AMP - Akhirnya Dosen lulusan Jerman yang dimaksud oleh Nanda Feriana dalam surat terbukanya, Dwi Fitri,S. Sos, MA, pun menjawab hal ihwal kenapa kasus itu bisa berujung ke kantor polisi. Ia mengaku sakit hati dengan ulah mahasiswa berprestasi itu.
Perempuan yang menjabat Sekretaris Prodi Ilmu Komunikasi itu, kepada aceHTrend, Kamis (20/10/2016) mengatakan Nanda dilaporkan karena melakukan pencemaran nama baiknya di jejaring sosial yang, menyatakan dirinya orang tidak bermoral, biadap dan dan sebagainya, tulisannya tersebut sangat mencoreng harga dirinya.
Menurut Dwi, sebutan dosen lulusan Jerman tersebut jelas-jelas ditujukan untuknya, karena di Unimal hanya ada dua dosen lulusan Jerman, yang satunya laki-laki dan satunya lagi adalah dirinya.
“Karena tulisan tersebut, Nanda telah mencemarkan nama baik seorang dosen lewat Medsos, dan untuk menyelesaikan kasus tersebut sebelum di laporkan ke polisi Nanda tak kooperatif dan mengklaim saya salah dalam pelayanan administrasi di Jurusan, padahal pada waktu itu (sebelum Nanda yudisium) dirinya menunggu kelengkapan administrasi dan persyaratan agar Nanda bisa mengikuti Yudisium, tapi dua hari menjelang yudisium Nanda tak juga datang ke kampus, karena tidak lengkap persyaratan maka Nanda dinyatakan belum boleh yudisium atau ditunda ke tahap selanjutnya dan yang menentukan bisa atau tidaknya yudisium adalah jurusan,” ujarnya.
Dwi Fitri juga mengatakan, saat itu dirinya dua hari menunggu agar Nanda Feriana melengkapi persyaratan untuk bisa ikut yudisium, tapi nyatanya dia malah tidak datang, dan tahunya sudah menulis yang tidak-tidak untuk dirinya di Medsos.
Setelah melihat tulisan tersebut, Dwi meminta penjelasan kepada Nanda. Namun Nanda tidak mau bertemu.
“Pasca tulisan itu, saya minta Nanda bertemu saya. Tapi malah tidak datang-datang. Satu hari saya menunggu. Kemudian fakultas melakukan mediasi. Saat itu saya minta ia meminta maaf di surat kabar. Namun ia menolak. Kemudian Dwi pun melaporkan ke polisi.
Masalah Pribadi
Menurut Dwi, apa yang menimpa dirinya dan Nanda tidak ada kaitannya dengan Unimal. Karena saat ini status Nanda adalah sarjana. Ia pun melaporkan ke Polres Lhokseumawe atas perilaku pribadi Nanda yang menulis di facebook untuk dirinya pribadi selaku lulusan Jerman.
“Saya tidak terima, dan juga saya di-bully habis-habisan di medsos, Pernah dia pikir kesitu? Bahkan dia datang ke rumah saya dengan ibunya dan kakeknya setelah kasusnya diproses hukum, saya sudah terlalu sakit ini dan tidak bisa lagi mencabut laporan saya,” ujarnya.
Dwi memaparkan, dua hari lalu Nanda mengirimkan surat dengan kalimat pujian dan sepucuk bunga mawar. Begitupun, Dwi mengaku tetap sulit untuk memaafkannya.
Pada Rabu (19/10/2016) mereka jumpa di Polres, kala itu Nanda malah melihatnya dengan ekor mata. Padahal menurutnya Nanda adalah anak didiknya dan Dwi juga menyebutkan jika dirinya telah gagal dalam mendidik dan mengungkap rasa sedih.
“Ada ribuan mahasiswa saya, tetapi cuma dia (Nanda) yang keterlaluan. Kecuali saya tidak mau jumpa dan bicara, kamu bisa kroscek saya di prodi (program studi). Saya dosen yang selalu siap ditemui mahasiswa,” jelasnya lagi.
Nanda Feriana Membantah
Menanggapi pernyataan Dwi Fitri, Nanda Feriana pun memberikan klarifikasi.
“Saya menulis disitu: Anda seharusnya berperadaban, bukan primitif”. Saya tidak menulis kalimat transitif berupa Anda primitif atau Anda tidak beradab. Ini baru bermakna langsung. Dan cerita saya di status menggunakan kalimat-kalimat satire (bermakna konotatif). Di negara demokrasi, kalimat satire wajar dan bahkan sering digunakan untuk memperhalus sebuah kritikan. Itu salah satu cara menyampaikan gagasan.Dan tidak ada penyebutan nama, ciri-ciri fisik, maupun foto. Saya paham rambu rambu dalam mengeluarkan argumen. Jadi,saya tidak tuliskan itu. ” Ibu Lulusan Jerman” ini secara tersurat sangat anonim. Orang akan menghayal dulu untuk membayangkan ini siapa. Jadi, bagaimana mungkin itu disebut mencemarkan nama sedangkan nama saja saya tak sebut?,”ujarnya.
Ia juga mengatakan, soal berita kedua, pada salah satu media Dwi menyebutkan
“Bahkan ketika saya merangkul dengan sikap lunak saya, dia menepis”. Kalimat ini samasekali tidak benar.
“Kapan kami berangkulan dan kapan saya menepis itu? Tolong buktikan waktu dan tempatnya atau dokumentasinya. Bahkan jangankan utk berangkulan, saya minta maaf saja beliau tidak mau. Dalam mediasi di fakultas, saya bangun menyalami beliau utk meminta maaf, tapi beliau tidak mau dan langsung berlalu meninggalkan ruangan. Banyak saksi yg melihat beliau tinggalkan ruangan saat rapat mediasi berlangsung. Sehingga karena sikap itu, proses mediasi jadi buntu. Sejak kejadian itu pula, tidak benar beliau mengatakan bahwa “saya ajak berjumpa dan memberikan waktu satu pekan, tapi Nanda tidak mau dan alasanya berubah ubah”. Selama satu pekan itu beliau bahkan menutup komunikasi dengan saya, dan terus menghubungi Kajur saya untuk mengingatkan agar saya segera meminta maaf di media cetak (Koran Serambi) dengan ancaman kalau saya tidak bersedia, akan dibawa ke ranah hukum,” terangnya.
Nanda selanjutnya mengatakan “Saya menolak meminta maaf di media serambi Indonesia karena pertimbangan biaya yang mahal, dan justru bertujuan menjaga reputasi beliau, reputasi intitusi, dan juga saya secara pribadi. Karena alasan nya, beliau suruh sebut nama secara terang, bagaimana mungkin? Di status saya di FB saya tak sebut nama beliau (supaya nama itu tetap terjaga), lantas mengapa harus menyebutnya di permintaan maaf ? Di media cetak pula. Itu bagi saya justru akan menyerang reputasi dia secara personal dan juga institusi. Saya tidak menerima ada pengerucutan hanya “2 hari” minta maaf di media cetak, beliau menuntut 4 hari. Soal ukuran beliau tentukan 4-5 kolom layaknya ucapan selamat dan sebut namanya (saya masih memiliki bukti tertulisnya).
Soal pertemuan di Polres, Saya bahkan tidak dipertemukan dalam satu ruangan oleh penyidik. Bagaimana mungkin saya melihat beliau dengan “ekor mata”.
Perempuan yang menjabat Sekretaris Prodi Ilmu Komunikasi itu, kepada aceHTrend, Kamis (20/10/2016) mengatakan Nanda dilaporkan karena melakukan pencemaran nama baiknya di jejaring sosial yang, menyatakan dirinya orang tidak bermoral, biadap dan dan sebagainya, tulisannya tersebut sangat mencoreng harga dirinya.
Menurut Dwi, sebutan dosen lulusan Jerman tersebut jelas-jelas ditujukan untuknya, karena di Unimal hanya ada dua dosen lulusan Jerman, yang satunya laki-laki dan satunya lagi adalah dirinya.
“Karena tulisan tersebut, Nanda telah mencemarkan nama baik seorang dosen lewat Medsos, dan untuk menyelesaikan kasus tersebut sebelum di laporkan ke polisi Nanda tak kooperatif dan mengklaim saya salah dalam pelayanan administrasi di Jurusan, padahal pada waktu itu (sebelum Nanda yudisium) dirinya menunggu kelengkapan administrasi dan persyaratan agar Nanda bisa mengikuti Yudisium, tapi dua hari menjelang yudisium Nanda tak juga datang ke kampus, karena tidak lengkap persyaratan maka Nanda dinyatakan belum boleh yudisium atau ditunda ke tahap selanjutnya dan yang menentukan bisa atau tidaknya yudisium adalah jurusan,” ujarnya.
Dwi Fitri juga mengatakan, saat itu dirinya dua hari menunggu agar Nanda Feriana melengkapi persyaratan untuk bisa ikut yudisium, tapi nyatanya dia malah tidak datang, dan tahunya sudah menulis yang tidak-tidak untuk dirinya di Medsos.
Setelah melihat tulisan tersebut, Dwi meminta penjelasan kepada Nanda. Namun Nanda tidak mau bertemu.
“Pasca tulisan itu, saya minta Nanda bertemu saya. Tapi malah tidak datang-datang. Satu hari saya menunggu. Kemudian fakultas melakukan mediasi. Saat itu saya minta ia meminta maaf di surat kabar. Namun ia menolak. Kemudian Dwi pun melaporkan ke polisi.
Masalah Pribadi
Menurut Dwi, apa yang menimpa dirinya dan Nanda tidak ada kaitannya dengan Unimal. Karena saat ini status Nanda adalah sarjana. Ia pun melaporkan ke Polres Lhokseumawe atas perilaku pribadi Nanda yang menulis di facebook untuk dirinya pribadi selaku lulusan Jerman.
“Saya tidak terima, dan juga saya di-bully habis-habisan di medsos, Pernah dia pikir kesitu? Bahkan dia datang ke rumah saya dengan ibunya dan kakeknya setelah kasusnya diproses hukum, saya sudah terlalu sakit ini dan tidak bisa lagi mencabut laporan saya,” ujarnya.
Dwi memaparkan, dua hari lalu Nanda mengirimkan surat dengan kalimat pujian dan sepucuk bunga mawar. Begitupun, Dwi mengaku tetap sulit untuk memaafkannya.
Pada Rabu (19/10/2016) mereka jumpa di Polres, kala itu Nanda malah melihatnya dengan ekor mata. Padahal menurutnya Nanda adalah anak didiknya dan Dwi juga menyebutkan jika dirinya telah gagal dalam mendidik dan mengungkap rasa sedih.
“Ada ribuan mahasiswa saya, tetapi cuma dia (Nanda) yang keterlaluan. Kecuali saya tidak mau jumpa dan bicara, kamu bisa kroscek saya di prodi (program studi). Saya dosen yang selalu siap ditemui mahasiswa,” jelasnya lagi.
Nanda Feriana Membantah
Menanggapi pernyataan Dwi Fitri, Nanda Feriana pun memberikan klarifikasi.
“Saya menulis disitu: Anda seharusnya berperadaban, bukan primitif”. Saya tidak menulis kalimat transitif berupa Anda primitif atau Anda tidak beradab. Ini baru bermakna langsung. Dan cerita saya di status menggunakan kalimat-kalimat satire (bermakna konotatif). Di negara demokrasi, kalimat satire wajar dan bahkan sering digunakan untuk memperhalus sebuah kritikan. Itu salah satu cara menyampaikan gagasan.Dan tidak ada penyebutan nama, ciri-ciri fisik, maupun foto. Saya paham rambu rambu dalam mengeluarkan argumen. Jadi,saya tidak tuliskan itu. ” Ibu Lulusan Jerman” ini secara tersurat sangat anonim. Orang akan menghayal dulu untuk membayangkan ini siapa. Jadi, bagaimana mungkin itu disebut mencemarkan nama sedangkan nama saja saya tak sebut?,”ujarnya.
Ia juga mengatakan, soal berita kedua, pada salah satu media Dwi menyebutkan
“Bahkan ketika saya merangkul dengan sikap lunak saya, dia menepis”. Kalimat ini samasekali tidak benar.
“Kapan kami berangkulan dan kapan saya menepis itu? Tolong buktikan waktu dan tempatnya atau dokumentasinya. Bahkan jangankan utk berangkulan, saya minta maaf saja beliau tidak mau. Dalam mediasi di fakultas, saya bangun menyalami beliau utk meminta maaf, tapi beliau tidak mau dan langsung berlalu meninggalkan ruangan. Banyak saksi yg melihat beliau tinggalkan ruangan saat rapat mediasi berlangsung. Sehingga karena sikap itu, proses mediasi jadi buntu. Sejak kejadian itu pula, tidak benar beliau mengatakan bahwa “saya ajak berjumpa dan memberikan waktu satu pekan, tapi Nanda tidak mau dan alasanya berubah ubah”. Selama satu pekan itu beliau bahkan menutup komunikasi dengan saya, dan terus menghubungi Kajur saya untuk mengingatkan agar saya segera meminta maaf di media cetak (Koran Serambi) dengan ancaman kalau saya tidak bersedia, akan dibawa ke ranah hukum,” terangnya.
Nanda selanjutnya mengatakan “Saya menolak meminta maaf di media serambi Indonesia karena pertimbangan biaya yang mahal, dan justru bertujuan menjaga reputasi beliau, reputasi intitusi, dan juga saya secara pribadi. Karena alasan nya, beliau suruh sebut nama secara terang, bagaimana mungkin? Di status saya di FB saya tak sebut nama beliau (supaya nama itu tetap terjaga), lantas mengapa harus menyebutnya di permintaan maaf ? Di media cetak pula. Itu bagi saya justru akan menyerang reputasi dia secara personal dan juga institusi. Saya tidak menerima ada pengerucutan hanya “2 hari” minta maaf di media cetak, beliau menuntut 4 hari. Soal ukuran beliau tentukan 4-5 kolom layaknya ucapan selamat dan sebut namanya (saya masih memiliki bukti tertulisnya).
Soal pertemuan di Polres, Saya bahkan tidak dipertemukan dalam satu ruangan oleh penyidik. Bagaimana mungkin saya melihat beliau dengan “ekor mata”.
Soal yudisium, berkas yang tidak selesai adalah transkrip dan berita acara sidang. Dua berkas yang tidak lengkap itu bukan tidak selesai karena faktor di diri saya, melainkan karena tidak diselesaikannya oleh staff prodi.
Secara aturan, berita acara sidang itu langsung siap ketika mahasiswa selesai sidang di hari itu juga. Namun berita acara saya malah tidak siap”. Jadi itu bukan salah saya yang tidak lengkap, namun petugasnya yang lamban,”terangnya.
Janggalnya, menurut Nanda kalau Sri menyorot dirinya seorang soal berkas ini, mengapa teman yg bersamaan sekalian sidang dengan Nanda bisa ikut yudisium juga? Ada salah satu dari mereka yang bahkan berkasnya juga tidak lengkap (transkrip) di H-1 sebelum yudisium. Tapi bisa ikut yudisium.
“Tuduhan saya “dispesialkan” oleh fakultas adalah tidak benar. Fakultas sendiri mengakuinya. Kinerja staff prodi berinisial F itu memang sangat lamban, soal ini bisa ditanyakan kepada mahasiswa ilmu komunikasi itu sendiri. Tidak ada permintaan dispesialkan oleh yang bersangkutan. Saya mengkritisinya hanya ingin dia bercermin bahwa pelayanannya tidak ramah. Bagi saya, itu adalah penjelasan yang tidak fair. Ini hak jawab saya selaku yang diberitakan,” Pungkasnya.[Sumber: acehtrend.co]
loading...
Post a Comment