Halloween Costume ideas 2015
loading...

Tidak Ada Tokoh Tidak Ada Damai di Aceh

AMP - Nurdin Ismail atau yang dikenal dengan Din Minimi kembali menjadi pusat perhatian. Pimpinan sempalan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang bergerilya di hutan sejak 1,5 tahun lalu menjadi berita media lokal dan nasional bersama Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso. Kepala BIN mengumumkan penyerahan diri Din dan menjanjikan amnesti. Soal amnesti masih jadi perdebatan di kalangan pejabat. Selain itu Din juga menuntut pengusutan kasus korupsi di pemerintahan Aceh.

Sutiyoso juga berjanji memenuhi permintaan Din Damini untuk menghadirkan KPK guna memeriksa pemerintah Aceh di bawah Gubernur Zaini Abdulah dan Wakil Gubernur Muzakir Manaf. Soal penyalahgunaan dana pemerintah sebetulnya sudah lama diperbincangkan kalangan masyarakat sipil Aceh. Namun isu kekerasan yang dilakukan kelompok sempalan GAM lebih mendapat perhatian pemerintah pusat.

Din Minimi dkk sesungguhnya merupakan representasi mantan kombatan yang kecewa terhadap elit GAM yang kini menguasai pemerintahan Aceh. Jadi, mereka bukan melawan pemerintah Republik Indonesia, tetapi melawan pemerintah Aceh. Inilah yang menyebabkan banyak pejabat tidak setuju dengan amnesti yang diusulkan Sutiyoso.

Gerilya Din Minimi dkk bukan hal baru di Aceh. Saat menyusun tesis tentang sejarah kekerasan di provinsi tersebut, saya sempat mewawancarai beberapa tokoh Aceh, termasuk para ulama terpandang. Mereka menyatakan satu hal yang sama: kekerasan merupakan salah satu cara orang Aceh melawan ketidakadilan yang diciptakan pemerintah. Tjut Nyak Dhien melawan pemerintah Belanda, Daud Beureueh melawan pemerintah Sukarno, dan Hasan Tiro melawan pemerintah Soeharto.

Meski tak elok mengatakannya, namun harus diakui bencana tsunami yang menghantam Aceh pada akhir 2004 berbuah berkah perdamaian. Demi segera mengentaskan penderitaan rakyat, Hasan Tiro dan anak buahnya yang bergerilya di hutan mau meletakkan senjata dan berunding dengan pemerintah Indonesia. Lewat kesepakatan Helsinki, Aceh mendapatkan status otonomi khusus dengan sejumlah keistimewaan (antara lain penerapan Syariat Islam, partai lokal, dan calon independen untuk gubernur dan bupati/walikota) yang kemudian dikemas dalam Undang-udang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU No 11/2006).

Namun otonomi dan keistimewaan tersebut tak lantas membuat Aceh damai. Masalah Aceh kali ini memang tidak ada hubungan langsung dengan pemerintah pusat. Din Minimi dkk menilai ketidakadilan kini justru diciptakan oleh pimpinan mereka di GAM, yang kini menguasai pemerintahan. Hitungannya sederhana saja: dana pemerintah melebihi provinsi-provinsi lain, tetapi tingkat kesejahteraan rakyat Aceh tidak banyak beranjak sejak 2006. Sebagian mereka juga merasa disisihkan sehingga tidak bisa mengakses dana pemerintah yang melimpah.

Maka berkembanglah kelompok-kelompok perlawanan dari mantan kombatan GAM. Selain Din Minimi dkk, muncul kelompok Gambit di Aceh Timur dan Rimuen atau Raja Rimba di Aceh Barat. Mereka masih menguasai sejumlah senjata yang tidak diserahkan pada saat pakta perdamaian diteken. Belum lagi soal perbedaan politik yang sewaktu-waktu bisa menjadi konflik terbuka, antara wilayah pesisir yang menjadi basis GAM dan wilayah pedalaman yang hendak mendirikan Provinsi ALA dan Provinsi ABAS.

Potensi konflik di Aceh memang masih besar. Kesenjangan ekonomi menjadi latar belakang, sementara kekecewaan tidak kebagian rezeki menjadi penggerak mantan kombatan GAM untuk melawan pemerintah Aceh. Memang pemberontakan kelompok-kelompok mantan kombatan terhadap pemerintah Aceh merupakan bagian dari konflik internal GAM. Namun pemerintah pusat tidak bisa membiarkannya karena masalah keamanan dan ketentraman Aceh menjadi tanggungjawab pemerintah pusat.

Sungguh tidak mudah buat pemerintah pusat untuk menjaga keamaman Aceh. Pendekatan kekerasan cenderung gagal, tetapi jika itu tidak dilakukan, kelompok-kelompok itu terus bergerak menciptakan keresahan di masyarakat. Mendamaikan mereka dengan elit pemerintah Aceh juga tidak gampang, sebab bagi pemerintah Aceh, mereka adalah pelaku kriminal yang harus ditindak tegas aparat.

Kesulitan menciptakan perdamaian di Aceh dalam waktu dekat juga disebabkan oleh ketiadaan tokoh besar yang masih didengar oleh masyarakat Aceh, khususnya kelompok-kelompok kombatan yang dulu bergabung dalam GAM. Aceh kini tidak memiliki tokoh pemersatu, seperti Daud Beureueh atau Hasan Tiro. Petinggi GAM sekarang dianggap sudah keenakan duduk di eksekutif dan legilastif, lupa janji mensejahterakan rakyat, juga menyisihkan kombatan yang tidak disukai.

Aceh memang punya Wali Nanggroe. Namun perintahnya tidak didengar masyarakat, dan diabaikan oleh kelompok-kelompok kombatan. Ini berbeda dengan masa Hasan Tiro masih hidup. Saat itu nyaris tidak ada gerakan (pada zaman perang) atau kebijakan (pada zaman damai) tanpa mendapat persetujuan Hasan Tiro. Bahkan dalam keadaan sakit pun, Sang Wali masih dimintai fatwa untuk mengendalikan para kombatan GAM.

* Penulis adalah jurnalis kontributor merdekacom

Sumber: merdeka.com
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget