AMP - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menolak pendirian partai lokal di Aceh. Presiden PKS Tifatul Sembiring menyampaikan beberapa dalih sebagai alasan bagi partai berasas Islam itu melakukan penolakan.
Dikutip dari buku, Perdamaian: Yang Beriktiar, Yang Menentang, ditulis oleh Otto Syamsuddin Ishak dan diterbitkan oleh ACSTF, 2008, Tifatul (dimuat Tempo Interaktif, 17 Juli 2005) mengatakan “Sekarang sudah ada 24 partai. Bagaimana posisi mereka (parlok-red) itu tidak mudah… Kita sudah punya undang-undang (yang mengatur partai politik) Tidak mudah untuk menghasilkan peraturan perundangan terkait partai lokal… Harus dikaji aspek operasional, legal, ekonomi dan lain-lain… Kita harus antisipasi bagaimana daerah-daerah lain akan merespon ”
Selain PKS, suara penolakan juga diketengahkan oleh PDIP. Dalam rapat DPP yang dipimpin oleh Megawati di Lenteng Agung, Sekjen partai, Pramono Anung menyampaikan “Parati politik lokal bertentangan dengan UU 31/2002… Kepengurusan partai politik tingkat nasional berkedudukan di ibukota negara… Kalau dibolehkan, akan timbul efek domino ke daerah lain yang ingin memperjuangkan separatisme.” Seperti yang dikutip dari Kompas, 18 Juli 2005.
Klausul partai lokal semakin gencar dibicarakan pada Helsinki V yang berlangsung dari 12 sampai 17 Juli 2005. Pihak Gerakan Aceh Merdeka tetap mengajukan klausul partai lokal sebagai syarat untuk diteruskan proses perundingan. Di pihak RI, pada perundingan Helsinki tahap V ini diwakili oleh Hamid Awaluddin,Sofyan Djalil, Farid Wajdi Husain, Usman Naskah dan I Gusti Agung Wesaka Pudja.
Dari pihak GAM,hadir sebagai perunding yaitu Malik Mahmud, Zaini Abdullah, Bachtiar Abdullah, Nur Djuli dan Nurdin Abdul Rahman.
Ragam upaya penolakan terhadap kehadiran partai lokal, tidak membuat GAM surut. Pihak GAM semakin keras melakukan ancaman akan memboikot perundingan damai. Hasilnya, dalam MoU Helsinki yang diteken pada 15 Agustus 2005, dan kemudian dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, partai lokal dimasukkan. [Sumber: acehtrend.co]
Dikutip dari buku, Perdamaian: Yang Beriktiar, Yang Menentang, ditulis oleh Otto Syamsuddin Ishak dan diterbitkan oleh ACSTF, 2008, Tifatul (dimuat Tempo Interaktif, 17 Juli 2005) mengatakan “Sekarang sudah ada 24 partai. Bagaimana posisi mereka (parlok-red) itu tidak mudah… Kita sudah punya undang-undang (yang mengatur partai politik) Tidak mudah untuk menghasilkan peraturan perundangan terkait partai lokal… Harus dikaji aspek operasional, legal, ekonomi dan lain-lain… Kita harus antisipasi bagaimana daerah-daerah lain akan merespon ”
Selain PKS, suara penolakan juga diketengahkan oleh PDIP. Dalam rapat DPP yang dipimpin oleh Megawati di Lenteng Agung, Sekjen partai, Pramono Anung menyampaikan “Parati politik lokal bertentangan dengan UU 31/2002… Kepengurusan partai politik tingkat nasional berkedudukan di ibukota negara… Kalau dibolehkan, akan timbul efek domino ke daerah lain yang ingin memperjuangkan separatisme.” Seperti yang dikutip dari Kompas, 18 Juli 2005.
Klausul partai lokal semakin gencar dibicarakan pada Helsinki V yang berlangsung dari 12 sampai 17 Juli 2005. Pihak Gerakan Aceh Merdeka tetap mengajukan klausul partai lokal sebagai syarat untuk diteruskan proses perundingan. Di pihak RI, pada perundingan Helsinki tahap V ini diwakili oleh Hamid Awaluddin,Sofyan Djalil, Farid Wajdi Husain, Usman Naskah dan I Gusti Agung Wesaka Pudja.
Dari pihak GAM,hadir sebagai perunding yaitu Malik Mahmud, Zaini Abdullah, Bachtiar Abdullah, Nur Djuli dan Nurdin Abdul Rahman.
Ragam upaya penolakan terhadap kehadiran partai lokal, tidak membuat GAM surut. Pihak GAM semakin keras melakukan ancaman akan memboikot perundingan damai. Hasilnya, dalam MoU Helsinki yang diteken pada 15 Agustus 2005, dan kemudian dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, partai lokal dimasukkan. [Sumber: acehtrend.co]
loading...
Post a Comment