AMP - Film Robin Hood Prince of Thieves (1991) yang dibintangi Kevin Costner dan Morgan Freeman memunculkan keluguan sang hero dan ketimpangan dua peradaban. Azeem yang diperankan Morgan Freeman, seorang muslim dari bangsa Moor menggunakan teropong monocular untuk melihat pasukan berkuda Sheriff of Nottingham dari kejauhan. Robin Hood begitu terlihat gaptek saat ikut-ikutan mengeker, ia spontan menghunus pedang ke depan, karena berpikir pasukan kuda sudah di depan matanya. Potongan film itu mengangkat “romantisme” teknologi dunia Timur pernah lebih maju dari peradaban Barat dari film yang berlatar peristiwa Perang Salib.
Penggunaan teropong tunggal sederhana seperti pada film Robin Hood lahir dari rahim ilmu optik. Salah satu tokoh pentingnya adalah Ibn al-Haytham. Ibn al-Haytham yang lahir di Basra (kini Irak) pada 965 M punya kontribusi dalam menjelaskan soal cahaya dan penglihatan. Ia juga peletak dasar sebuah metode kamar gelap atau Albeit Almuzlim yang lebih dikenal dengan kamera obscura, sebagai dasar dari fotografi modern saat ini. Salah satu karyanya yang tersohor berjudul Book of Optics atau Kitab al-Manazir atau De Aspectibus, yang diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan jadi rujukan para ilmuan setelahnya. Karena dianggap berjasa, julukan “bapak optik modern” disematkan kepada Ibn al-Haytham.
Dasar-dasar tentang optik sendiri sebenarnya sudah ada sejak zaman keemasan alam pemikiran Yunani. Namun yang membedakannya, al-Haytham malah melakukan telaah kritis terhadap karya-karya pemikir Yunani terdahulu seperti teori Ptolemy dan Euclid yang mengatakan bahwa manusia melihat benda melalui pancaran cahaya yang keluar dari matanya. Menurut Ibn al-Haytham, bukan mata yang memberikan cahaya tetapi benda yang memantulkan cahaya menuju mata hingga terjadi penglihatan.
Ia juga dianggap mewarisi apa yang kini disebut sebuah metode ilmiah modern, melakukan percobaan untuk menguji sebuah teori. Profesor Emeritus Sejarah Sains Arab dari Harvard University Abdelhamid Sabra yang juga ahli tentang Ibn al-Haytham menggambarkan sosok ilmuan ini sangat kritis. Dalam Harvard Magazine edisi September-Oktober 2003, ia menyampaikan apa yang pernah diucapkan oleh Ibn al-Haytham. "Jika tujuan akhir seseorang belajar adalah mencapai kebenaran, maka ia harus membuat dirinya sebagai musuh dari apa yang semua telah dibacanya."
Ibn al-Haytham telah memengaruhi para pemikir barat masa pencerahan seperti Roger Bacon, René Descartes, Christian Huygens, Johannes Kepler, Leonardo da Vinci dan lainnya. Hingga nama lain seperti Robert Boyle dan Robert Hooke yang mengembangkan portable camera obscura, sampai pula Jacques Daguerre dan Joseph Nicephore Niepce yang pada 1822 melahirkan heliografi sebuah foto pertama di dunia hingga lahirnya kamera-kamera modern saat ini.
Kamar Gelap Ibn al-Haytham dan Lahirnya Kamera
Kamar Gelap Ibn al-Haytham
“Jika saya diberikan kesempatan, saya punya sebuah solusi untuk mengendalikan banjir Sungai Nil.”
Berawal dari sesumber itulah kehidupan baru Ibn al-Haytham di Mesir dimulai. Reputasinya sebagai ilmuan ternama di Basra sampai terdengar hingga Mesir. Ia tumbuh sebagai ilmuan yang hidup pada era sekolah dan perpustakaan begitu berjaya dalam peradaban Islam. Saat itu, ilmu matematika, astronomi, optik, dan fisika sudah intens digarap pendahulunya seperti Aristoteles, Euclid, Ptolemy, Al-Kindi, Banu Musa, Thabit ibn Qurra, Ibrahim ibn Sinan, Al-Quhi, dan Ibn Sahl.
Pada satu waktu, penguasa Mesir di bawah Dinasti Fatimiyah mengundang Ibn al-Haytham ke Kairo untuk membuktikan sesumbarnya membendung Sungai Nil. Dengan segala pertimbangannya, Ibn al-Haytham akhirnya tak bisa menyanggupinya. Ia pun menyadari konsekuensi hukuman berat siap menanti. Ia pura-pura gila, agar mendapatkan hukuman ringan. Penguasa Mesir akhirnya hanya menempatkannya dalam tahanan rumah.
Namun di sinilah sejarah bermula. Ibn al-Haytham mendapati temuan penting ketika berada di sebuah ruang gelap, saat cahaya menembus dari titik lubang kecil masuk dalam kamarnya. Ia bisa melihat gambar pada objek di luar yang diterangi cahaya matahari (lihat eksperimen). Merasa penasaran, ia lantas melakukan berbagai percobaan, hingga akhirnya menyimpulkan cahaya bergerak lurus, dan pandangan terjadi ketika cahaya lurus masuk ke mata. Gagasan itu dianggap sebagai sesuatu yang sangat baru saat itu. Temuan itu kemudian membawanya terbebas dari hukuman. Ibn al-Haytham menghembuskan napas terakhirnya pada 1040 M atau 55 tahun sebelum Perang Salib I berkecamuk.
Sepeninggalnya Ibn al-Haytham, warisan ilmu optik dan karya-karyanya yang lain menjadi pijakan ilmuan selanjutnya. Dunia pun mengenangnya. Dalam buletin Himpunan Optika Indonesia (HOI) September-Desember 2014, pada 2015 dunia memperingati 1.000 tahun pengembangan ilmu optika oleh Ibnu Ibn al-Haytham pada 1015. Pada tahun yang sama juga bertepatan dengan 200 tahun pengetahuan cahaya sebagai gelombang oleh Fresnel di 1815.
Pada 2015 juga bersamaan dengan 150 tahun teori elektromagnetika oleh Maxwell di 1865. Juga tepat 110 tahun teori kuantisasi photon dari efek fotolistrik oleh Einstein di 1905. Pada 2015 juga diperingati 100 tahun teori relativitas khusus yang menempatkan cahaya dalam kerangka rumusan ruang dan waktu oleh Einstein pada 1915, dan 50 tahun pengembangan serat optik yang dirintis oleh Kao di 1965.
Sidang Umum ke-68 dari PBB 20 Desember 2013, mengeluarkan resolusi nomor 221 yang menetapkan 2015 sebagai International Year of Light and Light Based Technologies yang didukung oleh 35 negara. Pada 19 Januari 2015, di markas UNESCO Paris diluncurkan sebuah kampanye pentingnya sains bidang cahaya dengan nama program 1001 Inventions and the World of Ibn Al-Haytham.
Untuk mengenang kontribusi penting ilmuan muslim ini pada dunia optik, namanya diabadikan untuk sebuah kawah di Bulan “The crater Alhazen” dan untuk nama asteroid 59239 Alhazen.
Penggunaan teropong tunggal sederhana seperti pada film Robin Hood lahir dari rahim ilmu optik. Salah satu tokoh pentingnya adalah Ibn al-Haytham. Ibn al-Haytham yang lahir di Basra (kini Irak) pada 965 M punya kontribusi dalam menjelaskan soal cahaya dan penglihatan. Ia juga peletak dasar sebuah metode kamar gelap atau Albeit Almuzlim yang lebih dikenal dengan kamera obscura, sebagai dasar dari fotografi modern saat ini. Salah satu karyanya yang tersohor berjudul Book of Optics atau Kitab al-Manazir atau De Aspectibus, yang diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan jadi rujukan para ilmuan setelahnya. Karena dianggap berjasa, julukan “bapak optik modern” disematkan kepada Ibn al-Haytham.
Dasar-dasar tentang optik sendiri sebenarnya sudah ada sejak zaman keemasan alam pemikiran Yunani. Namun yang membedakannya, al-Haytham malah melakukan telaah kritis terhadap karya-karya pemikir Yunani terdahulu seperti teori Ptolemy dan Euclid yang mengatakan bahwa manusia melihat benda melalui pancaran cahaya yang keluar dari matanya. Menurut Ibn al-Haytham, bukan mata yang memberikan cahaya tetapi benda yang memantulkan cahaya menuju mata hingga terjadi penglihatan.
Ia juga dianggap mewarisi apa yang kini disebut sebuah metode ilmiah modern, melakukan percobaan untuk menguji sebuah teori. Profesor Emeritus Sejarah Sains Arab dari Harvard University Abdelhamid Sabra yang juga ahli tentang Ibn al-Haytham menggambarkan sosok ilmuan ini sangat kritis. Dalam Harvard Magazine edisi September-Oktober 2003, ia menyampaikan apa yang pernah diucapkan oleh Ibn al-Haytham. "Jika tujuan akhir seseorang belajar adalah mencapai kebenaran, maka ia harus membuat dirinya sebagai musuh dari apa yang semua telah dibacanya."
Ibn al-Haytham telah memengaruhi para pemikir barat masa pencerahan seperti Roger Bacon, René Descartes, Christian Huygens, Johannes Kepler, Leonardo da Vinci dan lainnya. Hingga nama lain seperti Robert Boyle dan Robert Hooke yang mengembangkan portable camera obscura, sampai pula Jacques Daguerre dan Joseph Nicephore Niepce yang pada 1822 melahirkan heliografi sebuah foto pertama di dunia hingga lahirnya kamera-kamera modern saat ini.
Kamar Gelap Ibn al-Haytham dan Lahirnya Kamera
Kamar Gelap Ibn al-Haytham
“Jika saya diberikan kesempatan, saya punya sebuah solusi untuk mengendalikan banjir Sungai Nil.”
Berawal dari sesumber itulah kehidupan baru Ibn al-Haytham di Mesir dimulai. Reputasinya sebagai ilmuan ternama di Basra sampai terdengar hingga Mesir. Ia tumbuh sebagai ilmuan yang hidup pada era sekolah dan perpustakaan begitu berjaya dalam peradaban Islam. Saat itu, ilmu matematika, astronomi, optik, dan fisika sudah intens digarap pendahulunya seperti Aristoteles, Euclid, Ptolemy, Al-Kindi, Banu Musa, Thabit ibn Qurra, Ibrahim ibn Sinan, Al-Quhi, dan Ibn Sahl.
Pada satu waktu, penguasa Mesir di bawah Dinasti Fatimiyah mengundang Ibn al-Haytham ke Kairo untuk membuktikan sesumbarnya membendung Sungai Nil. Dengan segala pertimbangannya, Ibn al-Haytham akhirnya tak bisa menyanggupinya. Ia pun menyadari konsekuensi hukuman berat siap menanti. Ia pura-pura gila, agar mendapatkan hukuman ringan. Penguasa Mesir akhirnya hanya menempatkannya dalam tahanan rumah.
Namun di sinilah sejarah bermula. Ibn al-Haytham mendapati temuan penting ketika berada di sebuah ruang gelap, saat cahaya menembus dari titik lubang kecil masuk dalam kamarnya. Ia bisa melihat gambar pada objek di luar yang diterangi cahaya matahari (lihat eksperimen). Merasa penasaran, ia lantas melakukan berbagai percobaan, hingga akhirnya menyimpulkan cahaya bergerak lurus, dan pandangan terjadi ketika cahaya lurus masuk ke mata. Gagasan itu dianggap sebagai sesuatu yang sangat baru saat itu. Temuan itu kemudian membawanya terbebas dari hukuman. Ibn al-Haytham menghembuskan napas terakhirnya pada 1040 M atau 55 tahun sebelum Perang Salib I berkecamuk.
Sepeninggalnya Ibn al-Haytham, warisan ilmu optik dan karya-karyanya yang lain menjadi pijakan ilmuan selanjutnya. Dunia pun mengenangnya. Dalam buletin Himpunan Optika Indonesia (HOI) September-Desember 2014, pada 2015 dunia memperingati 1.000 tahun pengembangan ilmu optika oleh Ibnu Ibn al-Haytham pada 1015. Pada tahun yang sama juga bertepatan dengan 200 tahun pengetahuan cahaya sebagai gelombang oleh Fresnel di 1815.
Pada 2015 juga bersamaan dengan 150 tahun teori elektromagnetika oleh Maxwell di 1865. Juga tepat 110 tahun teori kuantisasi photon dari efek fotolistrik oleh Einstein di 1905. Pada 2015 juga diperingati 100 tahun teori relativitas khusus yang menempatkan cahaya dalam kerangka rumusan ruang dan waktu oleh Einstein pada 1915, dan 50 tahun pengembangan serat optik yang dirintis oleh Kao di 1965.
Sidang Umum ke-68 dari PBB 20 Desember 2013, mengeluarkan resolusi nomor 221 yang menetapkan 2015 sebagai International Year of Light and Light Based Technologies yang didukung oleh 35 negara. Pada 19 Januari 2015, di markas UNESCO Paris diluncurkan sebuah kampanye pentingnya sains bidang cahaya dengan nama program 1001 Inventions and the World of Ibn Al-Haytham.
Untuk mengenang kontribusi penting ilmuan muslim ini pada dunia optik, namanya diabadikan untuk sebuah kawah di Bulan “The crater Alhazen” dan untuk nama asteroid 59239 Alhazen.
loading...
Post a Comment