Din Minimi Cerita Karangan Kadang Lebih Masuk Akal Daripada Kisah Yang Sebenarnya Terjadi
AMP - Cerita karangan kadang lebih masuk akal daripada kisah yang sebenarnya terjadi. Apabila ditinjau dari cara mengakhiri kisah Din Minimi, ‘penulis skenario’ dan ‘sutradara’nya punya dua pilihan untuk membuat bagian keduanya.
Kemunculan Din Minimi di Aceh yang secara tiba-tiba itu mengingatkanku pada berita munculnya sebuah kelompok keras di Timur Tengah. Untuk apa itu dimunculkan? Sampai kini saya belum mendapatkan jawabannya, selain dugaan-dugaan.
Kelompok yang disebut Deash oleh presiden Turki, Erdogan, muncul untuk menyerang negara yang berpenduduk muslim. Sementara Din Minimi, disebutkan muncul untuk melawan kebijakan Gubernur Aceh.
Kisah Din Minimi, sebagaimana cerita lain, memiliki alur walaupun terkadang ada yang meloncat antara bagiannya, tidak menyambung. Marilah kita tinjau ulang episode atau babak dari cerita Din Minimi menurut tanggal peristiwa (kronologis), sebagaimana yang disiarkan oleh media-media.
Babak Pertama, 9 Oktober 2014. Inilah pertama kali nama Din Minimi menjadi pembicaraan umum. Ada fotonya memegang senjata api laras panjang jenis AK-47 bersama Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Safaruddin, S.H., di koran terbesar di Aceh.
Seorang penduduk sipil, dilarang memakai senjata api, merunut pada UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 terkait senjata api dan aturan turunan lainnya. Itu tindakan nekat.
Babak Kedua, 22 Maret 2015, nama Din Minimi dan kawan-kawannya kembali menghiasi laman utama berita media. Ia dikabarkan menculik Panglima Muda Komite Peralihan Aceh (KPA) Daerah II, Wilayah Pase (Aceh Utara), Mahmud Syah alias Ayah Mud.
Babak Ketiga, 24 Maret 2015. Dikabarkan terjadi penculikan dua anggota TNI Intel Kodim 0103/Aceh Utara di Dusun Batee Pila, Gampong Alue Papeun, Kecamatan Nisam Antara, Aceh Utara.
Babak Keempat, 13 April 2015. Dikabarkan, Kapolda Aceh Irjen Pol Husein Hamidi pada sebuah konferensi pers, mengatakan bahwa sejak 13 November 2014 sampai 10 April 2015, pihaknya berhasil menangkap 13 tersangka kriminal bersenjata api kelompok Din Minimi (DM) dan enam pucuk senjata api.
Babak Kelima, 4 Mei 2015. Dikabarkan, tim Polda Aceh memburu kelompok Din Minimi di Limpok, Aceh Besar. Satu orang dilaporkan tertembak bernama Zalfan alias Tengku Plang.
Babak Keenam, 17 Mei 2015. Dikabarkan, Polres Lhokseumawe terus memburu Din Minimi dan kawan-kawannya, lalu berhasil menangkap dua orang bersama dua pucuk senjata api, di kawasan Paloh Gadeng, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, diduga anggota kelompok Din Minimi.
Babak Ketujuh, 20 Mei 2015. Dikabarkan, terjadi kontak tembak antara aparat TNI Kodim 0102/Pidie dan polisi dengan kelompok Din Minimi. Dua orang terduga anggota kelompok Din Minimi tewas ditembak di Gampong Gintong, Kecamatan Grong-Grong, Kabupaten Pidie. Kedua pria ini bernama Ibrahim Yusuf, 42 tahun, warga Gampong Ceurih Blang Mee, Kecamatan Delima, Pidie dan Subki, 32 tahun, warga Desa Pulo Meuria, Aceh Utara.
Ibrahim Yusuf dan Subki lah anak buah Din Minimi yang pertama meninggal dunia terkena peluru tajam, selain dua anggota TNI Kodim 0103 Aceh Utara dalam kejadian terpisah di Nisam.
Babak Kedelapan, 21 Mei 2015. Dikabarkan, sekitar pukul 05:00 WIB, aparat kepolisian Polda Aceh dan Polres Pidie, dalam sebuah penyisiran, berhasil melumpuhkan Yusliadi Rusli, 27 tahun, alias Mae Pong warga Julok, Kabupaten Aceh Timur. Peristiwa berturut ini telah memakan lima nyawa.
Babak Kesembilan, 24 Mei 2015. Dikabarkan, aparat gabungan TNI dan polisi terus memburu sipil bersenjata itu dan tepatnya di persawahan Gampong Blang Malu, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie. Terduga anggota Din Minimi Muhammad Reza alias Cagee, 28 tahun, warga Gampong Rheng, Kecamatan Keumala Pidie tewas.
Babak Kesepuluh, 29 Mei 2015. Seorang anggota Din Minimi bernama Zulkarnaini, 28 tahun, alias Glok menyerahkan diri ke Polsek Geureudong Pase, Aceh Utara.
Babak Kesebelas, 20 Agustus 2015 sore. Dikabarkan baku tembak pun terjadi antara aparat kepolisian melawan kelompok Din Minimi di Gampong Pulo Meuria, Kecamatan Geredong Pase, Aceh Utara. Terduga anggota Din Minimi yakni Ridwan, adik dari Zulkarnaini alias Glok, kembali tewas tertembak. Ridwan merupakan nyawa ketujuh yang tewas dalam cerita perang setelah damai Aceh itu.
Babak Kedua belas, 27 Agustus 2015. Dikabarkan, dalam sebuah sergapan tim gabungan Polda dan Polres menembak satu anggota Din Minimi bernama Junaidi alias Beurujuek di SPBU Batuphat, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe. Beurujuek adalah nyawa kedelapan dalam kisah tragedi ini.
Babak Ketiga belas, 30 Agustus 2015. Dikabarkan, Polres Lhokseumawe mengadakan konferensi pers. Wakapolres Kompol Isharyadi mengatakan bahwa masih tersisa 12 anggota Din Minimi bersama 10 senjata api. Disebutkan, dalam operasi sejak Februari 2015 telah menangkap 15 anggota Din Minimi dan 16 pucuk senjata api.
Babak Keempat belas, 6 Oktober 2015. Dikabarkan, sekitar pukul 13.05 WIB, Polres Lhokseumawe merekonstruksi pembunuhan dua anggota TNI dengan 18 adegan.
Kemudian, anggota Polda Aceh dan Polres didukung anggota TNI mengepung pedalaman Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen sampai perbatasan Bener Meriah, untuk memburu Din Minimi. Pencarian Din Mimimi pun menyebar ke berbagai penjuru gampong di pedalaman itu.
Babak Kelima belas, 28 Desember 2015. Dikabarkan, Din Minimi bersama 120 anggotanya pun turun gunung. Mereka pulang kampung setelah Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Letjen (Purn) Sutiyoso menjemput ke tempat persembunyiannya.
Dikabarkan, Din Minimi bersedia pulang dengan beberapa tuntutan. Salah satunya, ia minta reintegrasi sesuai perjanjian Helsinki dilanjutkan kemudian meminta anak yatim terutama keluarga Gerakan Aceh Merdeka (GAM), inong-inong balee korban konflik diperhatikan, Din Minimi pun meminta amnesti (ampunan).
Dikabarkan, sebelum Din Minimi pulang kampung, ada tiga orang anggotanya melarikan diri sebelum turun gunung yang menggemparkan dunia itu. Ternyata, kisah itu menyisakan sambungan. Tidak cukup empat belas babak.
Mengapa? Mengapa Din Minimi? Banyak pertanyaan muncul di benakku sejak Din Minimi diberitakan.
Syahdan
Sekiranya kisah Din Minimi itu adalah karangan semata, maka perjalannya tentu berbeda. Cerita Din Minimi melahirkan anggapanku bahwa kisah asli tentang perang lebih kaya alur –atau malah alurnya buruk- daripada yang dikisahkan dalam karangan.
Kalau dalam cerita karangan, penulis akan menghubungkan antara tuduhan, penyebab, dan pengakuan, serta akhirnya. Akan disebutkan dari mana senjata itu didapatkan. Bagaimana ketua YARA bisa berfoto dengan Din Minimi sementara di saat yang sama polisi memburu kelompok bersenjata tersebut.
Bagaimana mereka bertahan hidup, dari mana uang menjamu anak yatim setelah turun gunung. Kalau disebutkan melawan gubernur Aceh, mengapa tidak pernah sekalipun menyerang gubernur atau orang di sekelilingnya, dan mengapa mengangkat senjata yang dilarang oleh negara sehingga dengannya akan diburu oleh petugas hukum? Banyak lagi pertanyaan yang harus terjawab sekiranya kisah itu adalah cerita karangan.
Sementara pada kisah Din Minimi, hal itu tidak ada, alurnya terputus-putus. Sebagian besar yang disebut anggota Din Minimi –sebelum turun gunung- itu telah meninggal dunia.
Tidak mungkin kita mewawancarai mayat untuk menanyakan, apakah mereka benar anggota Din Minimi dan benarkah mereka berperang menuntut keadilan dari pemerintah Aceh, dan sebagainya. Selama ini yang mengatakan itu adalah orang lain mengatas namakan mereka.
Cerita karangan kadang lebih masuk akal daripada kisah yang sebenarnya terjadi. Apabila ditinjau dari cara mengakhiri kisah Din Minimi, ‘penulis skenario’ dan ‘sutradara’nya punya dua pilihan untuk membuat bagian keduanya.
Pertama, akan dilanjutkan dari Din Minimi dan kawan-kawannya yang turun gunung. Kedua, dimulai dari tiga orang anggotanya yang melarikan diri sebelum turun gunung itu. Kedua pilihan ini sama baiknya karena sama-sama dapat dikaitkan dengan nama Din Minimi yang telah dibesar-besarkan melalui media massa.
Kapankan bagian kedua, babak keenam belas dan seterusnya, itu dibuat dan disiarkan? Pemilihan kepala daerah, bupati, walikota, dan gubernur pada tahun 2017, akan menjadi saat yang tepat untuk melanjutkan pertunjukan itu.
Di antara babak kisah tersebut, APBA (Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh) dikuasai mafia anggaran dari dalam dan luar pemerintah Aceh, dialirkan untuk beberapa pihak, telat disahkan dan telat dicairkan karena berebutan, qanun-qanun untuk memajukan Aceh hilang dari jadwal, sebagian besar uang otsus dihamburkan untuk proyek yang dapat diambil untuk oleh pengurusnya.
Sementara rakyat masih ada yang kekurangan makanan, air bersih, pakaian, tempat tinggal, dan pendidikan. Aceh adalah panggung teater politisi dan kapitalis, penontonnya adalah rakyat yang duduk di atas keringat dan darah.
Rakyat menonton itu seraya berteriak, menangis dalam perut kosong atau berisi makanan beracun, badan kesakitan tetapi belum mati karena vitamin harapan dan ideologi yang dipaksakan setiap menjelang kampanye membuatnya hidup lebih lama. Kabar Din Minimi telah melenakan orang dari kekacauan uang rakyat di APBA.
*Thayeb Loh Angen, aktivis kebudayaan, penulis novel Teuntra Atom dan novel Aceh 2025.
Sumber : portalsatu.com
Kemunculan Din Minimi di Aceh yang secara tiba-tiba itu mengingatkanku pada berita munculnya sebuah kelompok keras di Timur Tengah. Untuk apa itu dimunculkan? Sampai kini saya belum mendapatkan jawabannya, selain dugaan-dugaan.
Kelompok yang disebut Deash oleh presiden Turki, Erdogan, muncul untuk menyerang negara yang berpenduduk muslim. Sementara Din Minimi, disebutkan muncul untuk melawan kebijakan Gubernur Aceh.
Kisah Din Minimi, sebagaimana cerita lain, memiliki alur walaupun terkadang ada yang meloncat antara bagiannya, tidak menyambung. Marilah kita tinjau ulang episode atau babak dari cerita Din Minimi menurut tanggal peristiwa (kronologis), sebagaimana yang disiarkan oleh media-media.
Babak Pertama, 9 Oktober 2014. Inilah pertama kali nama Din Minimi menjadi pembicaraan umum. Ada fotonya memegang senjata api laras panjang jenis AK-47 bersama Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Safaruddin, S.H., di koran terbesar di Aceh.
Seorang penduduk sipil, dilarang memakai senjata api, merunut pada UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 terkait senjata api dan aturan turunan lainnya. Itu tindakan nekat.
Babak Kedua, 22 Maret 2015, nama Din Minimi dan kawan-kawannya kembali menghiasi laman utama berita media. Ia dikabarkan menculik Panglima Muda Komite Peralihan Aceh (KPA) Daerah II, Wilayah Pase (Aceh Utara), Mahmud Syah alias Ayah Mud.
Babak Ketiga, 24 Maret 2015. Dikabarkan terjadi penculikan dua anggota TNI Intel Kodim 0103/Aceh Utara di Dusun Batee Pila, Gampong Alue Papeun, Kecamatan Nisam Antara, Aceh Utara.
Babak Keempat, 13 April 2015. Dikabarkan, Kapolda Aceh Irjen Pol Husein Hamidi pada sebuah konferensi pers, mengatakan bahwa sejak 13 November 2014 sampai 10 April 2015, pihaknya berhasil menangkap 13 tersangka kriminal bersenjata api kelompok Din Minimi (DM) dan enam pucuk senjata api.
Babak Kelima, 4 Mei 2015. Dikabarkan, tim Polda Aceh memburu kelompok Din Minimi di Limpok, Aceh Besar. Satu orang dilaporkan tertembak bernama Zalfan alias Tengku Plang.
Babak Keenam, 17 Mei 2015. Dikabarkan, Polres Lhokseumawe terus memburu Din Minimi dan kawan-kawannya, lalu berhasil menangkap dua orang bersama dua pucuk senjata api, di kawasan Paloh Gadeng, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, diduga anggota kelompok Din Minimi.
Babak Ketujuh, 20 Mei 2015. Dikabarkan, terjadi kontak tembak antara aparat TNI Kodim 0102/Pidie dan polisi dengan kelompok Din Minimi. Dua orang terduga anggota kelompok Din Minimi tewas ditembak di Gampong Gintong, Kecamatan Grong-Grong, Kabupaten Pidie. Kedua pria ini bernama Ibrahim Yusuf, 42 tahun, warga Gampong Ceurih Blang Mee, Kecamatan Delima, Pidie dan Subki, 32 tahun, warga Desa Pulo Meuria, Aceh Utara.
Ibrahim Yusuf dan Subki lah anak buah Din Minimi yang pertama meninggal dunia terkena peluru tajam, selain dua anggota TNI Kodim 0103 Aceh Utara dalam kejadian terpisah di Nisam.
Babak Kedelapan, 21 Mei 2015. Dikabarkan, sekitar pukul 05:00 WIB, aparat kepolisian Polda Aceh dan Polres Pidie, dalam sebuah penyisiran, berhasil melumpuhkan Yusliadi Rusli, 27 tahun, alias Mae Pong warga Julok, Kabupaten Aceh Timur. Peristiwa berturut ini telah memakan lima nyawa.
Babak Kesembilan, 24 Mei 2015. Dikabarkan, aparat gabungan TNI dan polisi terus memburu sipil bersenjata itu dan tepatnya di persawahan Gampong Blang Malu, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie. Terduga anggota Din Minimi Muhammad Reza alias Cagee, 28 tahun, warga Gampong Rheng, Kecamatan Keumala Pidie tewas.
Babak Kesepuluh, 29 Mei 2015. Seorang anggota Din Minimi bernama Zulkarnaini, 28 tahun, alias Glok menyerahkan diri ke Polsek Geureudong Pase, Aceh Utara.
Babak Kesebelas, 20 Agustus 2015 sore. Dikabarkan baku tembak pun terjadi antara aparat kepolisian melawan kelompok Din Minimi di Gampong Pulo Meuria, Kecamatan Geredong Pase, Aceh Utara. Terduga anggota Din Minimi yakni Ridwan, adik dari Zulkarnaini alias Glok, kembali tewas tertembak. Ridwan merupakan nyawa ketujuh yang tewas dalam cerita perang setelah damai Aceh itu.
Babak Kedua belas, 27 Agustus 2015. Dikabarkan, dalam sebuah sergapan tim gabungan Polda dan Polres menembak satu anggota Din Minimi bernama Junaidi alias Beurujuek di SPBU Batuphat, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe. Beurujuek adalah nyawa kedelapan dalam kisah tragedi ini.
Babak Ketiga belas, 30 Agustus 2015. Dikabarkan, Polres Lhokseumawe mengadakan konferensi pers. Wakapolres Kompol Isharyadi mengatakan bahwa masih tersisa 12 anggota Din Minimi bersama 10 senjata api. Disebutkan, dalam operasi sejak Februari 2015 telah menangkap 15 anggota Din Minimi dan 16 pucuk senjata api.
Babak Keempat belas, 6 Oktober 2015. Dikabarkan, sekitar pukul 13.05 WIB, Polres Lhokseumawe merekonstruksi pembunuhan dua anggota TNI dengan 18 adegan.
Kemudian, anggota Polda Aceh dan Polres didukung anggota TNI mengepung pedalaman Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen sampai perbatasan Bener Meriah, untuk memburu Din Minimi. Pencarian Din Mimimi pun menyebar ke berbagai penjuru gampong di pedalaman itu.
Babak Kelima belas, 28 Desember 2015. Dikabarkan, Din Minimi bersama 120 anggotanya pun turun gunung. Mereka pulang kampung setelah Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Letjen (Purn) Sutiyoso menjemput ke tempat persembunyiannya.
Dikabarkan, Din Minimi bersedia pulang dengan beberapa tuntutan. Salah satunya, ia minta reintegrasi sesuai perjanjian Helsinki dilanjutkan kemudian meminta anak yatim terutama keluarga Gerakan Aceh Merdeka (GAM), inong-inong balee korban konflik diperhatikan, Din Minimi pun meminta amnesti (ampunan).
Dikabarkan, sebelum Din Minimi pulang kampung, ada tiga orang anggotanya melarikan diri sebelum turun gunung yang menggemparkan dunia itu. Ternyata, kisah itu menyisakan sambungan. Tidak cukup empat belas babak.
Mengapa? Mengapa Din Minimi? Banyak pertanyaan muncul di benakku sejak Din Minimi diberitakan.
Syahdan
Sekiranya kisah Din Minimi itu adalah karangan semata, maka perjalannya tentu berbeda. Cerita Din Minimi melahirkan anggapanku bahwa kisah asli tentang perang lebih kaya alur –atau malah alurnya buruk- daripada yang dikisahkan dalam karangan.
Kalau dalam cerita karangan, penulis akan menghubungkan antara tuduhan, penyebab, dan pengakuan, serta akhirnya. Akan disebutkan dari mana senjata itu didapatkan. Bagaimana ketua YARA bisa berfoto dengan Din Minimi sementara di saat yang sama polisi memburu kelompok bersenjata tersebut.
Bagaimana mereka bertahan hidup, dari mana uang menjamu anak yatim setelah turun gunung. Kalau disebutkan melawan gubernur Aceh, mengapa tidak pernah sekalipun menyerang gubernur atau orang di sekelilingnya, dan mengapa mengangkat senjata yang dilarang oleh negara sehingga dengannya akan diburu oleh petugas hukum? Banyak lagi pertanyaan yang harus terjawab sekiranya kisah itu adalah cerita karangan.
Sementara pada kisah Din Minimi, hal itu tidak ada, alurnya terputus-putus. Sebagian besar yang disebut anggota Din Minimi –sebelum turun gunung- itu telah meninggal dunia.
Tidak mungkin kita mewawancarai mayat untuk menanyakan, apakah mereka benar anggota Din Minimi dan benarkah mereka berperang menuntut keadilan dari pemerintah Aceh, dan sebagainya. Selama ini yang mengatakan itu adalah orang lain mengatas namakan mereka.
Cerita karangan kadang lebih masuk akal daripada kisah yang sebenarnya terjadi. Apabila ditinjau dari cara mengakhiri kisah Din Minimi, ‘penulis skenario’ dan ‘sutradara’nya punya dua pilihan untuk membuat bagian keduanya.
Pertama, akan dilanjutkan dari Din Minimi dan kawan-kawannya yang turun gunung. Kedua, dimulai dari tiga orang anggotanya yang melarikan diri sebelum turun gunung itu. Kedua pilihan ini sama baiknya karena sama-sama dapat dikaitkan dengan nama Din Minimi yang telah dibesar-besarkan melalui media massa.
Kapankan bagian kedua, babak keenam belas dan seterusnya, itu dibuat dan disiarkan? Pemilihan kepala daerah, bupati, walikota, dan gubernur pada tahun 2017, akan menjadi saat yang tepat untuk melanjutkan pertunjukan itu.
Di antara babak kisah tersebut, APBA (Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh) dikuasai mafia anggaran dari dalam dan luar pemerintah Aceh, dialirkan untuk beberapa pihak, telat disahkan dan telat dicairkan karena berebutan, qanun-qanun untuk memajukan Aceh hilang dari jadwal, sebagian besar uang otsus dihamburkan untuk proyek yang dapat diambil untuk oleh pengurusnya.
Sementara rakyat masih ada yang kekurangan makanan, air bersih, pakaian, tempat tinggal, dan pendidikan. Aceh adalah panggung teater politisi dan kapitalis, penontonnya adalah rakyat yang duduk di atas keringat dan darah.
Rakyat menonton itu seraya berteriak, menangis dalam perut kosong atau berisi makanan beracun, badan kesakitan tetapi belum mati karena vitamin harapan dan ideologi yang dipaksakan setiap menjelang kampanye membuatnya hidup lebih lama. Kabar Din Minimi telah melenakan orang dari kekacauan uang rakyat di APBA.
*Thayeb Loh Angen, aktivis kebudayaan, penulis novel Teuntra Atom dan novel Aceh 2025.
Sumber : portalsatu.com
loading...
Post a Comment