AMP - Matahari bersinar terik saat pasukan Amr bin Hisyam alias Abu Jahal
nyaris berhadapan dengan pasukan Muslimin yang terhalang bukit di Lembah
Badar. Tanah yang sebelumnya basah oleh hujan kini mengeras terkena
panas. Menyulitkan langkah Amr dan pasukannya mendaki gundukan-gundukan
bukit terjal berbatu. Namun amarah Amr sudah diubun-ubun. Pada 12 Maret
624 Masehi itu, dalam peristirahatan sehari menjelang perang, Amr
bersumpah di hadapan sekitar 1.000 orang Quraisy Mekkah untuk menghabisi
Muhammad dan pengikutnya.
“Demi Tuhan! Kita tak akan kembali sampai kita tiba di Badar. Kita akan menginap tiga hari di sana, menyembelih unta-unta, berpesta dengan minum anggur dan gadis akan bermain untuk kita. Orang-orang Arab akan mendengar bahwa kita telah datang dan akan menghormati klan Thalib pada masa yang akan datang,” kata Amr.
Kebencian Abu Jahal terhadap Muhammad dan kaum muslim sudah muncul sejak Nabi menerima dan menyebarkan wahyu pertama. Baginya, ajaran baru Muhammad bukan hanya keluar dari pakem budaya warisan nenek moyang, tapi juga menyinggung eksistensi Abu Jahal sebagai tokoh Quraisy Mekkah.
Intimidasi dan penganiayaan terhadap Nabi meningkat setelah Abu Thalib, paman sekaligus pelindung beliau, wafat pada 619. Suatu hari ketika Nabi tengah berjalan-jalan di Kota Mekah, seorang anak muda Quraisy melemparkan kotoran kepada beliau. Saat tiba di rumah Fatimah, anak perempuan Nabi yang masih kecil menangis melihat perlakuan yang dialami ayahnya. Nabi lantas berusaha menenangkan gadis kecil kesayangannya.
“Jangan menangis gadis kecilku. Karena Tuhan akan melindungi ayahmu”. Kalimat itu kemudian ditambahkan oleh Nabi untuk dirinya sendiri. “Quraisy tak pernah memperlakukan aku seburuk ini ketika Abu Thalib masih hidup,” tulis Karen Armstrong dalam Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis (1991).
“Demi Tuhan! Kita tak akan kembali sampai kita tiba di Badar. Kita akan menginap tiga hari di sana, menyembelih unta-unta, berpesta dengan minum anggur dan gadis akan bermain untuk kita. Orang-orang Arab akan mendengar bahwa kita telah datang dan akan menghormati klan Thalib pada masa yang akan datang,” kata Amr.
Kebencian Abu Jahal terhadap Muhammad dan kaum muslim sudah muncul sejak Nabi menerima dan menyebarkan wahyu pertama. Baginya, ajaran baru Muhammad bukan hanya keluar dari pakem budaya warisan nenek moyang, tapi juga menyinggung eksistensi Abu Jahal sebagai tokoh Quraisy Mekkah.
Intimidasi dan penganiayaan terhadap Nabi meningkat setelah Abu Thalib, paman sekaligus pelindung beliau, wafat pada 619. Suatu hari ketika Nabi tengah berjalan-jalan di Kota Mekah, seorang anak muda Quraisy melemparkan kotoran kepada beliau. Saat tiba di rumah Fatimah, anak perempuan Nabi yang masih kecil menangis melihat perlakuan yang dialami ayahnya. Nabi lantas berusaha menenangkan gadis kecil kesayangannya.
“Jangan menangis gadis kecilku. Karena Tuhan akan melindungi ayahmu”. Kalimat itu kemudian ditambahkan oleh Nabi untuk dirinya sendiri. “Quraisy tak pernah memperlakukan aku seburuk ini ketika Abu Thalib masih hidup,” tulis Karen Armstrong dalam Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis (1991).
Hijrah
Puncaknya, pada September 622, dalam satu pertemuan yang melibatkan para
pemuka Quraisy, Abu Jahal mengusulkan pembunuhan terhadap Nabi. Agar
tak menciptakan dendam di keluarga bani hasyim (klan Nabi), Abu Jahal
meminta setiap pemuda berpengaruh yang ada di bani-bani Quraisy turut
terlibat. Dengan begitu, setidaknya setiap bani akan bertanggung jawab
memberikan uang ganti darah yang memuaskan keluarga Bani Hasyim. Di sisi
lain, Bani Hasyim juga tidak akan mungkin menuntut balas kepada
mayoritas bani Quraisy.
Namun, persekongkolan itu telah diketahui Nabi melalui malaikat Jibril. Secara cerdik, Nabi hijrah meninggalkan rumahnya bersama Abu Bakar menuju Yastrib (Madinah). Di saat yang sama, ia mengizinkan Ali mengisi tempat tidurnya untuk mengecoh para pemuda Quraisy yang telah mengepung rumahnya.
Mayoritas penduduk Madinah menyambut kedatangan Nabi dengan hangat. Hal ini ditandai dengan kesempatan saling melindungi antara kaum muslim, Yahudi, dan suku-suku di Yastrib melalui Piagam Madinah. Piagam Madinah menandai fase awal Islam sebagai pemersatu. “Bukannya pemecah belah,” tulis Armstrong.
Meski demikian, hal ini bukan berarti konflik dengan Quraisy Mekkah reda sama sekali. Kaum Muhajirin (penduduk Mekkah muslim yang ikut hijrah) mengalami kesulitan-kesulitan mencari nafkah di Madinah. Sehingga banyak dari mereka yang menggantungkan hidup kepada kaum Anshar (penduduk Madinah yang telah memeluk Islam).
Saat itulah turun wahyu Surat Al Hajj ayat 39-40 yang mengizinkan Nabi bersama pengikutnya memerangi orang yang memerangi mereka. Ini ayat Alquran yang berisi perintah jihad.
Dengan nada yang simpatik, Armstrong berpendapat perintah jihad dalam Alquran memiliki makna yang lebih luas dari sekadar perang suci. Jihad, menurutnya, memiliki makna yang kaya sebagai perjuangan moral, spiritual, serta politik untuk menciptakan masyarakat adil dan sejahtera tanpa penindasan sebagaimana perintah Tuhan.
“Ada banyak kata Arab yang berarti perang seperti harb (war), sira’ah (combat), ma’arakah (battle), atau qital (killing) yang dengan mudah (bisa) digunakan Alquran jika perang merupakan cara pokok muslim mencapai keberhasilan,” katanya, menyindir kritikus Islam di Barat yang menyebut Islam agama doyan berperang.
Setelah wahyu tentang jihad turun, Nabi bersama kaum Muhajirin menerapkan ghazwu atau serangan demi bertahan hidup yang biasa dilakukan masyarakat Arab nomaden. Ghazwu menyasar kafilah dagang Quraisy Mekkah dengan berfokus pada upaya mengambil harta benda, hewan ternak, dan hasil dagang seraya menghindari jatuhnya korban jiwa.
Namun, serangan-serangan yang dimulai sejak 623 ini kerap mengalami kegagalan. Ini karena umat Islam memiliki sedikit sekali informasi mengenai waktu dan rute perjalanan musuh. Sehingga tidak ada kerugian dan korban yang jatuh di pihak lawan.
Pada September 623, Nabi memutuskan untuk memimpin langsung penyerbuan terhadap rombongan dagang yang dipimpin Ummayah—orang yang pernah menyiksa Abu Bakar. Lagi-lagi usaha menyergap kafilah yang membawa 2.500 unta itu mengalami kegagalan.
Pada Januari 624, insiden serius terjadi pada akhir bulan Rajab yang dianggap suci. Kala itu, satu dari tiga orang pedagang Quraisy Mekkah yang sedang berkemah di lembah Nakhlah (antara Mekkah dan Thaif) tewas terkena panah pasukan Abdullah bin Jahsy dalam sebuah misi ghazwu. Peristiwa ini dengan segera menimbulkan kemarahan dan dendam di kalangan Quraisy Mekkah. Bagi mereka, hal ini bukan saja ancaman keamanan, tapi penghinaan terhadap keyakinan masyarakat Arab yang menyucikan bulan Rajab dari peperangan.
Nabi sendiri juga tak menyangka misi yang ia perintahkan bakal menimbulkan korban jiwa. Namun, beliau tidak ingin menyalahkan Abdullah sepenuhnya. Betapapun, penindasan yang dilakukan Quraisy Mekkah kepada kaum muslim dengan cara mengeluarkan mereka dari sukunya merupakan kejahatan yang lebih serius dan melanggar nilai-nilai bangsa Arab. Di sisi lain Nabi tampaknya juga ingin “menyelesaikan” kepercayaan bulan-bulan suci masyarakat Arab yang merupakan bagian dari sistem penyembahan berhala. SELANJUTNYA
Namun, persekongkolan itu telah diketahui Nabi melalui malaikat Jibril. Secara cerdik, Nabi hijrah meninggalkan rumahnya bersama Abu Bakar menuju Yastrib (Madinah). Di saat yang sama, ia mengizinkan Ali mengisi tempat tidurnya untuk mengecoh para pemuda Quraisy yang telah mengepung rumahnya.
Mayoritas penduduk Madinah menyambut kedatangan Nabi dengan hangat. Hal ini ditandai dengan kesempatan saling melindungi antara kaum muslim, Yahudi, dan suku-suku di Yastrib melalui Piagam Madinah. Piagam Madinah menandai fase awal Islam sebagai pemersatu. “Bukannya pemecah belah,” tulis Armstrong.
Meski demikian, hal ini bukan berarti konflik dengan Quraisy Mekkah reda sama sekali. Kaum Muhajirin (penduduk Mekkah muslim yang ikut hijrah) mengalami kesulitan-kesulitan mencari nafkah di Madinah. Sehingga banyak dari mereka yang menggantungkan hidup kepada kaum Anshar (penduduk Madinah yang telah memeluk Islam).
Saat itulah turun wahyu Surat Al Hajj ayat 39-40 yang mengizinkan Nabi bersama pengikutnya memerangi orang yang memerangi mereka. Ini ayat Alquran yang berisi perintah jihad.
Dengan nada yang simpatik, Armstrong berpendapat perintah jihad dalam Alquran memiliki makna yang lebih luas dari sekadar perang suci. Jihad, menurutnya, memiliki makna yang kaya sebagai perjuangan moral, spiritual, serta politik untuk menciptakan masyarakat adil dan sejahtera tanpa penindasan sebagaimana perintah Tuhan.
“Ada banyak kata Arab yang berarti perang seperti harb (war), sira’ah (combat), ma’arakah (battle), atau qital (killing) yang dengan mudah (bisa) digunakan Alquran jika perang merupakan cara pokok muslim mencapai keberhasilan,” katanya, menyindir kritikus Islam di Barat yang menyebut Islam agama doyan berperang.
Setelah wahyu tentang jihad turun, Nabi bersama kaum Muhajirin menerapkan ghazwu atau serangan demi bertahan hidup yang biasa dilakukan masyarakat Arab nomaden. Ghazwu menyasar kafilah dagang Quraisy Mekkah dengan berfokus pada upaya mengambil harta benda, hewan ternak, dan hasil dagang seraya menghindari jatuhnya korban jiwa.
Namun, serangan-serangan yang dimulai sejak 623 ini kerap mengalami kegagalan. Ini karena umat Islam memiliki sedikit sekali informasi mengenai waktu dan rute perjalanan musuh. Sehingga tidak ada kerugian dan korban yang jatuh di pihak lawan.
Pada September 623, Nabi memutuskan untuk memimpin langsung penyerbuan terhadap rombongan dagang yang dipimpin Ummayah—orang yang pernah menyiksa Abu Bakar. Lagi-lagi usaha menyergap kafilah yang membawa 2.500 unta itu mengalami kegagalan.
Pada Januari 624, insiden serius terjadi pada akhir bulan Rajab yang dianggap suci. Kala itu, satu dari tiga orang pedagang Quraisy Mekkah yang sedang berkemah di lembah Nakhlah (antara Mekkah dan Thaif) tewas terkena panah pasukan Abdullah bin Jahsy dalam sebuah misi ghazwu. Peristiwa ini dengan segera menimbulkan kemarahan dan dendam di kalangan Quraisy Mekkah. Bagi mereka, hal ini bukan saja ancaman keamanan, tapi penghinaan terhadap keyakinan masyarakat Arab yang menyucikan bulan Rajab dari peperangan.
Nabi sendiri juga tak menyangka misi yang ia perintahkan bakal menimbulkan korban jiwa. Namun, beliau tidak ingin menyalahkan Abdullah sepenuhnya. Betapapun, penindasan yang dilakukan Quraisy Mekkah kepada kaum muslim dengan cara mengeluarkan mereka dari sukunya merupakan kejahatan yang lebih serius dan melanggar nilai-nilai bangsa Arab. Di sisi lain Nabi tampaknya juga ingin “menyelesaikan” kepercayaan bulan-bulan suci masyarakat Arab yang merupakan bagian dari sistem penyembahan berhala. SELANJUTNYA
loading...
Post a Comment