Masjid King Faisal di Marawi | pinoyadventurista.com |
AMP - Pakar naskah kuno dari UIN Jakarta, Oman Fathurahman, dalam artikelnya di Republika pada Jumat, 8 Maret 2012, menuliskan, Islam di Marawi dipengaruhi oleh Aceh. Menurutnya, kitab karangan ulama Aceh seperti Nuruddin Ar-Raniri dan Abdulrauf Al-Singkili di masa lalu menjadi kajian orang-orang Maranao--sebutan untuk puak Marawi.
Oman mendapatkan keterangan itu setelah menelisik 12 manuskrip Islam berbahasa Melayu yang teronggok tak terawat dalam karung plastik di Shiek Ahmad Basher Memorial Research Library, Jamiat Muslim Mindanao di Matampay, Marawi City.
Marawi City berada di tengah Mindanao, pulau terbesar kedua di Filipina setelah Luzon. Letaknya di tepi Utara Danau Lanao yang indah. Kota ini berjarak hampir beratus kilometer dari Manila, ibu kota Filipina.
Naskah tua itu juga memuat informasi tentang sosok ulama bernama Abdullah bin Abdul Qahhar al-Bantani. Abdullah merupakan ulama penting di Kesultanan Banten pada abad 18. Ia ternyata guru intelektual bagi sejumlah ulama Mindanao.
“Menyimak lembar demi lembar manuskrip yang hampir seluruhnya berbahasa Melayu dan Arab tersebut, membawa saya pada satu asumsi bahwa hubungan keilmuan antara Muslim Mindanao dengan ulama-ulama Nusantara di Aceh dan Banten telah terjalin cukup kuat pada masa lalu,” tulis Oman.
Naskah lain yang ditemukan Oman berupa manuskrip tasawuf berjudul Sayyid al-Ma’arif karangan ulama Mindanao, Syekh Ihsan al-Din. Di dalamnya disebutkan, “…bahwasanya syekh kita, Syekh Haji Abdullah ibn Abdul Qahhar al-Syattari al-Syafi’i Banten telah mengambil Tarekat al-Syattari jalan kepada Allah…”. Abdul Qahhar al-Bantani yang disebut sebagai “syekh kita” itu adalah mursyid Tarekat Syattariyah pada masa Sultan Zain al-Asyiqin, penguasa Kesultanan Banten abad 18.
Selain itu, nama-nama guru yang disebut dalam silsilah ulama Mindanao ternyata memiliki hubungan dengan Ahmad al-Qusyasyi. Oman menuliskan, Ahmad al-Qusyasyi merupakan guru bagi ulama Aceh terkemuka abad ke-17, Abdurrauf al-Jawi al-Sinkili atau Syiah Kuala.
Bukti hubungan intelektual Muslim Maranaos dengan Aceh juga dapat ditemukan dalam beberapa manuskrip koleksi Shiek Ahmad Basher di Jamiat Muslim Mindanao. Antara lain, menyebut kitab tasawuf Umdat al-muhtajin karya Syiah Kuala dan kitab hadis Hidayat al-Habib fi al-Targhib wa al-Tarhib karya Nuruddin al-Raniri sebagai rujukan dalam karya-karyanya.
Bahkan, kata Oman, bukti lain ada di Perpustakaan Nasional Jakarta dalam sebuah naskah Melayu berjudul Bidayat al-Mubadi ‘ala ‘Aqidat al-Mubtadi karangan Abdul Majid Mindanawi. Di akhir halaman, Abdul Majid menjelaskan bahwa ia menulis karyanya ini fi balad al-Asyi (Aceh) pada hari Jumat, 6 Rajab masa Pemerintahan Sultan Mahmud Syah (1767-1787), pewaris tahta dari Sultan Johan Syah.
Bisa jadi, tulis Oman, Abdul Majid pernah belajar langsung kepada ulama-ulama terkemuka di Aceh masa itu. Ia juga merasa cukup dekat dengan kalangan istana.
Selain di Jamiat Muslim Mindanao, Oman juga berkunjung ke Maktabat al-Imam Assadiq, Masjid Karbala. Di tempat ini tersimpan 49 manuskrip Islam dalam bahasa Melayu dan Arab. Manuskrip ditulis oleh Haji Muhammad Said, ulama pengembara abad 19 dari Magonaya, Mindanao. Muhammad Said pernah singgah di Borneo, Lingga, Johor, dan Palembang.
Oman mendapatkan keterangan itu setelah menelisik 12 manuskrip Islam berbahasa Melayu yang teronggok tak terawat dalam karung plastik di Shiek Ahmad Basher Memorial Research Library, Jamiat Muslim Mindanao di Matampay, Marawi City.
Marawi City berada di tengah Mindanao, pulau terbesar kedua di Filipina setelah Luzon. Letaknya di tepi Utara Danau Lanao yang indah. Kota ini berjarak hampir beratus kilometer dari Manila, ibu kota Filipina.
Naskah tua itu juga memuat informasi tentang sosok ulama bernama Abdullah bin Abdul Qahhar al-Bantani. Abdullah merupakan ulama penting di Kesultanan Banten pada abad 18. Ia ternyata guru intelektual bagi sejumlah ulama Mindanao.
“Menyimak lembar demi lembar manuskrip yang hampir seluruhnya berbahasa Melayu dan Arab tersebut, membawa saya pada satu asumsi bahwa hubungan keilmuan antara Muslim Mindanao dengan ulama-ulama Nusantara di Aceh dan Banten telah terjalin cukup kuat pada masa lalu,” tulis Oman.
Naskah lain yang ditemukan Oman berupa manuskrip tasawuf berjudul Sayyid al-Ma’arif karangan ulama Mindanao, Syekh Ihsan al-Din. Di dalamnya disebutkan, “…bahwasanya syekh kita, Syekh Haji Abdullah ibn Abdul Qahhar al-Syattari al-Syafi’i Banten telah mengambil Tarekat al-Syattari jalan kepada Allah…”. Abdul Qahhar al-Bantani yang disebut sebagai “syekh kita” itu adalah mursyid Tarekat Syattariyah pada masa Sultan Zain al-Asyiqin, penguasa Kesultanan Banten abad 18.
Selain itu, nama-nama guru yang disebut dalam silsilah ulama Mindanao ternyata memiliki hubungan dengan Ahmad al-Qusyasyi. Oman menuliskan, Ahmad al-Qusyasyi merupakan guru bagi ulama Aceh terkemuka abad ke-17, Abdurrauf al-Jawi al-Sinkili atau Syiah Kuala.
Bukti hubungan intelektual Muslim Maranaos dengan Aceh juga dapat ditemukan dalam beberapa manuskrip koleksi Shiek Ahmad Basher di Jamiat Muslim Mindanao. Antara lain, menyebut kitab tasawuf Umdat al-muhtajin karya Syiah Kuala dan kitab hadis Hidayat al-Habib fi al-Targhib wa al-Tarhib karya Nuruddin al-Raniri sebagai rujukan dalam karya-karyanya.
Bahkan, kata Oman, bukti lain ada di Perpustakaan Nasional Jakarta dalam sebuah naskah Melayu berjudul Bidayat al-Mubadi ‘ala ‘Aqidat al-Mubtadi karangan Abdul Majid Mindanawi. Di akhir halaman, Abdul Majid menjelaskan bahwa ia menulis karyanya ini fi balad al-Asyi (Aceh) pada hari Jumat, 6 Rajab masa Pemerintahan Sultan Mahmud Syah (1767-1787), pewaris tahta dari Sultan Johan Syah.
Bisa jadi, tulis Oman, Abdul Majid pernah belajar langsung kepada ulama-ulama terkemuka di Aceh masa itu. Ia juga merasa cukup dekat dengan kalangan istana.
Selain di Jamiat Muslim Mindanao, Oman juga berkunjung ke Maktabat al-Imam Assadiq, Masjid Karbala. Di tempat ini tersimpan 49 manuskrip Islam dalam bahasa Melayu dan Arab. Manuskrip ditulis oleh Haji Muhammad Said, ulama pengembara abad 19 dari Magonaya, Mindanao. Muhammad Said pernah singgah di Borneo, Lingga, Johor, dan Palembang.
Berbeda dengan sekarang, kata Oman, 200 tahun lalu Bahasa Melayu populer di Marawi karena digunakan ulama dalam pengajaran Islam. Kini, Muslim Maranaos kini sudah hampir tidak mengenal lagi Melayu yang pernah menjadi bahasa intelektual leluhurnya.
“Padahal salah satu manuskrip dalam koleksi Shiek Ahmad Basher berisi pernyataan penulisnya bahwa ia sangat bangga dan telah berusaha keras menulis menggunakan bahasa Melayu agar terhubungkan dengan masyarakat Muslim lain di Nusantara, meski bahasa ibunya sendiri adalah Maranao.[kba.one]
“Padahal salah satu manuskrip dalam koleksi Shiek Ahmad Basher berisi pernyataan penulisnya bahwa ia sangat bangga dan telah berusaha keras menulis menggunakan bahasa Melayu agar terhubungkan dengan masyarakat Muslim lain di Nusantara, meski bahasa ibunya sendiri adalah Maranao.[kba.one]
loading...
Post a Comment