Jayapura -Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Pendeta Dorman Wandikbo mengibaratkan penyelesaian hukum dalam konflik Tolikara, Papua pada
17 Juli 2015 seperti api dan asap. Api sebagai akar persoalan tak
kunjung diungkap , namun justru asapnya yang kini diadili di Pengadilan
Negeri Jayapura, Provinsi Papua.
Sementara kesepakatan rekonsiliasi yang digagas masyarakat Muslim dan
Kristen dan difasilitasi Menteri Koordinasi Politik, Hukum, dan
Keamanan Luhut Panjaitan tidak direpsons oleh aparat penegak hukum.
Saat itu, menurut Dorman, telah disepakati proses hukum dikesampingkan
dan mengutamakan rekonsiliasi . Sebab, kata Dorman, kerukunan hidup umat
beragama di Tolikara berjalan baik selama ini.
Dorman menjelaskan, Ariyanto Kogoya dan Jundi Wanimbo, peserta acara
Kebangkitan dan Kebangunan Rohani (KKR) yang diadakan GIDI didakwa
sebagai provokator sehingga terjadi pembakaran rumah toko (ruko) dan
mushala di Tolikara pada 17 Juli 2015. Namun keduanya menolak dakwaan
itu.
“Api itu Kapolres, Namanya Soeroso. Dari Jakarta katanya orang itu
bikin kacau, dicopot. Tapi kita tahu dia bukan dicopot, tapi naik
pangkat. Satu permainan yang luar biasa,” kata Dorman kepada Tempo saat
ditemui di kantor Sinode Gereja Kemah Injil Kingmi di Papua, Jayapura,
17 Desember 2015.
Dorman yang baru saja selesai mengikuti persidangan Ariyanto Kogoya
dan Jundi Wanimbo di Pengadilan Negeri Jayapura mengatakan, persoalan
dalam kasus Tolikara adalah penggunaan alat pengeras suara saat shalat
Id. Bersamaan itu peserta KKR GIDI dari sejumlah provinsi sedang
ibadah. Tentang larangan penggunaan alat pengeras suara, kata Dorman,
sudah jauh-jauh hari disepakati oleh Muspida Tolikara dan tokoh-tokoh
umat Kristen dan Muslim Tolikara.
Sehingga Dorma mendesak agar Soeroso dan tokoh umat Muslim Tolikara,
ustad Ali Muchtar dimintai keterangan resmi oleh aparat hukum. “Dua
orang ini kunci kasus Tolikara. Apinya itu bersumber dari dua orang ini,
bukan Ariyanto, bukan Jundi, bukan umat Muslim,” tegasnya.
Dorman hadir di Tolikara saat terjadi aksi protes peserta KKR atas
penggunaan alat pengeras suara yang berujung pada pembakaran ruko dan
merembes ke mushola ikut terbakar dan penembakan ke arah pemrotes, satu
orang tewas dan 11 orang terluka. Sehingga ia mempertanyakan kenapa
aparat keamanan membawa senjata saat shalat Id. Dorman menduga aparat
keamananlah yang melakukan tembakan.
Sayang, uji coba balistik yang dilakukan Polda Papua tak kunjung
dibuka ke publik untuk mengetahui akar masalahnya. “Uji balistik tidak
akan terungkap jika mengenai orang Papua asli,” ujar Dorman kecewa.
Meski tak jelas pelaku penembakan dan motifnya, Dorman mengaku punya
bukti tentang penembak saat aksi protes terjadi pada 17 Juli 2015.
“Saya ada foto senjatanya, orang berdiri pakai pakaian putih kasih
keluar pistol, tikar dilepas dan kasih keluar laras. Itu berarti, sudah
ada orang buat skenario,” ujarnya.
Dorman menduga motif konflik Tolikara adalah melemahkan GIDI dan
kekuatan gereja-gereja di Papua. Pihak ketiga dari luar Papua yang
berasal dari kelompok radikal , ujarnya, berhasil memecah belah gereja
Kimni dan Bethel di Papua. Sejauh ini, tinggal GIDI yang diklaim Dorman
kompak dan bersatu.
Ketua Sinode Gereja Kemah Injil Kingmi di Papua, Benny Giay yang mendampingi Dorman tersenyum mendengarkan penjelasan Dorman.
Sambil mengangkat dan menggoyangkan jari telunjuknya, Dorman
menegaskan, jangan ada intimidasi umat Kristen di Indonesia. Ia meminta
semua orang menghormati Pancasila apapun agamanya. Khusus Papua, Dorman
mengingatkan, urat nadi orang Papua adalah gereja.
“Jadi, Jakarta ganggu Freeport, Jakarta ganggu minyak di Sorong,
Jakarta ganggu TPN-OPM , Jakarta ganggu yang lain-lain, dia masih bisa
bermain, masih aman. Tapi kalau Jakarta ganggu gereja, itu pasti tidak
akan lagi sama-sama dengan bangsa ini. Itu sudah jelas,” tegas Dorman.
Untuk itulah, Dorman meminta Presiden Jokowi dan Kapolri Badrodin
Haiti memberikan penegasan tentang keberpihakannya di Papua. “ Pak
Jokowi itu perlu agama atau perlu bangsa atau negara? Pak Kapolri itu
perlu agama atau negara? Kalau dia perlu negara, hargai orang Kristen
. Kalau dia perlu negara, tidak boleh intimidasi orang-orang Kristen di
Indonesia. Harus akui Pancasila. Agama Hindu, agama Budha, agama
Muslim, agama Kristen, hargai.”
Mantan Kapolres Tolikara, Soeroso dengan nada suara tinggi memberikan
penjelasan kepada Tempo melalui telepon selulernya, Rabu, 6 Januari
2016. Soeroso mengatakan, penembakan yang terjadi pada 17 Juli 2015
sebagai ekses dari aksi protes dan pembakaran ruko serta mushola. “Kalau
tidak ada kejadian, tidak akan ada penembakan,” ujarnya.
Mengenai foto-foto aparat yang membawa senjata saat shalat Id yang
dimiliki GIDI, Soeroso membenarkan ada aparat keamanan membawa senjata
saat shalat Id . Namun ia memastikan aparat-aparat yang membawa senjata
bukan anak buahnya. “Yang bawa senjata itu Brimob (pasukan yang
di-bko-kan untuk pengamanan acara KKR dan Idul Fitri) aparat Koramil
Karubaga, dan TNI, ” ujar Soeroso.
Tentang alasan aparat membawa senjata saat shalat Id, mantan
Komandan Brimob di Kabupaten Paniai ini menjelaskan, aparat Brimob dan
TNI kemana saja memang membawa senjata. “Mungkin hanya buang air saja
senjata tidak menempel,” ujarnya.
Meski tahu ada aparat Brimob dan TNI membawa senjata, namun Soeroso
mengaku tidak tahu siapa pelaku penembakan. Soeroso menjelaskan, ia
keluar dari halaman Koramil yang digunakan untuk shalat guna
menenangkan massa yang protes. Sedang bernegosiasi, ia mendengar suara
tembakan.
Tuntutan Dorman agar Soeroso diperiksa secara resmi oleh penegak
hukum, Soeroso menyerahkan keputusan itu pada aparat penegak hukum.
Sebaliknya, ia meminta Dorman menjelaskan kelompok radikal yang terlibat
dalam konflik Tolikara. “Saya tidak tahu tentang kelompok radikal,
suruh Dorman tunjuk kelompok radikal yang dimaksud.”[Tempo]
loading...
Post a Comment