Halloween Costume ideas 2015
loading...

Wariskan Utang di Akhir Jabatan Pemerintahan "ZIKIR"

AMP - Di akhir kepemimpinan Zaini Abdullah-Mazakir Manaf, Pemerintah Aceh berutang kepada bank asing mencapai Rp1,3 triliun lebih. Beban bagi rakyat dan kepemimpinan Aceh berikutnya.

Pemerintah Aceh harus membatalkan pinjaman pada Jerman. Demikian disimpulkan seluruh peserta diskusi ‘Sudah Haruskah Aceh Berhutang?’ di Kantor LSM Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), 23 Mei 2016, Banda Aceh.

Pertemuan Senin itu menghadirkan antara lain anggota Komisi III DPRA Kautsar, Kepala Bappeda Aceh Zulkifli Hs, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh Taqwaddin, pengamat hukum Aceh Mawardi Ismail, akademisi dari Universitas Abulyatama Wiratmadinata, LSM, dan kalangan media massa.

Diskusi digelar akibat kebijakan Pemerintah Aceh berutang sebanyak €250.000 (250 ribu Euro) atau saat ini setara Rp1,3 triliun lebih. Masalahnya, utang itu mesti dilunasi dalam waktu 10 tahun dan 5 tahun masa tenggang dengan persentase bunga antara 2,5–2,9 persen per tahun.

Jika ditotal, sebut Hafidh, Koordinator Bidang Advokasi dan Kebijakan Publik MaTA, Pemerintah Aceh mewariskan utang sebanyak Rp2,3 triliun pada Bank Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) Jerman, hanya untuk membangun 3 Rumah Sakit Regional (RSR) dan satu pusat kanker di RSUZA lama di Aceh.

Dua tahun sebelum diskusi itu, tepatnya pada Senin 2 Juni 2014, Gubernur Aceh Zaini Abdullah dan rombongan temui petinggi Bank KfW di Frankfurt, Jerman. Hasilnya, KfW sepakat kucurkan soft loan kepada Pemerintah Aceh.

Zaini membawa pulang semangat pembangunan Aceh dari Negeri Hitler. Berbagai pihak disurati (LIHAT: Infografis Surat-Menyurat Pemerintah Aceh). Misalnya pada 2 April 2015, Gubernur Aceh surati Ketua DPRA berisi persetujuan pinjaman luar negeri berbentuk soft loan dari Bank KfW.

Setahun kemudian, giliran pihak KfW terbang ke Aceh dari Jerman. Dua perwakilan KfW, Mr Christopher Twerenbold dan Jochen Saleth jumpai Zaini di Kantor Gubernur Aceh, yang juga dihadiri Wali Nanggroe, DPRA, dan beberapa pejabat lainnya.

Puncaknya, 24 Oktober 2016, DPRA menggelar sidang paripurna. Sebanyak 5 dari 7 fraksi DPRA menyetujui usulan Pemerintah Aceh pinjam Rp1,3 triliun dari KfW Jerman untuk bangun tiga RSR di Bireuen, Aceh Tenggara, dan Aceh Barat, serta satu RS di RSUZA lama, Banda Aceh.

Fraksi NasDem dan Demokrat menolak. Dalimi dari Fraksi Demokrat menyatakan, dua fraksi itu sangat mendukung pembangunan ketiga RSR di Aceh namun mereka menolak kebijakan Pemerintah Aceh yang berutang pada bank asing.

Sebab katanya kepada Pikiran Merdeka, biaya komitmen, manajemen, dan bunga yang harus dibayar nantinya mencapai Rp985 miliar. Belum lagi pinjaman pokok sebesar Rp1,396 triliun. Dengan begitu, total pinjaman yang harus dibayar Pemerintah Aceh mencapai Rp 2,381 triliun.

“Kalau kami lihat dokumen pinjaman pada KfW itu, dana akan dikucurkan bertahap, bukan sekali turun Rp1,3 T. Ini kan seharusnya Pemerintah Aceh bisa menggunakan APBA,” ujar Wakil Ketua III DPRA itu, Sabtu (29/10/16).

Pihaknya setuju Pemerintah Aceh bangun RSR, tapi tidak dengan berutang. Melainkan dengan menggunakan APBA atau dana hibah dari APBN.

“Apalagi pemerintahan Jokowi sedang prioritaskan pembangunan rumah sakit regional di Indonesia, seharusnya Pemerintah Aceh menjemput bola,” imbuhnya.

Catatan MaTA, setidaknya dalam kurun 2011-2016, Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) terus meningkat. Tahun 2011 APBA berjumlah Rp7,974 T, naik menjadi Rp9,511 T pada 2012, Rp11,779 T pada 2013, 2014 Rp13,368 T, 2015 Rp12,749 T, dan Rp 12,874 T pada 2016.

“Kita semua saat itu setuju dengan pembangunan rumah sakit regional di Aceh, tapi tidak dengan berutang ke luar negeri. Kenapa tidak menggunakan APBA saja yang semakin tahun semakin besar jumlahnya?” ujar Hafidh kepada Pikiran Merdeka, Kamis (27/10/16).

Dia menjelaskan, Pemerintah Aceh dan DPRA seharusnya memikirkan beban Aceh saat melunasi utang tersebut kelak. Aceh mulai membayarkan pinjaman baik cicilan pokok maupun bunga mulai tahun 2022 sampai dengan tahun 2036.

Hafidh menjabarkan, Pemerintah Aceh masih dalam masa melunasi utang ketika dana Otsus menjadi 1 persen pada 2023 dan berakhir pada 2027. Sederhananya, sebut dia, Pemerintah Aceh berutang ketika kapasitas APBA cukup kuat dan wajib membayar ketika kapasitas APBA melemah.

“Lebih tepatnya meminjam di kala kaya dan membayar di kala miskin,” tandas Hafidh.

Parahnya, menurut penelusuran MaTA dari surat menyurat Gubernur Aceh dengan DPRA dan Kementerian Keuangan, didapati  bahwa peminjaman akan dilakukan dengan mata uang Euro.

Kebijakan itu sangat mengancam manajemen keuangan Aceh, karena kurs rupiah terhadap mata uang asing sangat fluktuatif. Sedikit saja goncangan akan melemahkan nilai rupiah, ujarnya, sehingga harus membayar dalam jumlah lebih besar.
TIDAK MASUK AKAL

“Dalam diskusi itu saya melihat, Pemerintah Aceh kelihatannya tidak  memahami betul perencanaan keuangan daerah. Kepala Bappeda saat itu (Zulkifli Hs_red) hanya menjalankan visi-misi gubernur saja,” kata Wiratmadinata, Dekan Fakultas Hukum Universitas Abulyatama.

Pada pertemuan itu, sambungnya, semua yang hadir sepakat menolak rencana pinjaman lunak Pemerintah Aceh pada Bank KfW Jerman. Tapi kemudian tampaknya, perwakilan Pemerintah Aceh itu belum punya analisis yang kuat untuk meyakinkan siapapun  bahwa pinjaman lunak itu tak logis.

Wiratmadinata memberikan filosofis. Utang biasanya diambil ketika menghadapi kekurangan atau tidak punya biaya. “Mari kita lihat di Aceh, kita punya uang atau tidak? Saya harus katakan, kita (Aceh_red) punya uang,” tegasnya.

Keuangan Aceh (APBA) menurutnya melesat jauh mulai dari sebelum adanya dana TBH Migas dan Otsus. Bahkan naik Rp1 T setiap tahunnya jika dilihat dalam 10 tahun terakhir.

Secara hukum, kata dia, berdasarkan kajian Ombudsman RI perwakilan Aceh, pinjaman luar negeri itu tak melanggar hukum. Tapi dilihat dari perekonomian Aceh, itu kebijakan yang tak tepat.

Dia mengungkapkan, Aceh dalam satu dekade terakhir juga merupakan daerah konsumtif, bukan daerah produktif. Sudah menjadi wacana umum seluruh kebutuhan Aceh dibeli di luar Aceh. Sementara Aceh tak memiliki sentra produksi apapun.

Dia menambahkan, “Artinya Aceh mampu membeli tetapi tidak mampu membangun pondasi perekonomian dengan uang yang banyak. Itulah sumber problem.”

Dia mengatakan, kalau memang Pemerintah Aceh menjadikan pelayanan kesehatan sebagai program prioritas, harus dibuat perencanaan jangka panjang yang tepat. Sebab pelayanan kesehatan bukanlah kebutuhan temporer, tapi berkelanjutan.

“Harus ada blue print dan dibuat qanunnya, sehingga prioritas ini menjadi dokumen pemerintahan Aceh, bukan dokumen seorang gubernur. Jadi siapapun gubernurnya, cetak biru itu tetap dijalankan,” sebutnya.

Pelayanan kesehatan semestinya juga menjadi program prioritas Pemerintah Aceh sejak dulu. Tidak tiba-tiba membangun rumah sakit regional dalam waktu bersamaan. Harusnya, pemerintah bisa alokasikan APBA setiap tahun untuk membiayai sejumlah RS di daerah.

“Kenapa ini tidak dilakukan? Berarti kita tidak layak bicara utang, tapi bicara bagaimana Aceh mengelola uang,” kata Wiratmadinata.

Jika menjadikan pembangunan RS regional sebagai program prioritas, dia mempertanyakan, kenapa Pemerintah Aceh lebih mengejar pembiayaan renovasi Masjid Raya Baiturahman yang menyerap APBA hampir setengah triliun di tahap awal.

Sebagai sumber dana pembangunan RS regional, dia menyebutkan, Pemerintah Aceh bisa saja mengurangi 50 persen Tunjangan Prestasi Kerja pegawai SKPA yang besarannya sekitar Rp1 T juga setiap tahunnya. Aceh juga memiliki Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) setiap tahunnya yang mencapai Rp1 T.

“Kenapa tidak dialihkan untuk pembangunan. Jadi ada banyak sumber yang bisa dialihkan untuk pembangunan RS regional. Jadi kita bukan tidak punya uang, tapi hanya tidak memiliki kemampuan pada perencanaan keuangan,” tambah Wiratmadinata.

Padahal salah satu visi misi pemerintahan Zikir, sebutnya, adalah pengembangan industri usaha mikro kecil menengah (UKM) jangka panjang untuk penyerapan tenaga kerja.

Dia menyebutkan, itu bagian dari visi misi Gubernur Aceh dalam sinergisitas pembangunan ekonomi antarkab/kota, berdasarkan potensi daerahnya masing-masing. Sehingga setiap kab/kota memiliki sentra industri tertentu yang dibiayai melalui BUMD (Badan Usaha Milik Daerah).

“Seharusnya inilah yang menjadi prioritas utama pemerintahan sekarang, tapi tidak dijalankan,” sebutnya.

Wiratmadinata mengatakan, masyarakat akan sehat jika perekonomiannya bagus, sedangkan orang sakit jika perekonomiannya tidak bagus. Karena itu Pemerintah Aceh sebaiknya lebih mengedepankan pembangunan ekonomi daripada pembangunan infrastruktur kesehatan.

Kini, katanya, jika pinjaman lunak itu tak dibatalkan, maka Pemerintah harus pikir bagaimana cara membayar utang itu di saat Aceh masih menjadi daerah konsumtif. “Bagaimana kita membayar utang jika tidak punya bisnis?”

Sumber keuangan Aceh saat ini nyaris 100 persen dari Pemerintah Pusat, sebut dia. Jika berharap pada Pendapatan Asli Aceh (PAD Aceh), ungkapnya, dalam 10 tahun terakhir Pemerintah Aceh hanya memperoleh Rp1 T, tak pernah meningkat.

“Jangan sampai utang pemerintah saat ini harus dibayar oleh pemerintahan selanjutnya, oleh generasi Aceh di masa depan. Ini yang selalu terjadi di Aceh,” simpulnya.

Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Askhalani mengatakan, kebijakan Pemerintah Aceh meminjam dana luar negeri itu harus dilihat dari dua sisi.

Satu sisi, rumah sakit regional memang dibutuhkan di Aceh tapi di sisi lain, Pemerintah Aceh akan terbeban saat menutupi cicilan bunga kepada pihak ketiga yang cukup besar.

“Membangun rumah sakit memang dibutuhkan publik sekarang, karena kapasitas di RSUZA sudah tidak mencukupi. Kami sudah melakukan penelitian tentang hal ini. Mau tidak mau Pemerintah harus ambil kebijakan meminjam pada pihak ketiga,” ujar Askhalani.

Awalnya, sebut dia, Pemerintah Aceh akan memanfaatkan dana otsus tapi tidak bisa dilakukan karena bertentangan dengan UUPA.

Askhalani menyesalkan sikap DPRA kemudian yang tanpa lebih dulu meminta pendapat publik sebelum memparipurnakan usulan pinjaman dana tersebut.

“Kami sempat menduga, kebijakan ini mengarah kepada konflik kepentingan dalam konteks untuk mendapat keuntungan lain, misalnya ada tender pengadaan alat-alat rumah sakit nantinya,” sebut dia.

Dia berasumsi, keputusan saat ini berada di tangan Pemerintah Pusat. Jika misalnya Pemerintah Aceh kelak tak mampu melunasi utang tersebut kepada KfW, akan menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat.

DPRA memang sudah setujui Loan KfW Pemerintah Aceh. Tapi bukan berarti sudah berakhir. Setidaknya, imbuh Koordinator Bidang Advokasi dan Kebijakan Publik MaTA,  pihaknya  sudah menyurati KPK untuk menelaah perjanjian pinjaman lunak tersebut.[pikiranmerdeka.co]
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget