh aceHTrend pada 3 Juni 2017, Yusra
Habib Abdul Gani (tokoh GAM di luar negeri) menulis sebuah tulisan
berjudul: Di Mata Hasan Tiro Aceh Sudah Merdeka?. Dalam artikel tersebut
ia menguraikan sebagai berikut:
Di celah-celah perundingan, Hasan Tiro menerima laporan bahwa “MoU Helsinki merupakan kemenangan besar, karena telah mengalahkan Indonesia dan menoreh sejarah gemilang bagi Aceh menuju merdeka. Enam pasal MoU Helsinki sudah cukup untuk mengatakan Aceh menang dan merdeka. MoU ini telah memberi ruang kepada Aceh untuk bergerak bebas walaupun Indonesia tidak sadar akan hal ini. Aceh benar-benar merdeka –satu bendera, satu lagu dan satu bahasa– Tengku dapat kembali ke Aceh untuk memproklamirkan kemerdekaan Aceh untuk kali kedua.” (Laporan Bakhtiar Abdullah kepada Hasan Tiro (tarikh?). Dokumen ini kami simpan. Apapun kisahnya, yang pasti Hasan Tiro baru memperoleh naskah MoU Helsinki dua minggu sebelum penandatanganan MoU Helsinki. Itupun, setelah Abdullah Ilyas mengirimnya melalui fax. dari Kantor Post Rotterdam, Belanda; bukan dari tangan juru runding GAM. (Yusra Habib Abdul Gani, Satus Aceh Dalam NKRI: 2008).
Di celah-celah perundingan, Hasan Tiro menerima laporan bahwa “MoU Helsinki merupakan kemenangan besar, karena telah mengalahkan Indonesia dan menoreh sejarah gemilang bagi Aceh menuju merdeka. Enam pasal MoU Helsinki sudah cukup untuk mengatakan Aceh menang dan merdeka. MoU ini telah memberi ruang kepada Aceh untuk bergerak bebas walaupun Indonesia tidak sadar akan hal ini. Aceh benar-benar merdeka –satu bendera, satu lagu dan satu bahasa– Tengku dapat kembali ke Aceh untuk memproklamirkan kemerdekaan Aceh untuk kali kedua.” (Laporan Bakhtiar Abdullah kepada Hasan Tiro (tarikh?). Dokumen ini kami simpan. Apapun kisahnya, yang pasti Hasan Tiro baru memperoleh naskah MoU Helsinki dua minggu sebelum penandatanganan MoU Helsinki. Itupun, setelah Abdullah Ilyas mengirimnya melalui fax. dari Kantor Post Rotterdam, Belanda; bukan dari tangan juru runding GAM. (Yusra Habib Abdul Gani, Satus Aceh Dalam NKRI: 2008).
Pasca
penandatanganan MoU Helsinki dikatakan: ”kita telah berhasil membuat
satu perjanjian dengan pihak pemerintah Indonesia. Apa yang diputuskan
merupakan satu langkah dari banyak langkah ke depan yang akan kita ambil
alih untuk mengamankan dan memakmurkan Aceh. Kita akan bentuk
pemerintahan sendiri (self-government) di Aceh seperti tertulis dalam
MoU sesuai dengan kehendak bangsa Aceh, seperti bebas dalam hal politik,
ekonomi, pendidikan, agama, hukum, keadilan secara demokrasi.” (Malik
Mahmud, 15 Agustus 2005). Realitas yang terjadi ternyata tidak dapat
diemplementasikan. Propaganda ini dipakai untuk meyakinkan Hasan Tiro
supaya mau pulang ke Aceh, yang kemudiannya dikorbankan. Selanjutnya
loading...
Post a Comment