Ilustrasi |
SEBAGIAN saudara kita sering di addreskan (dialamatkan) dan dilontarkan terhadap praktek ibadah yang tidak ada sandaran agama baik ayat ataupun hadist. Berbicara masalah kemenyan banyak hadist yang menyebutkan hukum berkemayan, pengobatan dan lainnya. Hal ini disebabkan keumeunyan merupakan salah media yang menimbulkan aroma yang wangi dan Rasulullah sangat menyukai segala bentuk wewangian. Diantara hadist yang menjelaskan kemenyan tersebut yaitu:�
Manakala Ibnu Umar mengukup jenazah (membakar keumeunyan),maka beliau mengukupnya dengan kayu gaharu yang tidak dihaluskandandengankapur barusyang telah diadukkandengan kapur barus. Lalu beliau berkata:�Beginilah metode Rasulullah Saw manakala mengukup jenazah (membakar kemeunyan jenazah)�.(HR. Muslim).
Bahkan Rasululah sendiri pernah berwasiat agar kain kafannya diukup:� Dari Asma binti Abu Bakar dia menyebutkan kepada keluarganya: Berilah uap kayu gaharu (ukuplah) pakain aku apabila aku telah meninggal, taruhkan tabuth (pewangi jenazah) pada jasad aku. Janganlah kalian taburkanhanuth pada kafan aku dan juga janganlah menghampiri aku dengan membawa api�.
Batasan dalam mengukup mayit itu dianjurkan dengan bilangan ganjil (tiga kali) sebagaimana di paparkan dalam sebuah hadist, berbunyi : �Apabila kamu mengukup jenazah, maka kerjakanlah dengan jumlah tiga kali� (HR. Ahmad). Mengukup bukan hanya permasalahn berkaitan dengan kematian (jenazah) bahkan mengukup juga dianjurkan dirumah ibadah seperti masjid. Anjuran ini di sebutkan dalam sabda baginda nabi dalam kitab Mu�jam Al-Kabir: �..Ukuplah masjid itu pada hari perhimpunan engkau dan jadikanlah pada segala pintu itu alat-alat bersuci kamu� .( HR.Imam Thabari). Hal ini juga pernah dikerjakan oleh salah seorang sahabat nabi yang sering melakukan Bukhur (membakar keumeunyan) di Mesjid Nabi Saw untuk mengharumkan masjid tersebut beliau bernama Nu�man bin Abdullah juga merupakan bekas hamba sahaya keluaraga Umar bin Khattab. (Imam Adz-Dzahabi, Siyar Alam An-Nubala: V: 22).
Berdasarkan penjelasan diatas bahwa pemakaian bukhur (kemenyan) bukanlah perkara bid�ah dhalalah dan perkara sesat sebagaimana yang dituduhkan oleh sebagaian orang namun merupakan sesuatu yang telah di kerjakan oleh Rasulullah, para sahabat hingga generasi selanjutnya baik untuk keharuman dan farvum maupun obat-obatan hingga hal yang relegius dalam masyarakat.
Kita mengharapkan terhadap masyarakat yang sebagiannya kurang setuju hendaknya jangan memanasi kondisi dalam masyarakat sehingga timbul hal yang tidak di inginkan, toh mereka punya dalil dan referensi kok, kenapa harus di larang?[]
Ditulis oleh Helmi Abu Bakar El-Langkawi, Staf Pengajar di Dayah MUDI Mesjid Raya, Samalanga dan Sekretaris LP2M IAI Al-Aziziyah Samalanga.
Editor: THAYEB LOH ANGEN
Sumber: portalsatu
loading...
Post a Comment