AMP - Kepala
Badan Intelijen Negara Sutiyoso berencana melakukan pendekatan
persuasif dengan kelompok bersenjata di Papua dan Poso, sebagaimana yang
telah dilakukannya dengan kelompok bersenjata di Aceh.
Setelah berhasil merangkul kelompok bersenjata Aceh pimpinan Nurdin Ismail alias Din Minimi, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso akan melanjutkan langkah serupa terhadap kelompok radikal lainnya, yaitu kelompok Santoso di Poso dan kelompok Organisasi Papua Merdeka di Papua. Sebelumnya Sutiyoso berhasil membujuk Din Minimi menyerahkan diri dengan iming-iming amnesti.
Direktur Eksekutif Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial) Al Araf kepada VOA hari Selasa (5/1) mengatakan pemberian amnesti bisa tetap dapat dilakukan sepanjang ada rasionalitas politik bahwa kejahatan itu termasuk dalam konteks delik politik. Menurutnya rencana pemberian amnesti atau pengampunan terhadap kelompok bersenjata Aceh Din Minimi tidak tepat karena tindakan yang dilakukan mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka ini dilakukan setelah adanya perjanjian Helsinki dimana pemerintah sudah memberikan amnesti kepada seluruh anggota GAM. Ditambahkannya, setelah adanya demiliterisasi dan adanya kesepakatan antara pemerintah dan GAM yang tertuang dalam perjanjian Helsinki, maka semua tindakan kriminal yang terjadi di Aceh adalah tindak pidana yang harus diproses secara hukum dan bukan diberikan amnesti.
Kelompok Din Minimi disebut-sebut terlibat dalam sejumlah kasus seperti penculikan yang meminta uang tebusan, penembakan TNI dan perampokan bersenjata.
Menurut Al Araf, jika Presiden Jokowi berniat ingin menjaga perdamaian di Serambi Mekah maka proses pemberian pengampunan seharusnya menghormati proses hukum yang sudah terlebih dahulu ada.
"Karena kalau proses hukum diabaikan dan kemudian amnesti diberikan, ini akan menjadi preseden buruk buat kondisi keamanan di Aceh. Akan ada kemudian pandangan sebagian kelompok masyarakat tadi, kita tidak masalah bertindak kriminal pada akhirnya pun akan diberikan amnesti," kata Araf.
Ditambahkannya, amnesti juga tidak tepat diberikan kepada kelompok teror Poso pimpinan Santoso. Menurutnya teror merupakan kejahatan transnasional dan bukan kejahatan delik politik. Sebaliknya, pemberian amnesti justru relevan diberikan kepada mereka yang tergabung dalam Organisasi Papua Merdeka OPM karena akan menjadi bagian dari proses perundingan damai.
Karena represi pemerintah pusat pada masa lalu orde baru dan sekarang masih ada yang belum diselesaikan melalui mekanisme yang komprehensif sehingga menimbulkan suatu dinamika pemberontakan bersenjata dari masa orde baru sampai sekarang. Dalam realitas seperti itu, Papua belum masuk dalam suatu perundingan damai seperti di Aceh. Oleh karenanya ketika amnesty menjadi sebuah usulan tentu masih bisa dirasionalisasikan.
Sebelumnya Kepala BIN Sutiyoso mengatakan pendekatan dan janji amnesti dilakukan hanya untuk kepentingan bangsa. Tetapi Sutiyoso mengatakan akan senantiasa berkoordinasi dengan Presiden Joko Widodo sebelum mengambil langkah apapun.
"Sekali lagi amnesti adalah hak prerogatif presiden yang diminta pertimbangan oleh dewan. Kalau tidak ada lampu hijau, tidak berani," kata Sutiyoso.
Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyatakan kemungkinan kebijakan pemberian amnesti ini tidak menutup kemungkinan dilakukan pada kelompok radikal lainnya, dengan merujuk pada Keppres tentang pemberian amnesti umum dan abolisi. Dialog menurutnya akan menjadi cara presiden Jokowi dalam menyelesaikan konflik.
Setelah berhasil merangkul kelompok bersenjata Aceh pimpinan Nurdin Ismail alias Din Minimi, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso akan melanjutkan langkah serupa terhadap kelompok radikal lainnya, yaitu kelompok Santoso di Poso dan kelompok Organisasi Papua Merdeka di Papua. Sebelumnya Sutiyoso berhasil membujuk Din Minimi menyerahkan diri dengan iming-iming amnesti.
Direktur Eksekutif Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial) Al Araf kepada VOA hari Selasa (5/1) mengatakan pemberian amnesti bisa tetap dapat dilakukan sepanjang ada rasionalitas politik bahwa kejahatan itu termasuk dalam konteks delik politik. Menurutnya rencana pemberian amnesti atau pengampunan terhadap kelompok bersenjata Aceh Din Minimi tidak tepat karena tindakan yang dilakukan mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka ini dilakukan setelah adanya perjanjian Helsinki dimana pemerintah sudah memberikan amnesti kepada seluruh anggota GAM. Ditambahkannya, setelah adanya demiliterisasi dan adanya kesepakatan antara pemerintah dan GAM yang tertuang dalam perjanjian Helsinki, maka semua tindakan kriminal yang terjadi di Aceh adalah tindak pidana yang harus diproses secara hukum dan bukan diberikan amnesti.
Kelompok Din Minimi disebut-sebut terlibat dalam sejumlah kasus seperti penculikan yang meminta uang tebusan, penembakan TNI dan perampokan bersenjata.
Menurut Al Araf, jika Presiden Jokowi berniat ingin menjaga perdamaian di Serambi Mekah maka proses pemberian pengampunan seharusnya menghormati proses hukum yang sudah terlebih dahulu ada.
"Karena kalau proses hukum diabaikan dan kemudian amnesti diberikan, ini akan menjadi preseden buruk buat kondisi keamanan di Aceh. Akan ada kemudian pandangan sebagian kelompok masyarakat tadi, kita tidak masalah bertindak kriminal pada akhirnya pun akan diberikan amnesti," kata Araf.
Ditambahkannya, amnesti juga tidak tepat diberikan kepada kelompok teror Poso pimpinan Santoso. Menurutnya teror merupakan kejahatan transnasional dan bukan kejahatan delik politik. Sebaliknya, pemberian amnesti justru relevan diberikan kepada mereka yang tergabung dalam Organisasi Papua Merdeka OPM karena akan menjadi bagian dari proses perundingan damai.
Karena represi pemerintah pusat pada masa lalu orde baru dan sekarang masih ada yang belum diselesaikan melalui mekanisme yang komprehensif sehingga menimbulkan suatu dinamika pemberontakan bersenjata dari masa orde baru sampai sekarang. Dalam realitas seperti itu, Papua belum masuk dalam suatu perundingan damai seperti di Aceh. Oleh karenanya ketika amnesty menjadi sebuah usulan tentu masih bisa dirasionalisasikan.
Sebelumnya Kepala BIN Sutiyoso mengatakan pendekatan dan janji amnesti dilakukan hanya untuk kepentingan bangsa. Tetapi Sutiyoso mengatakan akan senantiasa berkoordinasi dengan Presiden Joko Widodo sebelum mengambil langkah apapun.
"Sekali lagi amnesti adalah hak prerogatif presiden yang diminta pertimbangan oleh dewan. Kalau tidak ada lampu hijau, tidak berani," kata Sutiyoso.
Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyatakan kemungkinan kebijakan pemberian amnesti ini tidak menutup kemungkinan dilakukan pada kelompok radikal lainnya, dengan merujuk pada Keppres tentang pemberian amnesti umum dan abolisi. Dialog menurutnya akan menjadi cara presiden Jokowi dalam menyelesaikan konflik.
Sumber: voaindonesia.com
loading...
Post a Comment