AMP - Terjungkalnya suara Partai Aceh di Pilkada kali ini tak lepas dari kerja tim pemenangannya yang dinilai tak maksimal. Dalam perjalanannya, partai yang menobatkan diri sebagai manifestasi dari perjanjian damai MU Helsinki ini, tak kunjung melakukan pengembangan di internalnya.
“Minimnya pengembangan elektoral. Dimana mereka tidak melakukan pendidikan politik rakyat, kemudian pengembangan kader-kader baru, dan bagaimana cara mereka tampil di depan merespon isu-isu publik, memperlihatkan sebenarnya nuansa intelektualitas dan ideologi partai ini tidak muncul. Jadi lebih pada karismatisme dari ketua-ketua partainya saja,” kata Pengamat politik dari Universitas Malikulsaleh, T Kemal Fasya, kepada Pikiran Merdeka, Sabtu pekan lalu.
Pengarusutamaan karismatisme pemimpin, lanjut Kemal, ternyata tak cukup ampuh dalam membesarkan partai ini. Keadaan itu, otomatis mengantarkannya pada kekalahan. Ironis, tatkala melihat bagaimana PA di masa-masa awal memegang posisi amat krusial sebagai kekuatan demokrasi lokal baru di Aceh, malah terlalu cepat terperosok sebelum genap satu dasawarsa.
“Ini sebenarnya sudah terbaca dari pemilihan legislatif sebelumnya, dimana suara Partai Aceh juga turun drastis, tapi tidak diantisipasi kemudian,” kata Kemal.
Menurutnya lagi, PA terbilang gagal dalam menjaga citra sebagai kekuatan demokrasi lokal. Malah, belakangan peran tersebut dimunculkan secara perlahan oleh rival politiknya di berbagai wilayah. “Yang terdekat, kita sebut saja Irwandi, misalnya. Selain itu ada juga kekuatan independen yang nyaris saja mengalahkan Cek Mad di Pilkada Kabupaten Aceh Utara, dari sini tampak bagaimana kekuatan baru mulai muncul,” tambahnya.
Berbeda dengan kubu pemenangan Mualem, Irwandi Yusuf justru dinilai lebih jeli mempersiapkan diri. Kondisi itu lebih baik dibanding pada Pilkada 2012. “Tim mereka (Irwandi) mempersiapkan segalanya dengan manajemen yang sangat terukur. Anggaran yang mereka keluarkan juga sebenarnya itu tidak cukup besar. Yang paling penting adalah rencana pemenangan. Dan kemudian bagaimana cara mereka menjaga suara. Kali ini Irwandi jauh lebih baik daripada tahun 2012, ia mampu menyediakan kanal alternatif bagi harapan masyarakat,” ujar Kemal.
Kegagalan PA dalam meraup suara pemilih juga tercermin dari cara pandang partai itu terhadap dirinya sendiri. Sejak menjadi kekuatan lokal yang dominan, PA terlampau larut dalam rasa percaya diri yang begitu tinggi. Hal ini membuat mereka lalai dari mengantisipasi geliat pesaing-pesaingnya.
“Kerja tim pemenangan PA di daerah-daerah tidak cukup baik, saya pikir. Atau karena mereka sejak awal sudah terlalu percaya diri bisa menang di basis-basis suara mereka. Jadi mereka terlalu percaya diri dengan kebesaran historisnya yang hanya beberapa tahun saja, tapi mereka tidak ada antisipasi-antisipasi terhadap pihak lawan yang juga mengembangkan diri lebih baik,” kata Kemal.
Sarannya, PA harus kembali memantapkan diri dalam segi gerakan kultural partai, yakni melakukan pendidikan politik. Lantaran penting membaca dinamika politik lokal, selain juga menetapkan orientasi partai pada isu-isu publik yang lebih strategis. Pembahasan ini diharapkan tidak cuma bergulir di masa-masa Pilkada saja.
“Isu-isu seperti kesejahteraan, problem kemiskinan, pengangguran, tidak cukup direspon dalam kerja. Padahal itu adalah inti-inti dari pekerjaan partai. Perlu dicamkan kerja partai bukan hanya pada momentum elektoral untuk siklus lima tahunan seperti ini saja, tapi juga bagaimana mengisi ruang-ruang publik dengan pendidikan politik. Kemudian, bagaimana peran mereka sehari-hari di luar momentum elektoral, dekatkan mereka dengan rakyat? Aspek komunitarianisme semacam ini yang kurang, keakraban mereka dengan publik itu tidak begitu baik,” papar Kemal.
Adapun soal regenerasi, PA juga dinilai kecolongan. Selama ini, sambung Kemal, PA sudah telanjur nyaman di tataran oligarki semata. Dengan hanya mengandalkan kekuatan pada penentu di kalangan elit, partai ini dikhawatirkan tak akan berumur lama.
Untuk memulihkannya, PA perlu memaksimalkan kaderisasi partai. Karena langkanya sosok-sosok muda yang tampil di garda depan, maka banyak penyesuaian yang perlu dilakukan. Partai Aceh, tambah Kemal, tidak bisa lagi mengklaim diri sebagai ‘kaum kombatan’ yang selama ini cenderung memampatkan kesan militer terhadap diri mereka. Menurutnya, Petinggi GAM Alm Hasan Tiro memperjuangkan cita-cita ideologis, bukan cita-cita militer.
“Sekarang tidak bisa lagi mengklaim ‘kaum kombatan’ kalau mereka percaya ini adalah pelanjut dari cita-cita Hasan Tiro. Cita-cita Hasan Tiro adalah cita-cita ideologis, bukan militer. Nah, cita ideologis ini lah yang harus dikembangkan melalui pendidikan, pengkaderan, penempatan kelompok muda di barisan depan partai,” harapnya.
Kondisi ini, tegas Kemal, menjadi pelajaran bagi PA untuk melakukan konsolidasi dan evaluasi terhadap perjalanannya jika tidak ingin kekuatan partai itu terus mengempis dan hilang di waktu mendatang.[Sumber: pikiranmerdeka.co]
“Minimnya pengembangan elektoral. Dimana mereka tidak melakukan pendidikan politik rakyat, kemudian pengembangan kader-kader baru, dan bagaimana cara mereka tampil di depan merespon isu-isu publik, memperlihatkan sebenarnya nuansa intelektualitas dan ideologi partai ini tidak muncul. Jadi lebih pada karismatisme dari ketua-ketua partainya saja,” kata Pengamat politik dari Universitas Malikulsaleh, T Kemal Fasya, kepada Pikiran Merdeka, Sabtu pekan lalu.
Pengarusutamaan karismatisme pemimpin, lanjut Kemal, ternyata tak cukup ampuh dalam membesarkan partai ini. Keadaan itu, otomatis mengantarkannya pada kekalahan. Ironis, tatkala melihat bagaimana PA di masa-masa awal memegang posisi amat krusial sebagai kekuatan demokrasi lokal baru di Aceh, malah terlalu cepat terperosok sebelum genap satu dasawarsa.
“Ini sebenarnya sudah terbaca dari pemilihan legislatif sebelumnya, dimana suara Partai Aceh juga turun drastis, tapi tidak diantisipasi kemudian,” kata Kemal.
Menurutnya lagi, PA terbilang gagal dalam menjaga citra sebagai kekuatan demokrasi lokal. Malah, belakangan peran tersebut dimunculkan secara perlahan oleh rival politiknya di berbagai wilayah. “Yang terdekat, kita sebut saja Irwandi, misalnya. Selain itu ada juga kekuatan independen yang nyaris saja mengalahkan Cek Mad di Pilkada Kabupaten Aceh Utara, dari sini tampak bagaimana kekuatan baru mulai muncul,” tambahnya.
Berbeda dengan kubu pemenangan Mualem, Irwandi Yusuf justru dinilai lebih jeli mempersiapkan diri. Kondisi itu lebih baik dibanding pada Pilkada 2012. “Tim mereka (Irwandi) mempersiapkan segalanya dengan manajemen yang sangat terukur. Anggaran yang mereka keluarkan juga sebenarnya itu tidak cukup besar. Yang paling penting adalah rencana pemenangan. Dan kemudian bagaimana cara mereka menjaga suara. Kali ini Irwandi jauh lebih baik daripada tahun 2012, ia mampu menyediakan kanal alternatif bagi harapan masyarakat,” ujar Kemal.
Kegagalan PA dalam meraup suara pemilih juga tercermin dari cara pandang partai itu terhadap dirinya sendiri. Sejak menjadi kekuatan lokal yang dominan, PA terlampau larut dalam rasa percaya diri yang begitu tinggi. Hal ini membuat mereka lalai dari mengantisipasi geliat pesaing-pesaingnya.
“Kerja tim pemenangan PA di daerah-daerah tidak cukup baik, saya pikir. Atau karena mereka sejak awal sudah terlalu percaya diri bisa menang di basis-basis suara mereka. Jadi mereka terlalu percaya diri dengan kebesaran historisnya yang hanya beberapa tahun saja, tapi mereka tidak ada antisipasi-antisipasi terhadap pihak lawan yang juga mengembangkan diri lebih baik,” kata Kemal.
Sarannya, PA harus kembali memantapkan diri dalam segi gerakan kultural partai, yakni melakukan pendidikan politik. Lantaran penting membaca dinamika politik lokal, selain juga menetapkan orientasi partai pada isu-isu publik yang lebih strategis. Pembahasan ini diharapkan tidak cuma bergulir di masa-masa Pilkada saja.
“Isu-isu seperti kesejahteraan, problem kemiskinan, pengangguran, tidak cukup direspon dalam kerja. Padahal itu adalah inti-inti dari pekerjaan partai. Perlu dicamkan kerja partai bukan hanya pada momentum elektoral untuk siklus lima tahunan seperti ini saja, tapi juga bagaimana mengisi ruang-ruang publik dengan pendidikan politik. Kemudian, bagaimana peran mereka sehari-hari di luar momentum elektoral, dekatkan mereka dengan rakyat? Aspek komunitarianisme semacam ini yang kurang, keakraban mereka dengan publik itu tidak begitu baik,” papar Kemal.
Adapun soal regenerasi, PA juga dinilai kecolongan. Selama ini, sambung Kemal, PA sudah telanjur nyaman di tataran oligarki semata. Dengan hanya mengandalkan kekuatan pada penentu di kalangan elit, partai ini dikhawatirkan tak akan berumur lama.
Untuk memulihkannya, PA perlu memaksimalkan kaderisasi partai. Karena langkanya sosok-sosok muda yang tampil di garda depan, maka banyak penyesuaian yang perlu dilakukan. Partai Aceh, tambah Kemal, tidak bisa lagi mengklaim diri sebagai ‘kaum kombatan’ yang selama ini cenderung memampatkan kesan militer terhadap diri mereka. Menurutnya, Petinggi GAM Alm Hasan Tiro memperjuangkan cita-cita ideologis, bukan cita-cita militer.
“Sekarang tidak bisa lagi mengklaim ‘kaum kombatan’ kalau mereka percaya ini adalah pelanjut dari cita-cita Hasan Tiro. Cita-cita Hasan Tiro adalah cita-cita ideologis, bukan militer. Nah, cita ideologis ini lah yang harus dikembangkan melalui pendidikan, pengkaderan, penempatan kelompok muda di barisan depan partai,” harapnya.
Kondisi ini, tegas Kemal, menjadi pelajaran bagi PA untuk melakukan konsolidasi dan evaluasi terhadap perjalanannya jika tidak ingin kekuatan partai itu terus mengempis dan hilang di waktu mendatang.[Sumber: pikiranmerdeka.co]
loading...
Post a Comment