Orang-orang memeriksa bangunan masjid di Al-Jinah, Aleppo, Suriah, yang rusak akibat serangan bom militer AS pada 17 Maret 2017. Foto/REUTERS/Ammar Abdullah |
AMP - Hasil investigasi militer terkait serangan bom udara AS di sebuah masjid di Aleppo, Suriah, yang membunuh lebih dari 40 orang beberapa waktu lalu, telah dirilis. Militer Washington akui ada kekeliruan karena serangan menghantam orang-orang salat, namun serangan tetap dinyatakan sah sesuai hukum karena ditargetkan terhadap al-Qaeda.
Mayoritas korban tewas dalam serangan bom AS itu adalah warga sipil. Militer Amerika berdalih, serangan yang menghantam masjid di Al-Jinah, Aleppo, ditargetkan terhadap pertemuan para anggota al-Qaeda.
Hasil investigasi itu dirilis Komando Pusat (CENTCOM) AS pada hari Rabu waktu AS. Hasil penyelidikan itu memuat temuan dan rekomendasi dari penyelidikan internal terhadap serangan udara pada 16 Maret 2017 di Al-Jinah.
CENTCOM menjabarkan hasil penyelidikan militer itu dalam rangkaian tweet melalui akun Twitter-nya, @CENTCOM, yang dikutip SINDOnews, Kamis (8/6/2017).
AS pada awalnya menolak mengakui kekeliruan target dalam serangannya. Pentagon kala itu hanya bersedia mengakui bahwa serangannya ditujukan terhadap sebuah pertemuan teroris di wilayah yang berbatasan dengan Idlib.
Pentagon kala itu bahkan berani mengklaim masjid di Al-Jinnah masih utuh, meski bukti video menunjukkan fakta sebaliknya. Pada awal Mei 2017, CENTCOM akhirnya mengakui bahwa serangan bom itu memang menghancurkan masjid.
“Investigasi temuan perwira terkait penyelidikan serangan udara di Al-Jinah, Provinsi Aleppo, Suriah, pada 16 Maret,” bunyi tweet awal dari rangkaian tweet akun @CENTCOM.
“Penyelidikan menemukan serangan tersebut sesuai dengan persyaratan operasional dan sah,” lanjut tweet tersebut. “Serangan tersebut menimpa sebuah pertemuan al-Qaeda, bukan pertemuan sipil.”
Laporan CENTCOM itu juga mencantumkan perihal informasi intelijen yang diterima komandan militer terkait lokasi pertemuan tentang sekelompok teroris al-Qaeda dan orang-oran yang berkolaborasi dengan kelompok itu. Para pengambil keputusan percaya pertemuan tersebut akan berlangsung di sebuah gudang dan sebuah tempat tinggal. Informasi itulah yang jadi acuan militer AS memproses target.
”Sel serangan mengikuti prosedur untuk memastikan bahwa pertemuan tersebut merupakan target militer yang sah, memastikan serangan tersebut akan proporsional, dan melakukan semua tindakan pencegahan yang layak untuk meminimalkan risiko kerusakan atau korban sipil,” kata Mayor Josh T. Jacques, Kepala Operasi Media untuk CENTCOM dalam sebuah pernyataan kepada Russia Today.
Serangan AS menggunakan pesawat jet tempur F-15 dan pesawat tempur MQ-9 Reaper untuk menargetkan gudang tersebut. Namun, serangan itu ternyata juga menghantam masjid yang berdekatan dengan target.
Versi CENTCOM, sekitar dua lusin korban tewas adalah anggota Al-Qaeda dan afiliasinya. Namun, warga setempat menyatakan mayoritas korban jiwa adalah kalangan sipil.
Human Rights Watch (HRW) yang merilis laporan berdasarkan laporan saksi mata, mengatakan bahwa masjid tersebut telah digunakan jemaah salat setiap hari. HRW menuduh pasukan AS gagal memeriksa kembali fakta di lapangan sebelum meluncurkan serangan.
”Serangan udara terjadi di antara matahari terbenam dan salat malam, saat pejabat AS seharusnya tahu bahwa akan ada orang-orang yang berkumpul di masjid,” kata Wakil Direktur HRW Divisi Timur Tengah dan Afrika, Lama Fakih. (Sindo)
Mayoritas korban tewas dalam serangan bom AS itu adalah warga sipil. Militer Amerika berdalih, serangan yang menghantam masjid di Al-Jinah, Aleppo, ditargetkan terhadap pertemuan para anggota al-Qaeda.
Hasil investigasi itu dirilis Komando Pusat (CENTCOM) AS pada hari Rabu waktu AS. Hasil penyelidikan itu memuat temuan dan rekomendasi dari penyelidikan internal terhadap serangan udara pada 16 Maret 2017 di Al-Jinah.
CENTCOM menjabarkan hasil penyelidikan militer itu dalam rangkaian tweet melalui akun Twitter-nya, @CENTCOM, yang dikutip SINDOnews, Kamis (8/6/2017).
AS pada awalnya menolak mengakui kekeliruan target dalam serangannya. Pentagon kala itu hanya bersedia mengakui bahwa serangannya ditujukan terhadap sebuah pertemuan teroris di wilayah yang berbatasan dengan Idlib.
Pentagon kala itu bahkan berani mengklaim masjid di Al-Jinnah masih utuh, meski bukti video menunjukkan fakta sebaliknya. Pada awal Mei 2017, CENTCOM akhirnya mengakui bahwa serangan bom itu memang menghancurkan masjid.
“Investigasi temuan perwira terkait penyelidikan serangan udara di Al-Jinah, Provinsi Aleppo, Suriah, pada 16 Maret,” bunyi tweet awal dari rangkaian tweet akun @CENTCOM.
“Penyelidikan menemukan serangan tersebut sesuai dengan persyaratan operasional dan sah,” lanjut tweet tersebut. “Serangan tersebut menimpa sebuah pertemuan al-Qaeda, bukan pertemuan sipil.”
Laporan CENTCOM itu juga mencantumkan perihal informasi intelijen yang diterima komandan militer terkait lokasi pertemuan tentang sekelompok teroris al-Qaeda dan orang-oran yang berkolaborasi dengan kelompok itu. Para pengambil keputusan percaya pertemuan tersebut akan berlangsung di sebuah gudang dan sebuah tempat tinggal. Informasi itulah yang jadi acuan militer AS memproses target.
”Sel serangan mengikuti prosedur untuk memastikan bahwa pertemuan tersebut merupakan target militer yang sah, memastikan serangan tersebut akan proporsional, dan melakukan semua tindakan pencegahan yang layak untuk meminimalkan risiko kerusakan atau korban sipil,” kata Mayor Josh T. Jacques, Kepala Operasi Media untuk CENTCOM dalam sebuah pernyataan kepada Russia Today.
Serangan AS menggunakan pesawat jet tempur F-15 dan pesawat tempur MQ-9 Reaper untuk menargetkan gudang tersebut. Namun, serangan itu ternyata juga menghantam masjid yang berdekatan dengan target.
Versi CENTCOM, sekitar dua lusin korban tewas adalah anggota Al-Qaeda dan afiliasinya. Namun, warga setempat menyatakan mayoritas korban jiwa adalah kalangan sipil.
Human Rights Watch (HRW) yang merilis laporan berdasarkan laporan saksi mata, mengatakan bahwa masjid tersebut telah digunakan jemaah salat setiap hari. HRW menuduh pasukan AS gagal memeriksa kembali fakta di lapangan sebelum meluncurkan serangan.
”Serangan udara terjadi di antara matahari terbenam dan salat malam, saat pejabat AS seharusnya tahu bahwa akan ada orang-orang yang berkumpul di masjid,” kata Wakil Direktur HRW Divisi Timur Tengah dan Afrika, Lama Fakih. (Sindo)
loading...
Post a Comment