Kepala Badan Intelijen Strategis (Ka-BAIS) TNI 2011-2013, Soleman B Ponto |
AMP - Din Minimi yang telah bersedia diajak turun gunung oleh Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso dengan syarat amnesti (pengampunan) beberapa waktu lalu besar kemungkinan akan diberikan amnesti oleh Presiden RI, Joko Widodo.
“Nanti akan kami berikan, tetapi ada prosesnya,” kata Presiden Jokowi ketika meninjau Pasar Lokal Keyabi di Kabupaten Nduga, Papua, Kamis (31/12/2015)
Rencana Presiden RI ini tidak sepenuhnya didukung. Salah satu kritik datang dari Anggota Komisi I DPR Effendi Simbolon. Kader PDI-P ini mengkritik langkah pemerintah yang mewacanakan pemberian amnesti untuk kelompok bersenjata yang dipimpin Din Minimi.
Menurut dia, pemberian amnesti dikhawatirkan justru menyuburkan praktik separatisme di daerah.
Pandangan senada juga disampaikan oleh Kepala Badan Intelijen Strategis (Ka-BAIS) TNI 2011-2013, Soleman B Ponto. Kepada aceHTrend Jumat (1/1/2016) malam ia mengatakan: “Amnesti (untuk Din Minimi dan kelompoknya) kehancuran bagi Aceh.”
Menurut sosok yang pernah bertugas 880 hari di Aceh pra dan paska MoU Helsinki ini, amnesti untuk anggota GAM sudah selesai dan itu diberikan sebagai bagian dari pelaksanaan damai berdasarkan MoU Helsinki. Pemberian amnesti kepada anggota GAM dulunya juga dipandangnya wajar dan dibenarkan oleh aturan internasioanal sebab GAM adalah organisasi kombatan. “Jika terjadi perundingan atau perdamaian maka berlakulah (salah satunya) amnesti,” kata Ponto.
Untuk saat ini, menurut penulis buku “TNI dan Perdamaian Aceh”, kemunculan kelompok perlawanan mengatasnamakan GAM sudah lewat. Apalagi sampai memiliki senjata. Masa penyerahan senjata juga sudah lewat. “Kesepakatan bersama dulu batas waktu penyerahan senjata adalah 31 Desember 2005 dan itu disepakati dan dijalankan. Ada 1.018 pucuk senjata yang diserahkan dari 840 pucuk yang dijanjikan,” kenang Soleman.
Dengan begitu, menurutnya, jika kini ada seseorang atau sekelompok orang apalagi sampai memiliki senjata maka mereka bukan GAM, melainkan pelaku kriminal. Perlawanan terhadap pemerintah dengan senjata juga pelaku kriminal. “Jadi, tidak bisa diberikan amnesti,” tegasnya.
Rekan satu tim dengan Bambang Darmono, Kepala Pelaksana Harian Aceh Monitoring Mision (AMM) itu mengingatkan, dulu amnesti diberikan kepada anggota GAM karena GAM dipandang sebagai kombatan yang mau berdamai melalui perundingan. Sebagai kombatan, nilainya keberadaan GAM bukan hanya mengganggu pemerintah Aceh, tapi juga sangat menganggu pemerintah pusat sehingga pemerintah merasa perlu mengerahkan pasukan ke Aceh. Dan, ketika langkah perdamaian diambil maka memang sangat wajar diberikan amnesti.
Aneh bin Ajaib
“Apakah Din Minimi dan kelompoknya sudah sangat mengganggu semua pihak, termasuk pemerintah pusat? Tidak! Artinya, Din Minimi hanya pelaku kriminal saja. Melakukan perlawanan terhadap pemerintah Aceh dengan menggunakan senjata, juga kriminal. Kok tiba-tiba pelaku kriminal mau diselamatkan dengan amnesti,” kata Soleman penuh tanya.
Menurutnya, pemberian amnesti terasa aneh. “Ini aneh bin ajaib,” katanya.
Bukan hanya soal amnesti, keanehan lain yang dilihat oleh Ponto adalah mengapa Kepala BIN Sutiyoso tiba-tiba masuk ke sana untuk menjemput Din Minimi? Ada apa? Tidak umum seorang kepala organisasi negara yang besar seperti BIN menjemput pelaku kriminal kecil yang belum bisa disebut telah benar-benar mengganggu negara, sebagaimana GAM dulu. Mengapa harus dijemput oleh seorang Kepala BIN? Ada apa?
Menurut Ka-BAIS 2011-2013 ini, kerja BIN mestinya tidak kelihatan, perannya mesti mengedepankan Polri dan TNI. Bukan mengedepankan diri sendiri, apalagi sampai mengabaikan Polda Aceh dan Kodam Iskandar Muda. Padahal Polda sedang mengejar DPO. “Ini kesalahan fatal intelijen. BIN tidak boleh mengagabaikan sama sekali Polda dan Kodam,” tegasnya.
Kondisi ini, menurut Ponto jika memakai pemikiran liar akan memunculkan pertanyaan: “apakah seorang ini sudah merasa sedemikian terdesak, sehingga ia ingin menyelamatkan diri, dan satu-satunya yang bisa menyelamatkan dirinya adalah tuannya sendiri. Jangan-jangan BIN adalah tuannya sendiri?” ujar Soleman sambil menyanyikan bait lagu “Kaulah yang memulai kaulah yang mengakhiri.”
Jika pemikiran liar itu dipakai, menurut Ponto bisa jadi itu karena mereka sudah tidak punya jalan lain. “Jika tertangkap dan dinterogasi takut ketahuan ini milik siapa. Jadi lebih baik secepatnya diambil pemiliknya sendiri,” ujarnya.
Ponto kembali mengingatkan, DIn Minimi dan kelompoknya tidak bisa disamakan dengan GAM. Dan, tidak masuk akal jika Din Minimi hendak disamakan dengan GAM.
“Jadi, kalau amnesti ini diberikan kepada Din Minimi Aceh bakal hancur sebab akan lahir Din Minimi Din Minimi baru dan mereka juga akan minta amnesti,” katanya sambil menegaskan bahwa penegakan hukum oleh Polrilah yang paling tepat dilakukan, bukan pemberian amnesti.
Ponto menambahkan, ia sangat yakin Polri dan TNI punya kemampuan untuk melakukan penegakan hukum. Hanya saja dalam melakukan tugasnya di Aceh Polri dan TNI mesti ektra hati-hati agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ponto juga yakin, Din Minimi dan kelompoknya sudah hampir bisa ditangkap. Hanya saja, bisa jadi karena ada pihak yang berkepentingan yang takut motifnya terbongkar maka dilakukan langkah penyelamatan.
Meski begitu, prajurit TNI AL yang oleh Jend (purn) Joko Widodo disebut The Last Warrior ini tetap menyampaikan terimakasih karena Kepala BIN telah mengeluarkan Din Minimi dan kelompoknya dari hutan. Namun begitu, Ka-BAIS 2011-2013 ini menyarankan agar kepala BIN menyerahkan kasus Din Minimi kepada Kapolri. “Serahkan kepada Kapolri dan jangan diintervensi,” pungkasnya.[acehtrend.co]
“Nanti akan kami berikan, tetapi ada prosesnya,” kata Presiden Jokowi ketika meninjau Pasar Lokal Keyabi di Kabupaten Nduga, Papua, Kamis (31/12/2015)
Rencana Presiden RI ini tidak sepenuhnya didukung. Salah satu kritik datang dari Anggota Komisi I DPR Effendi Simbolon. Kader PDI-P ini mengkritik langkah pemerintah yang mewacanakan pemberian amnesti untuk kelompok bersenjata yang dipimpin Din Minimi.
Menurut dia, pemberian amnesti dikhawatirkan justru menyuburkan praktik separatisme di daerah.
Pandangan senada juga disampaikan oleh Kepala Badan Intelijen Strategis (Ka-BAIS) TNI 2011-2013, Soleman B Ponto. Kepada aceHTrend Jumat (1/1/2016) malam ia mengatakan: “Amnesti (untuk Din Minimi dan kelompoknya) kehancuran bagi Aceh.”
Menurut sosok yang pernah bertugas 880 hari di Aceh pra dan paska MoU Helsinki ini, amnesti untuk anggota GAM sudah selesai dan itu diberikan sebagai bagian dari pelaksanaan damai berdasarkan MoU Helsinki. Pemberian amnesti kepada anggota GAM dulunya juga dipandangnya wajar dan dibenarkan oleh aturan internasioanal sebab GAM adalah organisasi kombatan. “Jika terjadi perundingan atau perdamaian maka berlakulah (salah satunya) amnesti,” kata Ponto.
Untuk saat ini, menurut penulis buku “TNI dan Perdamaian Aceh”, kemunculan kelompok perlawanan mengatasnamakan GAM sudah lewat. Apalagi sampai memiliki senjata. Masa penyerahan senjata juga sudah lewat. “Kesepakatan bersama dulu batas waktu penyerahan senjata adalah 31 Desember 2005 dan itu disepakati dan dijalankan. Ada 1.018 pucuk senjata yang diserahkan dari 840 pucuk yang dijanjikan,” kenang Soleman.
Dengan begitu, menurutnya, jika kini ada seseorang atau sekelompok orang apalagi sampai memiliki senjata maka mereka bukan GAM, melainkan pelaku kriminal. Perlawanan terhadap pemerintah dengan senjata juga pelaku kriminal. “Jadi, tidak bisa diberikan amnesti,” tegasnya.
Rekan satu tim dengan Bambang Darmono, Kepala Pelaksana Harian Aceh Monitoring Mision (AMM) itu mengingatkan, dulu amnesti diberikan kepada anggota GAM karena GAM dipandang sebagai kombatan yang mau berdamai melalui perundingan. Sebagai kombatan, nilainya keberadaan GAM bukan hanya mengganggu pemerintah Aceh, tapi juga sangat menganggu pemerintah pusat sehingga pemerintah merasa perlu mengerahkan pasukan ke Aceh. Dan, ketika langkah perdamaian diambil maka memang sangat wajar diberikan amnesti.
Aneh bin Ajaib
“Apakah Din Minimi dan kelompoknya sudah sangat mengganggu semua pihak, termasuk pemerintah pusat? Tidak! Artinya, Din Minimi hanya pelaku kriminal saja. Melakukan perlawanan terhadap pemerintah Aceh dengan menggunakan senjata, juga kriminal. Kok tiba-tiba pelaku kriminal mau diselamatkan dengan amnesti,” kata Soleman penuh tanya.
Menurutnya, pemberian amnesti terasa aneh. “Ini aneh bin ajaib,” katanya.
Bukan hanya soal amnesti, keanehan lain yang dilihat oleh Ponto adalah mengapa Kepala BIN Sutiyoso tiba-tiba masuk ke sana untuk menjemput Din Minimi? Ada apa? Tidak umum seorang kepala organisasi negara yang besar seperti BIN menjemput pelaku kriminal kecil yang belum bisa disebut telah benar-benar mengganggu negara, sebagaimana GAM dulu. Mengapa harus dijemput oleh seorang Kepala BIN? Ada apa?
Menurut Ka-BAIS 2011-2013 ini, kerja BIN mestinya tidak kelihatan, perannya mesti mengedepankan Polri dan TNI. Bukan mengedepankan diri sendiri, apalagi sampai mengabaikan Polda Aceh dan Kodam Iskandar Muda. Padahal Polda sedang mengejar DPO. “Ini kesalahan fatal intelijen. BIN tidak boleh mengagabaikan sama sekali Polda dan Kodam,” tegasnya.
Kondisi ini, menurut Ponto jika memakai pemikiran liar akan memunculkan pertanyaan: “apakah seorang ini sudah merasa sedemikian terdesak, sehingga ia ingin menyelamatkan diri, dan satu-satunya yang bisa menyelamatkan dirinya adalah tuannya sendiri. Jangan-jangan BIN adalah tuannya sendiri?” ujar Soleman sambil menyanyikan bait lagu “Kaulah yang memulai kaulah yang mengakhiri.”
Jika pemikiran liar itu dipakai, menurut Ponto bisa jadi itu karena mereka sudah tidak punya jalan lain. “Jika tertangkap dan dinterogasi takut ketahuan ini milik siapa. Jadi lebih baik secepatnya diambil pemiliknya sendiri,” ujarnya.
Ponto kembali mengingatkan, DIn Minimi dan kelompoknya tidak bisa disamakan dengan GAM. Dan, tidak masuk akal jika Din Minimi hendak disamakan dengan GAM.
“Jadi, kalau amnesti ini diberikan kepada Din Minimi Aceh bakal hancur sebab akan lahir Din Minimi Din Minimi baru dan mereka juga akan minta amnesti,” katanya sambil menegaskan bahwa penegakan hukum oleh Polrilah yang paling tepat dilakukan, bukan pemberian amnesti.
Ponto menambahkan, ia sangat yakin Polri dan TNI punya kemampuan untuk melakukan penegakan hukum. Hanya saja dalam melakukan tugasnya di Aceh Polri dan TNI mesti ektra hati-hati agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ponto juga yakin, Din Minimi dan kelompoknya sudah hampir bisa ditangkap. Hanya saja, bisa jadi karena ada pihak yang berkepentingan yang takut motifnya terbongkar maka dilakukan langkah penyelamatan.
Meski begitu, prajurit TNI AL yang oleh Jend (purn) Joko Widodo disebut The Last Warrior ini tetap menyampaikan terimakasih karena Kepala BIN telah mengeluarkan Din Minimi dan kelompoknya dari hutan. Namun begitu, Ka-BAIS 2011-2013 ini menyarankan agar kepala BIN menyerahkan kasus Din Minimi kepada Kapolri. “Serahkan kepada Kapolri dan jangan diintervensi,” pungkasnya.[acehtrend.co]
loading...
Post a Comment